Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang berhubungan dengan
organ seksual manusia. IMS dikenal dengan sebutan Penyakit Hubungan Seksual (PHS)
atau Sexually Transmitted Diseases (STD), ada pula yang menyebut Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR). Seseorang akan bisa tertular IMS karena melakukan hubungan seksual
dengan orang yang memiliki penyakit tersebut, beberapa jenis IMS seperti HIV AIDS
bisa ditularkan melalui tranfusi darah dengan memakai jarum suntik bekas pasien
penderita IMS (Refti, 2018).
Di Amerika Serikat dari 20 juta kasus IMS yang di laporkan setahunya, 30%
adalah remaja, dan lebih dari 50% merupakan kelompok remaja dan dewasa muda. Yaitu,
umur di bawah 25 tahun (Septiani, 2015).
Prevalensi PMS di negara berkembang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
negara maju. Pada perempuan hamil di dunia, angka kejadian gonore 10 – 15 kali lebih
tinggi, infeksi klamidia 2 – 3 kali lebih tinggi, dan sifilis 10 – 100 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di negara industri. Pada
usia remaja (15 – 24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara
seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua kasus PMS baru yang
didapat. Kasus-kasus PMS yang terdeteksi hanya menggambarkan 50%-80% dari semua
kasus PMS yang ada di Amerika. Ini mencerminkan keterbatasan “screening” dan
rendahnya pemberitaan akan PMS (Rahmi, 2015).
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat kurang lebih 350 juta penderita baru
IMS di negara berkembang termasuk Indonesia, prevalensi gonorrhea menempati tempat
teratas dari semua jenis IMS yaitu 32,4 persen, sifilis sebesar 21,7 persen dan HIVAIDS
sebesar 11,7 persen. Prevalensi IMS di Indonesia cenderung meningkat secara
keseluruhan (Gonore, Sifilis dan HIV) tercatat pada tahun 2011 sebanyak 11.280 dari
jumlah tersebut kasus ghonorrhea sebanyak 5.131 (45,4 persen) kasus, sifilis sebanyak
4725 (41,8 persen) kasus dan HIV-AIDS sebanyak 1424 (12,6 persen) kasus dan pada
tahun 2012 meningkat sebanyak 13.043 kasus yang terdistribusi sebanyak 6003 (46
persen) kasus gonorrhea, 5216 (40 persen) kasus sifilis dan 1824 (14 persen) kasus HIV-
AIDS (Refti, 2018).
Sulawesi Tengah dengan jumlah 686 kasus HIV dan 399 kasus AIDS serta itu
sebanyak 159 Meninggal dunia. Jika menggunakan estimasi kasus 1:100 maka di
Sulawesi Tengah diprediksi ada sekitar 108.500 kasus, sungguh angka yang sangat
banyak. Karena itulah kasus HIV/AIDS menggambarkan seperti gunung es, puncaknya
saja yang terlihat padahal yang tidak terlihat lebih banyak lagi. Berdasarkan data hasil
pemetaan populasi beresiko di Kota Palu terdapat 1.098 populasi beresiko yang tersebar
di 98 hotspot dimana diantaranya terdiri dari WPSL sebanyak 211 orang, WPSTL
sebanyak 392 orang, Waria sebanyak 120 orang dan LSL sebanyak 375 orang dan
terdapat 1.098 populasi berisiko yang tersebar di 98 hotspot dimana diantaranya terdiri
dari kolompok heteroseksual yaitu wanita pekerja seks langsung (WPSL) sebanyak 211
orang, wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL) sebanyak 392 orang, Waria
sebanyak 120 orang dan kelompok LSL sebanyak 375 orang (Nurhayati, 2017).
Data dari Dinas Kesehatan Kota Palu hingga bulan September 2017, Secara
epidemiologi, HIV/AIDS di Kota Palu dari 625 kasus, HIV dilaporkan sebanyak 378
kasus dan AIDS sebanyak 247 kasus, 94 kasus diantarannya sudah meninggal dunia. Jika
dilihat dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 357 kasus, perempuan 268 kasus.
Berdasarkan kelompok umur kejadian HIV/AIDS banyak terjadi pada kelompok umur
20-29 tahun (47,84%), 30-39 tahun (34,4%), 40-49 tahun (11,2%) dan 15-19 tahun
(2,56%). Berdasarkan cara penularannya, secara kumulatif paling banyak melalui
heteroseksual (53,9%), lelaki suka seks dengan lelaki (LSL) (34,3%), dan tidak diketahui
(11,8%) (Nurhayati, 2017).
Faktor risiko kejadian IMS. Telaah beberapa jurnal membuktikan bahwa pola
perilaku seksual memiliki hubungan dengan kejadian IMS. Salah satu prediktor yang
paling kuat adalah pengetahuan. Hasil penelitian Kusnsan3, menemukan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan tentang penyakit IMS dengan kejadian IMS (p=0,001).
Peran media sebagai penyalur informasi juga diharapkan menghasilkan perubahan
perilaku dan peningkatan pengetahuan. Media informasi mengandung nilai manfaat,
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pola pikir dan perilaku. Hasil penelitian
Amiruddin, dkk.4 menunjukkan bahwa ada hubungan peran media dengan hygiene
perorangan terhadap pencegahan infeksi menular seksual pada anak jalanan di Kota
Makassar (p=0,000). Beberapa faktor lainnya yang telah disebutkan dalam tujuan
penelitian seperti status ekonomi, akses pelayanan kesehatan, dan peran petugas
kesehatan juga diduga berhubungan dengan kejadian IMS (Lante & Arsin, 2016).
Kesenjangan ini menarik untuk diteliti karena masalah Penyakit Menular Seksual
(PMS) yang hingga saat ini telah banyak regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah
di negara berkembang, khususnya Indonesia. Namun melihat fakta yang ada bahwa
Indonesia sendiri kasus PMS yang ada setiap tahunnya meningkat.

B. Rumusan Masalah
Penelitian ini merumuskan masalah yaitu “Bagaimana implementasi kebijakan
dalam menangani meningkatnya jumlah kasus Penyakit Menular Seksual (PMS) di
Kabupaten Donggala”.
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan
dalam menangani meningkatnya jumlah kasus Penyakit Menular Seksual (PMS) di
Kabupaten Donggala.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
kesehatan khususnya mengenai implementasi kebijakan dalam menangani
meningkatnya jumlah kasus Penyakit Menular Seksual (PMS) di Kabupaten
Donggala.
2. Manfaat Praktisi
Diharapkan hasi penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya
yang akan mengkaji tentang implementasi kebijakan dalam menangani meningkatnya
jumlah kasus Penyakit Menular Seksual (PMS) di Kabupaten Donggala.
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Pengertian Penyakit Menular Seksual


Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan
seksual baik secara vaginal, anal dan oral. IMS disebabkan oleh lebih dari 30 Bakteri,
virus, parasit, jamur, yang berbeda dimana dapat disebarkan melalui kontak seksual dan
kebanyakan infeksi ini bersifat asimtomatik atau tidak menunjukkan gejalanya sama
sekali. IMS dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penyembuhannya yaitu yang
dapat disembuhkan seperti sifilis, gonore, klamidia, dan trikomoniasis dan yang tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat diringankan melalui pengobatan seperti: hepatitis B,
herpes, Human immunodeficiency Virus/HIV, dan Human papiloma virus/HPV(Puspita,
2017).
IMS sering juga disebut sebagai penyakit kelamin, yaitu penyakit-penyakit yang
sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual atau hubungan kelamin. Sebelum
dikenal sebagai infeksi menular seksual, jenis penyakit ini sudah cukup lama dikenal
dengan sebutan penyakit kelamin (venereal disease) yang berasal dari kata Venus yang
berarti dewi cinta. Saat itu penyakit kelamin yang dikenal baru sifilis (syphilis) dan
gonore (gonorrhea), sedangkan istilah infeksi menular seksual baru dikenal setelah
ditemukannya jenis penyakit kelamin selain kedua jenis penyakit di atas. IMS dikenal
pula dengan sebutan Penyakit Akibat Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually
Transmitted Diseases (STD) (Nina Maria Desi, 2018).
B. Regulasi Penyakit Menular Seksual (PMS)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan Hiv dan Aids pada BAB IV Kegiatan Penanggulangan Pasal 9.
1. Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas:
a. promosi kesehatan;
b. Pencegahan penularan HIV;
c. pemeriksaan diagnosis HIV;
d. pengobatan, perawatan dan dukungan; dan
e. rehabilitasi.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan
masyarakat.
3. Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk layanan komprehensif dan berkesinambungan.
4. Layanan komprehensif dan berkesinambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan upaya yang meliputi semua bentuk layanan HIV dan AIDS yang dilakukan
secara paripurna mulai dari rumah, masyarakat sampai ke fasilitas pelayanan
kesehatan.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman layanan komprehensif dan
berkesinambungan diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular terdapat pada BAB III Penyelenggaraan yang
tertuang dalam pasal 5 yaitu:
1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan Penanggulangan Penyakit Menular serta akibat yang
ditimbulkannya.
2. Penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan.
Kemudian dalam pasal 10 mengatakan bahwa:
1. Penanggulangan Penyakit Menular dilakukan melalui upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan.
2. Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memutus
mata rantai penularan, perlindungan spesifik, pengendalian faktor risiko, perbaikan
gizi masyarakat dan upaya lain sesuai dengan ancaman Penyakit Menular.
3. Upaya pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan faktor risiko penyakit dan/atau gangguan kesehatan.
4. pemberantasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk meniadakan
sumber atau agen penularan, baik secara fisik, kimiawi dan biologi.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 Tentang
Eliminasi Penularan Human Imunodeficiency Virus, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke
Anak dalam BAB IV Tanggung Jawab Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Pasal
14, yaitu:
1. Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
a. membuat kebijakan dalam pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif;
b. melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan Eliminasi
Penularan;
c. menyediakan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam pelaksanaan
Eliminasi Penularan;
d. meningkatkan kapasitas tenaga pelaksana Eliminasi Penularan;
e. melakukan kerja sama regional dan global dalam pelaksanaan Eliminasi
Penularan; dan
f. melakukan evaluasi status Eliminasi Penularan di provinsi dan kabupaten/kota.
2. Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab:
a. membuat dan melaksanakan kebijakan dalam pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif di tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan
nasional;
b. melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan Eliminasi
Penularan;
c. mendistribusikan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam pelaksanaan
Eliminasi Penularan;
d. meningkatkan kapasitas tenaga pelaksana Eliminasi Penularan;
e. menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan
Eliminasi Penularan sesuai dengan kewenangannya;
f. melakukan evaluasi status Eliminasi Penularan di kabupaten/kota; dan
g. melakukan penetapan dan evaluasi status Eliminasi Penularan di provinsi.
3. Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung
jawab:

a. membuat dan melaksanakan kebijakan dalam pelayanan promotif, preventif,


kuratif, dan rehabilitatif di tingkat kabupaten/kota dengan berpedoman pada
kebijakan nasional;

b. melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan Eliminasi


Penularan;

c. mendistribusikan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam pelaksanaan


Eliminasi Penularan;

d. meningkatkan kapasitas tenaga pelaksana Eliminasi Penularan;

e. menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan


Eliminasi Penularan sesuai dengan kewenangannya; dan

f. melakukan evaluasi dan penetapan status Eliminasi Penularan di kabupaten/kota.


C. Kasus PMS
Pada tahun 2006, ditemukan sekitar 3,1 juta orang pria di Indonesia yang
berhubungan dengan 230.000 orang pelacur. Dari sekitar 8 juta pembeli jasa seks, hanya
10% yang memakai kondom. Proporsi penggunaan kondom pada pembeli jasa seks yang
kecil di Indonesia akan meningkatkan risiko penularan infeksi menular seksual (IMS),
HIV, dan AIDS. Penelitian di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan tingkat perilaku
berisiko dan kasus IMS yang tinggi di kalangan pekerja seks pria dan wanita (Workers,
2013).
Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan wawasan endemik penyebaran
HIV/AIDS adalah kabupaten Karawang dengan kasus HIV/AIDS yang melonjak tajam.
Selama empat bulan terakhir, paling tidak sekitar 23 warga yang positif terjangkit
HIV/AIDS. Sekitar 86,95% dari jumlah tersebut merupakan kategori positif HIV dan
13,05% adalah AIDS. Selama kurun waktu 2009, HIV/AIDS mencapai 196 kasus,
sehingga laju peningkatan penyakit tersebut mencapai 10,5% dan hingga akhir tahun
2010 tercatat 244 orang yang terinfeksi dengan HIV dan AIDS (Workers, 2013).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada pengelola
Lokalisasi Banyuputih Kabupaten Batang, program penggunaan kondom 100% di
Lokalisasi Banyuputih masih rendah yaitu 66,95%, padahal sudah terdapat stok kondom.
Meskipun WPS sudah dihimbau untuk menggunakan kondom, namun fakta yang terjadi
di lapangan menunjukkan bahwa program 100% penggunaan kondom masih sulit
diterapkan. Padahal kasus IMS yang terjadi pada WPS di lokalisasi tersebut kurang lebih
70%. Program 100% penggunaan kondom masih sulit dicapai dikarenakan WPS kurang
memiliki daya tawar yang kuat ketika menghadapi pelanggan serta orientasi mereka pada
pendapatan yang diperoleh. Selain itu, pengetahuan WPS di Lokalisasi Banyuputih juga
masih rendah (Aids & Ims, 2017)
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMS
Data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia terakhir Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan sebanyak 5.912 wanita di umur
15 – 19 tahun secara nasional pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan pria di
usia yang sama berjumlah 6.578, atau 3,7% pernah melakukan hubungan seks. Tidak
adanya mata pelajaran yang secara khusus yang mengajarkan dan memberikan informasi
bagi murid SMA, juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit
menular seksual di kalangan remaja. Hal ini mungkin disebabkan masih kurangnya
penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah dan badan-badan kesehatan
lainnya (Rahmi, 2015).
Penelitian Haryati, Rusli dan Sudirman (2010) menjelaskan bahwa penyebab IMS
dipengaruhi oleh hubungan seks yang berganti-ganti (p=0,007), konsistensi perilaku seks
dengan menggunakan pelindung atau kondom (p=0,001), faktor pendorong untuk
bertindak berasal dari kesadaran sendiri untuk memeriksakan kesehatan (p=0,047),
adanya penyuluhan kesehatan (p=0,031) dan peran keluarga (p=0,047) (Refti, 2018).
BAB III
Metode Penelitian
A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas X, Kabupaten Donggala pada

B. Populasi

Populasi yang diambil yaitu seluruh masyarakat di wilayah kerja puskesmas X,

Kabupaten Donggala.

C. Sampel

Sampel yang diambil yaitu seluruh masyarakat yang terdata sebagai penderita

Penyakit Menular Seksual di wilayah kerja puskesmas X, Kabupaten Donggala.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data perlu dilakukan dengan tujuan agar mendapatkan data-data

yang valid dalam penelitian. Peneliti menggunakan 2 jenis pengumpulan data sebagai

berikut:

1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari responden yang dianggap mengetahui

persoalan yang akan diteliti dan yang didapatkan dari lapangan pada objek penelitian.

Pengumpulan data dilakukan denga teknik wawancara mendalam (indept Interview)

dengan menggunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur, dokumen-dokumen yang ada

kaitannya dengan penelitian. Berupa undang-undang, peraturan-peraturan pendukung

program, serta dokumen yang diperoleh sepanjang penelitian dari berbagai sumber

untuk mendukung penelitian.

E. Teknik Analisa Data


Daftar Pustaka

Aids, H. I. V., & Ims, D. A. N. (2017). Jurnal of Health Education Menurut United Nations
Programme on. Health Education, 2(1), 1-10.

Lante, N., & Arsin, A. A. (2016). FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR
SEKSUAL DI PUSKESMAS KALUMATA KOTA TERNATE Risk Factors of Sexually
Trasmitted Infection at Kalumata Public Health Centre , Ternate City. JURNAL MKMI,
12(4), 224-231.

Nina Maria Desi. (2018). Perilaku Seksual Berisiko pada Pedagang Bawang Merah di
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 13(1).

Nurhayati. (2017). RISK FACTORS OF INCIDENT OF HIV / AIDS INFECTION AT.


Universitas Stuttgart, 795-807.

Puspita, L. (2017). INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA WANITA PEKERJA


SEKSUAL. JURNAL ILMU KESEHATAN, 2(1), 31 - 44.

Rahmi, U. (2015). PENGETAHUAN SISWA KELAS XI TENTANG PENYAKIT


MENULAR SEKSUAL. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 1(2), 105-114.

Refti, W. G. (2018). Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan Faktor Resiko yang Berhubungan
dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual ( IMS ) di Klinik Voluntary Counseling Test
( VCT ). Sexually Transmitted Infections, 3(1), 47-60.

Septiani, S. (2015). Hubungan Jenis Kelamin Dan Sumber Informasi Dengan Pengetahuan
Remaja Mengenai Penyakit Menular Seksual (Pms). E-Jurnal Obstretika, 3(1), 33-46.

Workers, S. (2013). Perilaku Pencegahan Penyakit Menular Seksual di Behavioral Prevention


of Sexual Transmitted Disease among Direct Female. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 7(11).

Anda mungkin juga menyukai