Anda di halaman 1dari 12

KONSERVASI DAN PENGELOLAAN LAHAN BASAH

RESUME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ekosistem Lahan Basah
yang dibina oleh Ir. Ari Siswanto, MCRP.,Ph.D.

Oleh:

Mazidah

20012681721009

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN LINGKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SRIWJAYA

2017
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN LAHAN BASAH

Pengertian

Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetapmemperhatikan manfaat


yang dapat diperoleh pada saat itu dengan tetapmempertahankan keberadaan
setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatannya di masa depan.
Atau konservasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk dapat melestarikan
alam, konservasi bisa juga disebut dengan pelestarian ataupun perlindungan. Jika secara
harfiah konservasi berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata “Conservation” yang berati
pelestarian atau perlindungan.
Menurut UU No. 4 Tahun 1982, konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber
daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumber daya terbarui
menjamin kesinambungan untuk persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah
pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan
kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; proses menyaput bagian
dalam badan mobil, kapal, dsb untuk mencegah karat. Sedangkan menurut ilmu lingkungan,
konservasi adalah :
1.Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusiyang berakibat
pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
2.Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dansumber daya
alam 3.Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimiaatau
transformasi fisik.
4.Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.Konservasi juga dapat
dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimanakonservasi dari segi ekonomi berarti
mencoba mengalokasikan sumberdaya alamuntuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi,
konservasi merupakan alokasisumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang

Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai
air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat
yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme
lain yang teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan
tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofilik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai dan marin
yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah
yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990)
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun
buatan, bersifat tetap tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir
yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup wilayah air marin yang didalamnya pada
waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar
menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketiga puluh
kategori lahan basah alami dipilah lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17
kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi,
dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan tambak). Untuk meringkas tinjauan,
penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentanglahan (landscape)
yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan
konservasi lahan basah. Ketujuh satuan bentanglahan tersebut adalah estuary, pantai terbuka,
dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990)
Luas lahan basah di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau sekitar 10,8 dari luas
daratan Indonesia (Rahmawaty et al. 2014). Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi
areal pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat
untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan
meliputi padi, jagung, selanjutnya tanaman hortikultura buah (Masganti et al. 2014). Sekitar
9,53 juta lahan basah di Indonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha
berpotensi untuk tanaman pangan dan 4,186 juta ha telah direklamasi untuk berbagai
penggunaan terutama transmigrasi (Dakhyar et al. 2012).

Sifat dan ciri lahan basah serta fungsi lahan basah


Lahan basah memiliki karakter khusus yang identik dengan air. Sifat dan cirri lahan
basah bisa dikelompokkan berdasarkan sifat fisik,sifat kimiawi, sifat biologi serta sifat social
ekonomi dan budaya(sosekbud).
Dilihat dari sifat fisika lahan basah memiliki ciri-ciri antara lain yaitu struktur tanah
yang tergenang air yang dapat bersifat permanen maupun musiman, tekstur tanahnya lebih
halus dibandingkan tekstur tanah pada lahan kering, laju infiltrasi yang rendah. Berdasarkan
sifat kimianya lahan basah mempunyai derajat keasaman (pH) yang rendah, kadar zat-zat
organic yang tinggi (nitrogen), kadar P dan K yang rendah, bersifat reduktif. Ditinjau dari
sifat biologinya, lahan basah mempunyai cirri-ciri yaitu memiliki tumbuhan yang bersifat
bersifat hidrofita (penyuka air), kaya akan biodiversitas baik flora maupun faunanya, bakteri
yang ada dilahan basah bersifat anaerob. Secara social ekonomi dan budaya, lahan basah
mempunyai cirri yaitu ia mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia mulai dari pangan,
sandang, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan sandang dan pangan terpenuhi secara
langsung melalui pertanian dan perkebunan. Sementara kebutuhan kesehatan dan pendidikan
terpenuhi secara tidak langsung dengan pemanfaatan lahan basah untuk peningkatan
pendapatan.
Fungsi lahan basah tidak hanya untuk sumber air minum dan habitat beraneka ragam
makhluk, tapi memiliki fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut,
erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global (Hardjoamidjojo & Setiawan 2001). Lahan
basah merupakan komponen penting beraneka ekosistem karena berfungsi menyimpan air
banjir, memperbaiki mutu air, dan menyediakan habitat bagi margasatwa (Cassel, 1997)
Menurut Dugan (1990), fungsi lingkungan lahan basah adalah:
1. Pengisian kembali air tanah, yang terutama dijalankan oleh dataran banjir, rawa, air
tanah, danau, lahan gambut dan hutan rawa,
2. Pelepasan air tanah
3. Penambatan sedimen, bahan beracun dan hara
4. Rekreasi dan turisme
5. Pengendalian banjir, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali system
pantai terbuka
6. Pengukuran garis tepi laut (shoreline) dan pengendalian erosi, yang terutama
dijalankan oleh estuary, kawasan mangrove, system pantai terbuka, dataran banjir dan
rawa tawar.
7. Ekspor biomassa, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah,kecuali lahan
gambut.
8. Perlindungan terhadap badai dan pematah angin, yang terutama dijalankan oleh
estuary, kawasan mangrove, system pantai terbuka dan hutan rawa.
9. Pengukuran iklim mikro, yang terutama dijalankan oleh estuary, kawasan mangrove,
dataran banjir dan danau.

Imbuhan (pengisian kembali) air tanah terjadi pada waktu air bergerak dari
lahanbasah ke bawah dan masuk ke dalam aquifer. Selama pergerakan ini terjadi
pembersihan air. Air dalam akuifer dapat mengalir ke samping dan akhirnya dapat naik ke
permukaan lahan basah lain.Jadi, imbuhan air tanah di lahan basah yang satu
bergandengan dengan pelepasan air tanah di lahan basah yang lain. Fungsi imbuhan dan
pelepasan air tanah antar lahan basah dalam setahun dapat tertukar, tergantung pada
kenaikan dan penurunan permukaan air tanah setempat yang mengubah arah landaian air
tanah (Dugan, 1990).
Lahan basah yang memperoleh kebanyakan airnya dari pelepasan air tanah, bisa
menunjang masyarakat hayati yang lebih kukuh. Hal ini berlaku karena suhu, kadar hara
dan aras air tidak mengoncah (fluctuate) sebesar yang terjadi dalam lahan basah yang
pembekalan airnya tergantung pada aliran permukaan.
Selain berguna menjamin persediaan air bersih bagi konsumsi manusia, imbuhan air
tanah juga berguna menyimpan sementara air limpas berlebih dan kemudian
melepaskannya secara berangsur, sehingga dapat mengendalikan banjir. Memelihara
piranti alami menyimpan air bermanfaat menghemat anggaran pembangunan karena
dapat mengelakkan keperluan membuat waduk dan bendungan.
Vegetasi lahan basah dapat mengukuhkan garis tepilaut dengan jalan mengurangi
energy ombak dan arus laut. Bersamaan dengan itu akar tumbuhan memegang sedimen
dasar ditempat yang berarti mencegah erosi.
Sedimen seringkali menjadi pencemar utama air dalam banyak banyak system sungai.
Lahan basah yang pada umumnya menempati cekungan, dapat berlaku sebagai perangkap
sedimen. Perangkapan efektif dalam hal cekungan ditumbuhi rumput dan gelagah. Zat
beracun seperti pestisida, dan unsur hara seringkali terikat pada sedimen tersuspensi,
sehingga ikut terperangkap dengan sedimen. Unsur hara dapat tertambat didalam jaringan
vegetasi lahan basah. Lahan basah yang dapat menyingkirkan hara yang berlebih
memperbaiki mutu air dan membantu mencegah eutrofikasi (masuknya limbah fospat
berlebih) badan-badan air terutama karena pelonggokan senyawa-senyawa N dan P.
Melalui proses denitrifikasi yang berlangsung dalam tanah lahan basah yang bersifat
anaerobic, nitrogen juga dapat dibuang ke atmosfer dalam bentuk gas N2O2 dan N2.
Pengaturan kadar hara dalam air berguna mendukung kehidupan satwa air dan
selanjutnya mendukung kehidupan satwa darat yang hidup dari satwa air.
Sistem lahan basah dapat berfungsi membersihkan air karena memiliki empat
komponen asasi yaitu vegetasi, lapisan air, tanah, dan populasi mikrobia. Vegetasi
berfungsi menciptakan lingkungan tambahan bagi populasi mikrobia, dan menjadi
penghalang aliran air sehingga memudahkan pengendapan sedimen tersuspensi. Tanah
berfungsi mendukung kehidupan vegetasi, menyediakan hamparan permukaan reaktif
bagi penyerapan ion dan permukaan penempel bagi populasi mikrobia. Populasi mikrobia
berfungsi membunuh jasad pathogen dan detoksifikasi zat-zat pencemar. Lapisan air, baik
yang berada pada permukaan tanah, berfungsi mengangkut bahan dan gas ke populasi
mikrobia, menyingkirkan hasil sampingan dan menyediakan lingkungan dan air bagi
kelangsungan proses biokimia tumbuhan dan mikrobia (Hammer, 1992)
Ekspor biomassa dari lahan basah berupa bahan pembakar organic menjadi
pendukung vital perikanan sungai dan pantai. Ekspor biomassa juga dapat berupa ikan
hidup yang daur hidupnya mencakup migrasi keluar lahan basah.
Keseluruhan daur hidrologi, hara dan bahan serta aliran energy lahan basah dapat
mengukuhkan keadaan iklim local, khususnya curah hujan dan suhu. Hal ini pada
gilirannya berpengaruh atas kegiatan beralas sumber daya alam seperti pertanian,
kemantapan ekosistem alami, dan lahan basah sendiri (Dugan, 1990).
Lahan gambut berdaya besar memendam (to sequester ) C yang mengendalikan emisi
gas rumah kaca CO2 ke atmosfer. Laju pemendaman C rerata dalam gambut di
Kalimantan ialah 0,47 ton/ha/thn (Notohadinigrat, 1996). Untuk bandingan, pelepasan C
ke atmosfer oleh pembukaan hutan dan perladangan di kawasan tropika ialah 140
ton/ha/thn (Bouwman & Sombroek, 1990). Jadi, C yang dilepaskan ke atmosfer setiap
tahun dari setiap hektar hutan yang dibuka dan perladangan dapat dikompensasi oleh
pemendaman C setiap tahun dalam 190 hektar lahan gambut (Notohadiprawiro, 1995)

Lahan Rawa
Lahan rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus menerus
secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat. Meskipun dalam
keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan
dari danau, karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak
ditumbuhi oleh tanaman kecuali tumbuhan air.
Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut, genangan air hujan, atau
luapan air sungai. Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga,
yaitu rawa pasang surut, rawa lebak dan rawa lebak peralihan.

Rawa pasang surut


Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang
surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan
pasang kecil. Pasang kecil, terjadi secara harian (1-2 kali sehari). Berdasarkan pola
genangannya (jangkauan air pasangnya), lahan pasang surut dibagi menjadi empat tipe:
1. Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar dan pasang kecil;
2. Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar;
3. Tipe C, tidak tergenang tetapi kedalaman air tanah pada waktu pasang kurang dari 50
cm; 4. Tipe D, tidak tergenang pada waktu pasang air tanah lebih dari 50 cm tetapi
pasang surutnya air masih terasa atau tampak pada saluran tersier.

Rawa lebak peralihan


Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di
sungai disebut rawa lebak peralihan. Pada lahan seperti ini, endapan laut yang dicirikan
oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm di bawah
permukaan tanah.
Rawa lebak
Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan
atau air hujan di daerah cekungan di pedalaman. Oleh sebab itu, genangan umumnya
terjadi pada musim hujan dan menyusut atau hilang di musim kemarau. Rawa lebak
dibagi menjadi tiga: 1. Lebak dangkal atau lebak pematang, yaitu rawa lebak dengan
genangan air kurang dari 50 cm. Lahan ini biasanya terletak di sepanjang tanggul sungai
dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
2. Lebak tengahan, yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50-100 cm. Genangan
biasanya terjadi selama 3-6 bulan.
3. Lebak dalam, yaitu lebak dengan genagan air lebih dari 100 cm. Lahan ini biasanya
terletak di sebelah dalam menjaauhi sungai dengan lama genangan lebih dari 6 bulan.

Gambar 1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai bagian bawah dan tengah
Pengertian Tanah Gambut
Tanah di lahan rawa dapat berupa aluvial atau gambut. Tanah aluvial merupakan endapan
yang terbentuk dari campuran bahan-bahan seperti lumpur, humus, dan pasir dengan
kadar yang berbedabeda. Gambut merupakan hasil pelapukan bahan organik seperti
dedaunan, ranting kayu, dan semak dalam keadaan jenuh air dan dalam jangka waktu
yang sangat lama (ribuan tahun). Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat.
Tanah disebut sebagai tanah gambut apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut
(Soil Survey Staff, 1996):
1. Apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18%
jika kandungan liatnya >60% ATAU mempunyai kandungan C-organik 12% jika tidak
mempunyai liat (0%) ATAU mempunyai kandungan C-organik lebih dari 12% + % liat x
0,1 jika kandungan liatnya antara 0 - 60%;
2. Apabila tidak jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 20%.

Lahan Gambut dan Bergambut


Tanah gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas. Di bawahnya terdapat
lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah
gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau tanah bergambut. Disebut sebagai
lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian, lahan
gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Perdasarkan
kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm;
2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm;
3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200-300 cm;
4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm

Gambar 2. Fisiografi lahan gambut


Lahan Rawa Potensial dan Sulfat Masam
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit
(kadarnya <0,75%), atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman lebih dari 50 cm disebut
sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling subur dan potensial untuk
pertanian.

Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah aluvial hasil pengendapan yang
dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya kurang dari 50
cm disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau sering disebut lahan sulfat
masam potensial.
Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang terbentuk dalam suasana payau. Lapisan tanah
yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut sebagai lapisan pirit.
Menurut Wijaya Adhi (2000), adanya lapisan pirit pada lahan dapat diketahui dari tanda-
tanda sebagai berikut:
 Lahan dipenuhi oleh tumbuhan purun tikus
 Di tanggul saluran terdapat bongkah-bongkah tanah berwarna kuning jerami (jarosit)
 Di saluran drainase, terdapat air yang mengandung karat besi berwarna kuning
kemerahan
 Apabila lapisan pirit dikeringkan,akan berubah warna menjadi kuning karat seperti
jerami.
 Apabila pirit disiram dengan larutan hydrogen peroksida (H2O2) 30%, akan
berbuih.
Dalam keadaan tergenang, senyawa pirit tidak berbahaya. Tetapi dalam keadaan kering,
senyawa pirit akan teroksidasi. Bila terkena air, pirit yang teroksidasi akan menjadi asam
sulfat atau sering disebut air aki/air keras yang sangat asam. Akibatnya, akar tanaman akan
terganggu, unsur hara sulit diserap oleh tanaman, serta unsur besi dan aluminium akan larut
hingga meracuni tanaman. Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi sering disebut
sebagai lahan bersulfat atau lahan sulfat masam aktual. Lahan seperti ini tidak
direkomendasikan untuk budidaya pertanian.

Lahan Salin

Sebagian lahan pasang surut sering mendapat pengaruh salinitas air laut terutama pada musim
kemarau. Pengaruh salinitas ini bisa terjadi secara langsung karena air laut mengalir ke
daratan, masuk melalui sungai pada waktu pasang, atau berlangsung karena adanya intrusi
(perembesan).
Lahan pasang surut yang salinitas air (kadar garamnya) lebih dari 0,8% disebut sebagailahan
salin atau pasang surut air asin. Lahan seperti itu, biasanya didominasi oleh tumbuhan
bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2
bulan, disebut sebagai lahan salin peralihan. Lahan salin peralihan ditandai oleh
banyaknya tumbuhan nipah.

Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin. Lahan seperti ini
direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove, budidaya tanaman kelapa, dan
tambak. Khusus untuk tambak, harus memenuhi persyaratan adanya pasokan air tawar dalam
jumlah yang memadai sebagai pengencer air asin.
Berdasarkan pengertian, sifat serta fungsinya maka lahan basah begitu penting untuk di
jaga/dilindungi (konservasi) dan dikelola dalam pemafaatannya untuk kepentingan manusia
dan makhluk hidup didalamnya. Upaya-upaya untuk melakukan konservasi dan pengelolaaan
lahan basah bisa kita lihat dari berbagai hasil penelitian salah satunya. Berikut beberapa
kajian beberapa hasil-hasil penelitian tentang lahan basah :

1.Pengelolaan Lahan Basah Terpadu di Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin.
Jurnal ditulis oleh Ombun Rahmi, Robiyanto HS, Ari Siswanto, Juli 2015.
Disebutkan bahwa penelitiannya bertujuan untuk menganalisis pengelolaan lahan basah
terpadu di Desa Mulia Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan. Populasi penelitian adalah petani di Desa Mulia Sari. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak (random sampling) yang terdiri atas 21 orang responden.
Data primer berupa karakteristik petani sebagai pengguna lahan basah dan kondisi sistem
usahatani didapat melalui observasi dan wawancara terarah dengan metode kuesioner.
Pendekatan kualitatif dipakai dalam teknik analisis data. Berdasarkan hasil penelitian,
karakteristik petani sangat menentukan dalam pengelolaan lahan basah terpadu. 80
penduduk Desa Mulia Sari berprofesi sebagai petani dengan rata-rata usia petani antara
25 65 tahun. Pekerjaan bertani 75 digeluti laki-laki, hanya 4,7 perempuan yang
menggeluti profesi petani. Tingkat pendidikan petani relatif rendah. Hampir 50 petani
belum memenuhi wajib belajar sembilan tahun. 33 petani berpendidikan SD dan 47,61
berpendidikan setaraf SMP. Luas garapan petani berkisar 0,5 4 ha dan lebih dari 30 petani
menyewa lahan. Usahatani di lahan basah harus memerhatikan sistem pengelolaan air dan
lahan. Pengelolaan air dan lahan menjadi syarat utama dalam pengelolaan basah terpadu.
Rata-rata petani telah memahami pentingnya mengupayakan pengelolaan basah terpadu
untuk keberlanjutan usahatani di lahan basah. Pengelolaan lahan basah terpadu di Desa Mulia
Sari dengan konsep usahatani berkelanjutan belum optimal dilaksanakan dan masih sebatas
wacana pemerintah dan akademisi sehingga dibutuhkan kebijakan dan strategi edukasi yang
sesuai dengan karakteristik petani dan ekosistem lahan basah.
Metode Penelitian yang digunakan memakai pendekatan kualitatif dengan strategi
observasi dan wawancara terarah dengan kuesioner sebagai alat pengumpul data primer.
Observasi dan analisis percakapan melalui wawancara terarah merupakan metode untuk
memer- hatikan proses, peristiwa, dan otentisitas pengelolaan lahan basah yang dilakukan
responden di lokasi penelitian (Somantri 2005). Desa Mulia Sari, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan merupakan lokasi peneliti- an yang dipilih
dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu: a) Desa Mulia Sari ditetapkan sebagai pusat Kota
Terpadu Mandiri (KTM); b) Desa Mulia Sari merupakan sentra administrasi dan pengelolaan
lahan basah khusus lahan pertanian; dan c) Rata-rata organisasi petani banyak mendapat
pelatihan dan pendidikan dari pemerintah dan akademisi. Populasi penelitian adalah petani
Desa Mulia Sari. Sampel diambil secara acak (random sampling) dan terpilih 21 responden
yang mewakili petani Desa Mulia Sari. Responden mewakili petani baik dari segi
pengetahuan tentang kondisi petani di masing-masing dusun di Desa Mulia Sari.
Responden merupakan tokoh masyarakat, tokoh organisasi petani, ataupun pengurus
pengelolaan air yang terdapat di Desa Mulia Sari sehingga dianggap mampu
menjelaskan pengelolaan lahan basah yang diterapkan. Data primer yang dibutuhkan
pada penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan, dan sistem usahatani (Cahyono
& Tjokropandojo 2013). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi, buku, jurnal,
rencana pembangunan dan pengembangan wilayah, disertasi, dan tugas
akhir yang berkaitan dengan tema penelitian.
Kelebihan Jurnal ini adalah bahwa dengan metode penelitian yang sederhana mampu
menyajikan gambaran mengenai salah satu bentuk pengelolaan lahan gambut yang telah
dilaksanakan di salah satu wilayah Kabupaten Banyuasin.

2. Pengelolaan Lahan Rawa Gambut Terdegradasi Melalui Pengayaan Karbon


Mendukung Ketahanan Pangan Beras.
Jurnal ditulis oleh Najib Asmani, April 2012
Abstrak:
Indonesia sering menghadapi dilema pangan, terutama beras yang menjadi makanan
pokok sebagian besar rakyatnya. Mendukung keamanan pangan beras, pemerintah berupaya
meningkatkan produktivitas beras melalui pemanfaatan lahan sub optimal. Pemanfaatan
lahan ini yang tidak bijak, terutama pada lahan gambut yang terdegradasi, dapat melepas
emisi gas rumah kaca. Kegiatan persawahan pada lahan rawa gambut sub optimal agar
dilakukan simultan dengan kegiatan konservasi untuk pengayaan cadangan karbon. Kegiatan
ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk mencegah pelepasan emisi
karbondioksida. Tambahan karbon dari pengelolaan kegiatan ini merupakan suatu potensi
insetif karbon bila Skema REDD+ sudah diratifikasi secara resmi. Insentif nilai karbon yang
diperoleh dapat merupakan tambahan pendapatan petani.
Metode penelitian
Metode yang dilakukan dalam penyajian ini dengan melakukan analisis data
sekunder dari berbagai penelitian- penelitian yang telah dilakukan. Data serapan dan
pelepasan karbon diambil dari hasil penelitian; Asmani et. al. (2011), Jauhanien et. al.
(2004), dan hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian
Republik Indonesia (2011). Penghitungan pengayaan karbon pada lahan gambut dengan
aktifitas persawahan padi pasang surut tanpa tanaman silvikultur berdasarkan asumsi dari
jumlah kandungan karbon yang dapat dicegah pelepasan emisinya dari kebakaran karena
adanya kegiatan budidaya (silvikultur akasia) yang dikurangi dengan besarnya karbon yang
dilepas pada kegiatan budidaya tanaman padi pada lahan pasang surut yang terdegradasi.
Sistem MPTS dengan menggunakan kombinasi secara proporsional dengan luas
lahan tanaman pangan seluas 80 persen atau
0,8 hektar dan silvikultur seluas 20 persen atau 0,2 hektar). Pengayaan karbon dengan
sistem MPTS dihitung berdasarkan penjumlahan cadangan karbon yang dapat dicegah dari
kebakaran lahan dan biomasa karena adanya pemanfaatan lahan dengan besarnya cadangan
karbon dari kegiatan budidaya dan proporsi kandungan pada lahan yang digunakan
untuk kegiatan silvikultur. Kemudian hasil penjumlahan tersebut dikurangi dengan proporsi
pelepasan karbon pada lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman padi.
Metode penghitungan insentif karbon dengan cara mengalikan jumlah stok karbon
yang diperoleh dengan perhitungan harga karbondioksida sebesar USD 9,10 per ton (Asmani
et. al., 2010), atau disetarakan dengan nilai tukar dalam bentuk rupiah yakni sebesar
Rp9.000,00 per USD, atau sebesar Rp81.900,00 per ton karbondioksida.
Kelebihan Jurnal :
Penelitian ini dapat memberikan alternatif upaya penurunan emisi karbon yang
dihasilkan oleh lahan rawa gambut dengan penanaman padi yang dikombinasikan dengan
system MPTS (Multiple Purpose Tree Spesies). Dimana dari metode ini diperoleh dua
keuntungan yaitu mencapai ketahanan pangan melalui penanaman padi sekaligus
memperoleh insentif karbon dengan jumlah yang cukup fantastis.
Daftar Pustaka

Rahmi,Ombun, Susanto, R.H, Siswanto,Ari. 2015. Pengelolaan Lahan Basah Terpadu di


Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia, Desember 2015, ISSN 0853-4217

Suriadikarta, D.A. Teknologi Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan,

Notohanagoro, KRMT. T. Perspektif Pengembangan Lahan Basah: Maslahat dan Mudharat.


Disampaikan pada Seminar NAsional Putaran V, Universitas Gadjah Mada.

Asmani, Najib.2012. Pengelolaan Lahan Gambut terdegradasi Melalui Pengayaan Karbon


Mendukung Ketahanan Pangan Beras. Jurnal Lahan Suboptimal, ISSN 2252-6188

Notohadiprawiro, T. Lahan Basah. Seminar Nasional Pemberdayaan Lahan Basah Pantai


Timur Sumatera yang Berwawasan Lingkungan Menyongsong Abad 21. Fakultas
Pertanian Universitas Jambi.22 Desember 1997

Mubekti. 2011. Studi Pewilayahan dalam Rangka Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan
di Propinsi Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.3

Riyadi, Subhan. Peringatan Hari Lahan Basah, Bukan sebatas “Ceremony”. Kompasiana, 25
Januari 2016

Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. www.wetlands.or.id

Anda mungkin juga menyukai