Kata Pengantar
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
hidayah-NYA serta keluasan ilmu-NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Makalah yang berjudul “ECT (Electroconvulsive Therapy)” disusun untuk memenuhi tugas
seminar pendidikan yang diampu oleh dr. Nugroho E. Brodjonegoro, SpKJ. MARS. Makalah ini
telah kami susun dengan baik dan saksama berdasarkan landasan teori dari seluruh referensi
yang terkumpul sehingga dari beberapa refrensi tersebut kami pilih untuk dijadikan referensi
utama. Tidak pula dipungkiri bahwa bantuan dari banyak pihak yang dengan sukarela membantu
kami sehingga mempermudah proses penyusunan makalah ini.
Kami sebagai penyusun menyadari akan adanya beberapa kekurangan dalam susunan makalah
kami, sehingga saran dan masukan dari pembaca kami harapkan untuk memperbaiki kekurangan-
kekurangan dalam susunan makalah ini di penyusunan makalah berikutnya.
Besar harapan kami bahwa makalah ini bisa bermanfaat bagia siapapun yang membacanya, serta
dapat menjadi sumber kontribusi penambahan pengetahuan bagi para pembaca.
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan gangguan jiwa di Indonesia dianggap sebagai penyakit yang kronis dan
akut. Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya. Permasalahan kesehatan
jiwa tersebut perlu mendapatkan penanganan yang tepat. Dunia kesehatan telah menemukan
terapi yang cukup efektif untuk pasien penderita masalah kejiwaan. Terapi tersebut yakni
ECT sebelumnya dikenal sebagai terapi kejut listrik. ECT diperkenalkan pertama kali
oleh Carleti dan Bini pada tahun 1937, menggunakan aliran listrik yang menimbulkan
kejang. Efek samping yang ditimbulkan setelah dilakukan terapi ECT sangat beraneka ragam
seperti konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Sehingga terapi
ECT banyak mengundang kontroversi yang dikarenakan efek samping yang ditimbulkan
(Nandinanti, 2015)
ECT adalah suatu bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater
dengan menggunakan suatu alat yang menghantarkan arus listrik pada elektroda dan
dipasang pada kepala sehingga menyebabkan konvulsi. Semakin banyak ditemukan bukti
tentang efektivitas ECT dalam membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak respon
terhadap psikoterapi atau antidepresan, namun ECT juga mengundang banyak kontroversi
2
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan harapan, setiap pembaca khususnya kalangan medis, lebih
terapi ECT dapat diberikan secara maksimal dan tepat, yang nantinya memberikan efek
postif atau kesembuhan yang diharapkan. Dan juga untuk memberikan informasi tentang
bagaimana tata cara penggunaan, indikasi, kontra indikasi dari alat ECT.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat
kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle relaxant. ECT bertujuan untuk menginduksi
suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya
selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat
ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian
menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor
(BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Terapi ini
menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien
melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik
dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan
dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak. Pada saat terapi ini dijalankan,
pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun
4
hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan
dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk
membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas
pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan.
Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau
5
Dafus
Willy F. Maramis, Albert A. Maramis .2012. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Jakarta :
Airlangga Universty Press.
Pratiwi, Arum dan Enita Dewi. 2016. Jurnal. “Reality Orientation Model for Mental Disorder
Patients Who Experienced Auditory Hallucinations”. Jurnal INJEC Vol. 1 No. 1 Juni 2016: 82–
89. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Nandinanti, Ikky Nabila, Yaslinda Yaunin, dan Siti Nurhajjah. Jurnal. “Efek Electro Convulsive
Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang.
Volume 4, Nomor 3. journal.fk.unand.ac.id/index. php/jka/article/view/381, diunduh pada 16
Januari 2018, 15.30 WIB.