Anda di halaman 1dari 41

PORTOFOLIO KASUS

HT Emergency + Sindrom Koroner Akut

Pembimbing:
dr. Musa Ghufron,MMR
dr. Desy Yudha R

Disusun oleh :
Winno Pradana

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS MUHAMMADIYAH GRESIK
2019
BAB I
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
Identitas Penderita
Nama penderita : Tn.K
Umur : 63 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Gresik
Jenis kelamin : Laki Laki
Bangsal : ICU

2. ANAMNESIS
2.1. Keluhan utama : Nyeri Dada
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
a) Lokasi : Dada
b) Onset : 1 Hari
c) Kuantitas : Dirasakan terus menerus
d) Kualitas : Seperti Ditekan
e) Faktor perberat : Aktivitas
f) Faktor peringan : Istirahat
g) Kronologi : Pasien datang pada tanggal 7 April 2019 pukul 22.20 WIB,
datang ke igd dengan keluhan nyeri dada sejak sore, nyeri dada dirasakan
speerti ditekan dan terasa panas, tidak menjalar, pasien tidak sedang
melakukan kegiatan saat nyeri dada, dirasakan terus menerus sejak tadi sore
sampai sekarang. Keluhan lain (-)
Karena kondisi pasien akhirnya pasien memutuskan untuk berobat ke
RSMG

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Jantung : Disangkal
Asma : Disangkal
Alergi : Disangkal
Operasi : Disangkal
Hipertensi : (+)
DM : Disangkal
2.4. Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi : Disangkal
DM : Disangkal
Jantung : Disangkal
Asma : Disangkal
Alergi : Disangkal

2.5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sehari hari tinggal bersama keluarga, pengobatan menggunakan asuransi
kesehatan

2. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 7 April 2019 di ICU

Status Present
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 63 tahun
BB : 65 kg
o Tanda Vital
Tekanan darah : 167/89 -> Sebelumnya saat masuk IGD TD 206/104
Nadi : 62x
Suhu : 37,2ºC (aksila)
Frekuensi Nafas : 18 x / menit

o Pemeriksaan Fisik
 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak lemah
Kesadaran : Komposmentis.
Kepala : Normocephale (+)
Rambut : Hitam kemerahan , tidak mudah dicabut.
Mata : Conjutiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia (+), secret (-/-). Gangguan pendengaran (-)
Hidung : Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-) septum deviasi (-)
Mulut : sianosis (-/-) stomatitis (-/-)
Thorax : Simetris, retraksi suprasternal (-) intercostal (-) subcostal (-)
Paru-paru
o Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis.
o Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-/-), masa (-/-)
jejas (-/-)
o Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru, dan redup jantung
o Auskultasi : Suara dasar : vesikuler
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi (+/+)
Jantung
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : Iktus kordis teraba, tidak kuat angkat, tidak melebar.
o Perkusi : Redup, tidak ada pelebaran batas jantung
o Auskultasi : Reguler, Bunyi jantung I-II reguler , gallop (-), bising (-)
Abdomen
o Inspeksi : Datar, sikatrik (-) tanda inflamasi (-)
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) hipokondriaka sinistra, turgor kulit
kembali cepat (+), massa (-) , hepar normal dan lien normal
o Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
o Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Extremitas :
Pemeriksaan Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill <2” <2”
Sianosis -/- -/-

3. Assessment
1. HT Emergency
2. Sindrom Koroner Akut
-UAP
-NSTEMI
-STEMI

4. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah rutin
7 April 2019
Parameters Result Normal range
10.2 4,0- 10.0
Wbc

4.89 3,00-6,00
RBC
13.4 12,00-16,00
HGB
41.2 35,0-45,0
HCT
84.4 81,0-101,0
MCV
32.5 31,0-35,0
MCHC
206 150-400
PLT
0.95 0.6-1.3
Kreatinin
17.5 10-20
Ureum
12 5-35
SGOT
21 5-35
SGPT
119 70-125
GDA
Negatif Negatif
Troponin
Kualitatif

EKG

7 April 2019

8 April 2019
9 April 2019
X Foto Thorax
5. INITIAL PLAN
1. Initial plan Diagnosis :
 Echocardiography
 Angiography

2. Initial plan Therapy


O2 Kanul 4 lpm
PZ 7 tpm
Inj Ranitidin 2x1
Inj Arixtra 1x2.5 cc/sc
Pump ISDN 1mg/jam
ASA 1x1 tab
CPG 1x1 tab
Atorvastatin 1x40mg
Alprazolam 1x0.5mg
Canderin 1x8mg
3. Initial plan Monitoring :
- Mengamati keadaan umum dan tanda vital
4. Initial plan Edukasi :
 Mengedukasi dan menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien

Follow up :
8 April 2019
Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri dada Ku : Lemah HT Tx Lanjut


sudah TD = 152/62 Emergency +
berkurang N =52x/menit SKA
S = 36.5
RR = 18x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/-
Jantung : S1-2 Reguler
Paru : SDV +/+, RH -/-, WH
-/-
Abdomen : BU (+) Normal,
NT (-)
Eksremitas : dbn
9 April 2019

Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri dada (-), Sesak Ku : Cukup HT -Pindah Ruangan Dewasa


(-) TD = 129/84 Emergency + Umum
N =61x/menit SKA -Stop Pump ISDN
S = 36,5
RR = 20x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/-
Jantung : S1-2
Reguler
Paru : SDV +/+, RH -
/-, WH -/-
Abdomen : BU (+)
Normal, NT (-)
Eksremitas : dbn

10 April 2019

Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri dada (-), Sesak Ku : Cukup HT -Furosemid 1x1 amp


(-) TD = 127/88 Emergency + -Tx Lainnya lanjut
N =58x/menit SKA
S = 36,5
RR = 18x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/-
Jantung : S1-2
Reguler
Paru : SDV +/+, RH -
/-, WH -/-
Abdomen : BU (+)
Normal, NT (-)
Eksremitas : dbn
11 April 2019

Subyektif Obyektif Assesment Planning

Nyeri dada (-), Sesak Ku : Cukup HT Pasien diperbolehkan


(-) TD = 119/80 Emergency + pulang
N =58x/menit SKA
S = 36,5
RR = 18x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/-
Jantung : S1-2
Reguler
Paru : SDV +/+, RH -
/-, WH -/-
Abdomen : BU (+)
Normal, NT (-)
Eksremitas : dbn
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi Emergensi

Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau

diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan target organ yang bersifat progresif.

Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin (dalam menit sampai jam) agar

dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi dengan memberikan obat-

obatan anti hipertensi intravena (Devicaesaria,dkk.,2014). Kerusakan target organ akut yaitu

ensefalopati, perdarahan intraserebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru,

unstable angina, diseksi aneurisme aorta, infark miokard akut, eklampsia, anemia hemolitik

mikroangiopati atau insufisiensi renal (Herlianita,2010). Keterlambatan pengobatan akan

menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. Penderita perlu dirawat di ruangan Intensive

Care Unit (ICU).

2.2 Etiologi Hipertensi Emergensi

Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi kondisi

peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target

yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada hipertensi emergensi ini

adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi ensefalopati, infark cerebral,

perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem kardiovaskular yang dapat

mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta;

dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut, retinopati, eklampsia, dan anemia hemolitik

mikroangiopatik.

2.3 Patofisiologi
Kegagalan autoregulasi normal dan kenaikan resistensi vaskuler sistemik tiba-tiba

biasanya awal dalam proses penyakit. Peningkatan resitensi vaskuler sistemik diperkirakan

terjadi dari pelepasan vasokonstriktor humoral dari dinding pembuluh darah yang mengalami

stres. Ketika tekanan meningkat dalam pembuluh darah akan memicu siklus kerusakan endotel

mulai dari aktivasi lokal faktor pembekuan intravaskular, nekrosis fibrinoid pembuluh darah

kecil, dan pelepasan lebih banyak vasokonstriktor. Jika proses ini tidak berhenti, siklus dari

cedera vaskular lebih lanjut, iskemia jaringan, dan disfungsi autoregulatori terjadi kemudian

(Herlianita,2010).

Presentasi klinis yang paling umum adalah hipertensi darurat infark cerebral (24,5%),

edema paru (22,5%), ensefalopati hipertensi (16,3%), dan gagal jantung kongestif (12%).

Kurang presentasi umum meliputi pendarahan intrakranial, diseksi aorta, dan eklampsia

(Herlianita,2010).
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi (Devicaesaria,dkk.,2014).

Terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat akibat peningkatan resistensi vaskuler

sistemik salah satu kemungkinan faktor yang mencetuskan hipertensi emergensi. Dalam

homeostasis tekanan darah, endotelium merupakan aktor utama dalam mengatur tekanan darah.

Dengan mengeluarkan nitric oxide dan prostacyclin yang dapat memodulasi tekanan vaskuler.

Disamping itu peran renin – angiotensin sistem juga sangat berpengaruh dalam terjadinya

hipertensi emergensi.

Saat tekanan darah meningkat dan menetap dalam waktu yang lama, respon vasodilatasi

endotelial akan berkurang, yang akan memperparah peningkatan tekanan darah. Keadaan ini

akan berujung pada disfungsi endotel dan peningkatan resistensi vaskuler yang menetap.

2.4 Manifestasi Klinis Hipertensi Emergensi

Gambaran klinis hipertensi emergensi umumnya adalah gejala organ target yang

terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung dan diseksi aorta;

mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi

pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri

tengkuk pada kenaikan tekanan darah umumnya.

Tekanan Funduskopi Status Jantung Ginjal Gastrointestinal


Darah Neurologi
>220/140 Perdarahan, Sakit Kepala, Denyut jelas, Uremia, Mual, Muntah
mmHg Eksudat, Kacau, Membesar, Proteinuria
Edema papilla Gangguan Dekompensasi,
Kesadaran, Oliguria
Kejang,
Lateralisasi
Tabel 2. Gambaran Klinik Hipertensi Emergensi (Roesma,dkk.2009).
Gambar 2. Papiledema, Adanya Pembengkakan dari
Optik Disc dengan Margin Kabur (Devicaesaria,dkk.,2014).

2.5 Diagnosis Hipertensi Emergensi

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi harus dapat dilakukan dengan cepat

dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis

tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum,

kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat

penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-

tanda defisit neurologis harus diperiksa seperti sakit kepala, penurunan kesadaran, hemiparesis

dan kejang (Devicaesaria,dkk.,2014).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan

urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien

dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung
kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah

bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (Devicaesaria,dkk.,2014):

Gambar 3. Alur Pendekatan Diagnostik pada Pasien Hipertensi (Devicaesaria,dkk.,2014).

2.5.1 Anamnesis

Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan

(Tanto,dkk.,2014) :

a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.


b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

c. Usia, sering pada usia 30 – 70 tahun.

d. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).

e. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang )

f. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri

dada ).

g. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

h. Riwayat kehamilan : tanda- tanda eklampsi.

2.5.2 Pemeriksaan fisik

Tekanan darah harus dievaluasi pada kedua lengan dengan ukuran manset yang tepat.

Pemeriksaan fisik juga harus bertujuan untuk menentukan atau menjelaskan disfungsi target

organ. Fokus pemeriksaan nerologis untuk menilai perubahan status mental dan defisit

neurologis fokal juga harus dilakukan. Perubahan status mental dengan pemeriksaan

funduskopi yang menunjukkan adanya eksudat, perdarahan atau papiledema yang mengarah

pada ensefalopati hipertensi (Marik PE,2007). Pemeriksaan kardiovaskuler harus terfokus pada

adanya gallop (S3 dan S4) dan murmur patologis (seperti regurgitasi aorta). Pulsasi vena

jugularis yang meningkat dan ronki pada lapang paru menunjukkan adanya edema pulmonal

dan dekompensasi gagal jantung kongestif. Nadi distal harus dipalpasi pada semua ekstremitas,

dan nadi yang tidak sama seharusnya menimbulkan kecurigaan untuk terjadinya diseksi aorta.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Elektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertropi ventrikel kiri, aritmia, iskemia

akut atau infark. Urinalisis harus dilakukan untuk menilai hematuria dan proteinuria. Profil
basal metabolik termasuk nitrogen urea dan serum kreatinin darah penting untuk menilai

disfungsi ginjal. Biomarker jantung juga harus diperiksa jika dicurigai ACS (Acute Coronary

Syndrome).

2. Pemeriksaan Radiografik

Pasien yang datang dengan perubahan status mental atau defisit neurologis fokal harus

melewati pemeriksaan Computed Tomography (CT) otak untuk menilai adanya perdarahan

atau infark. X-Ray dada sering dilakukan untuk menilai adanya edema pulmonal. Jika dicurigai

adanya diseksi aorta (berdasarkan riwayat nyeri dada, nadi yang tidak sama dan/atau pelebaran

mediastinum pada X-Ray dada), pencitraan aorta (CT angiogram/ magnetic resonance

imaging/ transesophageal echocardiogram) harus dilakukan sesegera mungkin.

2.6 Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi

Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah

secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.

Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang ketat

terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan atau

munculnya masalah baru.

Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat,

mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara yang

dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung kepada sikap

tubuh dan efek samping minimal.

Penurunan tekanan darah harus dilakukan dengan segera namun tidak terburu-buru.

Penurunan tekanan darah yang terburu-buru dapat menyebabkan iskemik pada otak dan

ginjal.

Target terapi hipertensi emergensi ialah Mean Arterial Pressure (MAP) <25% semula
dalam waktu kurang dari 1 jam dengan menggunakan agen parenteral. Dalam 2 - 6 jam

setelah stabil, turunkan tekanan darah diastolik hingga mencapai 160/100-110 mmHg. Jika

masih tetap stabil, turunkan tekanan darah hingga sesuai target dalam 24 – 48 jam. Khusus

pada diseksi aorta tanpa syok, target tekanan darah sistolik 120 mmHg harus dicapai dalam

20 menit. (Tanto,2014).

Pilihan untuk obat antihipertensi sering berdasarkan disfungsi target organ,

availabilitas, dan kemudahan pemakaian, kebiasaan suatu institusi dan selera dari dokter

itu sendiri. Medikasi yang diberikan sebaiknya per parenteral (Infus drip, bukan injeksi).

Obat yang cukup sering digunakan adalah Nitroprusid IV dengan dosis 0,25 µg/kg/menit.

Parameter Hipertensi Mendesak Hipertensi Darurat

Biasa Mendesak
Tekanan > 180/110 > 180/110 > 220/140
darah
(mmHg)
Gejala Sakit kepala, Sakit kepala hebat, Sesak napas, nyeri dada,
kecemasan; sering sesak napas kacau, gangguan kesadaran
kali tanpa gejala
Pemeriksaan Tidak ada Kerusakan organ Ensefalopati, edema paru,
Fisik kerusakan organ target; muncul klinis gangguan fungsi ginjal,
target, tidak ada penyakit CVA, iskemia jantung
penyakit kardiovaskuler, stabil
kardiovaskular
Terapi Awasi 1-3 jam; Awasi 3-6 jam; obat Pasang jalur IV, periksa
memulai/teruskan oral berjangka kerja laboratorium standar, terapi
obat oral, naikkan pendek obat IV
dosis

Rencana Periksa ulang Periksa ulang dalam Rawat ruangan/ICU


dalam 3 hari 24 jam

Tabel 3. Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi (Roesma,dkk.2009).


Untuk hipertensi emergensi lebih dianjurkan untuk pemakaian parenteral, daftar obat

hipertensi parenteral yang dapat dipakai dapat dilihat pada tabel 4.

Obat Dosis Onset Lama Efek Samping Perhatian


Kerja Kerja Khusus
Vasodilator
Sodium 0,25-10 µg langsun 1-2 Mual, muntah, kedut Hipertensi
Nitroprusside / kg / menit g menit otot, berkeringat, darurat; hati-
infus IV intoksikasi thiocynate hati dengan
dan sianida. tekanan
intrakranial
yang tinggi
atau azotemia.

Nitrogliserin 5-100 2-5 5-10 Sakit kepala, muntah, Iskemia


µg/menit menit menit methemoglobinemia, Koroner
sebagai toleransi dengan
infus IV penggunaan jangka
panjang
Nicardipine 5-15 mg / 5-10 15-30 Takikardi, sakit Hipertensi
Hidroklorida jam IV menit menit, kepala, phlebitis lokal darurat kecuali
melebihi gagal jantung
4 jam akut ; hati-hati
dengan iskemia
koroner
Fenoldopam 0,1 – 0,3 <5 30 menit Takikardi, sakit Hipertensi
Mesylate µg/kg menit kepala, mual,flushing darurat ; hati-
permenit hati dengan
infus IV glaukoma
1,25 – 5 mg 15 – 30 6-12 jam Penurunan drastis Gagal
Enalaprilat setiap 6 menit tekanan renin Ventrikel Kiri
jam IV tinggi;variable respon Akut; Hindari
pada infark
miokard akut
Hidralazine -10-20 mg -10-20 -1-4 jam Takikardi, Sakit Eklampsia
Hidroklorida IV menit IV IV Kepala, Muntah
-10-40 mg -20-30 -4-6 jam
IM menit IM
IM
Adrenergic Inhibitor
Labelatol -20-80 mg 5-10 3-6 jam Muntah,bronkokonstri Hipertensi
Hidroklorida IV bolus menit ksi,pusing, mual, darurat kecuali
setiap 10 hipotensi ortostatik, gagal jantung
menit kulit kepala akut
-0,5-2 kesemutan
mg/menit
sebagai
Infus IV
Esmolol 250-500 1-2 10-30 Hipotensi, mual, Diseksi aorta,
Hidroklorida µg/kg/men menit menit asma, gagal jantung preoperasi
it bolus IV,
lalu 50-
100µg/kg/
menit
dengan
infus;
mungkin
mengulang
i bolus
setelah 5
menit atau
meningkat
kan infuse
sampai
300µg/men
it
Phentolamine 5-15 mg IV 1-2 10-30 Takikardi,Sakit Kelebihan
bolus menit menit Kepala Katekolamin
Tabel 4. Obat hipertensi parenteral (Chobanian AV, et al, 2003).

Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian


Khusus

Klonidin IV 6 amp per 250 30-60 menit 24 jam Ensefalopati


150 µg cc dengan
gangguan
Glukosa 5% koroner
mikrodrip
Nitrogliserin 10-50 µg 100 2-5 menit 5-10 menit
IV µg/cc per 500
cc

Nikardipin IV 0,5-6 1-5 menit 15-30 menit


µg/kg/menit

Diltiazem IV 5-15 sama


µg/kg/menit
lalu sama 1-5
µg/kg/menit

Nitroprusid 0,25 langsung 2-3 menit Selang infus


IV µg/kg/menit lapis perak
Tabel 5. Obat hipertensi parenteral yang Dipakai di Indonesia (Roesma,dkk.2009).

Pada hipertensi emergensi dengan komplikasi seperti hipertensi emergensi dengan

penyakit payah jantung, maka memerlukan pemilihan obat yang tepat sehingga tidak

memperparah keadaannya. Pemilihan obat untuk hipertensi dengan komplikasi dapat dilihat

pada tabel 6.

Komplikasi Obat Pilihan Target Tekanan Darah

Diseksi Aorta Nitroprusside + esmolol SBP 110-120 sesegera

mungkin

Infark Miokard Akut, Nitrogliserin, nitroprusside, Sekunder untuk bantuan

Iskemia nicardipine iskemia

Edema paru Nitroprusside, nitrogliserin, 10% -15% dalam 1-2 jam

labetalol

Gangguan Ginjal Fenoldopam, nitroprusside, 20% -25% dalam 2-3 jam

labetalol

Kelebihan Katekolamin Phentolamine, labetalol 10% -15% dalam 1-2 jam

Hipertensi Ensefalopati Nitroprusside 20% -25% dalam 2-3 jam


Subarachnoid Hemorrhage Nitroprusside, nimodipine, 20% -25% dalam 2-3 jam

nicardipine

Stroke Iskemik Nicardipine 0% -20% dalam 6-12 jam

Tabel 6. Obat yang dipilih untuk Hipertensi darurat dengan komplikasi (Vaidya CK,2009).

2.8 Prognosis

Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal

jantung (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penanganannya tepat dan segera.

2.9. Definisi Sindrom Koroner Akut


Sindrom koroner akut adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner
yang utama dan sering mengakibatkan kematian. Sindrom koroner akut terjadi karena
terjadinya pengurangan oksigen akut atau subakut dari miokardium. Hal ini terjadi karena
robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflammasi, trombosis,
vasokonstriksi dan embolisasi. Manifestasi sinrdrom koroner akut adalah:
1. ST elevasi miokardium infark  oklusi total oleh trombus
a. STEMI ; infark
b. Angina variant(angina prinzmetal, arteri coronary spasm), jarang terjadi
2. Non-elevasi ST sindrom koroner akut oklusi parsial oleh trombus
a. NSTEMI : infark
b. Unstable angina

2.10 EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat 1.300.000 pasien dirawat di RS dengan APTS / Infark Miokard
non Q, dibandingkan 350.000 pasien Infark miokard dengan gelombang Q ST elevasi

2.11 FAKTOR RESIKO


Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko yang dapat
dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
1. Hipertensi
2. Diabetes
3. Hiperkolesterolemia
4. Merokok
5. Kurang latihan
6. Diit dengan kadar lemak tinggi
7. Obesitas
8. Stress

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:


1. Riwayat PJK dalam keluarga
2. Usia di atas 45 tahun
3. Jenis kelamin laki-laki > perempuan
4. Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK.

2.12 PATOGENESIS DAN ETIOLOGI


Patogenesis
ACS dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaACSde pembekuan
dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal
ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque).
Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka tissue
factor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa
complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi
trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’.
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan
sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut
bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan
antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam
monosit sehingga menyebabkan ruptur plak.
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat
vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi
disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan
meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni
xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada
hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel
ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor
konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada
faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin).
Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos
dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic.
Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan
kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.
ACS yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang
ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis -
tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan
hemodinamik stress mekanik.

Etiologi:
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri
koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang rupture dan
biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan
penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh spasme
fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme
ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat adanya
disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal
pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga ACS adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau
trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan
stenosis ulang setelah intervensikoroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi, yang
mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis.
Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti
metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga
selanjutnya dapat mengakibatkan ACS.
5. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah ACS yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar
arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab dapat berupa penyempitan arteri koroner yang
mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang
kronik.
ACS jenis ini antara lain karena :
a) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan tirotoksikosiso
Berkurangnya aliran darah koroner,
b) berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima penyebab ACS di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyakterjadi tumpang
tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu penyebab dan saling terkait.
Klasifikasi:
Berdasarkan jenisnya, Sindroma Koroner Akut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Jenis Penjelasan nyeri dada Temuan EKG Enzim Jantung
Angina Angina pada waktu · Depresi segmen T Tidak meningkat
Pectoris Tidak istirahat/ aktivitas ringan, · Inversi gelombang T
Stabil (APTS) Crescendo angina, Hilang · Tidak ada gelombang Q
dengan nitrat.
NonST elevasi Lebih berat dan lama (> 30 · Depresi segmen ST Meningkat
Miocard menit), Tidak hilang · Inversi gelombang T minimal 2 kali
Infark dengan pemberian nitrat. nilai batas atas
Perlu opium untuk normal
menghilangkan nyeri.
ST elevasi Lebih berat dan lama (> 30 · Hiperakut T Meningkat
Miocard menit), Tidak hilang · Elevasi segmen T minimal 2 kali
Infark dengan pemberian nitrat. · Gelombang Q nilai batas atas
Perlu opium untuk · Inversi gelombang T normal
menghilangkan nyeri.

Berdasarkan beratnya menurut Braunwald:


a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu
istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b.Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu
istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
2.13 DIAGNOSIS
Diagnosis ACS dapat ditegakkan dari 3 kriteria utama, yaitu dari anamnesis, EKG, dan
pengukuran enzim-enzim jantung.
1. Anamnesis
Pasien dengan ACS biasanya datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu:
- Lokasi  substernal, retrosternal, atau prekordial
- Sifat nyeri  sakit, seperti ditekan, ditindih benda berat, seperti diperas/dipelintir
- Penjalaran  ke lengan kiri, leher, rahang bawah, punggung/interACSpula, perut, atau
lengan kanan.
- Nyeri membaik/hilang dengan istirahat atau nitrat.
- Gejala penyerta  mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, lemah.
- Faktor pencetus aktivitas fisik, emosi
- Faktor resiko  laki-laki usia >40 tahun, wanita menopause, DM, hipertensi,
dislipidemia, perokok, kepribadian tipe A, obesitas.

2. Elektro Kardiografi
Pada iskemia miokardium, dapat ditemukan depresi segmen ST (≥ 1mV) atau inverse
gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang bersebelahan.
Depresi ST pada iskemia miokard:
A. Depresi ST horizontal, spesifik untuk iskemia
B. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia
C. Depresi ST landai ke atas, tidak spesifik untuk
iskemia

Inverse T pada iskemia miokard:


A. Inverse T yang kurang spesifik untuk iskemia
B. Inverse T berujung lancip dan simetris, spesifik
untuk iskemia.

Perubahan EKG yang khas menyertai infark miokardium, dan perubahan paling awal terjadi
hampir seketika pada saat mulainya gangguan miokardium. Pemeriksaan EKG harus dilakukan
segera pada setiap orang yang dicurigai menderita infark sekalipun kecurigaannya kecil.

Selama infark miokard akut, EKG berkembang melalui tiga stadium:


1. Gelombang T runcing diikuti dengan inverse gelombang T
 Secara akut, gelombang T meruncing (peaking), kemudian inverse (simetris).
Perubahan gelombang T menggambarkan iskemia miokardium. Jika terjadi infark
sejati, gelombang T tetap inverse selama beberapa bulan sampai beberapa tahun.
2. Elevasi segmen ST
 Secara akut, segmen ST mengalami elevasi dan menyatu dengan gelombang T. elevasi
segmen ST menggambarkan jejas miokardium. Jika terjadi infark, segmen ST biasanya
kembali ke garis iso elektrik dalam beberapa jam.
3. Muncul gelombang Q baru
 Gelombang-gelombang Q baru bermunculan dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Gelombang ini menandakan infark miokard, syarat: lebar ≥ 0,04 detik, dalam ≥
4mm atau ≥ 25% tinggi R. Pada kebanyakan kasus, gelombang ini menetap seumur
hidup pasien.
Evolusi EKG pada AMI:
A. Fase hiperakut: Elevasi segmen ST yang nonspesifik,
T yang tinggi dan meruncing.
B. Fase evolusi lengkap: Elevasi ST yang spesifik dan
konveks ke atas, T inverse simetris, Q patologis.
C. Fase infark lama: Q patologis (QS atau Qr), ST kembali
isoelektrik, T normal atau negative.

Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG:


Lokasi Lead Perubahan EKG
Anterios ekstensif V1-V6 ST elevasi, gelombang Q
Anteroseptal V1-V4 ST elevasi, gelombang Q
Anterolateral V4-V6 ST elevasi, gelombang Q
Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggi
Lateral I, aVL, V5, V6 ST elevasi, gelombang Q
Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q
Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, gelombang Q
3. Cardiac Marker
Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan menggunakan test enzim
jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB (CK-MB), cardiac specific troponin
(cTn) I/T, laktat dehidrogenase (LDH), dan myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB atau
cTn T/I >2x nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).
Pemeriksaan enzim jantung sebaiknya dilakukan secara serial.
a. Cardiac specific troponin (cTn)
 Paling spesifik untuk infark miokard
 Troponin C  Pada semua jenis otot
 Troponin I & T  Pada otot jantung
 Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga mudah dideteksi
b. Myoglobin
 Marker paling cepat terdeteksi (hal ini karena ukuran molekulnya sangat kecil), 1-2 jam
sejak onset nyeri
 Ditemukan pada sitoplasma semua jenis otot
c. Creatine Kinase (CK)
 Ditemukan pada otot, otak, jantung
 Murah, mudah, tapi tidak spesifik
d. Lactat Dehidrogenase (LDH)
 Ditemukan di seluruh jaringan
 LD1 & LD2 memiliki konsentrasi tinggi pada otot jantung, normalnya LD2 > LD1
 Pada pasien infark jantung: LD1 > LD2
e. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)
 Spesifik untuk infark miokard
Cardiac Marker Meningkat Puncak Normal
cTn T 3 jam 12-48 jam 5-14 hari
cTn I 3 jam 24 jam 5-10 hari
CKMB 3 jam 10-24 jam 2-4 hari
CK 3-8 jam 10-36 jam 3-4 hari
Mioglobin 1-2 jam 4-8 jam 24 jam
LDH 24-48 jam 3-6 hari 8-14 hari
Membedakan APTS, NSTEMI, STEMI:
Perbedaan APTS NSTEMI STEMI
Nyeri dada <15 menit >15 menit >15 menit
EKG Normal/iskemik iskemik evolusi
Cardiac marker normal meningkat meningkat

2.14 PENATALAKSANAAN
2.14.1 TERAPI AWAL
Penanganan dini yang harus segera diberikan pada pasien dengan keluhan nyeri dada tipikal
dengan kecurigaan ACS adalah:
1. Oksigenasi
 Untuk membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera dan
menurunkan beratnya ST-elevasi pada STEMI.
 Diberikan sampai pasien stabil dengan level oksigen 5-10 liter/menit secara kanul
hidung/sungkup.
2. Nitrogliserin (NTG)
 Diberikan secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg), dapat diulang sampai 3x dengan
interval 5-10 menit jika keluhan belum membaik setelah pemberian pertama,
dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 μg/menit (jangan lebih 200 μg/menit).
 Kontraindikasi: hipotensi
 Manfaat:
o memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard;
o menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
o menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel;
o dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral;
o menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine
 Dosis 2 – 4 mg intravena
 Manfaat:
o mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
o mengurangi rasa sakit akibat iskemia;
o meningkatkan venous capacitance;
o menurunkan tahanan pembuluh sistemik;
o menurunkan nadi dan tekanan darah.
 Efek samping: mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.
4. Aspirin
 Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325
mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan
bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin).
 Harus diberikan kepada semua pasien ACS jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster,
asma bronkial).
 Efek: menghambat COX-1 dalam platelet dan mencegah pembentukan TXA2, sehingga
mencegah agregasi platelet dan konstriksi arterial.
5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine
 Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu
perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet, sehingga menurunkan kejadian iskemi.
 Pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis dan iskemia berulang,
tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama
Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Efek samping: netropenia, trombositopenia (jarang),
purpura trombotik trombositopenia  perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III.
 Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin,
namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko
perdarahan. Dosis: 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai
antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai
dalam 3–7 hari .
 Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk
pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis.

2.14.2 TERAPI LANJUT


Reperfusi harus dilakukan untuk menghindari kerusakan yang lebih luas pada miokardium.
Reperfusi dapat dilakukan dengan terapi trombolitik dan PCI(percutaneus coronary
intervention).
 Terapi trombolitik
- Terapi trombolitik lebih bagus dilakukan pada waktu kurang dari 6 jam setelah
serangan jantung.
- Pada pasien dengan tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg harus diberikan zat
inotropik.
- Agen yang sering digunakan adalah:
o Streptokinase 1.5 mega unit dalam 100 ml larutan salin atau dextrose 5% dalam
waktu kurang dari 1 jam
o Alteplase diberikan berdasarkan berat badan pasien
 >65 kg  15 mg bolus dan dilanjutkan dengan 50 mg/30 menit dan 35
mg/60 menit berikutnya.
 <65 kg  15 mg bolus, dilanjutkan dengan 0.75mg/kg/30 menit dam
0.5 mg/kg/60 menit berikutnya.
 Heparin harus diberikan karena peluang untuk terjadi oklusi setelah
terapi alteplase sangat tinggi. Heparin diberikan setelah terapi alteplase
selama 48 jam
o Tenecteplase diberikan secara bolus dan dosisnya berdasarakn berat badan
pasien. Keuntungan teneteplase adalah tidak menginduksi produksi antibodi.
o Berikut adalah regimen tenecteplase:
 <60 kg  30 mg iv bolus
 60-70 kg  35 mg iv bolus
 70-80 kg  40 mg iv bolus
 80-90 kg  45 mg iv bolus
 >90 kg  50 mg iv bolus
 Heparin setelah terapi tenecteplase selama 48 jam

- Indikasi:
o Infark miokardium dengan elevasi segmen ST
- Kontraindikasi
o Absolut
 Risiko perdarahan intrakranial
 Riwayat stroke iskemik kurang dari 3 bulan
 Malformasi atriovena
 Neoplasma intrakranial
 Risiko perdarahan
 Perdarahan aktif
 Trauma kepala kurang dari 3 bulan
 Suspek diseksi aorta
o Relatif
 Risiko perdarahan intrakranial
 Hipertensi dengan tekanan darah lebih dari 180/110mmHg
 Stroke iskemik lebih dari 3 bulan
 Riwayat hipertensi kronik yang tidak terkontrol
 Risiko perdarahan
 Pengguna antikoagulan
 Riwayat bedah major kurang dari 3 minggu
 Perdarahan dalam kurang dari 4 minggu. Misalnya perdarahan
traktus gastrointestinal, traktus urinarius
 Ulkus peptik yang aktif
 Lain-lain
 Hamil
 Pernah terapi trombolitik kurang dari 12 bulan lebih dari 5 hari
- indikator terapi yang berjaya
o Nyeri dada berkurang
o Segmen ST tidak lagi elevasi atau berkurang 50%
o CK dan CKMB meningkat lebih awal
o Hemodinamik menjadi lebih stabil
- Indikator terapi gagal
o Nyeri dada menetap
o Elevasi segmen ST yang menetap
o Hemodinamik tidak stabil
o Komplikasi  gagal jantung dan aritmia
- komplikasi dari terapi trombolitik adalah :

o Hipotensi

o Alergi

o Perdarahan yang tidak terkontrol

o Aritmia

 Percutaneus Coronary Intervention(PCI)


o Indikasi PCI
 Nyeri dada yang menetap walaupun sudah diterapi dengan terapi
trombolitik.
 Hemodinamik tidak stabil
 Syok kardiogenik untuk pasien dengan umur kurang dari 75 tahun,
kurang dari 36 jam setelah serangan jantung STEMI
 Gagal jantung dengan nyeri dada kurang dari 12 jam
Setelah diterapi reperfusi dapat juga diberikan terapi berikut:
1. Anti-agregasi trombosit
- Untuk menghindari terjadinya trombosis
- dapat diberikan aspirin dengan dosis 75-150 mg/hari dan harus dikunyah
- tambahan clopidogrel juga mampu menghindari trombosis dengan dosis 75 mg/hari
- aspirin dan clopidogrel harus diminum selama hidup
2. Beta blocker
- Diindikasikan kepada semua pasien MCI akut
- Kontraindikasi pasien dengan gagal jantung, pernah riwayat bronkospasme, blok AV,
bradikardia(nadi<50x/menit)

3. Nitrogliserin
- Menguntungkan dalam mengurangkan perluasan infark tapi tidak mempengaruhi
mortalitas.
- Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan sistolik < 100 mmHg
- Dapat diberikan nitrogliserin atau isosorbid dinitrat (2-10 mg/jam)
- Diberikan pada waktu serangan jantung

4. Angiotensi converting enzyme(ACE) inhibitor


- Untuk mengurangkan perluasan infark
- Berikut adalah dosis bagi ACE inhibitor
ACEI Starting dose Target dose
Enalapril 2.5-5 mg x 1/hari 10 mg x 2/hari
Captopril 6.25 mg x 1/hari 25-50 mg x3/hari
Ramipril 2.5 mg x 1/hari 10 mg x 1/hari
Lisinopril 5 mg x 1/hari 10 mg x 1/hari
Quinalapril 5 mg x 1/hari 10-40 mg x 1/hari

5. Angiotensin receptor blocker(ARB)


- Penganti untuk ACE inhibitor untuk pasien yang tidak tahan dengan efek sampingnya
misalnya batuk yang berterusan.
- Berikut adalah dosisnya:
ARB Starting dose Max dose
Losartan 50 mg x 1 /hari 100 mg x 1/hari
Valsartan 80 mg x 1/hari 160 mg x 1/hari
Telmisartan 40 mg x 1 /hari 80 mg x 1/hari
Irbesartan 150 mg x 1/hari 300 mg x 1/hari
Candesartan 8 mg x 1/hari 16 mg x 1/hari
6. Terapi statin
- Untuk mengontrol profil lipid
- Dapat diberikan atrovastatin 10-80 mg/hari, simvastatin 20-40 mg/hari, pravastatin 40
mg/hari atau rouvastatin 10-20 mg

7. Penghambat kanal kalsium


- Pemberian diltiazem hanya untuk infark dengan gelombang Q

2.15 KOMPLIKASI
Komplikasi:
 Aritmia
 Disfungsi ventrikel kiri
 Hipotensi
 Lain-lain:
o Emboli Paru Dan Infark Paru
o Emboli Arteri Sistemik
o Stroke Emboli
o Disfungsi dan Ruptur m. Papilaris

2.16 PROGNOSIS
Tergantung dari beberapa hal yaitu:
- Wilayah yang terkena oklusi
- Sirkulasi kolateral
- Durasi atau waktu oklusi
- Kebutuhan oksigen miokardium
Berikut adalah sistem skor yang dapat membantu dalam menentukan prognosis:
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Skoring resiko TIMI untuk ACS:
Usia >65 tahun 1
>3 faktor resiko PJK (riw.kel, HT, kol ↑, DM, rokok) 1
Diketahui PJK 1
Pemakaian ASA 7 hari terakhir 1
Angina berat (<24 jam) 1
↑ petanda biokimia 1
Deviasi ST 1

Skor resiko kematian/AMI


0/1 3%
2 3%
3 5%
4 7%
5 12%
6/7 19%
DAFTAR PUSTAKA

Ad editor; DL.Longo, AS Fauci, DL Kasper, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo, ST Segment


Elevation Myocardial Infarction(STEMI), Harrison’s Manual of Medicine edisi 17,
McGraw Hill 2009, halaman 700-705.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. 2003. Seventh Report
of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure. Hypertension 42: 1206-1252.
David L.C, Arun K, Jamshid S, Acute Coronary Syndrome, dapat diundu di situs Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/1910735-overview
Devicaesaria, Asnelia, dkk. 2014. Hipertensi Krisis. Medicinus Scientific Journal of
Pharmaceutical Development and Medical Application. Vol.27, No.3. Edition
December 2014.
Herlianita, Risa. 2010. Krisis Hipertensi. Program Studi Diploma III Keperawatan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang.
Idrus A, Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3,
Edisi 3, Jakarta 2007, halaman 1615-1625
Lubis, MD Luthfy. 2013. Penatalaksanaan Terkini Krisis Hipertensi Preoperatif. Dokter
Umum RSUD Sambas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. CDK-209/Vol.40 No.10
Tahun 2013.
Majid, Abdul. 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Bagian Fisiologi.
Malcolm ST, Iskemia dan Infark Miokardium, Satu-Satunya Buku EKG yang Anda Perlukan,
edisi 5, EGC 2009, halaman 209-249
Marik PE, Varon J. 2007. Hypertensive Crises: Challenges and Management. Chest 131: 1949-
1962.
Roesma, Jose, dkk. 2009. Krisis Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. P. 2302 – 2303.
Tanto, Chris, dkk. 2014. Krisis Hipetensi. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi IV. Jakarta
: Media Aesculapius, 2014. Hal. 642 – 644.
Tiong, KO, Kui HS, Alan F, Boon CC, Acute Myocardial Infarction, Sarawak Handbook of
Medical Emergency, edisi 3, Malaysia 2011, halaman 1.8-1.20.
Vaidya CK, Ouellette CK. 2009. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
2009:43-50
Zulkifili A, Nyeri Dada, Lima Puluh Masalah Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
1, FKUI Jakarta 2008, halaman 212-219

Anda mungkin juga menyukai