10648 Views | 13
Namun, jika kita lihat dengan skala makro, posisi arsitek nyatanya tak lebih
dari sekrup atau gerigi dalam jalannya roda pemerintahan. Jika kembali ke
contoh sebelumnya, Program Pengembangan Tujuan Pariwisata dari
sebuah kota merupakan hasil kebijakan pemerintah kota. Peran arsitek
hanyalah mengolah kebijakan tersebut menjadi produk arsitektural yang
dapat direalisasikan. Pola ini menunjukkan bahwa peran arsitek sendiri
bermain dalam menjalankan kebijakan, bukan dalam tataran pengolahan
kebijakan.
Batasan mengenai peran, posisi, dan potensi arsitek ini dipersiapkan sejak
masa perkuliahan. Peran arsitek dalam mendesain dilegitimasi dengan
kurikulum pendidikan arsitektur yang dipisahkan dari kerangka holistik
birokrasi dan politik. Sehingga wajar, misalnya, dalam sebuah presentasi
karya, seorang mahasiswa hanya memaparkan hasil desainnya yang
meningkatan kualitas ruang kampung kota dengan rekomendasi berupa
peningkatan sarana utilitas dan infrastruktur. Namun, rekomendasi tersebut
tidak mampu menjawab komentar tentang permasalahan dasar ruang
kampung kota yang berupa kepemilikan lahan. Terhadap hal itu arsitek
kadang malah mengalihkannya ke peran pihak lain yang lebih ahli,
misalnya, bidang hukum.
Posisi arsitek dan latar belakang keilmuan yang dilaluinya memiliki potensi
untuk menjadi fasilitator antara pemerintah dan masyarakat, namun ruang
gerak profesi arsitek dalam kerangka birokrasi dibatasi oleh badan hukum
yang memayunginya.
Peran, posisi, profesi, dan potensi arsitek yang bertemu amatirisme saling
berjalin dan membentuk sebuah kesimpulan, bahwa menjalani profesi
arsitek saja tidaklah cukup untuk bersetia pada arsitektur.
[1] Konsultan perencana dalam hal ini berarti badan usaha yang
dipertemukan dalam pekerjaan perancangan, di mana arsitek menjadi
bagian dari personilnya.