Anda di halaman 1dari 23

Difteria pada Anak-anak

Hazirah binti Hashim*

Pendahuluan

Difteria ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium dipththeriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala
klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan
dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnose dapat
ditegakkan dengan melihat adanya membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip
seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.1

Skenario

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan sesak nafas sejak 1
hari yang lalu. keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu dan demam tinggi
serta nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi
pasien ternyata tidak lengkap. Pada PF didapati kesadaran compos mentis, tampak sesak dan
agitasi. Frekuensi nafas 50x/menit, denyut nadi 130x/menit, suhu 40°C, stridor (+). Leher
terlihat membesar dan teraba keras, kedua tonsil membesar dengan ditutupi ‘selaput’ putih
keabu-abuan yang menyebar sampai ke dinding faring.

*Alamat korespondensi: Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta
11510. Email: hashimhazirah@yahoo.com

1
Isi Perbahasan
1. Anamnesis

Merupakan langkah terpenting buat dokter untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
dan juga digunakan untuk menegakkan diagnosis kerna ia merupakan kunci menuju
diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan lengkap, teliti dan teratur. Anamnesis juga
merupakan sarana holostik dalam pembinaan tumbuh kembang anak. Dapat dibagikan kepada
2 jenis yaitu:

a. Alloanamnesis : riwayat penyakit didapat dari orang tua atau sumber lain. Bagi kasus
anak, anamnesis biasanya didapatkan dari jenis ini karena anak- anak masih tidak bisa
memahami keluhan yang mereka hadapi dan tidak tahu untuk mengekpresikannya.
b. Autoanamnesis: riwayat penyakit yang langsung didapatkan dari pasien. pasien
sendiri yang menemui dokter dan memberitahu sendiri riwayat penyakit dan keluhan
yang mereka hadapi.2

Anamnesis harus dilakukan secara teliti, teratur, dan lengkap karena sebagian besar
data yang diperlukan diperoleh dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Hal-hal yang
perlu ditanyakan dalam anamnesis yaitu :

 Riwayat kehamilan ibu


 Riwayat kelahiran, yaitu :
o Tanggal lahir,
o Tempat lahir,
o Ditolong oleh siapa,
o Cara kelahiran,
o Kehamilan ganda,
o Keadaan segera setelah lahir (komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma
kepala, asfiksia dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak), faktor pasca lahir
(gizi, lingkungan fisis dan kimia) dan hari-hari pertama kehidupan,
o Masa kehamilan,
o Berat badan dan panjang badan lahir (apakah sesuai dengan masa kehamilan,
kurang atau besar)
o Komplikasi persalinan pada bayi (seperti trauma kepala, asfiksia dapat
menyebabkan kerusakan jaringan otak)

2
 Riwayat pertumbuhan
 Riwayat perkembangan
 Riwayat imunisasi

Pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan terdapat imunitas bawaan walaupun pada uji
Schick ditemukan 15% positif, kemudian sampai umur 6 bulan 50% uji Schick positif dan
umur sampai 1 tahun 90% uji Schick positif. Mulai umur 1 tahun berangsur-angsur turun lagi
sampai umur 17 tahun memberi hasil 15% uji Schick positif.

Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan toksoid. Imunisasi dasar dimulai pada
umur 3 bulan dilakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya
diberikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B., pertussis yang telah dimatikan sehingga
disebut tripel vaksin DPT dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau
intramuscular. Vaksinasi ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi
dasar atau kira-kira pada umur 1½ - 2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5
tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT)
atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.

Efektivitas imunisasi ini dilaporkan oleh Kassur dkk. (1966) yaitu golongan yang
mendapat imunisasi hanya mendapat infeksi ringan 81,3%, infeksi sedang 16,4% sedangkan
infeksi berat hanya 2,3%. Golongan yang tidak mendapat imunisasi mengalami infeksi ringan
19,0%, infeksi sedang 21,5% dan infeksi berat 59,5% dengan angka kematian 4 kali lebih
besar.2

 Riwayat makanan
 Riwayat penyakit yang pernah diderita
 Riwayat keluarga
 Riwayat sosial
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat kontak dengan penderita difteri.3

3
2. Struktur makroskopik saluran pernapasan

-Sistem saluran pernapasan terdiri dari:

1) Sistem saluran udara (tidak ada pertukaran gas)


2) Organ pertukaran gas (sistem alveoli paru) melalui proses difusi pasif
3) Mekanisme pompa ventilasi paru (struktur dinding dada dan otot- otot
pernapasan)
4) Pusat pernapasan dan jaras pernapasan (menghubungkan pusat pernapasan
dengan otot pernapasan)
5) Sistem sirkulasi darah membawa O2, CO2 ke dan dari jaringan tubuh.

- Sistem saluran udara:1


- bermula dari hidung dan berakhir di alveolus.
1) hidung
2) trakea
3) bronkus primer
4) paru kanan/ kiri
5) bronkus kecil
6) bronkiolus
7) bronkiolus terminalis
8) bronkiolus respiratorius
9) duktus alveolaris
10) sakus alveolaris
11) alveolus
12) pembuluh darah

Saluran pernafasan meluas dari mulut dan hidung ke alveoli. Saluran napas bagian
atas berfungsi untuk menyaring partikel udara, melembabkan dan menghangatkan gas
terinspirasi. Jalan napas di hidung dan rongga mulut sebagian besar dikelola oleh kerangka
tulang, tapi di tenggorokan tergantung pada nada dalam otot-otot lidah, langit-langit lunak
dan dinding faring. 3

4
1) Pangkal tenggorokan:
Laring terletak di tingkat atas tulang leher, C4-6, dan komponen utamanya adalah
struktur kartilago tiroid dan krikoid, bersama dengan kartilago arytenoid kecil dan katup
tenggorok, yang terletak pada inlet laringeus. Serangkaian jaringan otot ligamen dan struktur
ini, yang, dengan urutan terkoordinasi tindakan, melindungi laring dari bahan padat atau cair
saat menelan serta mengatur ketegangan pita suara untuk pembunyian (berbicara). Teknik
tekanan krikoid didasarkan pada kenyataan bahwa tulang rawan krikoid adalah sebuah cincin
lengkap, yang digunakan untuk memampatkan kerongkongan di belakang itu terhadap tubuh
vertebralis dari C5-6 untuk mencegah regurgitasi isi lambung ke kerongkongan. Kartilago
tiroid dan krikoid anterior dihubungkan oleh membran cricothyroid, di mana akses ke jalan
napas dapat diperoleh dalam keadaan darurat. 4
2) Trakea dan bronkus:
Trakea memanjang dari bawah tulang rawan krikoid ke carina, titik di mana trakea
membagi ke kiri dan kanan bronkus utama, dengan panjang 12-15cm pada orang dewasa dan
diameter internal 1.5-2.0cm. Carina terletak pada tingkat T5 (vertebra toraks 5) sewaktu
ekspirasi dan T6 sewaktu inspirasi. Sebagian besar lingkarannya terdiri dari serangkaian
tulang rawan berbentuk C, yang berjalan secara vertikal, membentuk bagian posterior.
3) Paru-paru dan selaput paru-paru:
Paru kanan dibagi menjadi 3 lobus (atas, tengah dan bawah), sedangkan kiri hanya
memiliki 2 (atas dan bawah), dengan pembagian lebih lanjut ke segmen broncho-pulmonary
(10 kanan, 9 kiri). Secara total terdapat sampai 23 divisi jalur udara antara trakea dan alveoli.
Dinding bronchial mengandung otot polos dan jaringan elastis serta tulang rawan di saluran
udara yang lebih besar. Gerakan gas terjadi oleh arus pasang surut (tidal flow) di saluran
udara yang besar. Sebaliknya, pada saluran udara kecil, (divisi 17 dan lebih kecil) itu hanya
hasil dari difusi.
Pleura adalah lapisan ganda sekitar paru-paru, pleura viseral membungkus paru-paru
itu sendiri dan pleura parietal yang melapisi rongga dada. Dalam keadaan normal ruang
interpleural antara lapisan pleura ini mengandung hanya sejumlah kecil cairan pelumas.
Pleura dan paru-paru membentang dari tepat di atas klavikula ke rusuk 8 anterior, lateral ke
tulang rusuk 10 dan tingkat T12 posterior.
4) Suplai darah:
Paru-paru mempunyai persediaan darah ganda, sirkulasi paru-paru untuk pertukaran
gas dengan alveoli dan sirkulasi bronkial untuk suplai ke parenkim (jaringan) dari paru-paru
itu sendiri. Sebagian besar darah dari sirkulasi bronkial mengalir ke sisi kiri jantung melalui

5
vena pulmonari dan darah terdeoksigenasi ini membentuk laluan fisiologis normal yang
terdapat dalam tubuh. Komponen lain dari laluan fisiologis adalah dari vena thebesian, yang
menyalurkan darah koroner langsung ke ruang jantung.
Sirkulasi paru-paru adalah tekanan-rendah (25/10mmHg), sistem resistansi rendah
dengan kapasitas untuk mengakomodasi peningkatan substansial dalam darah yang mengalir
melaluinya tanpa peningkatan besar dalam tekanan. Stimulus utama yang menghasilkan
peningkatan yang ditandai dalam resistensi vaskular paru adalah hipoksia.3-4

Gambar 1: Struktur pernafasan3

3. Struktur mikroskopik saluran pernapasan3

Sistem respiratorius dibagikan kepada 2: bagian konduksi (menyalurkan udara/gas) dan


respirasi (proses pertukaran gas).

1) Hidung:
- Terdiri dari tulang rawan hialin, tulang, otot bercorak dan jaringan ikat.
- Kulit luar: epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk, rambut halus, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat.
- Rongga hidung dibagi kepada 2: vestibulum nasi dan fossa nasalis. Pada
vestibulum nasi terdapat rambut kasar (menyaring udara pernafasan) dan kelenjar
sebasea dan keringat.
- Pada konka nasalis inferior terdapat swell bodies untuk menghangatkan udara
yang melalui hidung.

6
- Glandula nasalis merupakan kelenjar campur yang sekretnya menjaga kelembapan
kavum nasi dan menangkap partikel debu.
2) Sinus paranasalis:
- Merupakan rongga dalam tulang tengkorak yang berhubungan dengan kavum
nasi.
- Termasuk: sinus maxilaris, sinus frontalis, sinus sphnoidalis, sinus ethmoidalis.
- Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Kelenjar di sini memproduksi mucus
yang dialirkan ke kavum nasi.
3) Faring:
- Ruangan di belakang kavum nasi yang menghubungkan traktus digestivus dan
traktus respiratorius. Terbagi kepada 3, nasofarings, orofarings dan laringofarings.
- Nasofarings: terdiri dari epitel torak bersilia bersel goblet. Terdapat kelenjar
campur dan jaringan limfoid yang membentuk tonsila faringea.
- Orofarings: epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Terletak di belakang
rongga mulut dan permukaan belakang lidah. Orofaring dilanjutkan ke atas
menjadi epitel mulut dan ke bawah ke epitel esofagus.
- Laringofarings: epitel bervariasi, sebagian besar epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk. Terletak di belakang larings.
4) Larings:
- Menghubungkan trakea dengan farings.
- Bentuk tidak beraturan/ irregular. Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet
kecuali ujung plica vocalis berlapis gepeng.
- Dinding terdiri dari: tulang rawan hialin & elastin, jaringan ikat, otot skelet,
kelenjar campur.
- Fungsi: fonasi, mencegah bendasing memasuki jalan nafas dengan reflex batuk.
5) Epiglottis:
- Rangak terdiri dari tulangrawan elastic
- Mempunyai 2 permukaan: pars lingual dan pars laryngeal.
- Pars lingual mengadap ke lidah, terdiri dari epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk. Ada kelenjar campur dan jaringan limfoid.
- Pars laryngeal menghadap ke laring, terdiri dari epitel berlapis gepeng yang
kemudian menjadi epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Mempunyai
kelenjar campur yang lebih banyak dari pars lingual.4

7
6) Trakea:
- Merupakan rangka bentuk C dari tulang rawan hialin.
- Cincin- cincin tulang rawan satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan
penyambung padat fibroelastis dan retikulin yang disebut ligamentum anulare. Ini
mencegah lumen trakea agar tidak meregang berlebihan.
- Otot polos di belakang trakea berperan untuk mendekatkan kedua tulang rawan.
- Pars kartilagenia: mengandungi tulang rawan.
- Pars membranasea: mengandungi otot.
- Bagian posterior: terdapat banyak kelenjar. N.recurren menyebabkan secrete
dikeluarkan.
- Mukosa trakea: epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet, terdapat kelenjar
campur.
- 4 jenis sel epitel trakea: sel goblet (mensintesa/ sekresi lender, mengandungi
tetesan mucus), sel sikat (mempunyai mikrovili), sel basal (bermitosis dan
berubah menjadi sel lain), sel sekretorik bergranul (mengandungi katekolamin
yang mengatur aktivitas sel goblet dan gerakan silia, mengatur sekresi mukosa dan
serosa).
7) Paru- paru:
- Selaput pembungkus disebut pleura (viseralis/ parietalis).
- Di antara pleura terdapat kavum pleura yang berisi cairan serosa.
- Pleura disusun oleh jaringan ikat fobrosa dengan serat elastin dan klagen dan sel
fibroblast, dilapisi selapis mesotel.
8) Bronkus:
- Bronkus ekstrapulmonal: sama dengan trakea, diameter lebih kecil.
- Bronkus intrapulmonal: bentuk sferis, tulang rawan tidak beraturan, susunan
muskulus seperti spiral, epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Membrana
basalisnya jelas. Lamina propria terdiri dari jaringan ikat jarang, serat elastic dan
muskulus polos spiral, nodule limfatisi dan kelenjar bronkialis adalah kelenjar
campur.
9) Bronkiolus:
- Diameter kira- kira 1mm.Tiada kelenjar, otot polos relative banyak dari jaringan
ikat, serat elastin.
- Bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius.3

8
- Bronkiolus terminalis: epitel selapis torak bersilia. Terdapat sel clara antara
deretan sel ini. Ada mikrovili dan granula kasar. Lapisan luar terdiri dari serat
kolagen, elastin, pembuluh darah dan limfa, saraf.
- Bronkiolus respiratorius: bagian antara bagian konduksi dan respirasi. Diameter:
0.5mm, pelbagai jenis sel epitel (disebabkan bagian peralihan). Di antara sel kubis
terdapat sel clara. Lamina propria berserat kolagen dan elastin, dan berotot polos
terputus- putus.
10) Duktus alveolaris:
- Dinding tipis, sebagian besar dari alveoli, dikelilingi sakus alveolaris. Di mulut
alveolus epitel selapis gepeng. Jaringan ikat elastin, serat kolagen, otot polos
sebagai titi- titik kecil.
11) Sakus alveolaris:
- Kantung yang terbentuk dari beberapa alveolus.
- Terdapat serat elastin dan retikulin.
- Sudah tiada otot polos.
12) Alveolus:
- Terdiri dari selapis sel gepeng, berjumlah 300-500 juta.
- Di sekeliling: serat elastin (melebar saat inspirasi), serat kolagen (mencegah
regangan berlebihan sehingga kapiler & septum interalveolaris tidak rosak).
- Sel dinding alveolus: sel alveolar type I, sel alveolar type II, sel alveolar fagosit,
sel endotel kapiler.
- Sel pneumonosit I: inti gepeng, sitoplasma tipis, mempunyai membrane basalis.
- Sel pneumonosit II: inti kubis, menonjol ke lumen. Sitoplasma mengandungi
multilamelar bodies, sebagai surfaktan untuk menjaga permukaan alveoli agar
tidak kolaps di akhir inspirasi. Mengurangi tenaga untuk mengisi udara dalam
alveoli waktu inspirasi.
- Sel alveolar fagosit: sel debu. Memfagosit debu, mikroorganisme dan bendasing
dalam alveoli.
- Sel endotel kapiler: melapisi kapiler darah, inti gepeng, kromatin inti halus.
13) Stigma alveolaris:
- Lubang kecil pada dinding alveolus.
- Menghubungkan alveolus yang berdekatan- sirkulasi udara kolateral, mencegah
atelektasis.3

9
- Penting apabila terjadi sumbatan di salah satu cabang bronkus/ bronkiolus kerana
udara dapat mengalir dari satu alveolus ke alveolus lain.

Gambar 2: Struktur alveolus3

4. Fisiologi saluran pernapasan5


1) Sistem pernafasan atas
Bagian-bagian utama dan struktur dari saluran pernapasan atas termasuk
hidung atau lubang hidung, rongga hidung, mulut, tenggorokan (faring), dan kotak
suara (laring). Bila bernapas melalui hidung atau mulut, udara "disaring" melalui jalur
alami pertahanan yang melindungi terhadap penyakit dan iritasi pada saluran
pernafasan. Rambut hidung (vibrissae) pada pembukaan lubang hidung memerangkap
partikel debu yang mungkin dihirup. Sistem pernafasan secara keseluruhan, seperti
pada sistem reproduksi, pencernaan, dan urin, dipagari dengan selaput mukosa yang
mengeluarkan mukus. Mukus memerangkap partikel kecil seperti serbuk sari atau
asap. Struktur mirip rambut yang disebut silia membarisi selaput lendir dan
memindahkan partikel terperangkap dalam lendir keluar dari hidung.
Udara inhalasi adalah basah, dihangatkan, dan dibersihkan oleh epitel hidung
(jaringan yang melapisi rongga hidung), yang mencakup tulang turbinate (Cymba)
dalam rongga hidung. Epitel hidung mengalami peningkatan aliran darah yang
membantu untuk menghangatkan udara yang dihirup.4

10
Faring adalah muscular, berbentuk corong sekitar 5 inci panjang yang
menghubungkan rongga hidung dan mulut ke laring. Faring adalah tempat tonsila dan
adenoid, yaitu jaringan limfatik yang mencegah infeksi dengan melepaskan sel-sel
darah putih (limfosit T dan B).
Laring membentuk pintu masuk ke sistem pernafasan lebih rendah. Dengan
bantuan epiglottis, laring mencegah makanan atau cairan dari memasuki saluran
pernafasan bagian bawah sewaktu menelan. Dua pasang pita jaringan ikat kuat yang
membentang di pangkal tenggorokan bergetar untuk menghasilkan suara saat
berbicara atau bernyanyi.
2) Saluran napas bawah
Bagian-bagian utama dan struktur pada saluran pernafasan bagian bawah
termasuk trakea dan di dalam paru-paru, yaitu bronchi, bronchioles, dan alveoli.
Setelah inhalasi, udara bergerak melalui laring, mencapai trakea. Trakea merupakan
tuba muskular, rigid sekitar 4,5 inci dan 1 inci panjang lebar. Tertanam dalam dinding
trakea adalah cincin tulang rawan berbentuk C yang memberikan kekakuan trakea
dan memungkinkan untuk tetap terbuka sepanjang waktu.
Aliran udara bergerak dari trakea kemudian bercabang ke dua saluran
pernapasan. Satu mengarah ke bronkus paru kanan, yang lain ke paru-paru kiri.
Bronchi juga mengandung tulang rawan berbentuk C-cincin seperti trakea.
Dalam paru-paru, setiap bronkus membagi menjadi bronki sekunder dan
tersier, yang terus ke saluran udara yang lebih kecil disebut bronchioles. Tidak ada
tulang rawan di bronchioles, dan karena itu mereka tunduk pada penyempitan dan
obstruksi, akibat serangan asma. Bronchioles berakhir di kantung-kantung udara yang
disebut alveoli. Alveoli yang berkumpul bersama menjadi cluster untuk membentuk
kantung alveolar. Pada permukaan setiap alveolus, ada jaringan kapiler yang
membawa darah yang datang melalui pembuluh darah dari bagian tubuh lainnya. Di
sini terjadi pertukaran gas - karbon dioksida dari darah dipertukarkan dengan oksigen
dari alveoli. Setelah darah menerima oksigen, ia pergi ke jantung (antara dua paru-
paru), dimana dipompa ke seluruh jaringan tubuh dan kaki. Bila ekshalasi, karbon
dioksida dikeluarkan dan diusir dari tubuh.4

Terdapat molekul surfaktan pada alveolus. Surfaktan ini adalah secrete sel
epitel type II antara molekul- molekul air. Sewaktu alveoli mengempis, molekul

11
surfaktan menurunkan tegangan permukaan, jadi alveoli tidak kolaps. Waktu inspirasi
alveoli mengembang, molekul surfaktan saling menjauh, tegangan permukaan alveoli
menaik. Surfaktan melawan regangan alveoli berlebihan, mencegah alveoli pecah
pada akhir inspirasi.

3) Peran diafragma
Diafragma, terletak di bawah paru-paru, adalah otot utama dari respirasi. Ini
adalah otot besar berbentuk kubah yang berkontraksi ritmis dan terus menerus, dan
sebagian besar waktu, tanpa sadar. Setelah inhalasi, kontrak diafragma dan rata dan
rongga dada membesar. Kontraksi ini menciptakan vakum, yang menarik udara ke
dalam paru-paru. Setelah pernafasan, diafragma rileks dan kembali ke bentuk seperti
kubah, dan udara dipaksa keluar dari paru-paru.
4) Non-fungsi pernafasan
- Vokalisasi: Gerakan gas melalui laring, faring dan mulut memungkinkan manusia
untuk berbicara, atau phonate. Vokalisasi, atau menyanyi, pada burung terjadi melalui
Syrinx, organ yang terletak di dasar trakea. Getaran udara mengalir melalui laring
(pita suara), pada manusia, dan Syrinx itu, pada burung, menghasilkan suara. Karena
itu, aliran udara sangat penting untuk tujuan komunikasi.
- Batuk dan bersin: Iritasi saraf dalam hidung atau saluran udara, dapat menyebabkan
batuk dan bersin. Refleks ini menyebabkan udara akan diusir paksa dari trakea atau
hidung masing-masing. Dengan cara ini, iritasi yang terperangkap dalam lendir yang
melapisi saluran pernafasan dikeluarkan atau dipindahkan ke mulut di mana mereka
dapat ditelan.4

5. Pemeriksaan fisik

- Inspeksi:
Bentuk dan ukuran toraks (simetris, lebih besar/ kecil), pergerakan pernapasan
(simetris, menurun/ tertinggal), tipe & frekuensi pernapasan, kelainan lain (deviasi
trakea, vena ektasi, ginekomasti, hipertrofi otot napas, retraksi intercostals space (ics),
ics lebar/ sempit).5

12
- Palpasi:
Posisi mediastinum (deviasi trakea, iktus kordis), kelenjar getah bening (leher &
supraklavikula – lokasi, ukuran, konsistensi, soliter/ multiple, mobilitas, nyeri tekan),
gerakan dinding dada (lobus superior, medius, inferior), lokasi nyeri dada.
Fremitus vocal ada 2: fremitus dengar & fremitus raba (tactile). Fremitus raba
meningkat pada konsolidasi, fibrosis luas dengan bronkus terbuka. Fremitus raba
menurun pada efusi pleura, pneumotoraks, atelektasis obstruksi, obesitas.2
- Perkusi:
Hanya dapat mendetaksi kelainan yang berada 5-7 cm dalamnya dari dada. Evaluasi:
kronig’s isthmus, batas paru- hepar, jantung, pergerakan diafragma. Cara perkusi:
langusng, tidak langsung, palpatoir. Dilakukan sistematis atas ke bawah dari bagian
yang sehat (zig - zag).5

Tabel 1: Hasil pemeriksaan fisik perkusi5

- Auskultasi:
Ideal pada ruangan sunyi. Suara yang bias mengganggu: gesekan stetoskop dengan
kulit/ rambut/ pakaian, kontraksi otot. Evaluasi: suara napas dasar & tambahan, suara
abnormal, suara percakapan & bisik, egofoni.6

13
Tabel 2 & 3: Diagnosa fisik beberapa kelainan paru5

Suara napas ada 3 macam: normal/ vesikuler, napas campuran/ bronkovesikuler dan
napas bronkial. Suara napas vesikuler bernada rendah, terdengar lebih panjang pada
fase inspirasi daripada ekspirasi dan kedua fase bersambung/ tidak ada silent gaps.
Suara napas bronkial bernada tinggi dengan fase ekspirasi lebih lama daripada
inspirasi dan terputus/ silent gaps. Sedangkan kombinasi suara nada tinggi dengan
inspirasi dan ekspirasi yang jelas dan tidak ada silent gaps disebut bronkovesikuler/
vesikobronkial. Suara napas vesikuler pada kedua paru normal dapat meningkat pada
anak, orang kurus dan latihan jasmani,. Bila salah satu meningkat berarti ada kelainan
pada salah satu paru. Suara vesikuler melemah kemungkinan adanya cairan, udara,
jaringan padat pada rongga pleura dan keadaan patologi paru. Suara napas bronkial
terdengar bila paru menjadi padat, misalkan konsolidasi. Suara napas asmatik yaitu
inspirasi normal/ pendek diikuti ekspirasi lebih lama dengan nada lebih tinggi disertai
wheeze.

Suara tambahan (ronkhi) dari paru adalah suara yang tidak terdengar pada keadaan
paru sehat. Suara ini timbul akibat dari adanya sekret didalam saluran napas,

14
penyempitan dari lumen saluran napas dan terbukanya acinus/ alveoli yang
sebelumnya kolaps. Ronkhi ada 2 macam yaitu ronki basah dengan suara terputus-
putus dan ronki kering dengan suara tidak terputus. Ronki basah kasar seperti suara
gelembung udara besar yang pecah, terdengar pada saluran napas besar bila terisi
banyak secret. Ronki basah sedang seperti suara gelembung kecil yang pecah,
terdengar bila adanya secret pada saluran napas kecil dan sedang, biasanya pada
bronkiektasis dan bronkopneumonia. Ronki basah halus tidak mempunyai sifat
gelembung lagi, terdengar seperti gesekan rambut, biasanya pada pneumonia dini.
Ronki kering lebih mudah didengar pada fase ekspirasi, karena saluran napasnya
menyempit. Ronki kering bernada tinggi disebut sibilan, terdengar
mencicit/squacking, ronki kering akibat ada sumbatan saluran napas kecil disebut
wheeze. Ronki kering bernada rendah akibat sumbatan sebagaian saluran napas besar
disebut sonourous, terdengar seperti orang mengerang/ grouning. Suara tambahan lain
yaitu dari gesekan pleura/ pleural friction rub yang terdengar seperti gesekan kertas,
seirama dengan pernapasan dan terdengar jelas pada fase inspirasi, terutama bila
stetoskop ditekan.1
Pada pemeriksaan fisik difteri dapat ditemukan adanya demam, suara serak,
tonsillitis, faringitis ataupun rhinitis. Pada penyakit ini juga ditemukan limfadenitis
servikal dan edema jaringan lunak leher (bullneck).Sangat penting untuk diagnosis
ditemukannya membrane pada tempat infeksi yang bewarna putih keabu ± abuan yang
mudah berdarah bila diangkat. Pada auskultasi ditemukan bunyi stridor.1,6

6. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit darah tepi dapat meninggi
dan kadang ± kadang disertai dengan anemia. Kultur harus diperoleh dari hidung,
tenggorokan dan setiap lesi mukokutan lainnya. Ditemukan Corynebacterium dipththeriae
pada preparat langsung atau biakan. Preparat langsung biasanya dibuat dari basis eksudat atau
membrane yang kemudian diberi perwarnaan biru metilen atau biru toluidine atau pewarnaan
dengan cara Ljubinski. Kultur yang negatif belum dapat menyingkirkan infeksi difteria. Jadi
bila membrane terlihat dengan cepat menyebar, walaupun biakan ataupun sediaan langsung
negative, maka pengobatan terhadap difteria harus segera diberikan.5

Uji Schick ialah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0.03 ml satuan permililiter darah cukup dapat

15
menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut
tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang
setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji
Schick dapat positif; pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam.
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apa pun pada tempat suntikan dan
ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif
palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang
dalam 72 jam.6

7. Working Diagnosis

Working diagnosis adalah difteri. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan
diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada
penderita. Secara klinik diagnose dapat ditegakkan dengan melihat adanya membrane yang
tipis dan berwarna keabu-abuan, miripsepertisarang laba-laba dan mudah berdarah bila
diangkat.7

Dibuat dengan ditemukan Corynebacterium dipththeriae pada preparat langsung atau


biakan. Untuk pengobatan tidaklah dibenarkan menunggu hasil pemeriksaan preparat
langsung atau biakan, tetapi bila secara klinis terdapat persangkaan yang kuat adanya difteria,
maka penderita harus diobati sebagai penderita difteria.

Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.
Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach dkk. (1950)
sebagai berikut:

1. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri
menelan.

2. Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan
edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.

16
3. Infeksi berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan
trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat
menyertai.7

8. Diagnosis banding

Pada difteria nasal pendarahan yang timbul harus dibedakan dengan pendarahan
akibat luka dalam hidung, korpus alienum atau sifilis kongenital. Difteria fausial harus
dibedakan dengan:

a. Tonsillitis folikularis atau lakunaris


Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap
sebagai penderita difteria bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan
terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsillitis
lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau
lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membrane putih kekuningan, rapuh
dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil sahaja. 6,7

b. Angina Plaut Vincent


Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah
berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan
spirila (gram negatif).7

9. Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium dipththeriae, bakteri gram positif yang bersifat


polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat
dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan
langsung ini.

Bakteri ini mati pada pemanasan 60°C selama 10 menit, tahan sampai beberapa
minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mongering.

17
Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil
dapat membentuk:

1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-
abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan
nekrotik dan basil.

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada
otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh
marmot dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal
dose (MLD) dari toksin ini adalah 0,02 ml. 8

10. Patogenesis

Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih
bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang basil
dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau
kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian
atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan
mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.

Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau


mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan.
Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul
nefritis interstitialis (jarang sekali).8

11. Epidemiologi

Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.7

18
12. Gejala klinis

Masa tunas 2-7 hari. Selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala
local serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.

Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala
dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini biasanya disertai
dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau
sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada
jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf atau nefritis.8

a. Difteria hidung

Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-mula hanya tampak pilek,
tetapi kemudian secret yang ke luar tercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring.
Penderita diobati seperti penderita difteri lainnya.

b. Difteria faring dan tonsil (difteria fausial)

Paling sering dijumpai (±75%). Gejala mungkin ringan hanya berupa radang pada selaput
lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar
hasil biakan yang positif.2,7

Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang
lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi,
dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul pembengkakan
kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brenneman dan Mc
Quarrie (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan di luar tonsil dapat dianggap
sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setaip membran yang
menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun
kedua sisi dapat dianggap sebagai difteria.2

Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum
terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan
darah dapat terjadi penurunan kadar haemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus,

19
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin mungkin dapat
ditemukan albuminuria ringan.

c. Difteria laring dan trakea

Lebih sering sebagai penjalaran difteria laring dan tonsil (3 kali lebih banyak) daripada
primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa serak dan stridor inspirasi jelas
dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis dan tampak retraksi suprasternal
serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada
pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah seklai maka harus segera ditolong
dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

d. Difteria kutaneus

Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie (1965) mendapatkan
30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Dapat pula timbul di
daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.7

13. Pengobatan
a. Pengobatan umum
terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan
pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain
pemeriksaan EKG setiap minggu.8

b. Pengobatan spesifik
1. Anti Dipthteria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari
berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata
penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitisasi
dengan cara Besredka.
2. Antibiotika. Diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari sampai 3 hari bebas
panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75
mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi
miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2 mg/kgbb/hari
selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.7

20
Penderita difteria dirawat selama 3-4 minggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas
harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteria laring dengan
sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita. Perawatan pasca-trakeostomi juga
memegang peranan penting seperti pengisapan lendir secara berhati-hati dan teratur, sebab
pengisapan lendir secara sembrono dapat menimbulkan reflex vagal yang dapat menyebabkan
kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami
sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum. Bila ada komplikasi
paralisis/paresis otot, dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari
selama 10 hari berturut-turut.7,8

14. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sedian langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2 kali berturut-turut.

2. Imunisasi
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan atau suntikan antitoksin yang bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas
aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria.

3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria. Dilakukan dengan uji Schick, yaitu
bila hasil uji negative (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi),
maka harus dilakukan dengan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C.
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsiletomi.7

15. Komplikasi

1. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis.
2. Kardiovaskular
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.
3. Urogenital
Dapat terjadi nefritis

21
4. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem
susunan saraf terutama sistem motorik. Paralisis/paresis dapat berupa:
a. Paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan.
Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu kesatu atau kedua.
b. Paralisis/paresis otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus,
gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu
ketiga.
c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat
mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila
mengenai otot pernafasan.9
16. Prognosis

Kematian penderita difteria sebesar 3-5% dan sangat bergantung pada:

1. Umur penderita, karena makin muda umur anak prognosis makin buruk,
2. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk prognosisnya.
3. Letak lesi difteria
4. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi
kurang.
5. Pengobatan. Makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin buruk.2

Kesimpulan

Kelainan pada saluran pernapasan boleh menyebabkan gangguan pada proses


pernapasan secara keseluruhan, serta boleh mengancam kesehatan tubuh. Difteria ialah suatu
penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium dipththeriae.
Gejala yang muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan menelan,
mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan sangat lemah. Kelenjar getah bening di leher
membesar dan terasa sakit. Lapisan(membran) tebal terbentuk menutupi belakang
kerongkongan atau jika dibuangkan menutup saluran pernapasan dan menyebabkan
kekurangan oksigen dalam darah. Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam
menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan
resiko pada penderita.

Daftar pustaka

22
1. Amin Z. Manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelainan system
pernapasan. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2009.h.2192-4.
2. Richard E. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia: WB Saunders Company;
2003.p. 115-126.
3. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.h.68-76.
4. Scanlon VC, Sanders T. Buku ajar anatomi dan fisiologi. Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003.h315-37.
5. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.87.
6. Schwartz w. Pedoman klinis pediatri. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG; 2005.p. 386- 470.
7. Hassan R, Alatas H. Difteria. Dalam: Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi 11.
Jakarta: FKUI; 2007.h.550-6.
8. Robbins, Kumar, Cotranz. Buku ajar patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.h.730-60.
9. Nah KY, Santoso M, Sumadikarya IK. Buku panduan keterampilan medik. Jakarta: FK
Ukrida; 2011.h.59-66.

23

Anda mungkin juga menyukai