Yang diartikan
Yang diartikan
Tanda linguistic referen
[bunyi]
Yang ditandai
Yang mengartikan
(ekstralingual)
Yang menandai
(intralingual)
Dengan demikian, kata-kata yang memiliki referen disebut sebagai kata yang
bermakna referensial, sedangkan yang tidak memiliki referen disebut sebagai
kata yang tidak bermakna referensial.
Bagaimana dengan referen kata kaki dalam kaki gunung dan kaki meja?
Menurut Verhaar (dalam Chaer, 2013:33) referen kata kaki tetap sebagai
anggota tubuh manusia dan bukan pada sesuatu yang lain seperti pada gunung
atau meja. Pada bentuk kaki gunung dan kaki meja, kata kaki digunakan untuk
merujuk pada sesuatu yang lain secara metaforis, secara perbandingan. Di sini,
salah satu ciri makna kaki, yaitu yang terletak di bawah dan penopang
berdirinya tubuh. Pada kaki gunung, salah satu ciri makna kaki dibandingkan
dengan bagian bawah dari gunung itu. Pada bentuk kaki meja, salah satu ciri
makna kaki yaitu penopang berdirinya meja itu.
Jadi, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap
atau berubah itu adalah karena digunakannya kata itu secara metaforis.
Informasi
Pada dasarnya, antara makna dan informasi merupakan dua hal yang berbeda.
Menurut Chaer (2013:34), makna adalah gejala dalam ujaran (utterance-
internal phenomenon) sedangkan informasi adalah gejala luar ujaran
(utterance-external phenomenon), misalnya, kata ayah dan bapak memiliki
informasi yang sama, yakni ‘orang tua laki-laki’ tetapi makanya berbeda
karena memiliki bentuk yang berbeda. Misalnya, pada kata ayah sakit, kata
ayah dapat kita ganti dengan kata bapak, sehingga menjadi bapak sakit. Tapi,
dalam frase Bapak Presiden yang terhormat, tidak dapat diganti dengan Ayah
Presiden yang terhormat.
Maksud
Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya bedanya
kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar-ujaran dilihat dari segi
objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan maksud dilihat dari segi si
pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini, ketika orang
mengatakan sesuatu berupa kalimat maupun frase, tapi yang dimaksudkan
tidak sama dengan makna lahiriah itu sendiri.
Misalnya, ketika orang tua kesal melihat anaknya yang sering pulang telat,
mungkin akan bilang Kok tidak pulang pagi saja?
Kalimat tersebut sebenarnya memiliki kesejajaran semantis Kok tidak pulang
dari tadi? Jadi, dalam kalimat tersebut terdapat sebuah imbauan, teguran dari
si orang tua tersebut.
Dalam hal ini ada tiga pandangan filosofis yang berbeda tentang hubungan makna
dengan dunia luar, yaitu:
1. Realisme, beranggapan bahwa manusia selalu memiliki jalan pikiran tersendiri
terhadap dunia luar dan manusia selalu memberi gagasan tertentu terhadap
dunia luar sehingga antara makna dan wujud dimaknai memiliki hubungan
yang erat.
Makna suatu kata, acuan dapat berpindah-pindah. Missal, pada kata ‘mendung’
dapat diacukan pada benda, juga dapat diacukan ke dalam ‘suasana sedih’.
2. Konseptualis, beranggapan bahwa makna dan kata dapat dilepaskan dari dunia
luar karena pemakaian sepenuhnya ditentukan oleh adanya asosiasi (gambaran
dalam angan-angan) dan konseptualisasi pemakainya.
Misalnya, seseorang yang haus mendengar kata minum, pasti dia bukan terus
tidur atau berlari. Dalam asosiasi kesadarannya, pasti hadir tanggapan dunia
luar yang secara selaras memeliki hubungan dengan “air yang dapat diminum”.
3. Nominalis, beranggapan bahwa makna dan kata dengan dunia semata-mata
bersifat arbitrer. Meskipun demikian penentuan hubungan oleh para penutur
harus dilatari oleh adanya konvensi. Dari adanya fungsi simbolik bahasa yang
tidak lagi iikat oleh dunia yang diacu itulah, bahasa akhirnya lebih membuka
peluang untuk dijadikan media memahami realitas.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1985. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Malang: Sinar
Baru Algesindo.
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.