Anda di halaman 1dari 6

Peran, Posisi, dan Potensi

by Siti Amrina Rosada on March 14, 2016

10648 Views | 13

Ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan untuk


tetap mengalihkan lokasi kehidupan warga Kampung Pulo ke sebuah
rumah susun atas nama normalisasi Sungai Ciliwung, cukup banyak
arsitek atau pihak berlatar belakang arsitektur menunjukkan
ketidaksetujuannya dan menawarkan solusi yang dirasa lebih pantas
ketimbang pengusuran.

Aktivitas arsitektur berhubungan dengan perancangan dan penciptaan


yang melatih kepekaan dalam menemukan solusi yang paling layak
dengan keadaan. Namun, potensi yang dimiliki para arsitek tadi seolah
tidak diberikan tempat dalam kebijakan. Sehingga perlu dipertanyakan, apa
peran arsitek dalam pemerintahan? Untuk menjawab hal itu ada tiga
macam perspektif yang akan dibahas: (1) kerangka birokrasi, (2) kerangka
praktisi, dan (3) kerangka intelektual.

Arsitek dalam kerangka birokrasi

Dalam kerangka birokrasi, sebuah legalitas diperlukan oleh sebuah profesi


untuk dapat berperan. Legalitas itu hadir dalam bentuk keprofesian. Dalam
konteks profesi arsitek, hal ini memiliki lima parameter: (1) pekerjaan
penuh waktu, (2) menempuh pendidikan/pelatihan khsusus, (3) berada
dalam organisasi profesi, (4) memiliki lisensi yang terafirmasi, dan (5)
memiliki kode etik [1]. Pada praktiknya, kelima parameter tersebut terwakili
dalam sebuah dokumen legal dari badan usaha konsultansi yang
dikeluarkan oleh asosiasi profesi atau lembaga jasa, misalnya, surat ijin
usaha konstruksi, sertifikat badan usaha, atau sertifikat keahlian personil –
posisi kehadiran arsitek dalam badan usaha. Sebagaimana yang tertulis
dalam naskah Rancangan Undang-Undang Arsitek, seorang arsitek
membutuhakan lisensi untuk beroperasi.

Di satu sisi, pada pekerjaan pemerintahan, sebagian besar arsitek


berpraktik melalui konsultan perencanaan yang mendapatkan pekerjaan
dari instansi yang bersangkutan. Pekerjaan perancangan atau
perencanaan yang dikerjakan merupakan salah satu poin turunan
‘Kegiatan’ untuk mencapai sasaran dari ‘Program’ (instrumen kebjiakan)
yang disusun oleh perangkat pemerintahan. Sebagai contoh, Dinas
Pariwisata Kota melakukan Pekerjaan Perencanaan Kawasan Wisata
Sungai menjadi salah satu poin Kegiatan Pembangunan Infrastruktur
Wisata untuk menyasar Program Pengembangan Tujuan Pariwisata Kota.
Di sisi lain, dalam aktivitas kerjanya, arsitek akan turun langsung ke lokasi
perencanaan, bertemu dengan penduduk sekitar lahan garapan, dan
menimbang-nimbang desain yang sesuai dengan konteks lingkungan.
Dalam keadaan ini, posisi arsitek berisinggungan langsung dengan warga
dan instansi pemerintahan. Sehingga dalam mendesain, arsitek dapat
memutuskan kepentingan mana yang akan tertuang dalam produk
perencanaan. Arsitek dapat menentukan material yang akan digunakan,
langgam yang ingin ditampilkan, lokasi pintu masuk kawasan, struktur
bangunan yang sesuai dengan keahlian pekerja di lingkungan sekitar, atau
titik lokasi tempat peristirahatan. Secara mikro, posisi arsitek sangatlah
strategis, karena hasil rancangan akan terealisasi langsung dalam
pembangunan.

Namun, jika kita lihat dengan skala makro, posisi arsitek nyatanya tak lebih
dari sekrup atau gerigi dalam jalannya roda pemerintahan. Jika kembali ke
contoh sebelumnya, Program Pengembangan Tujuan Pariwisata dari
sebuah kota merupakan hasil kebijakan pemerintah kota. Peran arsitek
hanyalah mengolah kebijakan tersebut menjadi produk arsitektural yang
dapat direalisasikan. Pola ini menunjukkan bahwa peran arsitek sendiri
bermain dalam menjalankan kebijakan, bukan dalam tataran pengolahan
kebijakan.

Secara hukum, dalam konsep Naskah Akademik RUU Arsitek, arsitek


didefinisikan sebagai perancang bangunan. Namun, peran arsitek tidak
hanya sebatas bangunan saja, melainkan meliputi tugas penataan
(penciptaan dan pewujudan) dari ruang dalam skala yang lebih luas.
Ruang tersebut berwujud lingkungan binaan (built environment) yang
diperuntukkan bagi kehidupan manusia maupun masyarakat luas (umum)
[2]. Peran arsitek dalam penataan meliputi skala mikro, penataan ruang
yang diintegrasikan ke dalam bangunan, hingga makro, penataan dalam
aspek tapak dan lingkungan sekitar. Peranan tersebut umum dilakukan
arsitek saat ini, dan hal ini masih dalam proses legalisasi menjadi undang-
undang.

Arsitek dalam kerangka praktisi

Dalam kerangka konsultan perencana[1], arsitek berperan dalam proses


pra-perancangan (seperti survey lokasi dan studi objek desain) hingga
menghasilkan produk perancangan berupa laporan, gambar, Rencana
Anggaran Biaya, dan Spesifikasi Teknis. Selanjutnya, peranan mereka
biasanya hanya seputar revisi atau rekomendasi teknis. Sementara itu,
keberlanjutan pelaksanaan desain dipegang oleh pihak pengawas dan
kontraktor. Realita ini mempertegas pernanan arsitek dalam penataan
ruang sebatas produksi dokumen teknis dari sebuah kebijakan yang telah
ditetapkan.
Ironisnya, konflik yang kerap muncul dalam kebijakan pembangunan kota
sendiri bukanlah seputar hal desain yang mikro, namun pada isi
kebijakannya itu sendiri. Dalam contoh perancangan wisata sungai di atas,
yang menjadi masalah bukanlah material atau bentuk bangunan,
melainkan ketidaksetujuan terhadap penetapan lokasi sungai yang
dijadikan daerah wisata. Arsitek memang berwenang dalam bentuk objek
perancangan, namun, birokrasilah yang menentukan hal yang dirancang
dan lokasi perancangan. Hal ini tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja.
Struktur birokarasi tidak mengizinkan arsitek untuk berpartisipasi dalam
menentukan arah kebijakan dalam realisasi proyek pada sebuah lokasi.
Peran arsitek dikerucutkan menjadi pengolah desain ‘yang sudah
ditentukan’ sesuai dengan konteks lingkungan.

Karenanya, ketika arsitek mengusulkan kampung susun bagi solusi konflik


relokasi permukiman Kampung Pulo, ia tidak memiliki tempat secara legal
dan mempunyai peran yang berbeda dalam struktur pemerintahan.
Pemprov DKI mengambil kebijakan untuk memindahkan permukiman
Kampung Pulo, dan menyediakan peran untuk arsitek dalam merancang
permukiman baru bagi penghuni yang direlokasi atau fungsi ruang baru di
lokasi permukiman yang dibersihkan.

Arsitek dalam kerangka intelektual

Batasan mengenai peran, posisi, dan potensi arsitek ini dipersiapkan sejak
masa perkuliahan. Peran arsitek dalam mendesain dilegitimasi dengan
kurikulum pendidikan arsitektur yang dipisahkan dari kerangka holistik
birokrasi dan politik. Sehingga wajar, misalnya, dalam sebuah presentasi
karya, seorang mahasiswa hanya memaparkan hasil desainnya yang
meningkatan kualitas ruang kampung kota dengan rekomendasi berupa
peningkatan sarana utilitas dan infrastruktur. Namun, rekomendasi tersebut
tidak mampu menjawab komentar tentang permasalahan dasar ruang
kampung kota yang berupa kepemilikan lahan. Terhadap hal itu arsitek
kadang malah mengalihkannya ke peran pihak lain yang lebih ahli,
misalnya, bidang hukum.

Argumentasi ‘bukan peranan arsitek’ ini menenggelamkan arsitek dalam


wacana-wacana praktikal semata. Muncul sinisme yang mempertanyakan
untuk apa banyak wacana dan teori, kritisi sana-sini, atau pengkajian ini-
itu, jika bisa langsung berpraktik dengan mendesain sebaik mungkin?
Untuk apa berpusing-pusing membaca, ketika di luar sana referensi desain
berhamburan memanjakan mata. Wacana yang populer malah berkutat
pada pengalaman ruang, visual culture, struktur, atau materi desain
aplikatif lainnya, dan mendesain sebaik mungkin berarti sesuai dengan
kaidah keprofesian. Sehingga, arsitek teralienasi dari produk desainnya
sendiri.
Semenjak masa pendidikan, kegiatan arsitektur sangat jarang dihubungkan
dengan bidang-bidang non-teknis seperti hukum, ekonomi, dan politik yang
jauh dari kepentingan desain. Persinggungan dengan bidang lain sebatas
kepentingan teknis dalam merancang seperti peraturan, standar, atau
pengolahan anggaran. Hal ini sesuai dengan kerangka kerja keprofesian,
tugas dan peran dari seorang arsitek akan berhubungan terutama dengan:
(a) interior designer dan furniture designer – dalam skala mikro,
(b) structural engineer, mechanical & electrical engineer – dalam
skala middle, dan (c) planolog / urban planner, urban designer dan arsitek
lansekap – dalam skala makro [2].

Kenyataannya, arsitektur (termasuk arsitek dan hasil karyanya) berada


dalam sebuah kerangka holistik kebijakan pembangunan. Hal ini berarti
aktivitas arsitektur itu sendiri berhubungan dengan bidang-bidang lain tak
hanya dalam konteks desain. Misalnya, setelah produk desain
perancangan kawasan wisata sungai selesai, produk itu bisa dimanfaatkan
oleh instansi pemerintahan untuk melegitimasi relokasi permukiman sekitar
sungai atau desain ramah lingkungan yang dipakai bisa menjadi justifikasi
terhadap argumen aktivis lingkungan yang menjaga ekosistem sungai.
Namun, sekali lagi dengan peran berupa mendesain sebuah objek desain
pada suatu lokasi perencanaan yang telah disediakan, maka bukan peran
arsitek-lah untuk menjawab permasalahan itu.

Amatirisme sebagai harapan

Seorang peneliti poskolonial, Edward Said mengatakan bahwa “semakin


tinggi pendidikan seseorang, dia akan semakin dibatasi oleh kawasan ilmu
pengetahuan yang relatif sempit” [3]. Spesialisasi merupakan tekanan
utama dari sebuah profesi yang berujung pada alienasi. Selain itu, Edward
Said juga mengemukakan isu keprofesian lain sebagaimana yang terjadi
dalam konflik arsitek pada kerangka praktisi. Isu tersebut antara lain
profesional yang memiliki batasan ruang gerak dalam birokrasi, setiran dari
kekuasaan terlembaga, dan kebutuhan akan kepakaran yang terlisensi
atau tersertifikasi.

Isu terakhir merupakan jawaban dari hilangnya peran masyarakat dalam


pengolahan kebijakan kota, selain partisipasi formalitas seperti Focus
Group Discussion (FGD) satu arah ataupun sosialisasi. Ketiadaan lisensi
yang legal untuk menentukan kebijakan menempatkan masyarakat sebagai
objek kebijakan dalam pemerintahan. Di sisi lain, anggota masyarakat yang
telah terlisensi akan menjadi perangkat pemerintahan. Keperluan sebuah
kepakaran untuk membuat/terlibat dalam sebuah ‘pengaturan’ merupakan
refleksi bahwa bentuk pemerintahan dari dahulu sampai sekarang
merupakan sebuah kekuasaan terlembaga.
Menurut David Ludden, konfigurasi kekuasaan terlembaga terdiri dari: (1)
kubu penguasa yang mencanangkan kemajuan, (2) masyarakat yang
hidupnya harus ditingkatkan, (3) ideologi ilmu pengetahuan yang
menyediakan prinsip dan teknik untuk melaksanakan kemajuan, dan (4)
tokoh-tokoh yang mendaulat dirinya sebagai pakar dan tercerahkan [4].
Pada konfigurasi tersebut jelas menunjukkan bahwa masyarakat berada di
posisi objek yang menerima perlakuan. Sementara itu arsitek berada pada
lapisan cukup bawah dengan lisensi kepakaran yang dilegalisir oleh
perangkat pemerintahan, mencakup tekanan-tekanan profesi yang
terangkum dalam jalinan birokrasi.

Posisi arsitek dan latar belakang keilmuan yang dilaluinya memiliki potensi
untuk menjadi fasilitator antara pemerintah dan masyarakat, namun ruang
gerak profesi arsitek dalam kerangka birokrasi dibatasi oleh badan hukum
yang memayunginya.

Terhadap konflik-konflik keprofesian tersebut, Edward Said mengajukan


solusi berupa amatirisme. Amatirisme adalah aktivitas yang digerakkan
oleh kepedulian dan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta
spesialisasi yang sempit [3]. Secara pratikal, amatirisme membawa
seorang profesional, dalam konteks ini arsitek, untuk melakukan hal-hal di
luar peran yang telah dikonstruksikan untuknya, sesuai dengan
pemikirannya. Sebagai tambahan, semangat intelektual sebagai seorang
amatir dapat memasuki dan mengubah kerutinan profesional menjadi lebih
hidup dan radikal [3].

Glorifikasi terhadap frasa profesionalisme selama ini menjadikan


amatirisme dimengerti sebagai level awal terhadap sebuah gradasi yang
berpuncak pada profesional. Amatirisme yang dimaksud oleh Edward Said
adalah proses kerja melampaui batas profesi yang dikemudikan oleh
kebenaran yang diimani, atau istilah populernya; keberpihakan. Menjadi
amatir tanpa keberpihakan atau memahami konsep amatirisme sebagai
cara kerja ‘sesuka hati’ semata jelas membawa dampak kesemerawutan
yang malah menghambat progres yang ingin dicapai.

Dalam ruang kota yang sarat dengan konflik kepentingan, ‘keberpihakan’


menjadi motivasi arsitek untuk bergerak diluar apa yang dibentuk legitimasi
terhadap profesinya. Misalnya, pada friksi permukiman Kampung Pulo,
konsep kampung susun yang ikut disusun oleh beberapa arsitek dalam
komunitas Ciliwung Merdeka tidak hanya berhenti pada produk desain,
namun berlanjut pada advokasi, sampai pengembangan komunitas.
Gerakan Ciliwung Merdeka merupakan salah satu bentuk nyata bagaimana
usaha masyarakat membobol birokrasi agar bisa terlibat dalam kebijakan,
juga bagaimana aktivitas arsitektur melampaui peran arsitek yang selama
ini dikonstruksikan.
Contoh kasus lain bisa dilihat pada konflik Revitalisasi Hutan Kota Malabar
di Malang. Arsitek, perencana kota, bersama publik lintas keilmuan yang
bergabung dalam Aliansi Hutan Kota Malabar berusaha menandingi desain
konsultan perencana yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Malang yang
mengalihfungsikan hutan menjadi taman. Proses inisiasi akar rumput ini
serupa dengan usaha Romo Mangun ketika mendampingi penduduk di
permukiman Kali Code. Saat itu, apakah ia hanya menjalani perannya
sebagai arsitek? Atau ketika Eko Prawoto mendampingi pemulihan
Ngibikan pasca gempa, apakah itu termasuk aktivitas profesi arsitektur
seperti yang telah dikerangkakan selama ini?

Beberapa kasus di atas merupakan contoh praktis bagaimana aktivitas


arsitektur digerakan bukan sekedar tuntutan dari profesi, namun, dengan
alasan keberpihakan. Pentingnya memiliki keberpihakan bagi seorang
arsitek (dan profesional secara umum) pernah ditulis oleh Alm. Galih Widjil
Pangarsa; bahwa tujuan keilmuan arsitektur di Indonesia seyogyanya
diletakkan di atas kebijakan menetapkan muatan lokal, global dan
universal dalam perspektif politik kebudayaan dan keilmuan yang tepat dan
berpihak pada kaum lemah [5]. Profesionalisme dibentuk oleh legitimasi,
sehingga ia bukanlah sebuah konsep bebas nilai dan jelas diolah untuk
menguntungkan penyusunnya. Konsep amatirisme memang jauh dari
solusi praktis, namun itu merupakan sebuah langkah awal dalam
menghadapi konflik arsitek dalam profesionalisme. Karena ternyata
pertanyaannya bukan tentang peranan profesi arsitek, namun apa dan
bagaimanakah peranan yang bisa dilakukan seorang yang mempunyai
latar kelimuan arsitektur baik formal maupun informal.

Peran, posisi, profesi, dan potensi arsitek yang bertemu amatirisme saling
berjalin dan membentuk sebuah kesimpulan, bahwa menjalani profesi
arsitek saja tidaklah cukup untuk bersetia pada arsitektur.

[1] Konsultan perencana dalam hal ini berarti badan usaha yang
dipertemukan dalam pekerjaan perancangan, di mana arsitek menjadi
bagian dari personilnya.

Anda mungkin juga menyukai