RESUME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ekosistem Lahan Basah
yang dibina oleh Ir. Ari Siswanto, MCRP.,Ph.D.
Oleh:
Mazidah
20012681721009
2017
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN LAHAN BASAH
Pengertian
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai
air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat
yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme
lain yang teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan
tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofilik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai dan marin
yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah
yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990)
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun
buatan, bersifat tetap tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir
yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup wilayah air marin yang didalamnya pada
waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar
menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketiga puluh
kategori lahan basah alami dipilah lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17
kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi,
dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan tambak). Untuk meringkas tinjauan,
penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentanglahan (landscape)
yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan
konservasi lahan basah. Ketujuh satuan bentanglahan tersebut adalah estuary, pantai terbuka,
dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990)
Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau sekitar 10,8 dari luas
daratan Indonesia (Rahmawaty et al. 2014). Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi
areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat
untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan
meliputi padi, jagung, selanjutnya tanaman hortikultura buah (Masganti et al. 2014). Sekitar
9,53 juta lahan basah di Indonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha
berpotensi untuk tanaman pangan dan 4,186 juta ha telah direklamasi untuk berbagai
penggunaan terutama transmigrasi (Dakhyar et al. 2012).
Imbuhan (pengisian kembali) air tanah terjadi pada waktu air bergerak dari
lahanbasah ke bawah dan masuk ke dalam aquifer. Selama pergerakan ini terjadi
pembersihan air. Air dalam akuifer dapat mengalir ke samping dan akhirnya dapat naik ke
permukaan lahan basah lain.Jadi, imbuhan air tanah di lahan basah yang satu
bergandengan dengan pelepasan air tanah di lahan basah yang lain. Fungsi imbuhan dan
pelepasan air tanah antar lahan basah dalam setahun dapat tertukar, tergantung pada
kenaikan dan penurunan permukaan air tanah setempat yang mengubah arah landaian air
tanah (Dugan, 1990).
Lahan basah yang memperoleh kebanyakan airnya dari pelepasan air tanah, bisa
menunjang masyarakat hayati yang lebih kukuh. Hal ini berlaku karena suhu, kadar hara
dan aras air tidak mengoncah (fluctuate) sebesar yang terjadi dalam lahan basah yang
pembekalan airnya tergantung pada aliran permukaan.
Selain berguna menjamin persediaan air bersih bagi konsumsi manusia, imbuhan air
tanah juga berguna menyimpan sementara air limpas berlebih dan kemudian
melepaskannya secara berangsur, sehingga dapat mengendalikan banjir. Memelihara
piranti alami menyimpan air bermanfaat menghemat anggaran pembangunan karena
dapat mengelakkan keperluan membuat waduk dan bendungan.
Vegetasi lahan basah dapat mengukuhkan garis tepilaut dengan jalan mengurangi
energy ombak dan arus laut. Bersamaan dengan itu akar tumbuhan memegang sedimen
dasar ditempat yang berarti mencegah erosi.
Sedimen seringkali menjadi pencemar utama air dalam banyak banyak system sungai.
Lahan basah yang pada umumnya menempati cekungan, dapat berlaku sebagai perangkap
sedimen. Perangkapan efektif dalam hal cekungan ditumbuhi rumput dan gelagah. Zat
beracun seperti pestisida, dan unsur hara seringkali terikat pada sedimen tersuspensi,
sehingga ikut terperangkap dengan sedimen. Unsur hara dapat tertambat didalam jaringan
vegetasi lahan basah. Lahan basah yang dapat menyingkirkan hara yang berlebih
memperbaiki mutu air dan membantu mencegah eutrofikasi (masuknya limbah fospat
berlebih) badan-badan air terutama karena pelonggokan senyawa-senyawa N dan P.
Melalui proses denitrifikasi yang berlangsung dalam tanah lahan basah yang bersifat
anaerobic, nitrogen juga dapat dibuang ke atmosfer dalam bentuk gas N2O2 dan N2.
Pengaturan kadar hara dalam air berguna mendukung kehidupan satwa air dan
selanjutnya mendukung kehidupan satwa darat yang hidup dari satwa air.
Sistem lahan basah dapat berfungsi membersihkan air karena memiliki empat
komponen asasi yaitu vegetasi, lapisan air, tanah, dan populasi mikrobia. Vegetasi
berfungsi menciptakan lingkungan tambahan bagi populasi mikrobia, dan menjadi
penghalang aliran air sehingga memudahkan pengendapan sedimen tersuspensi. Tanah
berfungsi mendukung kehidupan vegetasi, menyediakan hamparan permukaan reaktif
bagi penyerapan ion dan permukaan penempel bagi populasi mikrobia. Populasi mikrobia
berfungsi membunuh jasad pathogen dan detoksifikasi zat-zat pencemar. Lapisan air, baik
yang berada pada permukaan tanah, berfungsi mengangkut bahan dan gas ke populasi
mikrobia, menyingkirkan hasil sampingan dan menyediakan lingkungan dan air bagi
kelangsungan proses biokimia tumbuhan dan mikrobia (Hammer, 1992)
Ekspor biomassa dari lahan basah berupa bahan pembakar organic menjadi
pendukung vital perikanan sungai dan pantai. Ekspor biomassa juga dapat berupa ikan
hidup yang daur hidupnya mencakup migrasi keluar lahan basah.
Keseluruhan daur hidrologi, hara dan bahan serta aliran energy lahan basah dapat
mengukuhkan keadaan iklim local, khususnya curah hujan dan suhu. Hal ini pada
gilirannya berpengaruh atas kegiatan beralas sumber daya alam seperti pertanian,
kemantapan ekosistem alami, dan lahan basah sendiri (Dugan, 1990).
Lahan gambut berdaya besar memendam (to sequester ) C yang mengendalikan emisi
gas rumah kaca CO2 ke atmosfer. Laju pemendaman C rerata dalam gambut di
Kalimantan ialah 0,47 ton/ha/thn (Notohadinigrat, 1996). Untuk bandingan, pelepasan C
ke atmosfer oleh pembukaan hutan dan perladangan di kawasan tropika ialah 140
ton/ha/thn (Bouwman & Sombroek, 1990). Jadi, C yang dilepaskan ke atmosfer setiap
tahun dari setiap hektar hutan yang dibuka dan perladangan dapat dikompensasi oleh
pemendaman C setiap tahun dalam 190 hektar lahan gambut (Notohadiprawiro, 1995)
Lahan Rawa
Lahan rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus menerus
secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat. Meskipun dalam
keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan
dari danau, karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak
ditumbuhi oleh tanaman kecuali tumbuhan air.
Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut, genangan air hujan, atau
luapan air sungai. Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga,
yaitu rawa pasang surut, rawa lebak dan rawa lebak peralihan.
Gambar 1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai bagian bawah dan tengah
Pengertian Tanah Gambut
Tanah di lahan rawa dapat berupa aluvial atau gambut. Tanah aluvial merupakan endapan
yang terbentuk dari campuran bahan-bahan seperti lumpur, humus, dan pasir dengan
kadar yang berbedabeda. Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti
dedaunan, ranting kayu, dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu
yang sangat lama (ribuan tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat.
Tanah disebut sebagai tanah gambut apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut
(Soil Survey Staff, 1996):
1. Apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18%
jika kandungan liatnya >60% ATAU mempunyai kandungan C-organik 12% jika tidak
mempunyai liat (0%) ATAU mempunyai kandungan C-organik lebih dari 12% + % liat x
0,1 jika kandungan liatnya antara 0 - 60%;
2. Apabila tidak jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 20%.
Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah aluvial hasil pengendapan yang
dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya kurang dari 50
cm disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau sering disebut lahan sulfat
masam potensial.
Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang terbentuk dalam suasana payau. Lapisan tanah
yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut sebagai lapisan pirit.
Menurut Wijaya Adhi (2000), adanya lapisan pirit pada lahan dapat diketahui dari tanda-
tanda sebagai berikut:
Lahan dipenuhi oleh tumbuhan purun tikus
Di tanggul saluran terdapat bongkah-bongkah tanah berwarna kuning jerami (jarosit)
Di saluran drainase, terdapat air yang mengandung karat besi berwarna kuning
kemerahan
Apabila lapisan pirit dikeringkan,akan berubah warna menjadi kuning karat seperti
jerami.
Apabila pirit disiram dengan larutan hydrogen peroksida (H2O2) 30%, akan
berbuih.
Dalam keadaan tergenang, senyawa pirit tidak berbahaya. Tetapi dalam keadaan kering,
senyawa pirit akan teroksidasi. Bila terkena air, pirit yang teroksidasi akan menjadi asam
sulfat atau sering disebut air aki/air keras yang sangat asam. Akibatnya, akar tanaman akan
terganggu, unsur hara sulit diserap oleh tanaman, serta unsur besi dan aluminium akan larut
hingga meracuni tanaman. Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi sering disebut
sebagai lahan bersulfat atau lahan sulfat masam aktual. Lahan seperti ini tidak
direkomendasikan untuk budidaya pertanian.
Lahan Salin
Sebagian lahan pasang surut sering mendapat pengaruh salinitas air laut terutama pada musim
kemarau. Pengaruh salinitas ini bisa terjadi secara langsung karena air laut mengalir ke
daratan, masuk melalui sungai pada waktu pasang, atau berlangsung karena adanya intrusi
(perembesan).
Lahan pasang surut yang salinitas air (kadar garamnya) lebih dari 0,8% disebut sebagailahan
salin atau pasang surut air asin. Lahan seperti itu, biasanya didominasi oleh tumbuhan
bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2
bulan, disebut sebagai lahan salin peralihan. Lahan salin peralihan ditandai oleh
banyaknya tumbuhan nipah.
Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin. Lahan seperti ini
direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove, budidaya tanaman kelapa, dan
tambak. Khusus untuk tambak, harus memenuhi persyaratan adanya pasokan air tawar dalam
jumlah yang memadai sebagai pengencer air asin.
Berdasarkan pengertian, sifat serta fungsinya maka lahan basah begitu penting untuk di
jaga/dilindungi (konservasi) dan dikelola dalam pemafaatannya untuk kepentingan manusia
dan makhluk hidup didalamnya. Upaya-upaya untuk melakukan konservasi dan pengelolaaan
lahan basah bisa kita lihat dari berbagai hasil penelitian salah satunya. Berikut beberapa
kajian beberapa hasil-hasil penelitian tentang lahan basah :
1.Pengelolaan Lahan Basah Terpadu di Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin.
Jurnal ditulis oleh Ombun Rahmi, Robiyanto HS, Ari Siswanto, Juli 2015.
Disebutkan bahwa penelitiannya bertujuan untuk menganalisis pengelolaan lahan basah
terpadu di Desa Mulia Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan. Populasi penelitian adalah petani di Desa Mulia Sari. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak (random sampling) yang terdiri atas 21 orang responden.
Data primer berupa karakteristik petani sebagai pengguna lahan basah dan kondisi sistem
usahatani didapat melalui observasi dan wawancara terarah dengan metode kuesioner.
Pendekatan kualitatif dipakai dalam teknik analisis data. Berdasarkan hasil penelitian,
karakteristik petani sangat menentukan dalam pengelolaan lahan basah terpadu. 80
penduduk Desa Mulia Sari berprofesi sebagai petani dengan rata-rata usia petani antara
25 65 tahun. Pekerjaan bertani 75 digeluti laki-laki, hanya 4,7 perempuan yang
menggeluti profesi petani. Tingkat pendidikan petani relatif rendah. Hampir 50 petani
belum memenuhi wajib belajar sembilan tahun. 33 petani berpendidikan SD dan 47,61
berpendidikan setaraf SMP. Luas garapan petani berkisar 0,5 4 ha dan lebih dari 30 petani
menyewa lahan. Usahatani di lahan basah harus memerhatikan sistem pengelolaan air dan
lahan. Pengelolaan air dan lahan menjadi syarat utama dalam pengelolaan basah terpadu.
Rata-rata petani telah memahami pentingnya mengupayakan pengelolaan basah terpadu
untuk keberlanjutan usahatani di lahan basah. Pengelolaan lahan basah terpadu di Desa Mulia
Sari dengan konsep usahatani berkelanjutan belum optimal dilaksanakan dan masih sebatas
wacana pemerintah dan akademisi sehingga dibutuhkan kebijakan dan strategi edukasi yang
sesuai dengan karakteristik petani dan ekosistem lahan basah.
Metode Penelitian yang digunakan memakai pendekatan kualitatif dengan strategi
observasi dan wawancara terarah dengan kuesioner sebagai alat pengumpul data primer.
Observasi dan analisis percakapan melalui wawancara terarah merupakan metode untuk
memer- hatikan proses, peristiwa, dan otentisitas pengelolaan lahan basah yang dilakukan
responden di lokasi penelitian (Somantri 2005). Desa Mulia Sari, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan merupakan lokasi peneliti- an yang dipilih
dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu: a) Desa Mulia Sari ditetapkan sebagai pusat Kota
Terpadu Mandiri (KTM); b) Desa Mulia Sari merupakan sentra administrasi dan pengelolaan
lahan basah khusus lahan pertanian; dan c) Rata-rata organisasi petani banyak mendapat
pelatihan dan pendidikan dari pemerintah dan akademisi. Populasi penelitian adalah petani
Desa Mulia Sari. Sampel diambil secara acak (random sampling) dan terpilih 21 responden
yang mewakili petani Desa Mulia Sari. Responden mewakili petani baik dari segi
pengetahuan tentang kondisi petani di masing-masing dusun di Desa Mulia Sari.
Responden merupakan tokoh masyarakat, tokoh organisasi petani, ataupun pengurus
pengelolaan air yang terdapat di Desa Mulia Sari sehingga dianggap mampu
menjelaskan pengelolaan lahan basah yang diterapkan. Data primer yang dibutuhkan
pada penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan, dan sistem usahatani (Cahyono
& Tjokropandojo 2013). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi, buku, jurnal,
rencana pembangunan dan pengembangan wilayah, disertasi, dan tugas
akhir yang berkaitan dengan tema penelitian.
Kelebihan Jurnal ini adalah bahwa dengan metode penelitian yang sederhana mampu
menyajikan gambaran mengenai salah satu bentuk pengelolaan lahan gambut yang telah
dilaksanakan di salah satu wilayah Kabupaten Banyuasin.
Mubekti. 2011. Studi Pewilayahan dalam Rangka Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan
di Propinsi Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.3
Riyadi, Subhan. Peringatan Hari Lahan Basah, Bukan sebatas “Ceremony”. Kompasiana, 25
Januari 2016