Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak
selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan
merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2
minggu atau lebih.1
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017
pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini
terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok.1
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC
dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin
bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC
dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.
Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan
kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC seperti yang
diperlihatkan pada gambar berikut ini.1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. I
Usia : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Air Itam, Bukit Intan
Tanggal masuk RS : 24 Agustus 2019

2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Depati Hamzah dengan keluhan demam sudah ± 1
bulan yll. Demam terus menerus, menggigil, disertai nyeri dada di tengah, tidak
hilang dengan istirahat, tidak menjalar, memberat bila batuk sejak ± 1 minggu
yll. Batuk sejak ± 1 bulan yll. disertai dahak berwarna putih kental, sesak nafas
disangkal, keringat malam hari tanpa disertai aktifitas (+), tidak nafsu makan,
penurunan berat badan ± 5kg dalam 1 bulan. Mual (+), muntah (-), sakit kepala
(-), BAK normal, BAB susah ± 3 hari yll. Riw. Merokok (+)

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes melitus tipe II tidak terkontrol sejak ± 3 tahun

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal

2
e. Riwayat Pengobatan
Obat obatan warung

f. Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frek. Nadi : 80x/menit, reguler, kuat
Frek. Pernafasan : 24 x/menit
Tempratur : 38,6oC
Saturasi Oksigen : 98%
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
THT : Sekret (-)
Thorax : Cordis : Iktus cordis tidak tampak, bunyi jantung I-II reguler,
bising (-) gallop (-)
Pulmo : Simetris, Suara Pernafasan : Bronkial (+/+)
Ronkhi basah (+/+) Wheezing (-/-), sonor (+/+)
fremitus kanan dan kiri sama
Abdomen : Simetris, supel, bising usus normal, timpani, hepar & lien
tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema (-/-) turgor kulit normal
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 21.8 (normal)

3
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Leukosit 14.9 10^3/Ul 4.5-14.5
Eritrosit 4.88 10^6/Ul 4.0-5.2
Hemoglobin 13.2 g/dl 11.5-15.5
Hematokrit 35 % 35-45
MCV 73 Fl 80-100
MCH 27 Pg 27-31
MCHC 37 g/dl 32-36
Trombosit 331 10^3/Ul 150-400
RDW-CV 16.7 % 11.5-14.5
GDS 353 mg/Dl <180
Malaria Negatif
Tifoid Negatif
Tabel 2.1 Hasil Laboratorium 24 Agustus 2019

Gambar 2.1 Foto Roentgen Thorax PA (24 Agustus 2019)

4
Gambar 2.2 EKG (24 Agustus 2019)

Gambar 2.3 EKG (24 Agustus 2019)

2.5 Resume
Seorang laki-laki usia 40th datang ke IGD RSUD Depati Hamzah dengan
keluhan demam sudah ± 1 bulan yll. Demam terus menerus, menggigil, disertai
nyeri dada di tengah, rasa seperti ditusuk, tidak menjalar, memberat bila batuk sejak
± 1 minggu yll. Batuk sejak ± 1 bulan yll. disertai dahak berwarna putih kental,
sesak nafas disangkal, keringat malam hari tanpa disertai aktifitas (+), tidak nafsu
makan, penurunan berat badan ± 5kg dalam 1 bulan. Mual (+), BAK normal, BAB
susah ± 3 hari yll. Riw. Merokok (+)

2.6 Diagnosa Kerja


Suspek TB Paru + Riwayat Diabetes Melitus Tipe II

5
2.7 Diagnosis Banding
 Pneumonia
 Malaria
 Demam Tifoid

2.8 Tatalaksana
 IVFD RL 30gtt/menit makro
 Injeksi ceftriaxon 2gr/24jam IV
 Injeksi ranitidine 50mg/12jam IV a.c
 Injeksi ondansetron 4mg/8jam IV k/p mual
 Paracetamol tablet 500mg 3x1tablet PO k/p demam
 Rawat ruang isolasi khusus pasien TB
 Cek sputum gene expert besok pagi di ruangan
 Konsul ke dokter Spesialis Paru
 Konsul ke dokter Spesialis Penyakit Dalam

2.9 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

6
2.10 Follow Up

Pemeriksaan 25/08/2019
Terapi
Pukul : 08.00 WIB
S : Batuk (+), nyeri dada kiri rasa seperti ditusuk,  IVFD RL 20gtt/i makro
tidak menjalar. Sejak 5 jam yang lalu, lidah terasa  Injeksi ceftriaxone 1x2gr IV
pahit, nafsu makan menurun, badan terasa  Injeksi ranitidine
menggigil 50mg/12jam IV a.c
O : KU : Tampak sakit sedang  Injeksi ondansetron
Kes : Compos mentis 4mg/8jam IV k/p mual
TD : 140/80 mmHg  Paracetamol tablet 3x500mg
Nadi : 80x/i, reguler PO k/p demam
RR : 18x/i, reguler
Temp : 37oC
Pulmo : simetris, retraksi (-), bronkial +/+,
ronki +/+, wheezing -/-
A : TB Paru + DM Tipe II

2.4 EKG (25 Agustus 2019)

2.5 EKG (25 Agustus 2019)

7
Pemeriksaan 26/08/2019
Terapi
Pukul : 08.00 WIB
S : Batuk (+), nyeri dada (-)  IVFD RL 20gtt/i makro
O : KU : Tampak sakit sedang  Cefixime capsul 2x200mg PO
Kes : Compos mentis  Ambroxol tablet 3x1 PO
GCS : E4V5M6  Metformin 3x500mg PO
TD : 120/70 mmHg  Glimepirid 1mg 1-0-0
Nadi : 100x/i, reguler  Cek anti HIV (menolak)
RR : 20x/i, reguler  Cek sputum gene expert
Temp : 37 oC
Pulmo : simetris, retraksi (-), bronkial
+/+, ronki +/+, wheezing -/-
GDS : 232mg/dl
Gene Expert : MTB Detected High
Rifampicin Resistance Not Detected
Sampel : Dahak
A : TB Paru + DM Tipe II

8
Pemeriksaan 27/08/2019
Terapi
Pukul : 08.00 WIB
S : Nyeri dada kiri, sesak (-)  Pulang berobat jalan
O : KU : Tampak sakit sedang  4FDC 1 x 4 tablet PO
Kes : Composmentis  Cefixime capsul 2x200mg PO
TD : 117/72 mmHg  Metformin tablet 3x500mg PO
Nadi : 98x/i, reguler  Glimepirid tablet 1mg 1-0-0 PO
RR : 20x/i, reguler  Edukasi : berobat jalan dan
Temp : 36,4 oC kontrol kembali ke poli paru
SpO2 : 96% RSUD 2 bulan lagi, makan
Pulmo : simetris, retraksi (-), bronkial makanan bergizi, minum obat
+/+, ronki +/+, wheezing -/- secara teratur, dan pakai masker
GDS : 161 mg/dl selama pengobatan
A : TB Paru + DM Tipe II

2.6 EKG (27 Agustus 2019)

2.7 EKG (27 Agustus 2019)

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Defenisi TB Paru


Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC.1

3.2 Prevalensi TB Paru


3.2.1 Prevalensi Secara Global
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC
(CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk.
Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China,
Philipina, dan Pakistan seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.1 Estimasi Jumlah Kasus TBC

10
Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di
Kawasan Asia Tenggara (45%)—dimana Indonesia merupakan salah satu di
dalamnya—dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika.

Gambar 3.2 Estimasi Insidens TBC menurut Regional


Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban
tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu
TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam
daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau
keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara
lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya
Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.

Gambar 3.3 Negara-negara dengan Beban Tinggi Berdasarkan TB, TB/HIV, dan
Menurut WHO Tahun 2016-2020

11
3.2.2 Prevalensi Di Indonesia
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada
tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus
baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi
pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga
yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi karena laki-laki lebih
terpapar pada fakto risiko TBC misalnya bebas dan merokok obat. Survei ini
menemukan itu dari seluruh peserta laki-laki yang merokok sebanyak 68,5%
dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.
Penemuan kasus TB di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada
Tahun 2017 adalah 2.277 kasus (CDR 31,77%). Penemuan kasus tertinggi
terdapat di Kabupaten Bangka sebesar 785 kasus (CDR 63,40%).

Gambar 3.4 Prevalensi TB di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017

12
Gambar 3.5 Jumlah Kasus Baru TBC di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin,
Tahun 2017

Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,


prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per
100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif
sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan
durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.
Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang
menggambarkan kemampuan social ekonomi) semakin rendah prevalensi
TBC seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut ini.

Gambar 3.6 Prevalensi TBC menurut Karakteristik Umur, Pendidikan, dan Sosial
Ekonomi

13
Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi
semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC
menurut kuintil indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara
kelompok terbawah sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi
pada kelompok teratas. Hal ini berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir
semua tingkatan social ekonomi.

3.3 Klasifikasi TB Paru

3.3.1 Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa2

14
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
• Infeksi sekunder • Infeksi jamur • TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan)

15
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
akan lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan
ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik2.

3.3.2 Tuberkulosis Ekstra Paru


Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi,
atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya
dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus
penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit,
yaitu :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

16
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing
dan alat kelamin.
Catatan :
 Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.
Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar paru.
 Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat
sebagai penderita TB paru.
 Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.2

3.4 Patogenesa
3.4.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)

17
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
 Meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis
primer.1

18
3.4.2 Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah
satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan
keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya
jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,

19
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).1

Gambar 3.7 Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

3.5 Patologi
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses
patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru,
terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman
M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh
di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi.
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit
mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit.

20
Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan.
Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya
bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut
berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada
ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian
sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan
sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma).
Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma,
kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut
perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba
berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah
mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi
peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan
perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin
Liesegang. Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma
membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu
sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease
dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma
mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit.
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi
terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.

21
3.6 Gejala TB Paru
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan
merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama
2 minggu atau lebih.1

3.7 Diagnosis TB Paru


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya

3.7.1 Gejala klinik


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.

22
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat
gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.2
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun

3.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abscess”

23
Gambar 3.8 Infeksi TB

3.7.3 Pemeriksaan Bakteriologik


a. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan
kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali,
setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

3.7.4 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran

24
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotik
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :


 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru.
Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari

25
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak
dijumpai kaviti
 Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

3.7.5 Pemeriksaan Penunjang


Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang
dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah
cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam
pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis


sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan
sesuai standar.

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB ?
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan
organ yang terlibat.

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

26
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi
menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di
dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan
mudah1.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi1.
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji

27
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran1.

Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,


para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi1.

Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan


untuk diagnosis1.

3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis1.

4. Pemeriksaan Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah1.

5. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi
paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus

28
(BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra
paru1.

Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi


pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa
granuloma dengan perkejuan1.

6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.1

7. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan
satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar
sekali atau bula.1

29
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi
positif jika diulang 1 bulan kemudian.1

Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya


menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi
peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi
atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).1

3.8 Pengobatan TB
Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel
dibawah ini:

Tabel 3.1 Pengelompokan OAT

30
Tabel 3.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

3.8.1 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua
kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR

31
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1,
yaitu pirazinamid and etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:


1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

32
3.8.2 Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

Tabel 3.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 3.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

33
Tabel 3.5 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 3.6 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

34
Tabel 3.6 Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 3.7 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lini kedua.4

3.9 Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.

35
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :


- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir.

36
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain.

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-
tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping

37
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.

Efek samping Kemungkinan Tatalaksana


Penyebab
Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Obat diminum malam sebelum
perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1
kaki x 100 mg perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
diberi apa-apa

Mayor Hentikan obat


Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo Streptomisin Streptomisin dihentikan
dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai
(penyebab lain disingkirkan) ikterik menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan confusion (suspected Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
drug-induced pre-icteric hepatitis) lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik, termasuk syok Rifampisin Hentikan rifampisin
dan purpura
Tabel 3.8 Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

3.10 Pengobatan Suportif / Simpatomatik

38
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain
OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat

3.11 Terapi Pembedahan


lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak

39
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
- Bronkoskopi
- Punksi pleura
- Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

3.12 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

3.12.1 Evaluasi klinik


- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

3.12.2 Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
- Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

40
 Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
3.12.3 Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan

3.12.4 Evaluasi efek samping secara klinik


 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
 Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
 Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
 Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)
 Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri (bila ada keluhan)
 Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

3.12.5 Evalusi keteraturan berobat


- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting

41
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan
berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien,
keluarga dan lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

3.12.6 Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

42
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak
selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali
lebih tinggi dibandingkan pada perempuan.
Perlu adanya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah terkait penyakit TB
Paru untuk diadakan pentingnya penyuluhan berupa gejala, tanda, pengobatan,
pencegahan dan pengawas minum obat mengenai penyakit TB Paru demi
menurunkan angka kesakitan pasien dan juga mencegah pasien yang terkena TB
Paru menjadi resisten terhadap OAT khususnya di Indonesia.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodat
in%20tuberkulosis%202018.pdf
2. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf
3. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf
4. http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-
Penanggulangan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf
5. http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2
017/09_Babel_2017.pdf
6. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf

44

Anda mungkin juga menyukai