Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leukokoria adalah kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya warna putih pada pupil

saat dilakukan pemeriksaan direct oftalmoskop disebabkan oleh pantulan abnormal pada retina

mata yang terkena. Normalnya reflek cahaya yang terlihat adalah “Red Orange Refleks”

dihasilkan dari proses masuknya cahaya ke kornea dan jatuh pada retina, dipantulkan kembali

melewati koroid yang kaya akan pembuluh darah sehingga menimbulkan reflek tersebut.

Leukokoria sendiri bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri melainkan merupakan

manifestasi dari beberapa penyakit seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis Leukokoria


Penyebab Kriteria banding
Katarak Kongenital 1. Awal infan
2. Bisa terjadi unilateral atau bilateral
3. Ukuran bolamata normal

Retinoblastoma 1. Awal infan


2. Ukuran bola mata normal
3. 2/3 kasus sifatnya unilateral
4. Terdapat kalsifikasi
Retinopaty of prematurity 1. Awal infan
2. Biasanya bilateral
3. Lahir preterm dan terapi oksigen
Coat disease (Exudatif Retinitis) 1. Anak-anak
2. Unilateral
PHPV( Persistetnt Hyperplastic Primary 1. Unilateral
Vitreous ) 2. Micropthalmus
3. Central displaced ciliary process
Toxocariasis

Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat angka kejadian leukokoria cukup tinggi

karena banyaknya penyebab kejadian leukokoria.Angka kejadian katarak congenital di Amerika

1
Serikat 500-1500 kejadian tiap tahunnya.Sedangkan di Inggris kejadian katarak congenital yang

tercatat sebanyak 200 kelahiran.

Retinoblastoma yang menjadi penyebab leukokoria juga terjaid sebanyak 11 anak per 1

juta anak berusia 5 tahun. Sementra data di RSCM angka kejadiannya adalah 163 kasus selama

tahun 2000-2003. Sementara berdasarakan persentase penyebab leukokoria terbanyak di

dominasi oleh Retinoblastoma 60%, PHPV 28%, Coat’s Disease 16%, dan toxocariasis 16%.

Dari sekian banyak penyebab leukokoria yang terjadi pada anak dibutuhkan diagnosis

dini dan tatalaksana agar prognosis setelah terapi semakin baik.

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai diagnosis dan penatalaksanaan dari penyakit-

penyakit yang bermanifestasikan klinis leukokoria pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang leukokoria pada

anak.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada

beberapa literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leukokoria

Leukokoria, adalah kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya warna putih pada

pupil saat dilakukan pemeriksaan direct oftalmoskop disebabkan oleh pantulan abnormal pada

retina mata yang terkena. Normalnya reflek cahaya yang terlihat adalah “Red Orange Refleks”

dihasilkan dari proses masuknya cahaya ke kornea dan jatuh pada retina, dipantulkan kembali

melewati koroid yang kaya akan pembuluh darah sehingga menimbulkan reflek tersebut.

Leukokoria sendiri bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri melainkan manigfestasi

klinis dari beberapa jenis penyakit yang mendasari.

2.2 Persisten Fetal Vasculature ( Persistent Hyperplastic Primary Vitreous )

2.2.1 Definisi

Merupakan kelainan kongenital dimana terjadinya kegagalan vitreus primer dan

pembuluh darah hyaloid untuk beregresi pada waktu embryology. Regresi ini meninggalkan sisa

fibrovascular yang berkembang baik I belakang lensa (persisten primer hiperplastik anterior

vitreous) atau permukaan dalam peripapilary retina (hiperplastic persisten posterior vitreus).

Pada beberapa kasus,kejadian ini mungkin akan ditemukan bersamaan.Hal ini memunculkan

gambaran opak pada lensa posterior dan menimbulkan leukokoria Umumnya kejadian Persisten

Fetal Vasculature bersifat unilateral. Secara umum penyebab atau etiology kejadian belum

duketahui pasti. Hal ini ditandai dengan adanya jaringanpersisten dari berbagai vitreus primer

dengan hyperplasia jaringan ikat pada waktu embrio dan berhubungan dengan mikropthalmia,

katarak dan glaucoma.

3
2.2.2 Epidemiologi

Sebuah study yang dilakukan di Amerika Serikat mendapati PHPV merupakan penyebab

5% kasus kebutaan, sering dijumpai pada bayi yang cukup bulan tetapi kelainan ini dapat

dideteksi dini atau satu minggu setelah kelahiran. Meskipun prevalensinya masih belum begitu

banyak diteliti tetapi PHPV jarang terjadi. Umumnya kejadian PHPV sering bersifat unilateral

yaitu 90% dan terisolasi tanpa ditemukan kelainan sistemik yang lain

2.2.3 Etiologi

Penyebab pasti PHPV sulit dipahami, tetapi kemungkinan disebabkan adanya kecacatan

dalam regresi vitreus primer atau adanya perkembangan vitreus sekunder dan bisa saja keduanya.

Pembuluh darah, jaringan hyaloids yang persisten dan jaringan mesenkim vitreus primer

menngarah ke spectrum klinis PHPV.Identifikasi mutasi genetic telah dideteksi, seperti mutasi

gen NDP yangberhubungan dengan vitreopathy pada anak. Hal ini juga ditunjukkan pada

penelitian terhadap hewan coba dimana gen NDP pa kasus PHPV bilateral didapatkan mutasi

gen NDP dan adanya carriedari ibu.

2.2.4 Patofisiologi

Selama perkembagan embriologi mata kompartemen antara syaraf optic dan bagian

belakang lensa diisi oelh pembuluh darah atau system vascular (arteri hyaloids) yang bertfungsi

memberikan nutrisi dan oksigen bagi proses perkembangan mata. Vitreus primer terbentuk di

antara lapisan dalam optic cup dengan system vascular hyaloids bersamaan dengan

berkembangnya embriologi lensa.Awal perkembangan vitreus primer terjadi pada minggu ketiga

dan keenam dengan diawali pembentukan serabut-serabut vitreus.Sewaktu memasuki trimester

ketiga kehamilan seharusnya terjadi regresi dari arteri hyaloids dan vitreus primer.

4
Selanjutnya vitreus primer akan berkembang menjadi vitreus sekunder . Pada bagian

anterior viterus sekunder akan melekat pada membrane limitan retina interna yang merupakan

proses awal pembentukan basis vitreus.Selanjutnya vitreus sekunder akan terbentuk dengan

diawali pembentukan serat kolagen diantara bagian ekuator lensa dan bagian badan siliar dan

akhirnya berdiferensiasi menjadi dasar virtues dan zonula lensa. System pembuluh darah

hyaloids juga berkembang selain perkembangan dari pembuluh darah yang berasal dari

permukaan kapsul lentis.System hyaloids yang berkembang akhirnya atrofi mulai dari posterior

hingga anterior.

Atrophy yang tidak sempurna akan menyebabkan terjadinya persisten dari hyaloids

anterior yang akan berhubungan dengan bagian lensa. Atau persistensi dari hyaloids posterior

akan berhubungan dengan syaraf optic. Hal inilah yang dikenal dengan PHPV (Persistetnt

Hyperplastic Primary Vitreous). Sebagai contoh sisa hyaloids anterior ditemukannya titik

Mittendroff dan di bagian posterior ditemukan titik Bergmeisster.

2.2.5 Klasifikasi
Terbagi atas 2 macam :
a. PHPV anterior

Pada PHPV anterior terjadi pada bagian posterior lensa tetapi tidak mencapai bagian

syaraf optik.Pada varian ini lebih sering terjadi dengan tampilan pupil putih (leukokoria)

dan segera ditemukan setelah lahir.Hal ini ditimbulkan oleh jaringan fibrous vaskularisasi

bagian posterior lensa. Pada kasus yang berat akan terlihat lensa menyerupai membrane

yang opak (membarous cataract) yang bisa menyebabkan kebutaan. Pada beberapa kasus

akakn ditimbulkan pembentukan jaringan lemak (lipomatous pseudopakhia) hingga

terbentuknya jaringan tulang rawan. Jika terbentuk jaringan parut pada bagian tengah

5
pupil akan menarik bagian siliar ke tengah. Hal ini berakibat terhambatnya aliran aquos

humor. Berlanjut terjadinya bupthalmus (hydropthalmus). Selain itu perkembangan mata

akan jterhambat sehingga menghasilkan micropthalmus.

PHPV anterior yang dikenal dengan Persistent Tunica Vasculosa Lentis dan Persisten

Posterior Fibrovascular Sheath pada lensa. PHPV anterior ini erat hubungannya dengan

kejadian katarak, glaucoma dan membrane retrolenticular. PHPV anterior dapat

didiagnosa banding dengan penyebab leukokoria yang lainnya. Seperti pada

retinoblastoma, kelainanya bisa saja tidak terdeteksi saat lahir karena tampilan sedikit

tidak jelas, biasanya mengenai kedua mata dan disertai dengan katarak atau

mikrofthalmus.

b. PHPV Posterior

Pada kasus PHPV posterior cenderung tidak mengenai lensa sehingga jarang

menimbulkan gejala katarak, tetapi lebih berhubungan dengan terjadinya gangguan

perkembangan syaraf optik, makula, vitreal stalk, dan membrane vitreal. Pada jaringan

retina yang terdapat disekitar persisten pembuluh darah akan terbentuk jaringan parut

hingga terjadi pemisahan retina atau ablasio retina. Hal ini menyebabkan terganggunya

penglihatan karena terdapatnya gangguan pada retina atau derivatnya. Tampilan PHPV

harus dibedakan dengan gejala klinis Retinopaty of Prematur, Oculat Toxocariasis,

familial Exudatif Vitreoretinopathy

2.2.6 Gambaran Klinis

Tanda-tanda yang paling umum terjadi adalah leukokoria, mikropthalmia. Selain itu bisa

ditemukan katarak, strabismus, galukoma, hipema dan uveitis. Selain itu dapat terjadi dilatasi

pupil yang tidak sempuna yang disebabkan oleh adanya traksi pada bagian belakang jaringan iris.

6
Gejala bufthalmus juga bisaterjadi pada 26% kasus. Bagian COA kemungkinan akan lebih

dangkal dari normal sehingga jarak antara iris dan kornea akan lebih kecil. Hal ini akan

membuka peluang terjadinya glaucoma.

Tarikan yang terjadi pada bagian siliaris akan terlihat dari sela-sela pupil yang berdilatasi.

Sementara saat pemeriksaan akan terlihat mata lebih kecil, pupil berwarna putih, pembuluh darah

hyaloids akan terlihat di bagian anterior iris permukaan atas. Papiler margin dan bagian posterior

dari iris merupakan hal yang sangat penting dalam mendiagnosa.Pada kasus yang berat bisa

hingga menimbulkan perdarahan intravitreal yang luas hingga ablasio retina. Meskipun penyakit

ini sering berdiri sendiri, tetapi sering juga terdapat kombinasi dengan kejadian Syndroma

Trisomi 13, Noric Disease, Walker Walburg Syndrome, incontinesia Pigmenti, Cerebro-oculo-

dysplasia-muscular-distrophy, fetal alcohol Syndrome, neurofibromatosys 2 dan Axenfield-

Rieger Syndrome. Keluhan mata congenital lain harus dipertimbangkan jika gejala PHPV yang

didapatkan pada kedua mata.

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis PHPV dilakukan dengan anamnesa dan pemeriksaan mata yang komperhensif dan

kombinasi dengan Ultrasonografi, CT-Scan dan MRI. Temuan pemeriksaan dengan pencitraan

tergantung pada ukuran, ketebalan dan tingkat vascularisasi masa fibrovascular.

a. Pemeriksaan Ultrasonografi

Tampak masa ecogenic pada posterior lensa dengan band Hyperechoic memanjang dari

bagian posterior bola mata menuju bagian posetro lensa, sesuai denga kanal Cloquet,

dimana pada kanal ini juga akan ditemukan arteri hyaloids. Deteksi adanya ablasio retina

juga dapat dilihat dengan adanya gambaran echogenic yang memiliki struktur lengkung

7
di dalam gambaran anechoic dari bagian vitreous. Jika terdapat perdarahan akan tampak

gambaran hyperechogenic yang heterogen dalam vitreous.

b. CT-Scan

Umumnya akan ditemukan gambaran micropthalmus dengan tanda adanya band liner

pada bagian apkes atau septum yang meluas ke posterior. Kadang gambaran energy yang

diberikan tidak bisa menembus vitreous body karena adanya fibrovascular atau

perdarahan di lokasi tersebut. Jika disertai dengan adanya udem maka akan terlihat

gambaran pengecilan lensa, bentuk membulat dan transparan. Tetapi pada CT-Scan, sulit

untuk membedakan gambaran PHPV dengan retinoblastoma.

c. MRI

Gambaran masa retrolensa, elongasi prosesus cilaiaris dan lensa yang abnormal bisa

terlihat. Pemberian bahan kontras gadolinium dapat menunjukkan gambaran enhance

pada retro lensa vitreous primer.

2.2.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PHPV adalah mencegah terjadinya komplikasi pada mata dan

mempertahankan ketajaman visual dan mencapai hasil kosmetik yang memuaskan.

Tindakan operetif dilakukan jika terdapat komplikasi berupa

1. Kolaps ruang anterior yang bersifat progresif.

2. Peningkatan tekanan intraocular

3. Perdarahan vitreous

4. Ablasio retina

8
Yang sering terjadi adalah PHPV anterior, biasanya dilakukan lensektomy atau

membranectomy. Langkah lain yang bisa dilakuka adalah vitreckotmy dengan memotong

vitreous secara bedah mikro. Pada operasi ini dapat dilakukan anestesi umum atau local. Dengan

membuat beberapa sayatan tipis pada bagian scelra maka lampu fiberoptic dan pemotong

vitreous, gunting halus intraokuler dan laser pada bagian pars plana dapat memasuki bagian

dalam bola mata. Sementara cairan vitreous akan digantikan dengan larutan garam yang mirip

dengan cairan tubuh, udara atau gas. Tindakan ini dilakukan jika terdapat gangguan penglihatan

atau distrorsi yang mengganggu penglihatan bagian mata yang sehat.Perlaukan ini jarang

dilakukan pada PHPV posterior jika tidak terjadi traksi retina dan kapsul lensa. Jika sudah terjadi

apakhia dan ambliiopia dibutuhkan terapi visual guna memperbaiki fungsi visualnya.Tetapi pada

kasus PHPV posterior rehabilitasi visual sulit dilakukan.

2.2.9 Komplikasi

a. Glaukoma

b. Perdarahan Intraokular

c. Ablasio Retina

d. Ptisis bulbi

2.2.10 Prognosis

Bergantung pada tingkat keparahan dan gangguan yang terjadi.Namun tindakan

intervensi bedah yang adekuat sering menyelamatkan mata dan menstabilkan ketajaman visual.

9
2.3 Retinopati of prematurity

2.3.1 Definisi

ROP merupakan keadaan retinopati proliferative dimana terjadi perkembangan abnormal

dari pembuluh darah retina pada bayi yang prematur dan harus diberiakn oksigen yang

tinggi.Awalnya ROP dikenal dengan retrolental fibroplasias.ROP sering mengalami regresi atau

perbaikan tetapi dapat juga menyebabkan gangguan visual yang berat hingga kebutaan. Semakin

kecil usia gestasional penderita dan semakin kecil berat badannya maka insidensi akan semakin

meningkat.

2.3.2 Epidemiologi
ROP pertama kali ditemukan oleh Terry pada tahun 1942 dan dikenal dengan retrolental

fibroplasias. ROP merupakan penyebab kebutaan tertinggi pada anak di seluruh dunia. Terdapat

peningkatan kejadian ROP diseluruh dunia terhitung dari tahun 1942 hingga 1953. Di Amerika

Serikat , ROP merupakan penyebab 550 kasus kebutaan baru pada bayi setiap tahunnya. Pada

tahun 1951 berdasarkan penelitian yang dilakukan di Inggris terdapat hubungan beratnya ROP

yang dialami dengan pemberian terapi Oksigen kepada bayi prematur.Tetapi hal ini bukan

merupakan factor utama penyebab ROP dan pembatasan pemberian Oksigen harus

dipertimbangkan dengan baik.Karena efek samping yang ditimbulkan akibat pengurangan

oksigen pada bayi premature lebih besar komplikasinya dan lebih berat akibat hipoksia yang

terjadi.

2.3.3 Etiologi
Retina merupakan jaringan yang unik dimana perkembangan pembuluh darah retina

mulai terbentuk pada 3 bulan setelah konsepsi dan menjadi lengkap setelah kelahiran normal.

Jika bayi lahir sebelum waktunya hal ini akan mengganggu perkembangan tersebut.

10
Pertumbuhan pembuluh darah kemungkinan besar akan terhenti atau bahkan terjadi perubahan

strutur pembuluh darah pada mata yang menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh dan bocor

sehingga timbul perdarahan pada mata.jaringan parut juga dapat timbul dibagian dalam bola

mata sehingga menarik retina dari permukaan dalam bola mata yang berakibat pada hilangnya

penglihatan. Awalnya pemberisn oksigen yang tidak sesuai menjadi penyebab, tetapi pada

perkembangannya berat atau ringannya derajat prematuritas bayi menjadi penyebab yang lebih

dominan.

2.3.4 Faktor Risiko


1. Bayi lahir < 32 minggu masa gestasi

2. Terdapat penyakit jantung

3. Asupan Oksigen yang tinggi

4. Berat badah lahir <1500 gr

5. Penyakit lain yang menyertai

6. Anemia

7. Kadar Karbondioksida yang tinggi

8. Apnue

9. Bradikardi

10. Transfusi darah

11. Perdarah intraventrikuler

12. Kebiasaan pada masa Maternal : Kebiasaan merokok, diabetes dan preeklamsia.

2.3.5 Patofisologi
ROP terjadi pada bayi yang lahir dengan Berat Badan Bayi Lahir Amat Sangat Rendah.

Sebagian penelitian menyebutkan jika berat badan yang rendah, usia gestasi yang rendah,

11
penyakit penyerta yang berat akan memperparah terjadinya kasus ini ( Respiratory Distress

Syndrome, Dysplasia Bronkhopulmoner, hingga sepsis).

Awalnya perkembangan pembuluh darah retina berkembang pada usia gestasional 16 minggu.

Pembuluh darah retina tersebut berkembang dan keluar dari optic disc sebagai perpanjangan dari

bagian mesenchimal spyndel. Sel- sel spindel mesenkhim ini mensuplai sebagian besar darah dan

terjadi proses proliferasi endothelial dan pembentukan pembuluh darah kapiler. Kapiler-kapiler

baru ini akan berkembang dan matang membentuk pembuluh darah retina.

Pembuluh darah khoroid akan mendarahi bagian vascular retina yang tersisa. Sementara itu

bagian nasal retina akan tervascularisasi secara sempuna pada usia gestasi 32 minggu hingga ke

ora serata, dan bagian temporal akan diperdarahi secara sempurna 1-2 bulan sesudahnya.

Perkembangan ROP dibagi atas 2 fase :


1. Fase Pertama

Pada saat bayi premature yang lahir, suplai oksigenyang didapatka akan berkurangnya

karena perubahan sirkulasi yang dialami dan belum berkembangya paru-paru. Hal ini

menyebabkan terhentinya proses proliferasi pembuluh darah retina. Sebgian paru yang

sudah berkembang dengan baik menyebabkan suasana hiperoksia.Tetapi pembuluh darah

belum terbentuk pada retina mata.Sehingga terjadi metabolism yang meningkat pada

dareh mata tersebut. Hal ini akan terus berlanjut dari sejak usia kelahiran hingga usia 32-

34 minggu.

2. Fase kedua

Proliferasi ini dipicu oleh adanya hipoksia pada retina mata sehingga terbentuk

neovascularisasi pada minggu 34-36.Perkembangan pembuluh darah tersebut berada

diantara dareah yang mengalami avscularisasi dan bagian yang telah menerima pembuluh
12
darah. Proliferasi yang terbentuk hamper sama dengan proliferasi pembuluh darah yang

terjadi padaretinopati daibetik. Tetapi pembuluh darah yang terbentuk rawan dengan

kebocoran sehingga menyebabkan perdarahan, dan ablasio retina sehingga menggagu

penglihatan.

Secara biokimia terdapat hubungan antara kurangnya kadar oksigen yang terjadi pada

ROP fase I dan II. Pada fase I terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan penurunan Growth

Hormon IGF I dan juga VEGF yang berakibat berkurangnya pertumbuhan dan proliferasi

pembuluh darah yang ada pada retina. Pada saat berada di daerah yang kaya akan oksigen pada

ekstrauterin muncul kembali peningkatan VEGF dan IGF 1 akibat membaiknya kadar oksigen

sementara pembuluh darah tidak mencukupi untuk bagian retina yang tidak mendapat suplai

pembuluh darah (Gambar 1).

Gambar 1. Proses Terjadinya ROP

2.3.6 Klasifikasi
Pembentukan klasifikasi melibatkan 23 oftalmologis dari 11 negara dalam organisasi

International Classification Of Retinopaty Of Prematurity (ROP).

13
Klasifikasi ROP berdasarkan lokasi ( Gambar 2 ):

a. Zona 1
Dibatasi oleh lingkaran imaginer yang memiliki radius 2x jarak optic disk ke macula
b. Zona 2
Meluas dari pinggir zona 1 ke titik tangensial sampai ke nasal ora serata dan area
temporal
c. Zona 3
Merupakan daerah sisa temporal anterior yang berbentuk sabit ke zona 2

Gambar 2. Zona Retinopaty Of Prematurity

Klasifikasi Retinopaty Of Prematurity berdasarkan derajat keparahan :


a. Derajat 1

Pertumbuhan abnormal dari pembuluh darah yang ringan. Pada stadium ini biasanya

penglihatan bayi akan sembuh sendiri dan kembali pada keadaan normal

b. Derajat 2

Pertumbuhan pembuluh darah abnormal sedang. Pada stadium ini penglihatan bayi

akan kembali normal

14
c. Derajat 3

Pertumbuhan pembuluh darah abnormal yang berat.Pertumbuhan pembuluh darah

menuju bagian sentral dan tidak mengikuti arah pertubuhan yang ada di permukaan

retina.Pada derajat ini biasanya bayi masi memiliki penglihatanyang normal dan tidak

membutuhkan terapi. Tetapi perlu diingat jika corakan pembuluh darah semakin besar

dan berkelok-kelok, maka akan diperkirakan akan timbul perburukan yang akan

mengarahkan ke gejala ablasio retina. Pada tanda ini diperlukan penanganan,

terutama untuk mencegah terjadinya ablasio retina.

d. Derajat 4

Pertumbuhan pembuluh darah yang abnormal disertai dengan robekan retina yang

berawal pada ridge.Retina tertarik ke anterior dan kedalam vitreous oleh ridge

vascular, bahkan terikan akan disebabkan oleh perdarahan. Derajat 4 terbagi atas 2

macam , derajat 4a dan 4b :

Derajat 4a : tidak mengenai povea

Derajat 4b : mengenai povea

e. Derajat 5

Robekan retina total yang berbentuk seperti corong (funnel). Bayi akan mengelami

kebutaan , derajat 5 terbagi atas 2 macam :

Derajat 5a : Corong terbuka

Derajat 5b : Corong tertutup

Plus disease : merupakan tampilan arteri yang berkelok-kelok dan pembuluh darah

vena yang berdilatasi. Hal ini dapat muncul pada berbagai stadium merupakan

pertanda dari peningkatan aliran darah yang melewati retina.

15
Treshold disease :

Didefinisikan sebagai gangguan yang terlihat pada 5 arah jarum jam yang berturu-

turut atau 8 wilayah yang tidak berurutan. Adanya kelainan ini menandakan indikasi

untuk dilakukan terapi.

Prosedur Pemeriksaan

Skrining hendaknya dilakukan pada bayi yang usia gestasinya < 32 minggu dan berat badan lahir

kecil 1500 gr harus dicurigai terjadinya ROP :

a. Bayi yang lahir dengan usia gestasi 23-24 minggu, harus melakukan pemeriksaan mata

pertama pada usia gestasi 27-28minggu

b. Bayi yang lahir pada usia gestasi 25-28 minggu, harus melakukan pemeriksaan mata

pertama pada usia kehidupan 4-5 minggu.

c. Bayi yang lahir dengan usia gestasi > 29 minggu maka pemeriksaan pertama pada bayi

tersebut dulakukan pada` saat pasien akan dipulangkan.

2.3.7 Diagnosis
Pemeriksaan dilakuka dengan mengggunakan oftalmoskop binokuler indirek yang

sebelumnya dilakukan pelebaran fundus dan dperesi sclera. Alat yang digunakan adalah :

1. Speculum Sauer : menjaga mata agar tetap dalam keadaan terbuka

2. Depressor sclera Flynn : merotasi dan mendepri mata

3. Lensa 28 dioptri ; digunakan untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat.

Pemeriksaan awal yang dilakukan :


1. Pemeriksaan eksternal

2. pemeriksaan identifiksi rubeosis retina

16
Jika dengan dua pemeriksaan diatas ditemukan kelainan maka dapat dilakukan

pemeriksaan kutup posterior yang akan mengidentifikasi adanya kelainan plus. Untuk

melihat penyakit pada zona I maka dilakukan rotasi, apabila pembuluh nasal tidak

terletak pada ora serata maka temuan ini masi dikatakan dengan zona 2. Jika pembuluh

darah nasal sudah memasuku bagian ora serata maka dikatakan berada pada zona 3.

2.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapatkan. Sampai sekarang

masi belum ada terapi yang baku dilakukan untuk kejadian ini. Tetapi penelitian masih terus

dulakukan untuk mengetahui efektifitas pemberian obat anti neovascularisasi secara

vitrealseperti bevacizumab (Avastin) yang juga diberikan pada gangguan neovascularisasi dalam

bentuk yang lain seperti retinopati diabetic. Selain itu pemantauan dan pemberian kadar IGF 1

dalam batas normal pada retina tetap dilakukan.

Terapi Bedah

a. Terapi bedah Ablatif

Terapi ini dilakukan jika ada gangguan atau tanda-tanda kegawatan seperti threshold

disease.Model terapi ini adalah dengan melakukan terapi krioterapi dengan menggunakan

laser untuk menghancurkan area retina yang avasculer.Terapi ini biasa dilakukan pada

usia gestasi yang mencapai 37-40 minggu. Jika dalam pemeberian terapi ini kedaan terus

memburuk maka diperlukan kombinasi dengan terapi yang lain.

b. Krioterapi merupakan prosedur bedah yang sudah dilakukan sejak tahun 1970. Tetapi

pada terapi ini tingkat stress akan lebih tinggi maka dibutuhkan bnatuan ventilator.

Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan intraocular, hematom konjungtiva,

17
laserasi konjungtiva hingga bradikardi. Reduksi proses retinal detachement juga dapat

mencapai 50%.

c. Terapi bedah laser

Terapi ini cukup dipertimbangkan karena efektif untuk mengobati penyakit yang terjadi

pada zona 1 dan hasil inflamasi yang dihasilkan lebih ringan.Jika di bandingkan outcome

terapi bedah laser dengan korioterapi hamper sama dalam jangka waktu 7 tahun.

Keunggulan terapi laser adalah lebih mudah dilakukan dan dari segu visus terapi laser

lebih menguntungkan.Pada pasien anak terapi ini lebih dipilih, tetapi pada pasien dengan

nilai opasitas yang tinggi, korioterapi masi menjadi pilihan utama.

Penanganan dini dari kasus ROP memiliki prognosis akan lebih baik terutama pada usia

9 bulan hingga 2 tahun. Berdasarkan study oftalmologis, dibagi kasus yang membutuhakan terapi

dengan yang tidak membutuhkan terapi :

1. Membutuhkan terapi :

a. Mata dengan zona 1 stadium 3 ROP tanpa penyakit plus

b. Mata dengan zona 2, stadium 2 atau 3 dengan penyakit plus

2. Tipe yang membutuhkan observasi

a.mata dengan zona 1, stadium 1 atau stadium 2 tanpa penyakit plus

b. mata dengan zona 2 stadium 3 ROP tanpa penyakit plus.

Semakin imatur vaskularisasi retina atau semakin serius kondisi penyakit pasien maka

makin singkatlah interval pemeriksaan berikutnya yang bertujuan untuk mengetahui

perkembangan yang terjadi pada penyakit tersebut.Setelah dilakukan intervensi bedah maka

dibutuhkan juga pemeriksaan berkala 1-2 minggu dan mempertimbangkan adanya terapi bedah

18
tambahan. Monitoring ini dilakukan sampai vaskularisasi tumbuh dengan sempurna dan matur.

Hal ini sering menjadi penyebab kehilangan penglihatan akibat terabaikannya perkembangan.

Biasanya ablasio retina akan timbul pada usia 38-42 minggu.

Meskipun tidak kehilangan penglihatan 20% kasus akan mengalami strabismus. Untuk

mencegah munculnya strabismus maka dilakukan pemeriksaan dari usia 6 bulan hingga 3 tahun.

Beberapa pasien juga akan mengalami glaucoma, maka dibutuhkan pemeriksaan secara berkala

setiap tahunnya.

2.3.9 Komplikasi

Jangka panjang penyakit ini memungkinkan terjadinya myopia, ambliopia, strabismus

yang bisa membaik setelah usia 9 tahun, nistagmus katarak, rupture retina dan balasio retina

2.3.10 Prognosis

Prognosis ROP ditentukan oleh zona dan stadiumnya. Pasien yang memiliki ROP

stadium dini ( I dan II ) tanpa perburukan prognosisnya baik.

2.4 Retinoblastoma

2.4.1 Definisi

Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel kerucut sel
batang) atau sel glia yang bersifat ganas. Merupakan tumor ganas intraokuler yang ditemukan
pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun. Tumor berasal dari jaringan retina
embrional.Dapat terjadi unilateral (70%) dan bilateral (30%).Sebagian besar kasus bilateral
bersifat herediter yang diwariskan melalui kromosom. Massa tumor diretina dapat tumbuh
kedalam vitreus (endofitik) dan tumbuh menembus keluar (eksofitik). Pada beberapa kasus
terjadi penyembuhan secara spontan.Sering terjadi perubahan degeneratif, diikuti nekrosis dan

19
klasifikasi. Pasien yang selamat memiliki kemungkinan 50% menurunkan anak dengan
retinoblastoma. Pewarisan ke saudara sebesar 4-7%.

Retinoblastoma adalah tumor endo-okular pada anak yang mengenai saraf embrionik
retina. Kasus ini jarang terjadi, sehingga sulit untuk dideteksi secara awal. Rata rata usia klien
saat diagnosis adalah 24 bulan pada kasus unilateral, 13 bulan pada kasus kasus bilateral.
Beberapa kasus bilateral tampak sebagai kasus unilateral, dan tumor pada bagian mata yang lain
terdeteksi pada saat pemeriksaan evaluasi. ini menunjukkan pentingnya untuk memeriksa klien
dengan dengan anestesi pada anak anak dengan retinoblastoma unilateral, khususnya pada usia
dibawah 1 tahun. .

Retinoblastoma adalah kanker yang dimulai dari retina – lapisan sensitif di dalam
mata.Retinoblastoma umumnya terdapat pada anak-anak.Retina terdiri dari jaringan syaraf yang
merespon cahaya masuk ke mata.Kemudian retina mengirimkan sinyal melalui syaraf optik ke
otak, dimana sinyal diinterpretasikan sebagai gambar.

Gen retinoblastoma adalah tumor dengan gen yang resesif, berada pada lengan
kromosom 13 pada daerah 14, kode itu untuk protein RB. Penyakit terjadi dari mutasi yang yang
membuat allel normal menjadi inactive.

Sekitar 60 % retinoblastoma muncul sekunder menjadi somatik dan mutasi yang tidak
diturunkan. Mutasi tersebut menyebabkan tumor yang predominan secara unilateral dan
menyebabkan tumor unifokal. Sekitar 40% tumor disebabkan oleh mutasi akibat infeksi yang
bisa dikarenakan keturunan atau karena sudah ada faktor mutasi karena infeksi yang diturunkan
(sejarah keluarga positif, 10 % ) atau onset baru akibat mutasi yang disebabkan infeksi, ( riwayat
keluarga negatif, 30%). Pola keturunan adalah suatu tipe dari autosomal yang dominan.

2.4.2 Patogenesis

Retinoblastoma biasanya tumbuh dibagian posterior retina. Tumor terdiri dari sel-sel
ganas kecil, bulat yang berlekatan erat dengan sitoplasma sedikit. 5 Jika timbul dalam lapisan inti
interna, tumor itu tumbuh ke dalam ( endofitik ) mengisi rongga kaca dan tumbuh kearah luar (
exofitik ) menembus koroid, sklera dan ke N. Optikus.

20
Retinoblastoma ada 2 yaitu :

1. Tumor endofitik mungkin tampak sebagai suatu tumor tunggal dalam retina tetapi khas
mempunyai fokus ganda. Jika timbul dalam lapisan inti interna, tumor itu tumbuh ke
dalam dan mengisi ruang vitreus. Pertumbuhan endofitik ini mudah dilihat dengan
oftalmoskop.

2. Tumor eksofitik yang tumbuh ke arah luar menembus koroid, sklera dan ke N. Optikus,
diagnosis lebih sukar. Perluasan retinoblastoma ke dalam koroid biasanya terjadi pada
tumor yang masif dan mungkin menunjukkan peningkatan kemungkinan metastasis
hematogen. Perluasan tumor melalui lamina kribosa dan sepanjang saraf mata dapat
menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat. Invasi koroid dan saraf mata
meningkatkan resiko penyakit metastase.

Karena tumor ini jarang mengalami metastasis sebelum terdeteksi, masalah utama dalam
diagnosis biasanya adalah penyelamatan ( preservasi) penglihatan yang bermanfaat.

Retinoblastoma yang tidak ditangani dengan baik akan berkembang didalam mata dan
akan mengakibatkan lepasnya lapisan retina, nekrosis dan menginvasi nervus optikus dan ke
sistem saraf pusat. Metastase biasanya terjadi dalam 12 bulan. Metastase tersering terjadi secara
langsung ke sistem saraf pusat melalui nervus optikus. Tumor juga bisa menyebar ke ruangan
subarachnoid ke nervus optikus kontralateral atau melalui cairan serebrospinal ke sistem saraf
pusat, dan juga secara hematogen ke paru-paru, tulang. Hampir semua pasien meninggal
disebabkan perluasan intrakranial dan metastase tumor yang terjadi dalam dua tahun. Faktor
yang menyebabkan prognosis yang buruk adalah diagnosa tumor yang lambat, tumor yang
besar, dan umur lebih tua, hasil pemeriksaan yang menunjukan terkenanya nervus optikus, dan
perluasan extraocular.

21
2.4.3 Klasifikasi

Klasifikasi Reese-Ellsworth (R-E), yaitu :

 Group I

a. Tumor soliter, ukuran diameter kurang dari 4 disk, pada atau dibelakang garis equator.

b. Tumor yang multiple, ukuran diameter tidak ada melebihi 4 disk,semua pada garis atau

dibelakang garis ekuator.

 Group II

a.Tumor soliter, ukuran diameter 4 atau 10 disk, pada atau dibelakang garis equator.

b. Tumor multiple, ukuran diameter 4 atau 10 disk, dibelakang garis ekuator.

 Group III

a. Luka apapun pada anterior di depan garis ekuator.

b. Tumor soliter, ukuran diameter lebih besar dari 10 disk, dibelakang garis ekuator.

 Group IV

a. Tumor multiple, beberapa diameter lebih besar dari 10 disk.

b. Luka apapun yang memanjang didepan ke ora serata

 Group V

a. Penyebaran yang massif mengenai setengah dari retina

b.penyebaran ke vitreus

Klasifikasi Internasional Intraokuler Retinoblastoma ( IIRC ) dikembangkan untuk dapat


memperkirakan hasil dari pengobatan (terutama dengan kemoterapi dan fokal terapi dengan
radiasi sebagai tindakan penyelamatan dan pencegahan terhadap terjadinya kekambuhan). IIRC
telah memastikan dengan menghubungkan antara keparahan penyakit pada saat diperiksa dan

22
kemudian setelah dilakukan terapi dan juga setelah dilakukan terapi sebagai tindakan
penyelamatan.

Prinsip umum klasifikasi II RC:

 Grup A :

Mata dengan tumor ukuran kecil jauh dari macula dan nervus optikus yang secara primer
hanya dilakukan fokal terapi.

Gambar 3. Retinoblastoma Grup A

 Grup B :

Mata dengan tumor berukuran sedang atau tumor pada macula dan nervus optikus
yangsaat dilakukan beberapa kali kemotherapi mengecil, kemudian selanjutnya dilakukan
dengan terapi fokal.

Gambar 4. Retinoblastoma Grup B

Gambar Retinoblastoma Grup B

 Group C :

Mata dengan dengan ukuran tumor besar dengan berbatas pada vitreous dan ataumenyebar
ke subretinal yang secara primer dilakukan terapi dengan kemoterapidilanjutkan dengan fokal
terapi (Gambar 5).

23
Gambar 5. Retinoblastoma Grup C

 Group D :

Mata dengan ukuran tumor besar dengan penyebaran yang luas pada vitrous dan
subretinal yang juga secara primer dilakukan kemoterapi dan fokal terapi (Gambar 6).

Gambar 6. Retinoblastoma Grup D

24
Banyak dari pusat kesehatan menggunakan radiasi sinar eksternal namun hanya efektif untuk
tingkat mortalitas pada group B, C, D, mata yang telah gagal dengan kemoterapi dan fokal terapi
lebih baik dilakukan terapi elektif .

 Group E:

Mata dengan resiko tinggi di masa dating seperti tumor yang telah mencapai lensa,
neovaskularisasi, glaukoma, selulitis orbita, segmen anterior, bilik mata depan,keterlibatan iris
dan siliaris dalam bekerja ( Gambar 7).

Gambar 7. Retinoblastoma Grup E

Tabel 2. Klasifikasi IIRC

Group A

 Mata dengan ciri-ciri tumor yang tidak mengubah struktur dari mata

 Tumor berukuran 3mm atau lebih kecil yang dengan batas ke retina >3mm dari
fovea, >1,5 mm dari nervus optikus, tidak ada penyebaran ke vitreus dan
subretinal

Group B

 Tumor dimata tanpa penyebaran ke vitreous dan subretina dengan tanda khas
tumor dengan ukuran dan lokasi yang tidak ditentukan.

 Tumor yang tidak termasuk dalam group A dengan tidak ada penyebaran ke
vitreus dan subretina, cairan subretina > 3mm dari dasar tumor

25
Group C

 Diskret fokal dengan penyebaran minimal pada vitreus dan subretinal

 Cairan subretina pada saat sekarang atau lampau tanpa penyebaran dan
melibatkan hingga 0.25 retina.

 Penyebaran lokal pada subretinal pada saat sekarang kurang dari 3mm(2DD) dari
tumor

 Penyebaran lokal vitreus ke tumor

Grup D

 Tumor difuse dengan penyebaran vitreous dan subretinal yang signifikan

 Tumor dapat invasive atau difus

 Cairan subretina pada saat sekarang atau lampau tanpa penyebaran yang
melibatkan seluruh perlekatan retina.

 Penyebaran subretina yang difus pada saat sekarang atau lampau yang mungkin
termasuk plak subretina atau nodul tumor

 Penyakit vitreus yang massif atau difus berupa gambaran yang kotor atau massa
tumor yang avaskuler

Group E

 Munculnya salah satu atau lebih prognosis yang buruk dimasa depan

 Tumor mencapai lensa

 Neovaskuler glaukoma

 Tumor anterior yang mencapai bagian anterior pada vitreus yang melibatkan
badan siliaris atau segmen anterior.

26
 Retinoblastoma yang infiltratif dan difuse

 Media berbentuk opaq yang berasal dari pendarahan

 Tumor nekrosis dengan celulitis orbital aseptic

 Pthisis bulbi

2.4.3 Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul pada penderita yang mengalami Retinoblastoma :

1. Massa kecil di retina

2. Mata Juling (strabismus)

3. Mundurnya visus sampai buta

4. Pupil berwarna putih ( leukokoria )

5. Bila mata kena sinar akan memantul seperti mata kucing yang disebut “amurotic cat’s
eye”( Gambar 8).

6. Buphthalmos

7. Kerusakan retina

8. Endopthalmitis

9. Panophthalmitis

10. Protopsis

11. Hifema

27
Gambar 8. Retinoblastoma cat’s eye

Leukokoria ( reflex putih atau pupil yang berwarna putih, dibandingkan dengan yang
normal yaitu berwarna merah) adalah gejala yang paling sering timbul dan seringkali disadari
oleh keluarga. Pada pemeriksaan fisik reflex merah yang normal lebih berwarna orange (bisa
terjadi salah interpretasi), dan dapat berubah-ubah bergantung dari pigmentasi iris . Optic disc
normal dapat berwarna kekuningan yang disebabkan oleh perubahan sudut dan ini bukan
merupakan tanda yang berbahaya.

Pada anak yang sehat dilakukan pemeriksaan sejak lahir hingga usia 3 tahun dan kepada
orangtua harus ditanyakan tentang keluhan terhadap mata anak. Pemeriksaan fisik termasuk
evaluasi untuk refleks mata merah atau kelainan mata lain hingga anak berusia 3 tahun dan
kemudian pemeriksaan tajam penglihatan dapat dilakukan. Jika leukokoria diperiksa atau jika
ada keraguan tentang refleks merah anak harus diperiksakan ke dokter spesialis mata dalam
seminggu sekali. Tanda kedua yang paling umum dari retinoblastoma adalah strabismus.1

Massa tumor yang cukup besar dalam rongga vitreous dapat mendorong iris ke depan
sehingga sudut bilik mata tertutup akibat gangguan aliran aqueous dan menimbulkan glaukoma.
Glaoukoma yang timbul pada anak dibawah usia 3 tahun akan menyebabkan buphthalmos, gejala
yang cukup sering setelah leukokoria.

Sel-sel tumor yang terlepas dari masa tumor kedalam vitreous ( vitreous seeding ) dalam
jumlah banyak dan cukup massif akan memperlihatkan gejala endophthalmitis atau uveitis
posterior.

Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah mata merah, berair, kornea yang berawan,
perubahan warna iris (disebabkan oleh neovaskularisasi), inflamasi, hifema(darah diruangan
anterior) .

28
Massa tumor yang tumbuh kearah dinding bola mata ( exophyttic ) dapat menyebabkan
ablasio retina exudativa. Pada stadium lanjut tumor dapat menembus sklera masuk kedalam
jaringan orbita menyebabkan mata merah dan menonjol ( protopsis ) memberi gambaran seperti
panophthalmitis dan selulitis orbita. Pada stadium lanjut sel-sel tumor dapat juga meluas ke
intrakranial melalui N-II atau bermetastasis ke sumsum tulang melalui darah atau melalui
saluram lymph regional.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis retinoblastoma ditegakkan berdasarkan gejala subyektif dan gejala obyektif,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang .

Gejala subyektif
Biasanya sukar ditemukan karena anak tidak mengeluh. Kelainan ini dapat dicurigai bila
ditemukan adanya leukokoria (Refleks putih pada pupil dan dapat disebabkan karena kelainan
pada retina, badan kaca, dan lensa), strabismus, glaukoma (suatu penyakit dimana gambaran
klinik yang lengkap ditandai oleh peninggian tekanan intraokluler, penggunaan dan degenerasi
papil saraf optik serta defek lapang pandangan yang khas), mata sering merah atau penglihatan
yang menurun pada anak-anak.

Gejala obyektif
a. Tampak adanya suatu massa yang menonjol di dalam badan kaca
b. Massa tumor dapat menonjol di atas retina ke dalam badan kaca pada retinoblastoma tipe
endofitik atau terletak di bawah retina terdorong ke dalam badan kaca seperti pada tipe
eksofitik.
c. Masa tumor tampak sebagai lesi yang menonjol berbentuk bulat, berwarna merah jambu,
dapat ditemukan satu atau banyak pada satu mata atau kedua mata.
d. Sering terdapat neovaskularisasi di permukaan tumor.
e. Mungkin juga ditemukan adanya mikroneurisma atau Teleangiektasi.
f. Pada pemeriksaan funduskopi pada lesi ini tidak ditemukan tanda peradangan seperti edema
retina, kekeruhan badan kaca dan lain-lain.

2.4.6 Pemeriksaan penunjang Retinoblastoma

29
Diagnosis RB tidak sama seperti dianosis keganasan lainnya, yang didahului dengan
biopsi, karena RB terletak didalam rongga mata yang merupakan kesatuan organ yang berisi
cairan, sehingga tidak mingkin dilakukan pengambilan cairan. Biopsi akan menyebabkan
kemungkinan metastasis ekstraokuler sehingga memperburuk prognosis.

Diagnosis hanya dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan hasil pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
a. Imaging
Pemeriksaan penunjang, seperti ultrasonography ( USG ) dan CT-Scan angat membantu
menegakkan diagnosa, walaupun kesalahan diagnosa dapat dijumpai.
 Ultrasonografi. Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita yang belum protopsis. Dengan
USG dapat diketahui : (1) ukuran panjang bola mata ( axial lenght) yang biasanya normal
pada RB, kecuali bila terdapat buphthalmos. (2) letak, besar dan bentuk massa tumor di
dalam bola mata, perluasan tumor ke N. Optikus atau ke dalam bola orbita. RB
memperlihatkan gambaran USG yang khas sehingga memberikan ketepatan diagnosi
sampai 90 %, yaitu adanya reflektivitas yang tinggi mencapai 100% pada A scan yang
menunjukkaan tanda kalsifikasi dan shadowing effect positif.
 CT Scan kepala orbita, bila terdapat protopsis, kecurigaan perluasan tumor ke
ekstraokular, metastasis intrakranial, pada USG terdapat perluasan ke N.II, serta menilai
adanya trilateral pada midlinecranial.
 Bone survey bila aspirasi sumsum tulang positif, nyeri atau pembengkakan tulang

b. Pemeriksaan lain :
Pemeriksaan punsi sumsum tulang ( BMP ) bila ada protopsis dan pemeriksaan pungsi
lumbal ( LP ) bila terdapat gejala peninggian tekanan intrakranial atau penyebaran tumor
ke N.II pasca operasi.
c. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan Patologi Anatomi ( PA ) bola mata yang mengandung tumor
ditujukanuntuk konfirmasi diagnosis istopatologik beserta defferensiasi tumor
(defferensiasi baik,deferensiasi buruk ) dan penetapan perluasan tumor.

30
2.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan dari retinoblastoma telah berubah secara dramatis sejak beberapa tahun
belakangan sehubungan dengan evolusi dari kemajuan teknik operasi.Tujuan dari terapi adalah
diutamakan untuk menyelamatkan hidup pasien dan juga mata pasien.

1. Tumor intraokular

a. Dini : besar tumor < 4 disc diameter dan tebal < 2,5 mm tergantung lokasi tumor
dapat dilakukan tindakan fotoagulasi dan atau krioterapi.

b. Untuk tumor lanjut intraokular yang belum terjadi vitreous seeding, bola mata
dipertahankan tanpa dilakukan enukleasi dengan cara kemoreduksi pemberian
kemoterapi kombinasi Carboplatin etoposide dan vitreuos sebanyak 2 siklusuntuk
mengecilkan massa tumordilanjutkan fokal terapidengan fotokoagulasi atau
terapikrio.

c. Lanjut : stadium 4 dan 5 intraokular dan tajam penglihatan nol dilakukan tindakan
bedah pengangkatan bola mata ( enukleasi ). Pengobatan selanjutnya tergantung
dari pemeriksaan patologi anatomi. Bila hasil pemeriksaan patologi anatomi pada
RB unilateral menunjukkan tumor telah menembus sklera atau infiltrasi difus ke
koroid atau korpus; pengobatan dilanjutkan dengan kemoterapi. Khusus untuk
kasus dengan infiltrasi N.optikus post laminar pengobatan dilanjutkan dengan
radioterapi dan kemoterapi. Harus diingat bahwa pemberian radioterapi pada anak
< 2 tahun tidak dianjurkan.

Untuk tumor bilateral tindakan pengobatan sesuai dengan masing-masing stadium tumor.
Bila hasil PA menunjukkan perluasan ekstratraokular pengobatan dilanjutkan dengan kemoterapi
dengan atau tanpa radioterapi.

2. Tumor ekstraokular

Klinis dengan protopsis :

a. Bila secara radiologi pada retinoblastoma unilateral tidak ditemukan destruksi tulang
orbita, perluasan intrakranial dalam ( - ), metastasis jauh ( BMP / LP ) ( -) ; dilakukan

31
tindakan bedah mengangkat seluruh isi rongga mata ( eksenterasi orbita ), dilanjutkan
dengan radioterapi ( usia > 2 tahun ) dan kemoterapi

b. Bila secara radiologis pada RB unilateral ditemukan destruksi dinding orbita, atau
metastase intrakranial dengan atau tanpa metastase jauh, tidak perlu dilakukan tindakan
bedah dan diberikan : radioterapi ( usia > 2 tahun ) dan kemoterapi

c. Tumor disertai pembesaran kelenjar regional, penderita diberikan pengobatan: radiasi ( >
2 tahun ) pada orbita dan kelenjar limfe yang membesar dilanjutkan dengan kemoterapi

d. Tumor dengan metastasis jauh

Pada stadium lanjut ini gambaran kliniknya dapat sangat bervariasi pada masing-masing
penderita, oleh karenanya pengobatan berdasarkan penilaian secara tersendiri kasus demi
kasus. Pilihan pengobatan ialah kemoterapi dan radioterapi dapat dipertimbangkan
kemudian.

Pengamatan lanjut

Dilakukan dengan ketat secara periodik dengan jadwal pasca operasi tiap bulan selama I tahun ;
tahun ke II dan ke III tiap 3 bulan ; tahun ke IV dst tiap 6 bulan sampai berumur 6 tahun
selanjutnya tiap tahun.

Pengamatan ditujukan untuk :

1. Melihat ada tidaknya tumor residif pada soket mata yang di enukleasi / eksenterasi atau
tumor dini intraokular yang di terapi dengan fotokoagulasi atau krioterapi;

2. Melihat ada tidaknya massa tumor baru di mata yang sehat;

3. Mencari ada tidaknya keganasan non ocular terutama tulang yang biasanya pada kasus
bilateral;

4. Mengobservasi ada tidaknya metastasis jauh.

Pengobatan berdasarkan stadium.

 Bila diketahui dini dapat dilakukan :

32
1. Radiasi dengan sinar rontgen untuk menghancurkan tumor

2. Fotokoagulasi dengan sinar laser yang ditujukan pada tumor, sehinga mematikan tumornya

3. Crysurgery : suhu – 70 derajat celcius, dengan suatu alat diberikan pada tumor, sehingga
sel-sel tumor mati oleh suhu yang rendah ini, tanpa merusak jaringan mata yang lain
disekitarnya.

4. Kemoterapi, dengan sitostatika.

 Pada stadium yang lebih lanjut :

1. Bila masih intraokular, dilakukan enukleasi bulbi.

2. Kalau sudah ekstraokular, dilakukan eksenterasi orbita

Pada keduanya disusul dengan radiasi, untuk menghindarkan kekambuhan.

2.4.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita retinoblastoma :

1) Glaukoma
Kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan tekanan intra okuler (TIO), dimana
dapat mengakibatkan pencekungan papil syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf
optik, penyempitan lapang pandang dan penurunan tajam pengelihatan

2) Osteosarkoma
3) Kebutaan
4) Kematian

Adanya metastase ke :

a. Lamina kribosa, saraf optik yang infiltrasi ke vaginal scheat sampai ke subarachnoid
dan intrakranial menjadi tumor otak.
b. Jaringan koroid (metastase melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh)
c. Pembuluh emisari/tumor yang menjalar ke posterior orbita.

33
2.4.9 Prognosis

Angka kesembuhan keseluruhan lebih dari 90%, meskipun ketahanan hidup sampai
dekade ketiga dan keempat yang mungkin dapat menurun akibat insidensi keganasan sekunder
yang tinggi. Kesembuhan yang terjadi pada penderita dengan orbita yang masif atau keterlibatan
saraf mata yang luas pada waktu diagnosis, yang mungkin mempunyi perluasan intrakranial dan
metastasis jauh, jika pemeriksaan mikroskopik menunjukkan tumor di jaringan saraf mata
periglobal, ada kemungkinan kecil ketahanan hidup jangka panjang dengan iradiasi dan
kemoterapi.

- Bila masih terbatas diretina kemungkinan hidup 95 %


- Bila metastase ke orbita kemungkinan hidup 5 %
- Bila metastase ke tubuh kemungkinan hidup 0

2.5 Katarak Kongenital

2.5.1 Definisi
Katarak kongenital merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mulai terjadi sebelum atau

segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan

penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat.

2.5.3 Epidemiologi

Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan terbanyak pada anak-anak di seluruh

dunia. Berdasarkan data WHO, terdapat sekitar 15% kebutaan yang terjadi pada anak merupakan

katarak kongenital bilateral. Tiga dari 1000 anak yang lahir di negara industri didiagnosis katarak

kongenital pada tahun pertama kelahiran.

Katarak kongenital lebih banyak terjadi di negara berkembang. Dua puluh persen dari

kejadian katarak kongenital bilateral disebabkan familial, 20% disebabkan sindroma atau

kelainan metabolik, 5% disebabkan infeksi intrauterin, dan 50% idiopatik.

34
2.5.4 Etiologi

Pada kebanyakan pasien, penyebab atau etiologi yang mendasari katarak kongenital ini

tidak diketahui atau idiopatik. Tapi dari berbagai penelitian, faktor keturunan atau herediter

memainkan peranan yang besar dalam penyakit ini. Katarak kongenital ini diturunkan secara

autosomal dominan sebanyak 23% dari seluruh kejadian katarak kongenital. Sering disertai

dengan kelainan kongenital lainnya seperti mikroftalmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus,

lensa ektopik, displasia retina, dan megalokornea.

Selain herediter katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-

ibu yang menderita infeksi ketika masa kehamilannya. Infeksi intra uterin ini antara lain berupa

infeksi Rubella, Varicella, Toxoplasmosis, Herpes Simplex, Rubeola, Cytomegalo virus, serta

Poliomyelitis, terutama yang terjadi saat kehamilan trimester I .

Penyebab lain yang diketahui adalah yang berhubungan dengan kelainan kromosom seperti

Trisomi 21 (Sindrom Down), Sindrom Turner, Trisomi 13, Trisomi 18, Sindrom Cri du Chat.

Selain itu, ada yang berhubungan dengan gangguan metabolik seperti Galaktosemia, Defisiensi

galaktonase, Hipokalsemia, Hipoglikemia, Diabetes Mellitus.

Ada juga yang diinduksi oleh pemakaian obat-obatan selama kehamilan seperti

Kortikosteroid dan Klorpromazine; diinduksi oleh paparan radiasi; berhubungan dengan

Retardasi Mental; Sindrom kraniofasial; Penyakit neurometabolik; Penyakit muskular; dan

Penyakit Dermatologikal.

2.5.5 Patogenesis
Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang didapatkan sejak lahir, dan terjadi

akibat gangguan perkembangan embrio intrauterin. Biasanya kelainan ini tidak meluas mengenai

35
seluruh lensa. Letak kekeruhan sangat tergantung pada saat terjadinya gangguan metabolisme

serat lensa. Katarak kongenital yang terjadi sejak perkembangan serat lensa terlihat segera

setelah bayi lahir sampai berusia 1 tahun. Katarak ini terjadi karena gangguan metabolisme serat-

serat lensa pada saat pembentukan serat lensa akibat infeksi virus atau gangguan metabolisme

jaringan lensa pada saat bayi masih di dalam kandungan, dan gangguan metabolisme oksigen.

Pada katarak kongenital, kelainan utama terjadi di nucleus fetal atau nucleus embrional

(tergantung pada waktu stimulus kataraktogenik), atau di kutub anterior atau posterior lensa

apabila kelainannya terletak di kapsul lensa. Stimulasi faktor-faktor kataraktogenik (seperti

infeksi intrauterine, trauma, penyakit metabolic) ke nukleus atau serat lentikuler, dapat

menyebabkan kekeruhan pada media lentikuler yang jernih.

Kekeruhan pada katarak kongenital jarang sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa.

Letak kekeruhannya tergantung saat terjadinya gangguan pada kehidupan janin, sesuai dengan

perkembangan embriologik lensa. Bentuk katarak congenital memberikan kesan tentang

perkembangan embriologik lensa, juga saat terjadinya gangguan pada perkembangan tersebut.

2.5.6 Klasifikasi

Katarak lamelar atau zonular, katarak polaris anterior (piramidalis anterior, kutub anterior),

katarak polaris posterior (piramidalis posterior, kutub posterior), katarak inti (nukleus), katarak

sutural.

1. Katarak Lamellar atau Zonular

36
Di dalam perkembangan embriologik dimana pada permulaan terdapat perkembangan serat

lensa maka akan terlihat bagian lensa yang sentral yang lebih jernih. Kemudian terdapat serat

lensa keruh dalam kapsul lensa. Kekeruhan berbatas tegas dengan bagian perifer tetap bening.

Katarak lamelar ini mempunyai sifat herediter dan ditransmisi secara dominan. Katarak biasanya

bilateral. Terlihat segera sesudah bayi lahir. Kekeruhan dapat menutupi seluruh celah pupil,

sehingga bila tidak dilakukan dilatasi pupil sering dapat mengganggu penglihatan. Gangguan

penglihatan pada katarak Zonullar tergantung pada derajat kekeruhan lensa. Bila kekeruhan

sangat tebal sehingga fundus tidak dapat terlihat pada pemeriksaan oftalmoskopi, maka perlu

dilakukan aspirasi dan irigasi lensa (Gambar 9).

Gambar 9.Katarak lamellar

2. Katarak Polaris Anterior

Gangguan terjadi pada kornea belum seluruhnya melepaskan lensa dalam perkembangan

embrional. Hal ini yang mengakibatkan terlambatnya pembentukan bilik mata depan pada

perkembangan embrional. Kadang-kadang didapatkan suatu bentuk kekeruhan yang terdapat di

dalam bilik mata depan yang menuju kornea sehingga memperlihatkan bentuk kekeruhan seperti

piramid. Katarak jenis ini tidak progresif. Pengobatan sangat tergantung keadaan kelainan. Bila

sangat mengganggu tajam penglihatan atau tidak terlihatnya fundus pada pemeriksaan

oftalmoskopi, maka dilakukan pembedahan (Gambar 10).

37
Gambar 10. Katarak Polaris Anterior

3. Katarak Polaris Posterior.

Disebabkan karena menetapnya selubung vaskuler lensa. Kadang-kadang terdapat

arteri hialoid yang menetap, sehingga mengakibatkan kekeruhan pada lensa bagian

belakang. Pengobatan dengan melakukan pembedahan lensa (Gambar 11).

Gambar 11.Katarak Polaris Posterior

4. Katarak Inti ( Nuclear)

Jarang ditemukan dan tampak sebagai bunga karang. Kekeruhan terletak di daerah nukleus

lensa. Sering hanya merupakan kekeruhan berbentuk titik-titik. Gangguan terjadi pada waktu

kehamilan 3 bulan pertama. Biasanya bilateral dan berjalan tidak progresif. Biasanya herediter

38
dan bersifat dominan. Tidak mengganggu tajam penglihatan. Pengobatan, bila tidak mengganggu

tajam penglihatan maka tidak memerlukan tindakan ( Gambar 12).

Gambar 12. Katarak Inti ( Nuklear )

5. Katarak Sutural

Y suture merupakan garis pertemuan serat-serat lensa primer dan membentuk batas depan

dan belakang daripada inti lensa. Katarak sutural merupakan kekeruhan lensa pada daerah sutura

fetal, bersifat statis, terjadi bilateral dan familial. Karena letak kekeruhan ini tidak tepat

mengenai media penglihatan maka ia tidak akan mengganggu penglihatan. Biasanya tidak

dilakukan tindakan ( Gambar 13).

Gambar 14. Katarak Sutural

39
2.5.7 Manifestasi Klinis Katarak Kongenital

Pada pupil mata bayi yang menderita katarak congenital, akan terlihat bercak putih atau

suatu leukokoria. Leukokoria dapat terjadi parsial maupun total, dan bisa terjadi pada satu mata

(unilateral) atau pada kedua mata (bilateral). Pada setiap leukokoria diperlukan pemeriksaan

yang lebih teliti untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pemeriksaan leukokoria

dilakukan dengan melebarkan pupil. Selain itu, bayi gagal menunjukkan kesadaran visual

terhadap lingkungan sekitarnya.

Pada katarak kongenital total, penyulit yang dapat terjadi adalah macula lutea yang tidak

cukup mendapat rangsangan. Macula ini tidak akan berkembang sempurna sehingga walaupun

dilakukan ekstraksi katarak, maka visus biasanya tidak akan mencapai 5/5. Hal ini disebut

ambliopia sensoris (ambliopia ex anopsia). Katarak kongenital dapat menimbulkan komplikasi

lain berupa nistagmus dan strabismus.

Pemeriksaan Katarak Kongenital

Selain memperhatikan manifestasi klinis yang terjadi, pemeriksaan lain yang bisa

dilakukan adalah dengan melihat refleks fundus. Untuk mengetahui penyebab katarak congenital,

diperlukan riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubella pada kehamilan trimester I dan pemakaian

obat selama kehamilan. Kadang-kadang terdapat riwayat kejang, tetani, ikterus, atau

hepatosplenomegali pada ibu hamil.

Bila katarak disertai uji reduksi pada urin yang positif, mungkin katarak ini terjadi akibat

galaktosemia. Sering katarak congenital ditemukan pada bayi prematur dan gangguan system

saraf seperti retardasi mental. Pemeriksaan darah pada katarak kongenital perlu dilakukan karena

ada hubungannya dengan diabetes mellitus, kalsium, dan fosfor.

40
2.5.8 Diagnosis Banding Katarak Kongenital

Setiap bayi dengan leukokoria sebaiknya dipikirkan diagnosis bandingnya seperti

retinoblastoma, endoftalmitis, fibroplasi retrolental, hiperplastik vitreus primer, dan miopia

tinggi di samping katarak sendiri.

2.5.9 Penatalaksanaan Katarak Kongenital

Katarak kongenital merupakan katarak perkembangan sehingga sel-sel atau serat lensa

masih muda dan berkonsistensi cair. Umumnya tindakan bedah dilakukan dengan disisio lentis

atau ekstraksi linear. Tindakan bedah biasanya dilakukan pada usia 2 bulah untuk mencegah

ambliopia eks-anopsia. Pasca bedah pasien memerlukan koreksi untuk kelainan refraksi matanya

yang telah menjadi afakia.

a. Konservatif

Pada katarak yang belum memerlukan tindakan operasi, pada tahap awal dapat diberikan

obat untuk dilatasi pupil seperti atropine ED 1%, midriasil ED 1%, dan homatropin ED.

Pemberian obat ini hanya bersifat sementara, karena jika kekeruhan lensa sudah tebal sehingga

fundus tidak dapat dilihat, maka harus dilakukan operasi. Oleh karena itu, katarak congenital

dengan kekeruhan sedikit atau parsial perlu dilakukan follow-up yang teratur dan pemantauan

yang cermat terhadap visusnya.

b. Operatif

Pada beberapa kasus, katarak congenital dapat ringan dan tidak menyebabkan gangguan

penglihatan yang signifikan, dan pada kasus seperti ini tidak memerlukan tindakan operatif. Pada

41
kasus yang sedang hingga berat yang menyebabkan gangguan penglihatan, operasi katarak

merupakan terapi pilihan. Operasi katarak congenital dilakukan bila reflex fundus tidak tampak.

Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada pasien 2 bulan atau lebih muda

bila telah dapat dilakukan pembiusan.

Tindakan bedah pada katarak congenital yang umum dikenal adalah disisio lensa, ekstraksi

linear, dan ekstraksi dengan aspirasi. Pengobatan katarak congenital bergantung pada:

1. Katarak total bilateral, sebaiknya dilakukan pembedahan secepatnya segera setelah katarak

terlihat.

2. Katarak total unilateral, dilakukan pembedahan 6 bulan sesudah terlihat atau segera

sebelum terjadinya juling; Pada katarak congenital total unilateral, mudah sekali terjadi

ambliopia. Karena itu sebaiknya dilakukan pembedahan secepat mungkin dan diberikan

kacamata segera dengan latihan bebat mata.

3. Katarak bilateral parsial, biasanya pengobatan lebih konservatif, sehingga sementara dapat

dicoba dengan kacamata atau midriatika. Bila terjadi kekeruhan yang progresif disertai

dengan mulainya tanda-tanda juling dan ambliopia, maka dilakukan pembedahan, biasanya

mempunyai prognosis yang lebih baik.

Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler (EKEK) merupakan terapi operasi pilihan. Berbeda

dengan ekstraksi lensa dewasa, sebagian besar ahli bedah mengangkat kapsul posterior dan

korpus vitreum anterior dengan menggunakan alat mekanis dan pemotong korpus vitreum. Hal

ini untuk mencegah pembentukan kekeruhan kapsul sekunder, atau katarak ikutan, oleh karena

pada mata yang muda kekeruhan lensa terjadi sangat cepat.

42
Tindakan bedah pada disisio lentis adalah dengan menusuk atau merobek kapsul anterior

lensa dengan harapan badan lensa yang cair keluar. Badan lensa yang keluar akan mengalir

bersama cairan mata (aquos humor), atau difagositosis oleh makrofag. Setelah terjadi absorbsi

sempurna, maka mata menjadi afakia atau tidak mempunyai lensa lagi.

Disisio lensa sebaiknya dilakukan sedini mungkin, karena fovea sentralisnya harus

berkembang waktu bayi lahir sampai umur 7 bulan. Kemungkinan perkembangan terbaik adalah

pada umur 3-7 bulan. Syarat untuk perkembangan ini fovea sentralis harus mendapatkaan

rangsangan cahaya yang cukup. Jika katarak dibiarkan sampai anak berumur lebih dari 7 bulan,

biasanya fovea sentralisnya tidak dapat berkembang 100%, visusnya tidak akan mencapai 5/5

walaupun dioperasi. Operasi dilakukan pada satu mata dahulu. Bila mata ini sudah tenang, mata

sebelahnya dapat dioperasi pula.

Koreksi optis sangat penting bagi bayi dan anak. Koreksi tersebut dapat dilakukan dengan

beberapa cara, antara lain dengan implantasi lensa buatan (IOL) setelah dilakukan ekstraksi

lensa, pemberian kacamata atau lensa kontak. Implantasi lensa buatan pada bayi masih

controversial. Alasannya antara lain karena kesulitan dalam menentukan kekuatan lensa yang

harus diberikan, terutam pada mata yang masih dalam pertumbuhan. Selain itu lensa buatan tidak

dapat berakomodasi. Oleh karena itu, beberapa pakar lebih menganjurkan penggunaan lensa

kontak dan kacamata sebagai koreksi optis pada anak dan bayi setelah bedah katarak.

2.5.10 Komplikasi Katarak Kongenital

Komplikasi yang dapat terjadi pada katarak congenital adalah kehilangan penglihatan,

ambliopia, strabismus, dan nistagmus.

2.5.11 Prognosis Katarak Kongenital

43
Prognosis penglihatan pasien dengan katarak congenital yang memerlukan pembedahan

tidak sebaik prognosis untuk pasien senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali

syaraf optikus atau retina, membatasi tingkat pencapaian penglihatan pada pasien. Perbaikan

visus setelah tindakan operasi katarak kongental unilateral sekitar 40% mencapai 20/60 atau

lebih baik, sedangkan pada katarak congenital bilateral sekitar 70% mencapai 20/60 atau lebih

baik. Prognosis lebih jelek pada pasien dengan kelainan okuler dan penyakit sistemik lainnya.

2.6 Toksokariasis

2.6.1 Epidemiologi

Toksokariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxocara cani. Larva parasit ini

terdapat di tanah pada daerah yang kumuh dan ramai.

Faktor resiko infeksi toksokariasis adalah kontak dengan anjing,khususnya anak anjing.

Anak-anak usia 4-8 tahun adalah kelompok yang paling sering dikenai. Selain itu infeksi juga

terjadi akibat tertelannya larva yang ada pada tanah yang terkontaminasi oleh kotoran anjing.

Siklus hidup dimulai pada anjing yang tertelan larva toxocara sp pada 5 cara, yaitu

tertelan langsung telur dengan larva stadium satu,larva stadium dua pada daging rodensia,

tertelan larva pada kotoran/muntsh dari anjing kecil,larva pada susu induk anjing,dan migrasi

transplasental.

Infeksi toxokariasi pada manusia terjai setelah termakan larva yang terdapat pada tanah

yang terkontaminasi oleh kotoran anjing. Pada usus manusia larva akan menembus dinding

usus dan masuk ke pembuluh darah dan sampai ke hati, paru-paru,otak ,jantung dan mata, yang

dikenal dengan istilah Viseral Larva Migrans (VML)

2.6.2 Patogenesis

44
Larva cacing yang menyebar bisa ditremukan di hati,otak, mata , sum-sum tulang,

jantung,ginjal dan kelenjer limfe. Pada mata akan terjadi chronic sclerosing viritis,ablasio

retina,lesi pada retina dan koroid. Umumnya RPE terlibat dengan gambaran hiperplasia dan

kemudian atrofi, robekan membrana Bruch’s dan gambaran khas focal necrotizing granumatous

inflammation dengan terdapatnya koloni eosinofil, sel-sel epiteloid, sel-sel multinucleated,sel

plasma dan limfosit.

2.6.3 Gambaran Klinis

- Umumnya unilateral, sering pada anak-anak

- VLM pada anak yang kecil dan Okular larva Migrans pada anak yang agak besar, namun

keadaan ini jarang ditemukan pada mata.

- Lekositosis

- Visus menurun,floaters,fotofobia,lekokoria

- Strabismus

- Kronik endolftalmitis

- Granuloma retina posterior

- Granulomaretina retina perifer

- Perdarahan dan eksudat di retina

- Lesi/udem makula

- Lesi difus di retina

- Perubahan pigmen retina

- Atrofi papil

- Gambaran uveitis anterior ringan

2.6.4 Pemeriksaan Penunjang

45
- Darah rutin : lekositosis dan eosinofil meningkat

- ELISA ( dari serum, aquos humour, vitreus ) : IgG, IgM,IgE anti toksokara meningkat

- Sitologi cairan akuos/ vitreus ( terdapat eosinofilia)

- Radiologi : gambaran masa padat di retina, membrane vitreus antara massa dan polus

posterior, ablasio retina traksi atau lipatan dari posterior ke massa.

- Echocardiography : Highly reflective peripheral mass

2.6.5 Diagnosis

Diagnose toksokariasis pada mata ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan

ditunjang pemeriksaan laboratorioum. Pada toksokariasis pemeriksaan serologi ELISA

mendekati ketepatan diagnose hamper 90%. Pemeriksaan laboratorium lain juga membantu

untuk menegakkan diagnose.

2.6.6 Diagnosis Banding

- Retinoblastoma, endolftalmitis, ROP, PHPP , toksoplasmosis, Coat’s Disease, familial

exudative vitreoretinopathy

2.6.7 PenatalaksaanToksokariasis

Granuloma pada polus posterior atau perifer jarang menimbulkan reaksi radang, kalau

timbul biasanya ringan sehingga tidak memerlukan terapi. Bila terdapat peradangan yang berat,

gangguan visus, kerusakan pada daerah macula, dapat diberikan kortikostreoid local, peri ocular,

atau sistemik ( prednisolon 0,5-1 mg/ kgbb/ hari ) bersamaan dengan Tiabendazol 25 mg/kg BB,

2 kali sehari selama 5 hari, atau abendazol 800 mg 2 kali sehari selama 6 hari, atau mebendazol

100-200 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Terapi bisa juga dengan fotokoagulasi dan krioterapi.

Dilakukan tindakan operasi jika terdapat komplikasi seperti katarak dan ablasio retina.

46
2.6.8 Komplikasi

- Ablasio retina traksi

- Endolftalmitism pars planitis uveitis

- Lesi pada macula

- Papilitis

- Strabismus dan ambliopia

2.6.9 Prognosis

Prognosis toksokariasis pada mata tergantung pada umur pasien, lamanya penyakit

terdiagnosa, daerah mata yang dikenai dan derajat inflamasi yang terjadi.Anak-anak lebih

banyak terserang toksokariasis namun tanpa keluhan dan gejala, sehingga membuat lesi jadi

berat dan komplikasi sehingga terjadi gangguan visus.

2.7 Coat’s Disease

Penyakit Coats adalah gangguan idiophatic yang ditandai oleh perkembangan abnormal
dari pembuluh darah retina ( telangiectasia ) dengan eksudat progresif intraretinal atau
subretinal , berpotensi menyebabkan ablasio retina eksudatif .

2.7.1 Etiologi

Etiologi penyakit Coats masih belum diketahui, Diduga terdapat kaitan dengan komponen

herediter atau mutasi somatik pada gen NDP (Norrie Protein Disease).

2.7.2 Patogenesis dan Klasifikasi

47
Perjalanan klinis penyakit Coats bervariasi , tapi hampir selalu progresif .Sebagian besar
kasus, berkembang menjadi eksudasi subretinal masif danablasio retina .
Menurut Gomez Morales, berdasarkan tingkat keparahan yang dihasilkan perubahan vaskular ,
Coat’s Disease diklasifikasikan dalam 5 stage :

• Stage 1 : hanya eksudat fokal


• Stage 2 : eksudat intraretinal masif
• Stage 3 : ablasio retina eksudatif parsial
• Stage 4 : ablasio retina total
• Stage 5 :ablasio retina komplikasi sekunder kronis ( glaukoma neovascular )

Klasifikasi menurut Shields :


- Stage 1 : hanya telangiectasia retina
- Stage 2 : telangiectasia dan eksudat
A : eksudat di ektrafoveal
B : eksudat di foveal
- Stage 3 : ablasio retina eksudat
A : ablasio retina parsial ( ektrafovea dan fovea )
B : ablasio retina total
- Stage 4 : ablasio retina total dan glaukoma
- Stage 5 : merupakan stadium akhir penyakit dengan mata, ablasio total, sering dengan
katarak dan akhirnya menjadi ptisi bulbi (penyusutan bola mata).

2.7.3 Diagnosis

Gejala pada Coat Disease yaitu berupa penurunan visual secara gradual yang dimulai

sejak usia muda. Paling sering gejala dirasakan pada usia sekitar 6-9 tahun dan sangat jarang

pada pasien lanjut usia. Coat disease kadang tidak disadari hingga penyakit berkembang ketika

terlihat adanya leukokoria. Leukokoria ini terjadi akibat adanya katarak atau karena ablasio

retina.

48
Penegakkan diagnosa dapat dilakukan melalui pemeriksaan mata rutin dan
oftalmoskop.Pada pemeriksaan ini dapat terlihat abnormalitas pembuluh darah retina ataupun
adanya ablasio retina. Karena perkembangannya yang lambat, penyakit ini sering didiagnosa
ketika sudah memasuki tahap lanjut

2.7.4 Tatalaksana

Fotokoagulasi laser dan cryotherapy adalahbiasa digunakan untuk terapi.Fotokoagulasi laser


adalah pengobatanpilihan pada tahap awalpenyakit Coats.Cryotherapy lebih efektif untuk lesi
yang jauh terletak di pinggir dan sudah ada eksudat.Kedua teknik menjadi kurang efektif jika
retina sudah terlepas.

- Stage 1 ( telangiectasia saja) : Pada tahap ini, kita lakukan observasi dan foto koagulasi
laser dan prognosis visual biasanya baik. Namun , tahap ini jarang ditemukan karna
biasanya lebih sering datang dengan stage yang lebih tinggi pada saat diagnosis .
- Stage 2 ( telangiectasia dan eksudasi ) : Tahap ini umumnya dilakukan fotokoagulasi
laser ataucryotherapy , tergantung pada sejauh manapenyakit . Pada tahap 2A prognosis
visual umumnya baik , karena fovea tidak terlibat dengan eksudasi . di Tahap 2B
prognosis visual relativebaik jika eksudasi foveal tidak luas , tapi jika pada tahap ini
sudah ada nodul padat abu-abu kuning yang berpusat dalam eksudasi foveal , prognosis
visual yangmemburuk .
- Stage 3A : fotokoagulasi dan cryotherapy umumnya dapat digunakan bahkan jika ablasi
retinamelibatkan fovea.
- Stage 3B ( ablasio retina total ) : tahap ini dapat menggunakan cryoteraphy jika ablasio
retina dangkal.
- Stage 4 ( ablasio retina total dengan glaukoma ) : tahap ini sering membutuhkan
enukleasi untuk sakit mata yang parah .
- Stage 5 : pada tahap ini pasien umumnya buta,perlu tatalaksana pengobatan seperti
pembedahan.
2.7.5 Tahap Pembedahan

49
Coat’s disease dengan komplikasi ablasio retina eksudatif membutuhkan vitrectomy pars

plana untukmengalirkan cairan subretinal , sehingga memungkinkan

pengobatan pada pembuluh yang abnormal.

2.7.6 Prognosis

Kerusakan retina yang progresif dapat berkembang menjadi ablasio retina dan penurunan

visual sehingga dapat menyebabkan kebutaan.Tapi, ketika sudah terjadi ablasio retina, maka

kehilangan visual terjadi secara permanen.

50
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Leukokoria adalah suatu gejala yang bisa ditimbulkan oleh berbagai macam kelainan.

Leukokoria pada Leukokoria pada anak prognosisnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya . Semakin cepat deteksi dini dan pengenalan gejala yang dialai oleh anak

mengenai penyebab leukokoria, maka semakin baik prognosis dan penyembuhan yang dialami

oleh anak.

51

Anda mungkin juga menyukai