Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit hipertensi dalam kehamilan (Preeklampsia dan Eklampsia) adalah
salah satu dari tiga penyebab utama kematian ibu disamping perdarahan dan
infeksi. Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan kesatuan penyakit, istilah
kesatuan penyakit harus diartikan bahwa kedua peristiwa daarnya sama dan bahwa
eklampsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan berbahaya dari pre-
eklampsia, dengan tambahan gejala-gejala tertentu. Pre-eklampsia berhubungan
dengan perubahan patologis yang signifikan dari pembuluh darah ibu dan janin
serta plasenta. Ada sekitar 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama.
Preeklamsia terjadi pada 14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu
dan 30% pasien mengalami anomali rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami
hipertensi kronis, penyakit ginjal, insiden mencapai 25%. Menurut WHO terdapat
sekitar 585.000 ibu meninggal per tahun saat hamil atau bersalin dan 58,1%
diantaranya dikarenakan oleh preeklampsia dan eklampsia.
Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis, tetapi ada beberapa keadaan
yang dapat menyebabkan kehamilan penuh dengan ancaman. Dari mulai timbulnya
berbagai penyakit ibu yang mengancam kehamilan, hingga proses kelahiran yang
juga mempunyai resiko tersendiri. Salah satu penyakit yang sering mengancam
kehamilan adalah hipertensi dalam kehamilan.
Di Indonesia, preeklampsi dan eklampsi merupakan penyebab kematian ibu
yang berkisar 15% - 25%. Penyebab Preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini
belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya Preeklampsia dalam kehamilan yaitu primigravida terutama
primigravida muda, usia > 35 tahun atau < 20 tahun, penyakit medis yang
menyertai kehamilan seperti riwayat hipertensi kronis, preeklampsia, diabetes
mellitus, ginjal kronis dan hioperplasentosis (mola hidatidosa, kehamilan multipel,
bayi besar). Tingginya kejadian hipertensi dalam kehamilan mempunyai kaitan

1
erat dengan angka kesakitan dan kematian pada janin, dan masih banyaknya faktor
resiko serta belum sempurnanya pengelolaan menyebabkan prognosa yang buruk
baik ibu maupun janinnya. Oleh karena itu kami membuat makalah ini untuk bisa
mempelajari dan mengetahui lebih lanjut tentang hipertensi preeklampsi, dan
eklampsia yang terjadi pada ibu hamil.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan hipertensi?
2. Bagaimana hipertensi yang terjadi karena kehamilan?
3. Apa yang dimaksud dengan penyakit pre-eklampsi?
4. Bagaimana patofisiologi pre-eklampsi?
5. Apa saja tanda dan gejala terjadinya pre-eklampsi?
6. Bagaimana perubahan psikologi yang terjadi pada ibu hamil yang mengalami
pre-eklampsi?
7. Apa saja klasifikasi dari pre-eklampsi?
8. Bagaimana penatalaksanaan pre-eklampsi pada ibu hamil?
9. Apa yang dimaksud dengan penyakit eklampsi?
10. Apa saja penyebab dari eklampsi pada ibu hamil?
11. Apa saja tandadan gejalan teradinya eklampsi?
12. Bagaimana penatalaksanaan eklampsi pada ibu hamil?

1.3 Tujuan
1. Memahami apa itu hipertensi
2. Memahami hipertensi yang terjadi karena kehamilan
3. Memahami apa itu penyakit pre-eklampsi
4. Memahami patofisiologi penyakit pre-eklampsi
5. Mengetahui tanda dan gejala terjadinya pre-eklampsi
6. Mengetahui perubahan psikologi yang terjadi pada ibu hamil yang mengalami
pre-eklampsi
7. Mengetahui klasifikasi dari pre-eklampsi

2
8. Memahami penatalaksanaan pre-eklampsi pada ibu hamil
9. Memahami apa itu penyakit eklampsi
10. Mengetahui penyebab terjadinya eklampsi pada ibu hamil
11. Mengetahui tanda dan gejalan teradinya eklampsi
12. Memahami penatalaksanaan eklampsi pada ibu hamil

3
BAB II
ISI

2.1 Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat

kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih

setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif,

tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik 30

mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Junaidi, 2010).

A. Hipertensi Kronis
Apabila hipertensi (140/90 mmHg atau lebih) sudah terjadi sebelum
kehamilan atau telah muncul sebelum 20 minggu kehamilan (kecuali pada
mola hidatidosa) dan hipertensi menetap sampai lama setelah persalinan.
Pada umumnya terjadi pada multipara dan mempunyai riwayat hipertensi
dalam kehamilan.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya antara lain :
1. Hipertensi esensial famili (penyakit hipertensi vaskular)
2. Kelainan arteri- hipertensi renovaskular dan koarktasio aorta
3. Kelainan endokrin- diabetes melitus, sindrom cushing, aldosteronisme
primer, feokrositoma, dan tirotoksikosis
4. Glomerulonefritis akut dan kronis
5. Hipertensi berhubungan dengan kelainan ginjal
6. Penyakit jaringan ikat
7. Gagal ginjal akut
8. Kegemukan

Umumnya wanita hamil yang disertai dengan hipertensi kronis akan


memiliki kondisi kehamilan yang baik, tetapi mengalami resiko peningkatan

4
komplikasi kehamilan dibandingkan dengan wanita hamil yang tanpa
hipertensi. Resiko perburukan kehamilan meningkat seiring peningkatan
keparahan hipertensi. Selain itu beberapa agen antihipertensi beresiko pada
kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya sebelum pembuahan
(konsepsi). Mengingat sebagian besar kehamilan adalah kehamilan yang tidak
direncanakan, maka pada wanita usia produktif yang mengalami hipertensi
harus mendapatkan nasehat khusus sehubungan dengan kehamilan dan upaya
perawatan rutin.
Wanita hamil dengan hipertensi kronis memiliki resiko peningkatan
preeklamsia sebesar 17-25% dibandingkan populasi umum yang hanya
sebesar 3-5%, abrupsi plasenta, pembatasan pertumbuhan janin, kelahiran
prematur, dan operasi caesar. Resiko preeklamsia semakin meningkat seiring
lamanya masa hipertensi. Preeklamsia merupakan penyebab utama kelahiran
prematur dan persalinan dengan operasi caesar pada kelompok ini.

 Etiologi
Etiologi hipertensi kronik dapat dibagi menjadi :
 Primer (idiopatik) : 90 %
 Sekunder : 10%, yang berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit
endokrin (diabetes melitus), penyakit hipertensi dan vascular
 Diagnosis
Diagnosis pada hipertensi kronik bila ditemukan pada pengukuran tekanan
darah ibu ≥ 140/90 mmhg sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan
mencapai 20 minggu serta didasarkan atas faktor risiko yang dimiliki ibu,
yaitu :
1. pernah eklampsia,
2. umur ibu > 40 tahun,
3. hipertensi > 4 tahun,
4. adanya kelainan ginjal,
5. adanya diabetes mellitus,

5
6. kardiomiopati,
7. riwayat pemakaian obat anti hipertensi.
Diperlukan juga adanya pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan
laboratorium ( darah lengkap, ureum, kreatinin, asam urat, SGOT, SGPT ),
EKG, Opthalmology, USG).
Dahulu direkomendasikan bahwa yang digunakan sebagai kriteria
diagnosis adalah peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmhg atau
diastolik 15 mmhg, bahkan apabila angka absolut dibawah 140/90 mmhg.
Kriteria ini tidak lagi dianjurkan. Namun, wanita yang mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg perlu
diawasi dengan ketat.

 Komplikasi pada ibu dan janin


Pada wanita hamil yang mengalami hipertensi kronik terjadi peningkatan
angka kejadian stroke. Selain itu komplikasi lain yang sangat mengkhwatirkan
yaitu terjadinya superimposed preeclampsia dimana hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi
timbulnya perdarahan yang meningkat dan perburukan kearah eclampsia.
Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam – macam gangguan sampai
kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah
wanita hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu
pertukaran oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa
menyebabkan prematuritas plasental dengan akibat pertumbuhan janin yang
lambat dalam rahim, bahkan kematian janin.

 Penanganan Umum
1. Istirahat cukup
2. Mengatur diet, yaitu meningkatkan konsumsi makanan yang
mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung
karbohidrat serta lemak.

6
3. Kalau keadaan memburuk namun memungkinkan dokter akan
mempertimbangkan untuk segera melahirkan bayi demi keselamatan
ibu dan bayi
 Penatalaksanaan
a. Risiko rendah hipertensi
 Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ³100 mmHg
 Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ³ 90 mmHg
b. Obat antihipertensi
Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah
untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah meta
analisis termasuk 28 uji acak membandingkan pengobatan dengan
antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan
menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara
signifikan mengurangi hipertensi berat. Namun pengobatan tidak
mengurangi resiko preeklamsia berlapis, abrupsi plasenta atau
pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada
neonatus.
Obat-obat antihipertensi kronis yang dapat digunakan pada masa
kehamilan yaitu:
1. Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral,
dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa
sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka
panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
2. Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker.
Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini
pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi
intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
3. Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg
peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan
berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta

7
bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai
secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk
menghindari penggunaan atenolol.
4. Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium.
Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak
direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan
resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat
digunakan secara aman.
5. Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-
300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin
intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
6. Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg
sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat
ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
7. Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral,
dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa
sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka
panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
8. Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker.
Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini
pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi
intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
9. Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg
peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan
berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta
bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai
secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk
menghindari penggunaan atenolol.
10. Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium.
Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak

8
direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan
resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat
digunakan secara aman.
11. Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-
300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin
intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
12. Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg
sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat
ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.

Metildopa merupakan agen antihipertensi yang paling banyak


didukung dengan data penelitian tentang khasiat dan keamanan
penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini telah digunakan sejak
tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek
yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya
metildopa sering dijadikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada
wanita hamil. Namun, metildopa sering menyebabkan kantuk yang
membatasi tolerabilitasnya.

B. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial adalah hipertensi kronis yang disebakan oleh kelainan
vaskular (arteriosklerosis). Komplikasi yang terjadi bisa berupa penyakit
jantung, iskemia jantung, gagal ginjal, maupun perdarhan pada retina.
Penyakit ini terutama terjadi pada usia lanjut yang gemuk. Biasanya
disertai dengan gejala diabetes. Dalam kehamilan dapat berlanjut menjadi
preeklamsi atau eklamsi, hipertensi ensefalopati, gagal jantung, gagal ginjal,
solusio plasenta, gangguan pertumbuhan janin, maupun kematian janin.
Semakin dini munculnya hipertensi dalam kehamilan, semakin berat
penyakitnya, dan semakin buruk prognosisnya.

9
 Prognosis
Pasien dengan hipertensi esensial dapat melewati masa kehamilannya
dalam keadaan yang cukup baik tanpa diberati dengan preeklamsi dan
eklamsi. Akan tetapi apabila diberati dengan preeklamsi dan eklamsi
prognosis ibu dan janin menjadi kurang baik.
Semakin dini munculnya hipertensi dalam kehamilan, semakinbera
penyakitnya dan semakin buruk prognosisnya.
Keadaan lain yang memperburuk prognosisnya, yaitu :
 Adanya pembesaran jantung
 Faal ginjal yang kurang
 Kelainan pada retina (hemoragi atau eksudat)
 Tensi permulaan 200/120 mmHg
 Adannya riwayat preeklamsi pada kehamilan yang lalu
 Terapi
1. Bidan melakukan perujukan
2. Observasi ketat di rumah sakit
3. Jika KU kurang baik, dapat dipertimbangkan abortus terapeutikus
dan sterilisasi.
4. Hipertensi esensial yang mengalami preeklamsi dan eklamsi
dikelola sama seperti pada pengelolaan pada preeklamsi dan
eklamsi.
Penyakit dengan kondisi permanen meningkatnya tekanan darah dimana
biasanya tidak ada penyebab yang nyata.Kadanng-kadang keadaan ini
dihubungkan dengan penyakit ginjal, phaeochromocytoma atau penyempitan
aorta, dan keadaan ini lebih sering muncul pada saat kehamilan.
Wanita hamil dikatakan mempunyai atau menderita hipertensi esensial
jika tekanan darah pada awal kehamilannya mencapai 140/90 mmHg.Yang
membedakannya dengan preeklamsia yaitu faktor-faktor hipertensi esensial
muncul pada awal kehamilan, jauh sebelum terjadi preeklamsia, serta tidak
terdapat edema atau proteinuria.

10
Selama trimester ke II kehamilan tekanan darah turun di bawah batas
normal, selanjutnya meningkat lagi sampai ke nilai awal atau kadang-kadang
lebih tinggi. Setelah usia kehamilan 18 minggu lebih sulit hipertensi esensial
dari pre eklamsia.

 Penatalaksanaan:
Wanita dengan hipertensi esensial harus mendapat pengawasan yang ketat
dan harus dikonsultasikan pada dokter untuk proses persalinannya. Selama
tekanan darah ibu tidak meningkat sampai 150/90 mmHg berarti pertanda
baik.Dia dapat hamil dan bersalin normal tetapi saat hamil dianjurkan untuk
lebih banyak istirahat dan menghindari peningkatan berat badan terlalu
banyak.Kesejahteraan janin dipantau ketat untuk mendeteksi adanya retardasi
pertumbuhan.Kehamilan tidak dibolehkan melewati aterm karena kehamilan
postterm meningkatkan risiko terjadinya insufisiensi plasenta janin.Jika perlu,
dapat dilakukan induksi apabila tekanan darah meningkat atau terdapat tanda-
tanda Intra Uterine Growth Retardation (IUGR).
Merupakan pertanda kurang baik jika tekanan darah sangat tinggi.Jika
ditemukan tekanan darah 160/100 mmHg, harus dirawat dokter di rumah
sakit.Obat-obat antihipertensi dan sedative boleh diberikan untuk mengontrol
tekanan darah.Anamnesa juga diperlukan untuk mengeluarkan ibu dari pre
eklamsia.Kandungan catecholamine atau vanilmandelic acid (VMA) biasanya
diukur karena hipertensi yang berat mungkin disebabkan karena
Pheochromacytoma atau tumor pada ginjal.
Keadaan ibu mungkin berkembang menjadi Pre Eklamsia atau mengalami
abrupsio plasenta (plasenta Pecah); kadang-kadang gagal ginjal merupakan
komplikasi.Jika tekanan darah sangat tinggi, 200/120 mmHg atau lebih,
mungkin terjadi perdarahan otak atau gagal jantung.
Janin juga berisiko, karena kurangnya sirkulasi plasenta, yang dapat
menyebabkan kejadian Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)
danhipoksia.

11
Jika tekanan darah tidak dapat dikendalikan atau terdapat tanda-tanda
IUGR atau hipoksia, dokter dapat menghindari risiko yang serius dengan
mempercepat persalinan. Hal ini dapat dilakukan dengan menginduksi
persalinan, atau jika keadaan berbahaya atau lebih akut, atau meningkat pada
awal persalinan, persalinan dapat dilakukan dengan cara Sectio caesarea.

C. Hipertensi Karena Kehamilan


Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih
setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif,
tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik
30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Junaidi,
2010).
Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial.
Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (Katsiki N et
al., 2010) :
1. Faktor maternal
a. Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30
tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Dampak dari
usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama
kehamilan. Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang
lebih besar mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat
lagi saat usia diatas 35 tahun (Manuaba C, 2007)
b. Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan
pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan,

12
graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai ketiga
(Katsiki N et al., 2010).
c. Riwayat keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal
tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan
hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).
d. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana
komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi
dan hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
e. Tingginya indeks massa tubuh
Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena
kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor
risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung koroner,
reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan
kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan
lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan FA, 2012).
f. Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu
hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut
berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan
gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA,
2012).
2. Faktor kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan
kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan.
Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering
terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua,

13
didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu kasus kematian ibu
karena eklampsi (Manuaba, 2007).
Klasifikasi

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan The


National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP) memberikan suatu
klasifikasi untuk mendiagnosa jenis hipertensi dalam kehamilan,
(NHBPEP, 2000) yaitu :

1. Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah


≥140/90 mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum
umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi tidak menghilang setelah
12 minggu pasca persalinan. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi
kronis dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan sekunder.
Pada hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau
idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari semua kasus
hipertensi. Sedangkan pada hipertensi sekunder, penyebabnya
diketahui secara spesifik yang berhubungan dengan penyakit ginjal,
penyakit endokrin dan penyakit kardiovaskular (Manuaba, 2007).

2. Superimposed preeclampsia
Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada

sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu.

Apabila disertai proteinuria, diagnosisnya adalah superimpose

preeklampsi pada hipertensi kronik (superimposed preeclampsia).

Preeklampsia pada hipertensi kronik biasanya muncul pada usia

14
kehamilan lebih dini daripada preeklampsi murni, serta cenderung

cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan

pertumbuhan janin (Manuaba, 2007)

3. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan


darah ≥140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama
kehamilan tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi
gestasional disebut transien hipertensi apabila tidak terjadi
preeklampsi dan tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu
postpartum. Dalam klasifikasi ini, diagnosis akhir bahwa yang
bersangkutan tidak mengalami preeklampsi hanya dapat dibuat
saat postpartum. Namun perlu diketahui bahwa wanita dengan
hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain
yang berkaitan dengan preeklampsi, misalnya nyeri kepala, nyeri
epigastrium atau trombositopenia yang akan mempengaruhi
penatalaksanaan (Cunningham G, 2013).

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis antara hipertensi kronik,


hipertensi gestasional dan preeklampsia (Suyono S, 2009).

Gambaran Klinis Hipertensi Hipertensi Preeklampsia

Kronik Gestasional

15
Saatnya Muncul Kehamilan Biasanya Kehamilan <20

Hipertensi <20 minggu trimester III Minggu

Derajat HT Ringan-berat Ringan Ringan-berat

Proteinuria Tidak ada Tidak ada Biasanya ada

Serum Urat > 5,5 Jarang Tidak ada Ada padasemua

mg/dl Kasus

Hemokonsenterasi Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus

preeklampsi berat

Trombositopenia Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus

preeklampsi berat

Disfungsi Hati Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus

preeklampsi berat

Penyebab Hipertensi Karena Kehamilan


1. Hamil di usia tua (di atas 35 tahun)

16
Menurut ilmu kedokteran, seorang wanita yang hamil diatas usia 35 tahun
rentan mengaalmi gangguan kesehatan, seperti mengalami keguguran, risiko bayi
lahir cacat dan prematur. Selain itu, ibu hamil di usia tua juga meningkatkan
risiko hipertensi. Hal ini dikarenakan berkurangnya kadar kalsium dalam tubuh.
Kadar kalsium yang sedikit tentunya tidak bisa mendukung proses metabolisme.
Akhirnya tubuh pun mengambil zat kalsium yang telah tersimpan di tulang, lalu
mengedarkannya ke pembuluh darah. Tingginya kadar kalsium dalam darah
menyebabkan penebalan dan penyempitan pembuluh darah. Sehingga pada
akhirnya memicu hipertensi.
2. Obesitas (kegemukan)
Ibu hamil dengan kondisi obesitas juga berbahaya. Ketika seseorang
mengalami kegemukan terdapat timbunan lemak dalam pembuluh darahnya.
Apabila lemak ini menumpuk secara terus-menerus, maka dinding pembuluh
arteri akan menyempit sehingga aliran darah ke jantung menjadi terganggu dan
berkurang. Hal ini menyebabkan jantung memompa darah lebih keras. Sirkulasi
darah menjadi lebih cepat hingga meningkatkan risiko tekanan darah tinggi.
3. Pengentalan darah saat hamil
Beberapa ibu hamil berisiko mengalami thrombophilia, yakni pengentalan
darah. Hal ini menyebabkan aliran darah menuju plasenta menjadi terganggu
sehingga memicu terjadinya hipertensi. Penyebab thrombophilian ini belum
diketahui secara pasti, namun risikonya sangat berbahaya. Menyebabkan
keguguran hingga terganggunya perkembangan bayi.

Tanda dan Gejala


Selain melakukan pengecekan di laboratorium dan dokter, atau mengukur
sendiri dengan alat Sfigmomanometer, hipertensi juga bisa dikenali lewat gejala-
gejala yang muncul. Diantaranya yang paling umum ialah:
1. Sakit kepala berlebihan
2. Saat buang air kecil, volume urine sedikit
3. Pembengkakan pada bagian tangan dan telapak kaki

17
4. Pengelihatan kabur
5. Perut terasa mual dan muntah
6. Beberapa orang mengalami kenaikan berat badan

Penatalaksanaan
Jika tekanan darah diastolik >110 mmHg, berikan obat antihipertensi
sampai tekanan darah diastolik diantara 90-100 mmHg. Obat pilihan antihipertensi
adalah hidralazin yang diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama 5 menit sampai
tekanan darah turun. Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan nifedipin 5 mg
sublingual dan tambahkan 5 mg sublingual jika respon tidak membaik setelah 10
menit. Selain itu labetolol juga dapat diberikan sebagai alternatif hidralazin. Dosis
labetolol adalah10 mg, jika respon tidak baik setelah 10 menit, berikan lagi
labetolol 20 mg. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar (16 gauge atau
lebih). Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai overload. Auskultasi paru untuk
mencari tanda-tanda edema paru. Adanya krepitasi menunjukkan edema paru,
maka pemberian cairan dihentikan. Perlu kateterisasi urin untuk pengeluaran
volume dan proteinuria. Jika jumlah urin <30 ml per jam, infus cairan
dipertahankan sampai 1 jam dan pantau kemungkinan edema paru. Observasi
tanda-tanda vital ibu dan denyut jantung janin dilakukan setiap jam (Prawirohardjo
S, 2006).
Untuk hipertensi dalam kehamilan yang disertai kejang, dapat diberikan
Magnesium sulfat (MgSO4). MgSO4 merupakan obat pilihan untuk mencegah dan
menangani kejang pada preeklampsi dan eklampsi. Cara pemberian MgSO4 pada
preeklampsi dan eklampsi adalah (Prawihardjo S, 2006) :
a. Dosis awal
Berikan MgSO4 4 gram IV sebagai larutan 20% selama 5 menit.
Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr IM dengan 1 ml lignokain 2% (dalam
semprit yang sama). Pasien akan merasa agak panas saat pemberian MgSO4
b. Dosis pemeliharaan

18
MgSO4 (50%) 5 gr + 1 ml lignokain 2 % IM setiap 4 jam. Pemberian
tersebut dilanjutkan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir. Sebelum
pemberian MgSO4, periksa frekuensi nafas minimal 16 kali/menit, refleks
patella positif dan urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir. Pemberian
MgSO4 dihentikan jika frekuensi nafas <16 kali/menit, refleks patella negatif
dan urin <30 ml/jam. Siapkan antidotum glukonat dan ventilator jika terjadi
henti nafas. Dosis glukonat adalah 2 gr (20 ml dalam larutan 10%) IV secara
perlahan sampai pernafasan membaik

2.2 Preeklamsia
Pre-Eklamsi Adalah Penyakit dengan tanda-tanda Hipertensi, Oedema, dan
Proteinuria yang timbul karena kehamila. Penyakit ini biasanya timbul pada
Triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat timbul sebelumnya, misalnya pada Mola
Hidatosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk
menegakkan diagnosa Pre-Eklamsi kenaikan tekanan Sistolik harus 30 mmHg
atau lebih. Kenaikan tekanan Diagnostik lebih dapat dipercaya apabila tekanan
Diastolik meningkat 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mmHg atau lebih.
Pemeriksaan tekanan darah dilakukan minimal 2x dengan jarak waktu 6 jam pada
keadaan istirahat.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda lain. Kenaikan
sistolik harus 30 mm Hg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau
mencapai 140 mmHg atau lebih.
Edema ialah Penimbunan cairan secara umum dan berlebih dalam jaringan
tubuh dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan
kaki, jari tangan, dan muka. Oedema Pretribal yang ringan sering terjadi pada
kehamilan biasa, sehingga tidak berarti untuk penentuan Diagnosis Pre-Eklamsi.
Kenaikan BB ½ kg setiap minggu masih normal tetapi kalau kenaikan BB I kg
atau lebih setiap minggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan
terhadap timbulnya preeklamsia.

19
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 g/lt
dalam urin 24 jam atau pada pemeriksaan menunjukan 1 atau 2+ atau 1 gr/lt yang
dikeluarkan dengan jarak waktu 6 jam. Proteinuria timbul lebih lambat dari pada
hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu harus dianggap yang cukup serius.

Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 golongan :


1. Preeklamsia ringan
Preeklampsi ringan adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan

menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh

darah dan aktivasi endotel (Prawirohardjo, 2013).

a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih
(diukur pada posisi berbaring terlentang) atau kenaikan sistolik 30 mmHg
atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan
dengan jarak
b) Proteinuria 0,3 gr/lt atau 1+ atau2+
c) Edema pada kaki, jari, muka dan berat badan naik >1kg/mg
2. Preeklamsia berat
Pre-eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau
edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
a) Tekanan darah 160/110 mmHg ataulebih
b) Proteinuria, 5 gr/lt ataulebih
c) Oliguria (jumlah urine < 500 cc per 2jam

20
d) Terdapat edema paru dansianosis
e) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di
epigastrium.

Derajat Preeklampsi

Ringan Berat

1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg 1. Hipertensi ≥ 160/110 mmHg

2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam 2. Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam

atau ≥ +1 dipstik atau > +3 disptik

3. Oliguria kurang dari 500

ml/24 jam

4. Gangguan penglihatan dan

serebral

5. Edema paru dan sianosis

6. Nyeri epigastrium atau

kuadran kanan atas

7. Trombositopenia

8. Pertumbuhan janin terganggu

Penyebab

21
Preeklampsia terjadi karena ada gangguan pada pertumbuhan serta
perkembangan plesenta, sehingga hal ini mengganggu aliran darah ke bayi maupun
ibu. Plasenta merupakan organ yang khusus dibentuk saat kehamilan dan berfungsi
sebagai pemasok makanan maupun oksigen dari ibu ke janin. Makanan dan
oksigen didistribusikan melalui aliran darah, oleh karena itu untuk mendukung
pertumbuhan serta perkembangan janin, plasenta membutuhkan pasokan aliran
darah yang besar dan konstan. Namun pada ibu yang mengalami preeklampsia,
plasenta tidak mendapatkan darah yang cukup. Hal ini terjadi diperkirakan akibat
plasenta yang tidak bekerja dengan baik untuk menyalurkan aliran darah tersebut,
kemudian mengganggu pembuluh darah dan tekanan darah pada ibu.
Faktor yang bisa meningkatkan risiko seorang wanita hamil mengalami preeklamsia,
di antaranya:
1. Kehamilan pertama.
2. Pernah mengalami preeklamsia pada kehamilan sebelumnya.
3. Kekurangan nutrisi.
4. Sedang menderita beberapa penyakit tertentu, seperti sindrom antifosfolipid,
diabetes, lupus, hipertensi, atau penyakit ginjal.
5. Mengandung lebih dari satu janin.
6. Bayi pada kehamilan saat ini memiliki ayah yang berbeda dengan kehamilan
sebelumnya.
7. Hamil setelah jeda 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya.
8. Hamil di bawah usia 20 tahun atau di atas usia 40 tahun.
9. Obesitas saat hamil dengan indeks massa tubuh 25 atau lebih.
10. Memiliki keluarga dengan riwayat preeklamsia.

Tanda gejala
Preeklamsia kadang-kadang bisa berkembang tanpa gejala apa pun atau
hanya menimbulkan gejala ringan. Tanda klinis utama dari preeklampsia adalah
tekanan darah yang terus meningkat. Oleh karena itu, memonitor tekanan darah
secara rutin menjadi hal penting untuk dilakukan selama masa kehamilan. Jika

22
tekanan darah wanita hamil mencapai 140/90 mm Hg atau lebih, segeralah
berkonsultasi dengan dokter kandungan, terutama bila ditemukan nilai tekanan
darah yang tinggi dalam 2 kali pemeriksaan rutin yang terpisah.
Selain hipertensi, tanda klinis dan gejala lainnya dari preeklamsia adalah:
1. Sesak napas akibat cairan di paru-paru.
2. Sakit kepala parah.
3. Berkurangnya volume urine.
4. Gangguan penglihatan, misalnya pandangan hilang secara sementara, menjadi
kabur, atau sensitif terhadap cahaya.
5. Mual dan muntah.
6. Rasa nyeri pada perut bagian atas (biasanya di bawah tulang rusuk sebelah
kanan).
7. Meningkatnya kandungan protein pada urine (proteinuria).
8. Gangguan fungsi hati.
9. Pembengkakan pada telapak kaki, pergelangan kaki, wajah, dan tangan.
10. Menurunnya jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia).
11. Tekanan darah menjadi sangat tinggi, yaitu lebih dari 140/90mmHg
12. Terjadi peningkatan berat badan dalam 1 atau 2 hari
13. Terdapat protein pada urin (hal ini diketahui setelah melakukan pemeriksaan
urin)
Laju pertumbuhan janin yang melambat juga bisa menandakan sang ibu
menderita preeklamsia. Kondisi ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan darah
ke plasenta, sehingga janin mengalami kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi.

Komplikasi
Pada wanita hamil, preeklamsia bisa menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
1. Sindrom HELLP (Haemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet
count)

23
Ini adalah sindrom rusaknya sel darah merah, meningkatnya enzim liver,
dan rendahnya jumlah trombosit. Sindrom HELLP bisa mengancam
keselamatan wanita hamil dan janinnya.
2. Eklamsia
Preeklamsia bisa berkembang menjadi eklamsia yang ditandai dengan
kejang-kejang. Kejang ini bisa mengancam keselamatan sang ibu dan janin
yang dikandungnya.

3. Penyakit kardiovaskular
Risiko terkena penyakit yang berhubungan dengan fungsi jantung dan
pembuluh darah akan meningkat jika seseorang pernah menderita
preeklamsia.
4. Kegagalan organ
Preeklamsia bisa menyebabkan disfungsi beberapa organ seperti, paru,
ginjal, dan hati.
5. Gangguan pembekuan darah
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan karena kurangnya
protein yang diperlukan untuk pembekuan darah, atau sebaliknya, terjadi
penggumpalan darah yang menyebar karena protein tersebut terlalu aktif.
6. Solusio plasenta
Lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum kelahiran dapat
mengakibatkan perdarahan serius dan kerusakan plasenta, yang akan
membahayakan keselamatan wanita hamil dan janin.
7. Stroke hemoragik
Kondisi ini ditandai dengan pecahnya pembuluh darah otak akibat
tingginya tekanan di dalam pembuluh tersebut. Ketika seseorang mengalami
perdarahan di otak, sel-sel otak akan mengalami kerusakan karena adanya
penekanan dari gumpalan darah, dan juga karena tidak mendapatkan pasokan

24
oksigen akibat terputusnya aliran darah. Kondisi inilah yang menyebabkan
kerusakan otak atau bahkan kematian.

Penanganan Pre-Eklamsi :
1. Rawat Jalan
a) Banyak istirahat ( berbaring tidur miring)
b) Diet: cukup protein, rendah kaebohidrat, lemak, dan garam
c) Sedative ringan (jika tidak bisa istirahat) tablet Febobarbital 3x30 mg
peroral selama 2 hari.
d) Roboransia
e) Kunjungan ulang tiap 1mg
2. Jika dirawat di Puskesmas atau Rumah Sakit:
a) Pada Kehamilan Preterm (kurang dari 37minggu)
 Jika Tekanan Darah mencapai normotensif selama perawatan
persalinan ditunggu sampai aterm
 Bila Tekanan Darah turun tetapi belum mencapai normotensif
selama perawatan maka kehamilannya dapat diakhiri pada
kehamilan lebih dari 37minggu
b) Pada Kehamilan Aterm (lebih dari 37 minggu). Persalinan ditunggu
spontan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan
pada taksiran tanggal persalinan.
c) Persalinan dapat dilakukan spontan bila perlu memperpendek kal II
dengan bantuan bedah obstetri.

2.3 Eklamsia
Eklampsi merupakan serangan konvulsi yang biasa terjadi pada kehamilan,
tetapi tidak selalu komplikasi dari pre eklampsi. Dalam sebuah konduksi studi
nasional di UK pada tahun 1992, 38% dsari kasus eklampsi tidak disertai dengan

25
hipertensi dan protein urin. Konvulsi dapat terjadi sebelum, selama, dan sesudah
persalinan. Jika ANC dan Inc mempunyai standar yang tinggi, konvulsi
postpartum akan lebih sering terhindar. Ini terjadi lebih dari 48-72 jam setelahnya.
Monitor tekanan darah dan urin untuk proteinuria harus dilakukan dan dilanjutkan
selama periode postpartus.
Etiologi:
Dalam eklampsi berat terdapat hipoksia serebral yang disebabkan karena
spasme kuat dan oedem. Hipoksia serebral menunjukkan kenaikan dysrhytmia
serebral dan ini mungkin terjadi karena konvulsi. Beberapa pasien ada yang
mempunyai dasar dysrhytmia serebral dan oleh karena itu konvulsi terjadi
mengikuti bentuk yang lebih kuat dari pre eklampsi.
Ada satu tanda eklampsi, bernama konvulsi eklampsi. Empat fasenya antara lain:
1. Tahap premonitory
Pada tahap ini dapat terjadi kesalahan jika observasi pada ibu tidak tetap.
Mata dibuka, ketika wajah dan otot tangannya sementara kejang
2. Tahap Tonic
Hampir seluruh otot-otot wanita segera menjadi serangan spasme.
Genggamannya mengepal dan tangan dan lengannya kaku. Dia menyatukan
gigi dan bisa saja dia menggigit lidahnya. Kemudian otot respirasinya dalam
spasme, dia berhenti bernafas dan warnanya berubah sianosis. Spasme ini
berlangsung sekitar 30detik
3. Tahap klonik
Spasme berhenti, pergerakkan otot menjadi tersendat-sendat dan serangan
menjadi meningkat. Seluruh tubuhnya bergerak-gerak dari satu sisi ke sisi
yang lain, sementara terbiasa, sering saliva blood-strained terlihat pada
bibirnya
4. Tahap Comatose
Wanita dapat tidak sadar dan mungkin nafasnya berbunyi. Sianosis
memudar, tapi wajahnya tetap bengkak. Kadang- kadang sadar dalam
beberapa menit atau koma untuk beberapa jam.

26
Bahaya-Bahaya Eklampsi
1. Bagi ibu
Perbedaan konvulsi dan kelelahan, jika frekuensi berulang hati gagal
berkembang. Jika kenaikan hipertensi banyak, pada ibu dapat terjadi cerebral
hemorrhage. Pasien dengan oedem dan oliguria perkembangan paru-paru dapat
bengkak atau gagal ginjal. Inhalasi darah atau mucus dapat menunjukkan asfiksia
atau pneumonia. Dapat terjadi kegagalan hepar. Dari komplikasi-komplikasi ini
dapat terjadi kefatalan. Angka kematian ibu dari eklampsi di UK pada tahun
1991-1993 adalah 11. Dalam lebih dari setengah terdapat kematian ibu dan hanya
satu atau dua yang selamat.
2. Bagi janin
Dalam eklampsi antenatal janin dapat terpengaruh dengan ketidakutuhan
plasenta. Ini menunjukkan retardasi pertumbuhan intrauterine dan hipoksia.
Selama sehat ketika ibu berhenti bernafas supply oksigen ke janin terganggu,
selanjutnya berkurang. Angka kematian perinatal sebanyak 15%. Konvulsi
intrapartum sangat berbahaya untuk janin karena kenaikan hipoksia intra uterin
yang disebabkan karena kontraksi uterus.
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin:
1) Solusioplasenta
2) Hipofibrinogen
3) Hemolisis
4) Perdarahan otak
5) Kelainan mata
6) Edema paru-paru
7) Nekrosis hati
8) Kelainan ginjal
9) Prematuritas
10) Komplikasi lain (lidah tergigit, trauma, dan fraktur karena jatuh dan DIC)

27
Tanda dan Gejala
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre- eklamsi
dengan gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual,
nyeri epigastrium, dan hiperefleksia. Bila keadaan ini tidak segera diobati, akan
timbul kejangan, konvulsi eklamsi dibagi 4 tingkat yaitu :
1) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 menit. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala diputar
ke kanan dan ke kiri.
2) Tingkat kejangan tonik
Berlangsung lebih 30 menit, dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku,
wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok
kedalam, pernafasan berhent, muka menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3) Tingkat kejangan klonik
Berlangsung 1-2 menit, spasmus tonik menghilang, semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat, mulut membuka
dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi, bola mata menonjol, dari mulut
keluar ludah yang berbusa aka menunjukan kongesti dan sianosis. Penderita
menjadi tak sadar, kejadian kronik ini a demikian hebatnya, sehingga
penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejangan terhenti dan
penderita menarik nafas secara mendengkur.
4) Tingkat koma
Lamanya koma tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita
menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul
serangan baru yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.
Penatalaksanaan Eklamsi
Jika pre eklampsi diketahui lebih awal dan ditangani lebih cepat,
eklampsiakan lebih sulit terjadi. Sangat jarang dimulai dan proses cepat terjadi
eklampsi diantara pemeriksaan antenatal yang biasa dan sering. Jika wanita
berada di luar rumah sakit saat terjadi konvulsi, paramedis harus segera

28
dipanggil untuk memberikan pertolongan pertama sebelum dibawa ke rumah
sakit.
Penatalaksanaan selama konvulsi antara lain:
1) Memelihara kebersihan jalannafas
2) Melindungi wanita dariluka-luka
Ibu harus miring ke satu sisi dan pergerakkan konvulsinya dapat ditekan
dari semua ini harus dilakukan sepelan mungkin dan tidak tergesa- gesa.
Mulut dibersihkan dari mucus dan darah dengan suction. Oksigen diberikan
untuk kepentingan keduanya ibu dan janin. Untuk pertolongan awal bantuan
medis harus dipanggil.

Penatalaksanaan selanjutnya
Prinsip-prinsip pelaksanaan:
1. Mengontrol konvulsi
Ini sangat penting untuk mengontrol konvulsi, terlebih lagi konvulsi
pada wanita memiliki resiko tinggi untuk hidupnya dan janinnya. Obat
diberikan dengan segera untuk mengurangi rangsangan sistem saraf. Obat
yang dipilih untuk pengobatan eklampsi adalah Magnesium Sulfat.
a) MagnesiumSulfat
Anti konvulsi yang efektif dan bereaksi cepat. Penemuan
Collaborative Eclampsi Trial,dipublikasikan pada tahun 1995, terbukti
Magnesium Sulfat lebih efektif mengurangi dan mencegah konvulsi
eklampsi dibandingkan dengan diazepam dab phenytoin (Eclampsia
Collaborative Trial Group, 1995). Wanita yang menerima Magnesium
Sulfat memiliki resiko 52% lebih rendah dari konvulsi dibandingkan
diberi diazepam, dan 67% resiko lebih rendah dibandingkan dengan
phenytoin. Magnesium Sulfat direkomendasikan untuk pengobatan
untuk eklampsi.WHO sekarang merekomendasikan penggunaan
Magnesium Sulfat untuk pengobatan eklampsi dan memasukkannya

29
ke dalam Daftar Obat Esensial. Injeksi intravena 4-5 gr dalam 20%
pemberian, diikuti dengan infus 1-2gr/jam.
b) Injeksi intravena diazepam 10-40 mg diikuti denganinfus20-80mg
dalam 500 ml dari 5% dextrose dengan rata-rata30tetes/menit.
Obat lain yang digunakan sepertimorfin, tribromoethanol
(Avertin), paraldehyde dan lytic cocktail (kombinasi dari pethidine,
promethozin dan chlorpromazine dalam infuse intravena
dextrose5%) sekarang tidak direkomendasikan phenytoine
digunakan untuk mengobati epilepsy dan saat ini ada
pembaharuan pada penatalaksanaan pre-eklampsi. Walaupun tidak
efektif dalam mengontrol eklampsi (The eclampsia Collaborative
Trial Group,1995) dan dianggap sebagai prophylactic dari
padametode pengobatan.
2. Mengontrol tekanan darah
Tekanan darah dikontrol oleh sedatif dan menggunakan obat anti
hipertensi seperti hydralazine, hydrochloride (apresoline) 20 mg dengan
injeksi intravena diikuti oleh 20-40 mg sebagai injeksi intravena, laju
teratur menurut alirandarah.
Pengobatan diuretic diindikasikan ketika urin yang keluar kurang dari
20 ml/jam. Antibiotik mungkin untuk mencegah infeksi paru-paru. Tes
biokimia untuk mengetahui fungsi ginjal, trombositopenia, enzim dalam
hati dapat dimonitor dengan memberi informasi tentang:
Penanganan
1. Rujukan
Eklamsi harus ditangani di Rumah Sakit, jika semua kasus eklamsi
harus segera di rujuk. Proses rujukan :
a) Jelaskan bahaya / komplikasi eklamsi kepada kelurgapasien.
b) Rujuk pasien ke RS di sertai perawat yang mengantar dan surat
rujukan

30
c) Sebelum merujuk dapat diberikan pengobatan awal sesuai
dengan diagnosis kasus, baik untuk mengatasi kejang ataupun
untuk memberi obat anti hipertensi.
d) Beri O2
e) Pasang infus dengan cairan dekstrose 5% dengan kecepatan 20
tetes /menit.
f) Pasang kateter urine yang dipertahankan dan kantongurine.
g) Pasang goedel atau sudip yang dilapisi kain kasa untuk
melindungi gigi tergigitlidah.
h) Keempat ekstrimitas di ikat tidak terlalu ketat agar pasien tidak
terjatuh.

BAB III
PENUTUP

31
3.1 Kesimpulan
Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan. Terjadinya
hipertensi ini (≥140/90 mmHg) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
riwayat keluarga, stres, nutrisi, umur, paritas, aktivitas, dan eklamsia.1 HDK
dibagi menjadi hipertensi kronik dan hipertensi gastosional.
Preeklampsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas. Preeklamsia
dibagi menjadi preeklamsia ringan dan berat.
Eklamsia adalah kejang yang dialami wanita hamil dalam persalinan atau
masa nifas yang disertai gejala-gejala preeklamsia (hipertensi, edema dan
proteinuria). Terjadinya eklamsia dapat dibedakan atas : Eklamsia antepartum,
eklamsia intrapartum dan eklamsia pascasalin.

3.2 Saran
Diharapkan dapat menambah wawasan kepada mahasiswa dalam
mengembangkan pengetahuan terkait deteksi dini kehamilan muda dan lanjut, serta
sebagai bahan referensi dalam pengerjaan tugas selanjutnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Radjamuda, N., & Montolalu, A. (2014, Januari-Juni). Jurnal Ilmiah Bidan . Faktor-
Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Ibu
Hamil Di Poli Klinik Obs-Gin Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Kota Manado, II, 33-40. Retrieved September 30, 2018
Utama, S. Y. (2007, Juli). Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Faktor Risiko
yang Berhubungan dengan Kejadian Pre-eklampsia Berat pada Ibu Hamil di
RSD Raden Mattaher Jambi, VIII, 71-79. Retrieved September 30, 2018
Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B., & Rachimhadhi, T. (2006). Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Lalenoh, D. C. (2018). Preeklampsia berat dan eklampsia: tatalaksana anestesia
perioperatif. Yogyakarta: Deepublish.

33

Anda mungkin juga menyukai