Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri wajah atau yang lebih dikenal sebagai Neuralgia Trigeminal
merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang.
Disebut Neuralgia Trigeminal, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau
lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Saraf yang cukup besar ini
terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri
disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah
distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan
oleh berbagai penyebab (Gupta, 2009).
Serangan Neuralgia Trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa
detik sampai dua menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang
terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup
berat, seperti nyeri seperti saat terkena setrum listrik (Mark, 2010).
Neuralgia Trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi
sangat mengganggu kenyamanan bagi penderita, namun sebenarnya
pemberian obat untuk mengatasi Neuralgia Trigeminal biasanya cukup
efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak,
sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak mengetahui
dan menyalahartikan Neuralgia Trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan
karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah
tuntas (Meraj, 2008).
Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan Neuralgia
Trigeminal yang idiopatik atau simptomatik. Terapi pada pasien ini ada 2
macam yaitu medikamentosa dan pembedahan. Perawatan secara
medikamentosa berupa pemberian obat-obatan anti konvulsan dengan cara
menurunkan hiperaktivitas nukleus nervus Trigeminus di dalam brain stem.
Pengobatan efektif pada 80% kasus. Pemberian obat dimulai dengan dosis
yang paling minimal, kemudian karena penyakit ini memiliki progresivitas

1
dan rasa sakit yang makin berat serta lebih sering, maka dibutuhkan
penambahan dosis dimana akan menimbulkan suatu efek samping atau
kontrol rasa sakit yang tidak adekuat. Pemberian obat-obatan ini dapat
diberikan secara tunggal atau dikombinasi dengan lainnya. Jika perawatan
dengan obat-obatan sampai dosis maksimal dan dikombinasi beberapa obat,
sehuingga sudah tidak mengurangi rasa sakit lagi maka terapi dengan
pembedahan menjadi pilihan (Loeser, 2011).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah
1) Mengetahui pengertian Neuralgia Trigeminal
2) Mengeahui anatomi fisiologi Neuralgia Trigeminal
3) Mengetahui epidemiologi Neuralgia Trigeminal
4) Mengetahui penyebab Neuralgia Trigeminal
5) Mengetahui patofisiologi Neuralgia Trigeminal
6) Mengetahui klasifikasi Neuralgia Trigeminal
7) Mengetahui manifestasi klinis Neuralgia Trigeminal
8) Mengetahui diagnosis Neuralgia Trigeminal
9) Mengetahui diagnosis banding dari Neuralgia Trigeminal
10) Mengetahui penatalaksanaan dari Neuralgia Trigeminal
11) Mengetahui prognosa dari Neuralgia Trigeminal

1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini adalah dapat mengetahui
bagaimana penyebab, perjalanan terjadinya Trigeminal Neuralgia berserta
tanda dan gejalanya sehingga dapat menangani kasus Trigeminal Neuralgia

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Neuralgia Trigeminal adalah suatu peradangan pada saraf Trigeminal
yang menyebabkan rasa sakit yang hebat dan kejang otot di wajah. Serangan
intens, nyeri wajah seperti kejutan listrik dan dapat terjadi secara mendadak
atau dipicu dengan menyentuh area tertentu dari wajah. Namun hingga saat ini
penyebab pasti dari Neuralgia Trigeminal masih belum dipahami sepenuhnya
(Eldridge, 2011).
Neuralgia Trigeminal menurut IASP ( International Association for
the study of Pain) ialah nyeri di wajah yang timbulnya mendadak, biasanya
unilateral. Nyerinya singkat dan berat seperti ditusuk disalah satu atau lebih
cabang nervus Trigeminus. Sementara menurut International Headache Society
Neuralgia Trigeminal adalah nyeri wajah yang menyakitkan, nyeri singkat
seperti tersengat listrik pada satu atau lebih cabang nervus Trigeminus. Nyeri
biasanya muncul akibat stimulus ringat seperti mencuci muka, bercukur, gosok
gigi, berbicara (Eldridge, 2011).

Tabel 1.1 Definisi Trigeminal Neuralgia menurut IASP dan HIS (Eldridge,2011)
Definisi menurut IASP Definisi menurut HIS
Tiba-tiba, biasanya unilateral, sifat Nyeri unilateral pada wajah, nyeri
nyeri hebat, menusuk, berulang dan seperti sengatan listrik yang
berdistribusi di salah satu atau lebih berdistribusi ke salah satu atau lebih
cabang dari nervus 5. dari nervus 6.
Nyeri biasanya ditimbulkan oleh hal-
hal sepele seperti mencuci muka,
bercukur, merokok, berbicara, dan
menggosok gigi. Namun juga dapat
terjadi secara mendadak.

3
2.2 Anatomi Fisiologis Nervus Trigeminus
Saraf Trigeminal atau saraf kranial ke V memberi persarafan pada
kulit wajah, konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung, sinus-sinus dan
bagian dari rongga mulut, juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar
dari bagian lateral pons berupa akar saraf motoris dan saraf sensoris
(Kauffman, 2011).

Gambar 1. Anatomi Saraf Kranialis dan Saraf Trigeminal (Kauffman, 2011)

Akar saraf yang lebih kecil, yang disebut juga portio minor nervus
trigeminal, merupakan akar saraf motoris. Berasal dari nukleus motoris dari
saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari serabut-serabut motoris, terutama
mensarafi otot-otot pengunyah. Akar-akar saraf sensoris ini akan melalui
ganglion trigeminal (ganglion gasseri) dan dari sini keluar tiga cabang saraf

4
tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan cabang mandibularis
(Kauffman, 2011).

Gambar 2. Percabangan Nervus Trigeminal (Kauffman, 2011)


1) Nervus opthalmicus bersifat sensoris murni. Berjalan ke depan pada
dinding lateral sinus cavernosus dalam fossa crania media dan bercabang
tiga; n. lakrimalis, frontalis, dan nasosiliaris, yang masuk ke orbita melalui
fissure orbitalis superior. Saraf ini disebarkan ke kornea mata, kulit dahi
dan kepala, kelopak mata, mukosa sinus paranasales, dan cavum nasi
(Kauffman, 2011)..
2) Nervus maxillaries bersifat sensoris murni. Meninggalkan cranium melalui
foramen rotumdum dan kemudian disebarkan ke kulit muka di atas
maxilla, gigi rahang atas, mukosa hidung, sinus maxillaries dan palatum
(Kauffman, 2011)..
3) Nervus mandibularis bersifat motoris dan sensoris. Radiks sensoris
meninggalkan ganglion trigeminal dan berjalan keluar cranium melalui
foramen ovale. Radiks motoris n. trigeminus juga keluar dari cranium
melalui foramen yang sama dan bergabung dengan akar sensoris
membentuk truncus n. mandibularis. Serabut sensoris n.mandibularis
mensarafi kulit pipi dan kulit atas mandibula dan sisi kepala. Juga
mensarafi articulation temporomandibularis dan gigi rahang bawah,
mukosa pipi, dasar mulut, dan bagian depan lidah. Serabut motoris
n.mandibularis mensarafi otot-otot pengunyah (Kauffman, 2011).

5
2.3 Epidemiologi
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa 60% penderita Neuralgia
Trigeminal adalah wanita. Insidensi kejadian untuk wanita sekitar 5,9 per
100.000 wanita; untuk pria sekitar 3,4 kasus per 100.000 pria. Kejadian juga
berhubungan dengan usia, dimana Neuralgia Trigeminal banyak diderita
pada usia antara 50 sampai 70 tahun, walaupun kadang – kadang ditemukan
pada usia muda terutama jenis atipikal atau sekunder. Berdasarkan laporan,
usia paling muda yaitu 12 bulan terkena Neuralgia Trigeminal dan pada anak
lain terjadi pada usia 3 sampai 11 tahun. Faktor ras dan etnik tampaknya tidak
terpengaruh terhadap kejadian Neuralgia Trigeminal (Meraj, 2008).
Angka prevalensi maupun insidensi untuk Indonesia belum pernah
dilaporkan . Bila insidensi dianggap sama dengan negara lain maka terdapat ±
8.000 penderita baru pertahun. Akan tetapi mengingat harapan hidup orang
Indonesia makin tinggi maka diperkirakan prevalensi penderita Neuralgia
Trigeminal akan meningkat (Sidharta, 2010)

2.4 Etiologi
Saat ini ada tiga etiologi yang paling populer. Teori pertama berdasarkan
pada penyakit sistemik yang berhubungan, kedua adalah trauma langsung pada
saraf dan teori ketiga merambat asal polietiologik penyakit (Gintautas, 2012).
Penyakit sistemik yang berhubungan seperti gangguan dari vaskularisasi,
multipel sklerosis diabetes melitus, rematoid, dan lain-lain. Pada trauma
langsung pada saraf dibagi menjadi dua bagian yaitu trauma pada bagian
perifer dan sentral. Teori yang ketiga yaitu polyetiologic, faktor yang mungkin
dapat berpengaruh dan menimbulkan demielinisasi dan disatrofi (Gintautas,
2012)

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi Neuralgia Trigeminal ini dibagi menjadi mekanisme
sentral dan mekanisme perifer. Mekanisme perifer yang terjadi antara lain
ditemukannya peregangan atau kompresi nervus V, ditemukannya malformasi

6
vaskular pada beberapa penderita Neuralgia Trigeminal, adanya tumor
dengan pertumbuhan yang lambat, adanya proses inflamasi pada nervus V.
Mekanisme sentral penyebab Neuralgia Trigeminal salah satunya adalah
multipel sklerosis dimana terjadi demielinisasi secara meluas sehingga dapat
mengenai saraf trigeminus. Biasanya tidak ada lesi yang spesifik pada nervus
trigeminus yang ditemukan (Joffroy, 2012).
Teori patofisiologi yang dipakai pada saat ini adalah kompresi pada
nervus trigeminus. Neuralgia Trigeminal dapat disebabkan karena pembuluh
darah yang berjalan bersama nervus trigeminus menekan jalan keluar cabang-
cabang nervus trigeminus pada batang otak , misalnya foramen ovale dan
rotundum. Penekanan yang paling sering terdapat pada ganglion gasseri, yaitu
ganglion yang mempercabangkan 3 ramus nervus trigeminus. Pembuluh
darah yang berdekatan dengan ganglion gasseri tersebut akan menyebabkan
rasa nyeri ketika pembuluh darah tersebut berdenyut dan bersentuhan dengan
ganglion. Kompresi oleh pembuluh darah ini lama kelamaan akan
menyebabkan mielin dari nervus tersebut robek/ rusak. Seperti yang
diketahui, mielin membungkus serabut saraf dan membantu menghantarkan
impuls dengan cepat. Sehingga pada mielin yang rusak, selain penghantaran
impuls tidak bagus, akan terjadi rasa nyeri sebagai akibat dari kerusakan
jaringan mielinnya. (Frederickson ,2016).
Sedangkan pada multipel sklerosis dapat pula terjadi Neuralgia
Trigeminal karena adanya proses demielinisasi dari sistem saraf pusat
sehingga dapat mengenai nervus trigeminus. Pada orang yang menderita
tumor yang mengenai nervus trigeminus, dapat pula terjadi Neuralgia
Trigeminal karena tumor menekan nervus trigeminus. Mielin yang rusak
dapat menyebabkan degenarasi akson sehingga terjadi kerusakan saraf secara
menyeluruh. Kerusakan mielin ini juga mempengaruhi hilangnya sistem
inhibisi pada saraf tersebut, sehingga impuls yang masuk tidak diinhibisi dan
terjadi sensibilitas yang lebih kuat dari yang seharusnya dirasakan
(Frederickson, 2016)

7
Patofisiologi utama dari penyakit ini belum diketahui secara jelas.
Melihat gejala klinis dari penyakit ini, gejala yang terutama dirasakan adalah
nyeri pada area penjalaran nervus trigeminus. Oleh karena itu, Neuralgia
Trigeminal digolongkan dalam nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik sendiri
mekanismenya belum jelas. Biasanya nyeri trigeminal ini disebabkan karena
postherpetik (postherpetik neuralgia), post traumatik dan post operatif
(Frederickson, 2016).

2.6 Klasifikasi
IHS (International Headache Society) membedakan Neuralgia
Trigeminal menjadi Neuralgia Trigeminal klasik dan Neuralgia Trigeminal
simptomatik. Termasuk Neuralgia Trigeminal klasik adalah semua kasus
yang etiologinya belum diketahui (idiopatik). Sedangkan Neuralgia
Trigeminal simptomatik dapat diakibatkan karena tumor, multipel sklerosis
atau kelainan di basis kranii (Kauffman, 2011).
Perbedaan Neuralgia Trigeminal idiopatik dan simptomatik.
1) Neuralgia Trigeminal Idiopatik :
a. Nyeri bersifat paroksimal dan terasa diwilayah sensorik cabang
frontalis, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.
b. Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya
menyusul antara beberapa detik sampai menit.
c. Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.
d. Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering terkena
dibanding laki-laki.
2) Neuralgia Trigeminal Simptomatik :
a. Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang
optalmikus atau nervus infra orbitalis.
b. Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul
kembali.
c. Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan
saraf kranial, berupa gangguan autonom ( Horner syndrom ).

8
d. Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak
terbatas pada golongan usia (Kauffman, 2011).

2.7 Manifestasi Klinis


Neuralgia Trigeminal memberikan gejala dan tanda sebagai berikut :
1) Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam,
seperti menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau terbakar
yang berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit tetapi
kurang dari dua menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan biasanya
ada interval bebas nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan (Kauffman,
2011).
2) Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan
unilateral. Tersering nyeri didaerah distribusi nervus mandibularis (V2)
19,1% dan nervus maksilaris (V3) 14,1% atau kombinasi keduanya 35,9%
sehingga paling sering rasa nyeri pada setengah wajah bawah. Jarang sekali
hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%. Sebagian pasien nyeri
terasa diseluruh cabang nervus trigeminus (15,5%) atau kombinasi nervus
maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang ditemukan kombinasi nyeri pada
daerah distribusi nervus optalmikus dan mandibularis (0,6%) (Passos,
2012).
3) Neuralgia Trigeminal dapat dicetuskan oleh stimulus non-noksius seperti
perabaan ringan, getaran, atau stimulus mengunyah. Nyeri pada Neuralgia
Trigeminal dapat mengalami remisi dalam satu tahun atau lebih. Pada
periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan
beratnya serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu
(Inoue, 2011).
4) Sekitar 18% penderita dengan Neuralgia Trigeminal, pada awalnya nyeri
atipikal yang makin lama menjadi tipikal, disebut preneuralgia trigeminal.
Nyeri terasa tumpul, terus-menerus pada salah satu rahang yang berlangsung
beberapa hari sampai beberapa tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan

9
nyeri berdenyut sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental (Inoue,
2011).
2.8 Diagnosis
Pemeriksaan kesehatan dan riwayat gejala harus dilakukan bersama-
sama dengan pemeriksaan lainnya untuk mengesampingkan masalah yang
serius. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan
klinis dan uji klinis untuk mengetahui secara pasti stimulus pencetus dan
lokasi nyeri saat pemeriksaan (Kleef, 2009).
Kriteria diagnosis Neuralgia Trigeminal menurut International
Headache Society adalah sebagai berikut: (Kleef, 2009).
1) Serangan – serangan paroksismal pada wajah, nyeri di frontal yang
berlangsung beberapa detik tidak sampai 2 menit.
2) Nyeri setidaknya memiliki ciri-ciri dari 4 sifat berikut:
a. Menyebar sepanjang satu atau lebih cabang nervus trigeminus, tersering
pada cabang mandibularis atau maksilaris.
b. Onset dan terminasinya terjadi tiba-tiba , kuat, tajam , superfisial, serasa
seperti ditikam atau terbakar.
c. Intensitas nyeri hebat , biasanya unilateral, lebih sering disisi kanan.
d. Nyeri dapat timbul spontan atau dipicu oleh aktifitas sehari seperti
makan, mencukur, bercakap cakap, mambasuh wajah atau menggosok
gigi, area picu dapat ipsilateral atau kontralateral.
e. Diantara serangan , tidak ada gejala sama sekali.
3) Tidak ada kelainan neurologis.
4) Serangan bersifat stereotipik.
5) Tersingkirnya kasus-kasus nyeri wajah lainnya melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus bila diperlukan.
Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan Neuralgia
Trigeminal yang idiopatik atau simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat
keberadaan tumor. Multipel sklerosis dapat terlihat dengan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). MRI ini sering digunakan sebelum tindakan
pembedahan untuk melihat kelainan pembuluh darah. Diagnosa Neuralgia

10
Trigeminal dibuat dengan mempertimbangkan riwayat kesehatan dan
gambaran rasa sakitnya. Sementara tidak ada pemeriksaan diagnostik yang
dapat mempertegas adanya kelainan ini. Teknologi CT Scan dan MRI sering
digunakan untuk melihat adanya tumor atau abnormalitas lain yang
menyebabkan sakit tersebut. Pemeriksaan MRTA (high-definition MRI
angiography) pada nervus trigeminus dan brain stem dapat menunjukkan
daerah nervus yang tertekan oleh vena atau arteri. Sebagai tambahan,
dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan stimuli pemicu, dan lokasi
yang pasti dari sakitnya. Pemeriksaan termasuk inspeksi komea, nostril, gusi,
lidah dan di pipi untuk melihat bagaimana daerah tersebut merespon sentuhan
dan perubahan suhu (panas dan dingin) (Sharav, 2012).

2.9 Diagnosis Banding


Neuralgia Trigeminal harus dibedakan dari tipe nyeri lainnya yang
muncul pada wajah dan kepala. Nyeri neuralgia postherpetikum dapat
menyerupai Neuralgia Trigeminal, tetapi adanya eskar bekas erupsi vesikel
dapat mengarahkan kepada neuralgia postherpetikum. Neuralgia
postherpetikum pada wajah biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi
oleh nervus trigeminus cabang pertama (Manish, 2013).
Sindrom Costen yang bermanifestasi sebagai nyeri menjalar ke rahang
bawah dan pelipis saat mengunyah) dapat menyerupai Neuralgia Trigeminal
tetapi hanya dipicu oleh proses mengunyah; biasanya disebabkan oleh artrosis
temporomandibular dan maloklusi gigi (Manish, 2013).
Nyeri psikogenik daerah wajah sering menyebabkan kesulitan
diagnosis. Sindrom yang disebut neuralgia fasial atipik ini (nyeri wajah
atipikal) sering ditemukan pada wanita muda atau setengah baya. Nyeri
bersifat tumpul dan menetap, sering kali unilateral pada rahang atas dan
biasanya dihubungkan dengan manifestasi ansietas kronik dan depresi.
Tanda-tanda fisik tidak ditemukan dan pemberian analgetika tidak mempan.
Perbaikan biasanya diperoleh dengan penggunaan antidepresan dan obat
penenang oleh karena itu, penentuan diagnosis harus sebaik mungkin.

11
Neuralgia migrainosa (nyeri kepala sebelah) dapat menyebabkan nyeri
paroksismal berat pada daerah persarafan trigeminal tetapi dapat dibedakan
berdasarkan periode, ketiadaan faktor pencetus dan durasi tiap nyeri
paroksismal yang lebih lama (Manish, 2013).

Tabel 3. Diagnosis Banding Neuralgia Trigeminal (Manish, 2013)

Faktor yang
Diagnosis
Persebaran Karakteristik Klinis Meringankan/
Banding
Memperburuk

Neuralgia Daerah persarafan  Laki- laki/ perempuan = 1:3, Titik-titik rangsang


Trigeminal cabang II dan III  Lebih dari 50 tahun, sentuh, mengunyah,
nervus  Paroksismal (10-30 detik), nyeri senyum, bicara, dan
trigeminus, bersifat menusuk-nusuk atau sensasi menguap
unilateral terbakar, persisten selama berminggu-
minggu atau lebih,
 Ada titik-titik pemicu,
 Tidak ada paralisis motorik maupun
sensorik.
Neuralgia Unilateral atau  Lebih banyak ditemukan pada wanita Tidak ada
Fasial Atipik bilateral, pipi atau usia 30-50 tahun
angulus  Nyeri hebat berkelanjutan umumnya
nasolabialis, pada daerah maksila
hidung bagian
dalam

Neuralgia Unilateral, pada  Riwayat herpes Sentuhan, pergerakan


Post daerah persebaran  Nyeri seperti sensasi terbakar,
herpetikum cabangoftalmikus berdenyut-denyut
nervus V  Parastesia, kehilangan sensasi

12
sensorik keringat
 Sikatriks pada kulit
Sindrom Unilateral,  Nyeri berat berdenyut-denyut Mengunyah, tekanan
Costen dibelakang atau di diperberat oleh proses mengunyah, sendi
depan telinga,  Nyeri tekan sendi temporo- temporomandibular
pelipis, wajah mandibula.
Migren Orbito-frontal,  Nyeri kepala sebelah Alkohol pada beberapa
rahang atas, kasus
angulus nasolabial

2.10 Tatalaksana
Telah disepakati bahwa penanganan lini pertama untuk Neulalgia
Trigeminal adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya
dipertimbangkan apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan
1) Terapi Farmakologi
Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah
mengembangkan beberapa pedoman terapi farmakologik. Dalam guidline
EFNS ( European Federation of Neurological Society ) disarankan terapi
Neuralgia Trigeminal dengan carbamazepin ( 200-1200 mg sehari ) dan
oxcarbamazepin ( 600-1800mg sehari ) sebagai terapi lini pertama.
Sedangkan terapi lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin. Neuralgia
trigeminal sering mengalami remisi sehingga pasien dinasehatkan untuk
mengatur dosis obat sesuai dengan frekuensi serangannya. Dalam
pedoman AAN-EFNS ( American Academy of Neurology- European
Federation of Neurological Society ) telah disimpulkan bahwa:
carbamazepin efektif dalam pengendalian nyeri , oxcarbazepin juga
efektif, baclofen dan lamotrigin mungkin juga efektif. Studi open label
telah melaporkan manfaat terapi obat-obatan anti epilepsi yang lain seperti
clonazepam, gabapentin, phenytoin dan valproat (Mark, 2010).
Karbamazepine merupakan pengobatan lini pertama dengan dosis
pemberian 200-1200 mg/hari dan oxcarbamazepin dengan dosis pemberian

13
600-1800 mg/hari sesuai dengan pedoman pengobatan. Tingkat
keberhasilan dari karbamazepin jauh lebih kuat dibandingkan
oxcarbamazepin, namun oxcarbamazepin memiliki profil keamanan yang
lebih baik. Sementera pengobatan lini kedua dapat diberikan lamotrgine
dengan dosis 400 mg/ hari, baclofenac 40 – 80 mg/hari, dan pimizoid 4 –
12 mg/hari (Mark, 2010)..
Selain itu ada juga pilihan pengobatan alternative, yaitu dengan
memberikan obat antiepilepsi yang telah dipelajari dalam kontrol kecil dan
studi terbuka yang disarankan untuk menggunakan fenitoin, clonazepam,
gabapentin, pregabalin, topiramate, levetiracetam, dan valproate (Mark,
2010)..
a) Karbamazepine
Karbamazepine bekerja dengan cara menghambat aktivitas
neuronal pada kanal natrium, sehingga dapat mengurangi rangsangan
neuron. Karbamazepine memperlihatkan efek analgesik yang selektif
misalnya pada tabes dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi
dengan analgesik biasa. Sebagian besar penderita Neuralgia Trigeminal
mengalami penurunan sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini.
Karena potensi untuk menimbulkan efek samping sangat luas,
khususnya gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan
agranulositosis maka pasien yang akan diterapi dengan obat ini
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nilai basal dari darah dan
melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan (Sharav, 2012)
Pemberian karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit
abnormal (rendah). Jika efek samping yang timbul parah, dosis
karbamazepine perhari dapat dikurangi 1-3 pil perhari, sebelum
mencoba menambah dosis perharinya lagi. Karbamazepine diberikan
dengan dosis berkisar 200-1200 mg, dimana hampir 70%
memperlihatkan perbaikan. Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2 pil
perhari, secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau
mulai timbul efek samping. Selama periode remisi dosis dapat

14
dikurangi secara bertahap. Karbamazepine dapat dikombinasi dengan
fenitoin atau baklofen bila nyeri membandel, atau diubah ke
oxykarbazepine (Mark, 2010).
b) Oxykarbamazepin
Oxykarbamazepine merupakan ketoderivat karbamazepine
dimana mempunyai efek samping lebih rendah dibanding dengan
karbamazepine dan dapat meredakan nyeri dengan baik. Pada
umumnya dosis dimulai dengan 2 x 300 mg yang secara bertahap
ditingkatkan untuk mengontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya
2400-3000 mg perhari. Efek samping yang paling sering adalah nausea,
mual, dizziness, fatique dan tremor. Efek samping yang jarang timbul
yaitu rash, infeksi saluran pernafasan, pandangan ganda dan perubahan
elektrolit darah. Seperti obat anti-seizure lainnya, penambahan dan
pengurangan obat harus secara bertahap (Mark, 2010).
c) Lamotrigine
Lamotrigin berefek pada saluran natrium, menstabilkan membran
saraf dan menghambat pelepasan rangsangan neurotransmitter. Dosis
awal 25 mg/hari secara perlahan meningkat sampai dosis 200 - 400
mg/hari dibagi dua dosis. Efek samping dapat berupa pusing, mual,
penglihatan kabur dan ataksia. Sekitar 7- 10% pasien dapat terjadi ruam
pada kulit selama terapi 4 - 8 minggu. Dapat juga terjadi kelainan
berupa deskuamasi atau terkait gejala parah demam atau limfadenopati
indikasi Stevens - Johnson sindrom yang membutuhkan penghentian
segera (Mark, 2010)..
d) Phenitoin
Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi
umum SSP. Sifat anti konvulsi obat ini berdasarkan pada penghambatan
penjalaran rangsang dari fokus kebagian lain di otak. Penggunaan
phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan
karbamazepine karena dapat menurunkan dan kadang-kadang

15
menaikkan kadar phenitoin dalam plasma, sebaiknya diikuti dengan
pengukuran kadar obat dalam plasma (Kauffman, 2011).
Phenitoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita
Neuralgia Trigeminal dengan dosis 300-600 mg dibagi dalam 3 dosis
perhari. Efek samping yang ditimbulkannya adalah nystagmus,
dysarthria, ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta kebingungan.
Efek lainnya adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis (Mark,
2010).
e) Gabapentin
Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama
efektifnya dengan karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit.
Dosis awal biasanya 3x300 mg/hari dan ditambah hingga dosis
maksimal. Reaksi yang buruk paling sering adalah somnolen, ataksia,
fatique dan nystagmus. Seperti semua obat, penghentian secara cepat
harus dihindari (Mark, 2010).
2). Terapi Pembedahan
Beberapa situasi yang mengindikasikan untuk dilakukannya terapi
pembedahan yaitu (Gupta, 2009) :
a. Ketika pengobatan farmakologik tidak menghasilkan perbaikan.
b. Ketika pasien tidak dapat mentolerir pengobatan dan gejala semakin
buruk.
c. Adanya gambaran kelainan pembuluh darah pada MRI.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan
a. Prosedur Ganglion Gasseri,
b. Terapi Gamma Knife
c. Dekompresi Mikrovaskuler.
Pada prosedur perifer dilakukan blok pada nervus trigeminus
bagian distal ganglion gasseri yaitu dengan suntikan streptomisin,
lidokain, alkohol . Prosedur pada ganglion gasseri ialah rhizotomi
melalui foramen ovale dengan radiofrekuensi termoregulasi, suntikan
gliserol atau kompresi dengan balon ke dalam kavum Meckel. Terapi

16
gamma knife merupakan terapi radiasi yang difokuskan pada radiks
nervus trigeminus di fossa posterior. Dekompresi mikrovaskuler adalah
kraniotomi sampai nervus trigeminus difossa posterior dengan tujuan
memisahkan pembuluh darah yang menekan nervus trigeminus (Mark,
2010).
2.11 Prognosis
Setelah serangan awal, Neuralgia Trigeminal dapat muncul kembali
selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun berikutnya. Setelah itu
serangan bisa menjadi lebih sering, lebih mudah dipicu, dan mungkin
memerlukan pengobatan jangka panjang. Kondisi ini dapat berkembang
menjadi sindrom nyeri kronis, dan pasien dapat menderita depresi dan
kehilangan fungsi sehari-hari. Pasien dapat memilih untuk membatasi
kegiatan yang memicu rasa sakit, seperti mengunyah, sehingga pasien
mungkin kehilangan berat badan dalam keadaan ekstrim (Manish, 2013).

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Neuralgia Trigeminal adalah suatu keadaan nyeri yang sangat hebat
dengan ditandai serangan nyeri yang mendadak dan terus menerus seperti
tertusuk atau seperti tersengat aliran listrik yang berlangsung singkat dan
berakhir dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Neuralgia Trigeminal
kebanyakan bersifat unilateral dan mengenai daerah yang disarafi nervus
trigeminus. Ada dua macam etiologi yang pertama adalah idiopatik atau
disebut Neuralgia Trigeminal primer dan yang kedua adalah simptomatik
yang disebut Neuralgia Trigeminal sekunder sedangkan patofisiologi sampai
sekarang masih belum jelas dan sejauh ini belum ada pemeriksaan spesifik
baik secara klinis maupun laboratorium untuk mendiagnosa Neuralgia
Trigeminal. Pada saat sekarang pengobatan utama adalah pemberian dengan
cara farmakologik dan bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan dengan cara
pembedahan

18
DAFTAR PUSTAKA

Eldridge PR, Nurmikko TJ 2011. Trigeminal neuralgia-pathophysiology,


diagnosis, and current treatment. Brithish Journal of Anaesthesia; 87 (1):
117-132. Tersedia https://academic.oup.com/bja/article/87/1/117/304237.
(Diakses 22 Februari 2019)
Frederickson, A. M., Gold, M. S., & Sekula Jr, R. F., 2016. Pathogenesis of
Trigeminal Neuralgia. In Microvascular Decompression Surgery (pp. 59-
66). Springer Netherlands. Article R, Hasan S, Khan NI, Sherwani OA,
Bhatt V, Trigeminal neuralgia : an overview of literature with emphasis
on.3(11):235
Gintautas S, Joudzybalys G, Wang HL. 2012. Aetiology and pathogenesis of
trigeminal neuralgia: a comprehensive review. J Oral Maxillofac; 3(4): 1-7
Tersedia Pada : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3886096/.
(Diakses 22 Februari 2019)
Gupta SK, Gupta A, Mahajin A, et al. 2009. Clinical insights in Trigeminal
Neuralgia. JK Science; 7 (3): 181-184. Tersedia di :
http://citeseerx.ist.psu.edu/messages/downloadsexceeded.html. (Diakses 23
Februari 2019)
Inoue T, Hirai H, 2011, Diagnosis and management for trigeminal neuralgia
caused solely by venous compression. Tersedia pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28108856. (Diakses 23 Februari
2019)
Joffroy, A, et al. 2011. Trigeminal neuralgia Pathophysiology and treatment.
Dept. of Neurosurgery, Erasmus Hospital, University of Brussels (ULB).
Tersedia pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11379271. (Diakses
22 Februari 2019)
Kauffman AM and Patel M. 2011, Your complete guide to trigeminal neuralgia.
CCND Winnipeg. Tersedia pada:
http://www.umanitoba.ca/cranial_nerves/trigeminal_neuralgia/manuscript/.
(Diakses 23 Februari 2019)

19
Kleef MV, Genderen WE, Narouze S. 2009, Evidence Based Medicine Trigeminal
Neuralgia. World Institute of Pain; 9(4): 252-259. Tersedia pada
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1533-2500.2009.00298.x
(Diakses 22 Februari 2019)
Loeser JD. 2011, Cranial Neuralgia, In : Banica’s Management of Pain,
Philadelphia, Lipincott William & Wilkins. 2011. tersedia pada
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0897190003258504 (Diakses
23 Februari 2019)
Manish KS. 2013. Trigeminal neuralgia. Medscape. Tersedia pada URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1145144-overview (Diakses 22
Februari 2019)
Mark Obermann, 2010. Treatment optionts in trigeminal neuralgia. Therapeutics
Advances in Neurological Disorders; 3(2): 107-115. Tersedia
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3002644/. (Diakses 23
Februari 2019)
Meraj NS, Siddiqui S, Ranashinghe JS, et al., 2008 Pain Management: Trigeminal
Neuralgia. Hospital Physician : 64-70. Tersedia pada
https://pdfs.semanticscholar.org/2394/571637ab2201e5257fb838afddeb856
d20f3.pdf. (Diakses 23 Februari 2019)
Passos JH et al. 2012., Trigeminal Neuralgia. Journal of Dentistry & Oral
Medicine. Tersedia pada: http://www.epub.org.br. (Diakses 22 Februari
2019)
Sharav Y. 2012. Orofacial Pain : Dental Vascular & Neuropathic, In: Pain-An
Updated Review. Seattle: IASP Press. Tersedia pada
https://www.researchgate.net/publication/274897089_J_Orofacial_Trig_Ne
ur_Featur_2012. (Diakses 22 Februari 2019)
Sidharta P, Mardjono, 2010, Saraf Otak kelima atau Nervus Trigeminus dalam:
Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,: hal 149 – 158

20

Anda mungkin juga menyukai