Anda di halaman 1dari 7

VI.

MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008) pasien


dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah perkembangan gejala-gejala yang
merupakan ciri dari PPOK yaitu : malfungsi kronis pada system pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batukbatuk dan produksi dahak khususnya
yang muncul di pagi hari. Napas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas
pendek akut.

VII. ETIOLOGI PENYAKIT

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik


(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah :
1) Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap dangas-gas kimiawi.
2) Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3) Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asmaorang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4) Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walau pun tidak merokok.

VIII. PATOFISIOLOGI PENYAKIT


Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.
Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan
silia ini mengganggu sistem escalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
(Jackson, 2014). Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara
kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley, 2011).

IX. MANAGEMENT TERAPI (Secara Umum)


a. Terapi Non-Farmakologi
Terapi nonfarmakalogi yang dapat diberikan pada kasus PPOK adalah
anjuran untuk berhenti merokok. Merokok berpengaruh terhadap
perkembangan PPOK, karena merokok dapat mengganggu fungsi pulmoner.
Perilaku merokok selama memasuki masa usia remaja dapat menghambat
fungsi ekspansi paru yang normal dan forced expiratory volume (FEV) pada
menit pertama. Perilaku merokok dengan bertambahnya usia mampu
mempengaruhi FEV menit pertama serta FEV menit 1 dari paru setiap
tahunnya pada usia dewasa (Jimenez-Ruiz et al, 2015).
Rehabilitasi Pulmoner yang umumnya dilaksanakan pada kasus PPOK
adalah breathing control exercise dan respiratory muscle training.
Rehabilitasi pulmoner baik breathing control exercise dan respiratory muscle
training berbeda pada pendekatan terapeutik, fokus serta tujuan dalam
mengurangi kesulitan bernapas pada kasus PPOK. Rehabilitasi pulmoner pada
pasien dengan PPOK mampu mengurangi penurunan kemampuan serta
memperbaiki ketahanan otot akibat disfungsi otot yang disebabkan oleh
hiperinflasi paru pasien PPOK.(Borge, 2014)
Breathing Control Exercise (BCE) terdiri dari diaphragmatic
breathing (DB), pursed-lips breathing (PLB), relaxation techniques (RT), dan
body position exercise (BPE). Manfaat dari breathing exercise adalah:
menurunkan usaha bernapas dan membantu relaksasi melalui teknik napas
dalam, sehingga memperbaiki pola napas melalui penurunan frekwensi
bernapas serta mengurangi kesulitan bernapas. Respiratory Muscle Training
(RMT) terdiri dari Expiratory Muscle Training (EMT) dan Inspiratory Muscle
Training (IMT). Expiratory Muscle Training (EMT) umumnya dilakukan
secara bersamaan dengan breathing exercise lainnya. Manfaat dari IMT untuk
memperbaiki kelemahan otot pernapasan, mengurangi kelelahan ekstremitas
bawah serta memper-baiki aliran darah seluruh tubuh (Basso-Vanelli et al,
2016).
Malnutrisi pada pasien PPOK berhubungan dengan cachexia,
sarcopenia, penurunan berat badan yang dapat menyebabkan perburukan
fungsi paru, penurunan kapasitas latihan, serta peningkatan resiko eksaserbasi
(Hsieh, et al, 2016). Asupan nutrisi yang adekuat bagi pasien PPOK
diharapkan mampu meningkatkan berat badan dan kekuatan otot serta kualitas
hidup bagi pasien PPOK yang mengalami malnutrisi. Malnutrisi dapat terjadi
pada pasien PPOK karena: kurangnya energi akibat penurunan asupan nutrisi
karena hilangnya selera makan yang berhubungan dengan keterbatasan
aktivitas fisik secara umum, atau serangan sesak saat makan berkontribusi
terhadap malnutrisi; meningkatnya kebutuhan energi akibat peningkatan usaha
bernapas yang berkontribusi terhadap mal-nutrisi; faktor inflamasi ternyata
juga berkontribusi terhadap kehilangan berat badan (Rawal & Yadav, 2015).
b. Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan farmakoterapi pada PPOK antara lain: bronkodilator
golongan beta-2 agonis atau anti-kolinergik; teofilin yang berfungsi
meningkatkan faal paru serta mengurangi keletihan; kortikosteroid serta
antibiotika diberikan apabila mengalami infeksi (Rab, 2010). Pemberian
farmakoterapi pada kasus PPOK bermanfaat untuk: mengu-rangi gejala klinis,
memperbaiki faal paru, mengurangi frekuensi dan lamanya eksaserbasi serta
memper-baiki kualitas hidup, namun tidaklah menyembuhkan penyakit karena
bronkokonstriksi yang terjadi pada PPOK bersifat ireversibel.

X. ANALISIS KASUS MENGGUNAKAN SOAP


 Subjektif :
Nama : Tn. TJ
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Keluhan :
Sesak nafas setiap hari dan latihan kapasitasyang menurun (misalnya, ia
menjadi kehabisan napas setelah berjalan beberapa blok).
(+) Sesak nafas dengan batuk non produktif kronis;
(+)kelelahan;
(+) intoleransi aktivitas fisik

Riwayat penyakit dahulu


 COPD selama 12 tahun
 GERD selama 5 tahun
 HTN selama 20 tahun
 CAD (Miokard Infark 5 tahun yang lalu)
Riwayat obat :
 Metoprolol tartrat 50 mg po BID
 Salmeterol inhaler 1 puff (50 mcg) BID
 Tiotropium 1 puff(18 mcg) terhirup sekali sehari
 Lisinopril 20 mg po satu kali sehari
 Esomeprazole 20 mg po satu kali sehari
 Albuterol MDI 1-2 puff tiap 6 jam PRN
 Aspirin 81 mg po satu kali sehari

 Objektif:
BB = 95 kg
RR= 26x/menit (normal 12-20x/menit)

 Assement : dari data subjektif dan objektif yang kami lihat pasien
menderita penyakit COPD (chronic obstructive pulmonary disease).

 Planning :
 Menambah dosis bronkodilator dari 1x sehari menjadi 2xsehari 2
semprot (sekali semprot 25 mcg)
 Menggunakan oksigen bila beraktivitas dan selama tidur
 Menghentikan penggunaan steroid setelah 14 hari
 Mengubah gaya hidup
 Menghentikan penggunaan metoprolol karena metoprolol mengurangi
efek salmeterol oleh antagonis farmakodinamik.
 Dilanjutkan terapi COPD Tiotropium, Albuterol karena dilihat dari
tingkat kekambuhannya sering.
 Dihentikan penggunaan prednison karena tidak masuk rekomendasi
dalam terapi.
X. TABEL DRP
NO DRP KET SOLUSI
1.
Ada obat tidak ada ADA Esomeprazole (Karena tidak ada keluhan
indikasi dan tanda-tanda penyakit gerd).

2. TDK
Ada indikasi tidak ada ADA
obat

3.
Metoprolol + salmeterol
Interaksi obat Metoprolol + albuterol
Aspirin + metoprolol
Lisinopril + aspirin (metoprolol dan
lisinopril disarankan untuk
dihentikan karena banyak
berinteraksi dengan obat COPD.
Jadi kami menyarankan
menggantinya dengan obat gol
CCB amlodipin 10 mg PO ON)

4.
Under dose TDK -
ADA
5. Over dose TDK
ADA
6. ADA
Pemilihan obat yang tdk Aspirin (karena pasien tidak ada keluhan
tepat nyeri)

7. Gagal terapi TDK _


ADA

Anda mungkin juga menyukai