Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT

KATARAK

Disusun Oleh :

AnAnnisa Fitriana 011723143016

Pembimbing:

Dicky Hermawan, dr., Sp.M (K)

DEPARTEMEN/ SMF ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

2019
DAFTAR ISI

Sampul ........................................................................................................i
DAFTAR ISI. ..............................................................................................ii
BAB 1 LATAR BELAKANG .....................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................3
2.1 Anatomi Lensa.......................................................................................3
2.2 Fisiologi Lensa ......................................................................................5
2.3 Definisi Katarak.....................................................................................6
2.4 Epidemiologi .........................................................................................6
2.5 Patofisiologi ...........................................................................................7
2.6 Faktor Risiko .........................................................................................8
2.7 Klasifikasi ..............................................................................................10
2.8 Gejala Klinis ..........................................................................................14
2.9 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................15
2.10 Penyulit ................................................................................................17
2.11 Diagnosis Banding...............................................................................18
2.12 Tatalaksana ..........................................................................................18
2.13 Prognosis .............................................................................................26
BAB 3 LAPORAN KASUS ........................................................................27
BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................38
1

BAB 1

LATAR BELAKANG

Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi katarak di


Indonesias adalah sebesar 1,8%, dengan provinsi tertinggi terletak
di Provinsi Sulawesi Utara (3,7%) dan terendah di Provinsi DKI
Jakarta (0,9%) (Kemenkes RI,2014). Di Indonesia, berdasarkan
hasil survei kebutaan dengan menggunakan metode Rapid
Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) yang baru dilakukan
di 3 provinsi (NTB, Jabar dan Sulsel) tahun 2013 - 2014
didapatkan prevalensi kebutaan pada masyarakat usia > 50 tahun
rata-rata di 3 provinsi tersebut adalah 3,2 % dengan penyebab
utama adalah katarak (71%) (Kemenkes RI,2016).
Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata, yang dapat
menghambat penglihatan. Mayoritas katarak berhubungan dengan
penuaan, walaupun pada beberapa kondisi anak – anak dapat
terlahir dengan katarak yaitu berupa katarak kongenital. Katarak
juga dapat muncul setelah trauma, inflamasi, maupun terdapat
penyakit yang mendasari (WHO, 2017). Menurut American
Academy Ophthalmology pada tahun 2014, katarak menyebabkan
kebutaan pada delapan belas juta orang diseluruh dunia dan
diperkirakan akan mencapai angka empat puluh juta orang pada
tahun 2020. Penelitian yang dilakukan oleh Multi Center Study
SEARO, Indonesia merupakan negara dengan angka prevalensi
kebutaan nomor empat di dunia yaitu sebesar 4,6%, terbanyak
disebabkan oleh glaukoma, katarak, dan diabetik retinopati.
Diperkirakan setiap tahun kasus baru buta katarak akan
selalu bertambah sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau kira-kira
250.000 orang/tahun. Sementara di Indonesia, kemampuan untuk
melakukan operasi katarak setiap tahun diperkirakan baru
2

mencapai 180.000/tahun sehingga setiap tahun selalu bertambah


backlog katarak sebesar lebih kurang 70.000. Besarnya backlog
katarak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mata masih
terbatas terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan
kepulauan yang belum memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan
SDM kesehatan yang memadai termasuk keberadaan dokter
spesialis mata.(Kemenkes RI,2016)
Untuk menanggulangi hal tersebut, Kementerian Kesehatan
telah menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan dan Rencana Aksi Nasional
untuk Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.
Upaya ini sejalan dengan komitmen global Vision 2020: The Right
to Sight yang dicanangkan oleh WHO, bahwa pada tahun 2020
diharapkan setiap penduduk mempunyai hak untuk dapat melihat
secara optimal. (Kemenkes RI,2016)
Faktor risiko untuk katarak adalah diabetes melitus,
dislipidemia, paparan cahaya matahari yang lama, merokok, dan
minum alkohol. Berdasarkan penelitian case control yang
dilakukan di India terhadap 90 pasien case, dan 90 pasien control,
didapatkan hasil bahwa merokok dapat meningkatkan risiko
terjadinya katarak presenile 2,2 kali lebih besar. (Das, et al.,2019)
Operasi adalah satu-satunya terapi definitif untu katarak, namun
operasi katarak sendiri belum tersedia untuk semua kalangan dan
masyarakat Indonesia belum dapat mengakses fasilitas kesehatan
dengan baik. Oleh karena itul, deteksi dini, edukasi masyarakat
tentang faktor risiko, cara untuk mencegah, dan serta sistem
rujukan yang baik sangat penting untuk masalah katarak.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Lensa

2.1.1 Letak Lensa

Lensa merupakan struktur bikonveks yang merupakan


bagian dari segmen anterior mata. Dibagian depan lensa adalah
pupil dan bilik mata belakang, dan bagian belakang adalah badan
vitreus (AAO,2015) Lensa dipertahankan posisinya oleh Zonula
Zinii yang terdiri dari serat-serat halus kuat yang melekat pada
korpus siliaris (Budiono,2013).

2.1.2 Struktur Lensa

Lensa mata merupakan bagian bola mata yang bersifat


transparan, avaskular, dan berbentuk bikonveks. Lensa memiliki
fungsi mempertahankan kejernihan, membiaskan cahaya dan
berakomodasi. (Budiono,2013). Kejernihan lensa dipertahankan
dengan susunan struktur seluler lensa yang teratur, dan susunan
lensa ini tetap dipertahankan walaupun lensa mengalami
akomodasi (AAO,2015). Agar lensa dapat berfungsi untuk
membiaskan cahaya, dan memfokuskan cahaya yang datang tepat
di retina, maka lensa harus memiliki indeks refraksi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan struktur yang ada disekitarnya. Indeks
refraksi yang lebih tinggi ini dikarenakan lensa memiliki protein
crytallinsyang mana protein ini sangat stabil sehingga lensa dapat
menjalankan fungsinya sepanjang hidup manusia. (AAO,2015)
Lensa mata sendiri memiliki indeks bias sekitar 1,4 di
tengah dan 1,36 di bagian tepinya, berbeda dengan indeks bias
humor akuos dan korpus vitrous yang mengelilinginya. Mata
memiliki kekuatan refraksi keseluruhan sebesar 60 dioptri (D),
dalam kondisi tanpa akomodasi lensa memiliki kontribusi sekitar
4

15-20 D sedangkan udara dan permukaaan kornea memiliki


kekuatan refraksi 43 D.
Akomodasi merupakan mekanisme perubahan fokus
penglihatan mata dari penglihatan jarak jauh menjadi penglihatan
jarak dekat karena perubahan bentuk lensa oleh otot siliaris. Ketika
kontraksi otot siliaris terjadi, ketebalan aksial lensa meningkat,
penurunan diameter dan meningkatkan kekuatan dioptri lensa,
sehingga menghasilkan suatu akomodasi untuk penglihatan jarak
dekat. Ketika otot siliaris relaksasi, ketegangan serat zonular
meningkat, sehingga lensa menjadi lebih datar (flattens), dan
kekuatan lensa menurun untuk penglihatan jarak jauh.
(Budiono,2013). Kemampuan akomodasi atau berubah bentuk
dikarenakan adanya otot siliaris. Kemampuan akomodasi ini akan
menurun dengan bertambahnya usia yaitu 8 D pada usia 40 tahun
dan 1-2 D pada usia 60 tahun (Patil, 2014).
Lensa memiliki tiga komponen utama yang terdiri dari
kapsul, epitel lensa, korteks, dan nucleus. Lensa terus berkembang
sepanjang hidup. Saat lahir memiliki diameter 6,4 mm dan
ketebalan 3,5 mm serta berat 90 mg. Lensa dewasa memiliki
diameter 9 mm dan ketebalan 5mm serta berat sekitar 255 mg.
(Johnson, 2012)
Lensa dibungkus oleh kapsul yang merupakan membran
basal yang bersifat elastis. Kapsul lensa banyak mengandung
kolagen tipe IV dan bersifat nonselular. Ketebalan kapsul
bervariasi, kapsul lensa yang paling tebal berada di kapsul anterior,
dikarenakan sel epitel selalu mensekresi material kapsul sepanjang
hidup, sementara pada kapsul posterior tidak didapatkan sel epitel
ini. (AAO,2015)
Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya
terdapat pada permukaan anterior lensa, berupa satu lapisan sel
yang memiliki aktivitas metabolisme. Bagian terluar pada lensa
adalah korteks sedangkan bagian tengahnya nucleus. Tidak ada
5

perbedaan morfologi antara korteks dan nucleus kecuali pada


kondisi terdapat kelainan pada lensa amata (katarak) perbedaan
antara nucleus, epinukleus, dan korteks dapat terlihat. Perbedaan
antara korteks dan nucleus digunakan juga dalam menentukan tipe
katarak (katarak nuclear, katarak kortikal). (Patil, 2014).

Gambar 2.1 Struktur Lensa (AAO,2015).

2.2 Fisiologi Lensa

2.2.1 Metabolisme lensa

Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah


mempertahankan ketransparanan lensa. Aspek fisiologi yang
terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat
bergantung pada komponen metabolisme dan makromolekular.
Selain itu, hidrasi lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa
(Narayanan, 2012).
Lensa mempunyai kadar kalium dan asam amino yang
tinggi dibandingkan aqueous dan vitreus dan memiliki kadar
natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya.
Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas 5embrane dan
pompa natrium dan kalium (Na-K-ATPase). Pompa ini berfungsi
memompa natrium keluar dan memompa kalium untuk masuk.
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membrane di
6

lensa disebut teori pompa bocor. Kalium dan asam amino


ditransportasikan ke dalam lensa secara aktif ke anterior lensa
melalui epithelium. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi
melalui bagian posterior lensa. Sedangkan natrium masuk ke dalam
lensa di bagian posterior lensa secara difusi dan keluar melalui
bagian anterior lensa secara aktif (Narayanan, 2012).

Gambar 2.2 Pertukaran air dan elektrolit pada lensa (Duker &
Yanoff, 2009)

2.3 Definisi Katarak

Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata. Kekeruhan


dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi
protein lensa, atau akibat keduanya, biasanya mengenai kedua mata
dan berjalan progresif atau dapat juga tidak mengalami perubahan.
Menurut WHO (2017), katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada
lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak
terjadi karena faktor usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak
yang lahir dengan kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi
setelah trauma, inflamasi atau penyakit lainnya.

2.4.Epidemiologi

Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi katarak di


Indonesia adalah sebesar 1,8%, dengan provinsi tertinggi terletak
7

di Provinsi Sulawesi Utara (3,7%) dan terendah di Provinsi DKI


Jakarta (0,9%) (Kemenkes RI,2014). Di Indonesia, berdasarkan
hasil survei kebutaan dengan menggunakan metode Rapid
Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) yang baru dilakukan
di 3 provinsi (NTB, Jabar dan Sulsel) tahun 2013 - 2014
didapatkan prevalensi kebutaan pada masyarakat usia > 50 tahun
rata-rata di 3 provinsi tersebut adalah 3,2 % dengan penyebab
utama adalah katarak (71%) (Kemenkes RI,2016).

2.5.Patofisiologi

1. Kelainan Bawaan

Katarak dapat disebabkan karena gangguan proses


pengembangan embrio saat dalam kandungan dan kelainan
kromosom secara genetik. Sehingga, jika menemukan kasus
katarak kongenital biasanya harus dicari kelainan pada tubuh lain
juga sehingga berupa suatu sindom. (Budiono,2013)

2. Proses Penuaan

Lensa mata akan mengalami kekeruhan, yaitu mengalami


pertambahan berat, ketebalan, dan mengalami penurunan daya
akomodasi seiring bertambahnya usia karena proses degeneratif.
Nukleus lensa akan mengalami kompresi dan pengerasan (nuclear
sclerosis). Pembentukan kumpulan molekul protein dengan berat
molekul tinggi dapat menyebabkan fluktuasi mendadak indeks
bias, sehingga muncul hamburan cahaya dan mengurangi
transparansi lensa. Perubahan lain yang berhubungan dengan usia
adalah penuruunan konsentrasi glutathione dan kalium, dan
peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium dalam sitoplasma
lensa.

3. Penyakit Sistemik

Penyakit sistemik yang paling sering menyebabkan katarak


adalah diabetes melitus. Pada diabetes melitus, terjadi akumulasi
8

sorbitol pada keadaan hiperglikemi dimana sorbitol akan menarik


air kedalam lensa sehingga terjadi hidrasi lensa. Teori kedua yaitu
terjadi glikosilasi protein dimana dapat menurunkan kejernihan
lensa. Rubella dan Toxoplasma juga dapat berperan dalam
terjadinya katarak.

4. Trauma

Trauma dapat menganggu struktur lensa secara makros dan


mikros, dan dapat penganggu keseibangan metabolism lensa.

5. Penyakit Mata Lainnya

Penyakit mata glaucoma dam uveitis menyebabkan


kekeruhan lensa karena menganggu keseimbangan elektrolit.

2.6. Faktor Risiko Katarak

1. Genetik

Riwayat keluarga berpotensi meningkatkan risiko


terjadinya katarak, onset terjadinya katarak, dan percepatan
maturasi katarak. (Khurana,2018)
2. Radiasi ultraviolet
Radiasi ultraviolet dapat meningkatkan jumlah radikal
bebas pada lensa karena tingginya penetrasi jumlah cahaya UV
menuju lensa. UV memiliki energi foton yang besar sehingga dapat
meningkatkan molekul oksigen dari bentuk triplet menjadi oksigen
tunggal yang merupakan salah satu spesies oksigen reaktif.
(Khurana,2018)
3. Faktor diet
Defisiensi vitamin A, C, E, niasin, tiamin, riboflavin dan
beta karoten dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. Zat
nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi
menetralkan radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga
dapat mencegah terjadinya katarak. (Khurana,2018)
4. Dehidrasi
9

Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan


kerusakan pada lensa. Hal ini disebabkan karena perubahan
komposisi elektrolit pada lensa dapat menyebabkan kekeruhan
pada lensa. (Khurana,2018)
5. Merokok
Bahan yang terkandung dalam rokok dapat meningkatkan
risiko terjadinya katarak. Dengan merokok dapat terjadiakumulasi
kadmium di lensa. Kadmium dapat berkompetisi dengan kuprum
dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting untuk
aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga
dengan adanya kadmium menyebabkan fungsi superoksida
dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal ini menyebabkan
terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan
katarak. Disebutkan juga bahwa kadmium dapat mengendapkan
lensa sehingga timbul katarak.
Selain Kadmium, Nitric Oxyde (NO) dapat menyebabkan
katarak dengan mekanisme NO bereaksi secara cepat dengan
anion superoksida untuk membentuk peroksinitrit sehingga terjadi
nitratasi residu tirosin dari protein lensa. Hal ini dapat memicu
peroksidasi lipid membentuk malondyaldehida. Malondyaldehida
memiliki efek inhibitor terhadap enzim antioksidan seperti katalase
dan glutation reduktase sehingga terjadi oksidasi lensa lalu terjadi
kekeruhan lensa dan akhirnya terbentuk katarak (Duker & Yanoff,
2009).
6. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami
penuaan. Keistimewaan lensa adalah terus menerus tumbuh dan
membentuk serat lensa dengan arah pertumbuhannya yang
konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena lensa
tertutupi oleh serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada
di pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada
tepat di bawah kapsul lensa (korteks). Dengan pertambahan usia,
10

lensa pun bertambah berat, tebal, dan keras terutama bagian


nukleus. Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear
sklerosis. Selain itu, seiring dengan pertambahan usia, protein lensa
pun mengalami perubahan kimia. Fraksi protein lensa yang
dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi
membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini
menyebabkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak
lagi meneruskan cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan
lensa menjadi tidak tembus cahaya (Cunningham & Riordan-Eva,
2011).
7. Penyakit sistemik
Diabetes mellitus dapat menyebabkan perubahan
metabolisme lensa. Tingginya kadar gula darah menyebabkan
tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat
terhidrasi dan timbul katarak (Pollreisz &Schmidt-Erfurth, 2010).

2.7.Klasifikasi

1. Klasifikasi berdasarkan morfologis


a. Katarak nuklear

Saat bagian nukleus lensa mengalami proses sklerosis dan


penguningan yang berlebihan, maka akan terjadi katarak nuklear
dan akan menyebabkan opasitas sentral (American Academy of
Ophthalmology, 2016). Gejala paling dini dari katarak jenis ini
ialah membaiknya penglihatan dekat tanpa menggunakan
kacamata atau biasa dikenal sebagai “second sight”. Hal ini
diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan lensa bagian sentral,
menyebabkan refraksi bergeser ke miopia. Gejala lain biasanya
terdapat diskriminasi warna yang buruk atau diplopia monokular
(Riordan-Eva, 2009). Untuk katarak nuklear yang telah memasuki
fase berat, nukleus lensa menjadi sangat keruh dan berwarna sangat
11

kecoklatan yang disebut brunescent nuclear cataract (American


Academy of Ophthalmology, 2016).

b. Katarak kortikal

Katarak kortikal adalah katarak yang melibatkan korteks


lensa Lapisan kortikal kurang padat dibandingkan nukleus
sehingga lebih mudah menjadi sangat terhidrasi akibat
ketidakseimbangan elektrolit, yang secepatnya akan mengarah ke
kerusakan serat korteks lensa. Perubahan hidrasi serat lensa
menyebabkan terbentuknya celah-celah dalam pola radial di
sekeliling daerah ekuator. (Riordan-Eva and Whitcher, 2018)
Dengan menggunakan slit-lamp biomicroscope, tanda
pertama yang dapat dilihat pada katarak kortikal adalah adanya
vakuola dan celah air pada bagian anterior dan posterior korteks.
Lamela korteks dapat dipisahkan oleh cairan. Terdapat kekeruhan
dengan bentuk seperti baji (sering disebut cortical spokes atau
cuneiform opacities) dari pinggiran lensa menuju ke arah sentral
(American Academy of Ophthalmology, 2016)

c. Katarak subkapsular posterior

Katarak subkapsular adalah katarak yang melibatkan bagian


superfisial korteks atau tepat di bawah kapsul lensa. Katarak
subkapsular posterior adalah kekeruhan pada korteks di dekat
kapsul posterior bagian sentral. Pada tahapan awal, gangguan
penglihatan biasanya menjadi gejala utama dikarenakan adanya
keterlibatan sumbu (axial). Indikasi awal terjadinya katarak
subkapsular posterior adalah kilauan warna yang samar (subtle
iridescent sheen) pada lapisan kortikal posterior yang terlihat
denganslit-lamp.
Pasien juga sering mengeluhkan silau dan penglihatan jelek
pada kondisi cahaya terang karena katarak jenis ini menutupi pupil
ketika miosis akibat cahaya terang, akomodasi, atau miotikum.
(American Academy of Ophthalmology, 2016). Gejala umum lain
12

yang biasa ditemukan pada katarak jenis ini adalah silau dan
penurunan penglihatan pada pencahayaan yang terang (Riordan-
Eva and Witcher, 2018).

Gambar 2.5 Katarak nuclear, katarak subkapsular posterior,


dan katarak kortikal (Alcon, 2012)

2. Klasifikasi berdasarkan stadium

Menurut stadium klinis dan tebal tipisnya kekeruhan lensa,


katarak dibagi dalam 4 stadium, yaitu:

1. Katarak insipient

Kekeruhan lensa tahap awal dengan visus yang relatif


masih baik (Budiono,2013)

2. Katarak Imatur

Katarak imatur ditandai dengan kekeruhan sebagian lensa


dan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Kekeruhan pada lensa
13

mulai terjadi, dan dapat terlihat oleh bantuan senter. Terlihat iris
shadow, dan visus >1/60.(Budiono,2013)

3. Katarak matur

Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh


massa lensa. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh,
sehingga iris shadow negatif. Visus menurun hingga 1/300 atau
light perception positif. (Budiono,2013)
4. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses
degenerasi lanjut. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari
kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning
dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan
kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
hubungan dengan zonula zinn menjadi kendur. (Budiono,2013)
Karena kortek lensa mencair, nukleus terjatuh atau
menggantung (morgagni), iris menjadi bergetar (tremulans). Pada
stadium ini dapat terjadi glaukoma: fakolitik (akibat korteks lensa
mencair sehingga terdapat partikel-partikel lensa yang ikut aliran
humor aquos dan dapat menghambat di trabekulum meiswork
sehingga aquos terhambat drainase nya), fakotoksik (karena
partikel lensa yang hancur pada stadium ini dapat di anggap
sebagai benda asing dapat menimbulkan reaksi peradangan dan
berujung pada uveitis), fakotopik (komplikasi yang disebabkan
oleh terlepasnya kapsula posterior dari zona zonula yang
memfiksasinya). (Ilyas, 2009)

2.8 Gejala Klinis

1. Penurunan tajam penglihatan. Bila kekeruhan tipis,


kemunduran visus sedikit atau sebaliknya. Kekeruhan di
sentral akan lebih mengaburkan pandangan penderita daripada
kekeruhan di perifer. Keluhan dirasakan makin lama makin
14

kabur pada penglihatan. Penglihatan pasien seperti tertutupi


kabut/ asap/ awan putih.
2. Diplopia monocular adalah dimana pasien melihat benda
tampak seperti double. Hal ini dikarenakan adanya iregularitas
refraksi dari lensa yang disebabkan oleh variasi dari indeks
refraksi karena proses katarak
3. Pada stadium awal penderita mengeluh miopi atau merasa
lebih enak membaca dekat, hal ini terjadi karena proses
pembentukan katarak sehingga lensa menjadi cembung dan
refraksi mata meningkat, akibatnya bayangan jatuh dimuka
retina. Dapat terjadi myopic shift di mana kadang pada orang
tua yang presbiopi akan mengatakan bahwa penglihatannya
lebih jelas tanpa memakai kacamata seolah-olah sembuh dan
mendapatkan penglihatan baru (second sight), tetapi ini tidak
akan bertahan lama dan dapat menjadi buruk setelah beberapa
saat kemudian.
4. Silau, terutama karena kekeruhan di subkapsular posterior.
Pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi
keparahannya mulai dari penurunan sensitivitas kontras dalam
lingkungan yang terang hingga silau pada saat siang hari atau
sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di malam
hari.
5. Gangguan Penglihatan warna dikarenakan lensa yang
bertambah kuning atau kecoklatan akan menyebabkan
gangguan diskriminasi warna terutama spektrum cahaya biru.
6. Jika terdapat keluhan nyeri pada mata dan terdapat halo di
sekitar cahaya terang, terutama jika hanya pada satu mata :
curiga terdapat glaukoma sekunder akibat katarak. Coloured
halos dikarenakan adanya dispersi dari cahaya putih menjadi
beberapa spektrum warna karena adanya droplet air di dalam
lensa (Khurana, 2018).
15

2.9 Pemeriksaan fisik

Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada


pasien katarak oleh American Academy of Ophthalmology (2016):

1. Diagnosa dari katarak dibuat atas dasar anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pemeriksaan seluruh tubuh terhadap adanya
kelainan-kelainan harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
sistemik yang berefek terhadap mata dan perkembangan katarak.

2. Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan yang dimulai


dengan ketajaman penglihatan untuk gangguan penglihatan jauh
dan dekat. Visus dapat membaik dengan dilatasi pupil, terutama
pada katarak subkapsular posterior.

3. Pemeriksaan refraksi dapat dilakukan untuk memperkirakan


kekuatan lensa IOL dan mencari adanya myopic shift.
4. Pemeriksaan adneksa okular dan struktur intraokular dapat
memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan prognosis
penglihatannya.

5. Pemeriksaan segmen anterior dapat mengetahui keadaan segmen


depan bola mata. Untuk pemeriksaan bilik mata depan pada
pasien, dilakukan oblique flashlight test. Bila cahaya tidak
mencapai seluruh iris maka terdapat kedangkalan bilik mata
depan.

6. Pemeriksaan iris shadow untuk mengetahui derajat kekeruhan


lensa mata. Teknik pemeriksaan ini menggunakan pen light
dengan disinarkan pada pupil membuat sudut 45 derajat dengan
dataran iris. Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior
maka makin besar bayangan iris pada lensa yang keruh. Sedang
makin tebal kekeruhan lensa makin kecil bayangan iris pada lensa
yang keruh.

Penilaian pemeriksaan iris shadow:


16

 (shadow test +), bila bayangan iris pada lensa terlihat besar
dan letaknya jauh terhadap pupil berarti lensa belum keruh
seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur
 (shadow test -), bayangan iris pada lensa kecil dan dekat
terhadap pupil berarti lensa sudah keruh seluruhnya, ini
terjadi pada katarak matur.

Gambar 2.12 Pemeriksaan iris shadow (Hari, 2011)

7. Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi


opasitas lensa dan tipe katarak. Tapi dapat juga struktur okular
lain (konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan).. Gambaran
lensa harus dicatat secara teliti sebelum dan sesudah pemberian
dilator pupil. Posisi lensa dan integritas dari serat zonular juga
dapat diperiksa sebab subluxasi lensa dapat mengidentifikasi
adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau
katarak hipermatur

8. Kepentingan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari


integritas segmen belakang mata harus dinilai. Masalah pada
saraf optik dan retina dapat menilai gangguan penglihatan.
Pemeriksaan refleks fundus dilakukan menggunakan oftalmoskop
17

pada jarak 30cm. Reflex fundus yang berwarna jingga akan


menjadi gelap pada katarak matur.

9.Pemeriksaan tekanan bola mata dengan jari atau dengan tonometri


dapat dilakukan untuk menilai ada tidaknya glaukoma. Prosedur
penilaian TIO dengan tonometri Schioltz.

2.10 Penyulit

Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang


dapat terjadi karena proses fakomorfik, fakolitik, fakotopik,
fakotoksik
1. Fakomorfik
Masuknya air ke dalam celah lensa disertai pembengkakan
lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris
sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan
normal. Terjadi pada katarak kortikal.
2. Fakolitik
Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi
lensa akan keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli
anterior terutama bagian kapsul lensa. Dengan keluarnya substansi
lensa maka pada kamera okuli anterior akan bertumpuk pula
serbukan fagosit atau makrofag yang berfungsi merabsorbsi
substansi lensa tersebut.Tumpukan akan menutup sudut kamera
okuli anterior sehingga timbul glaukoma.
3. Fakotopik
Berdasarkan posisi lensa. Oleh karena proses intumesensi,
iris, terdorong ke depan sudut kamera okuli anterior menjadi
sempit sehingga aliran humor aqueaous tidak lancar sedangkan
produksi berjalan terus, akibatnya tekanan intraokuler akan
meningkat dan timbul glaukoma.
4. Fakotoksik
Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat
toksik bagimata sendiri (auto toksik). Terjadi reaksi antigen-
18

antibodi sehingga timbul uveitis, yangkemudian akan menjadi


glaucoma(Cunningham & Riordan-Eva, 2011).

2.11 Diagnosis banding

Diagnosis banding untuk katarak yang didapat (acquired)


dapat berupa katarak komplikata dan katarak traumatik.

1. Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata


lain seperti radang, dan proses degenerasi seperti ablasi retina,
retinitis pigmentosa, glaucoma, tumor intraocular, iskemia
ocular, nekrosis anterior segmen, buftalmos,akibat suatu trauma
dan pasca bedah mata. Katarak komplikata dapat juga
disebabkan oleh penyakit sistemik (hipoparatiroid,
galaktosemia, diabetes melitus dan miotonia distrofi). Pada
katarak yang disebabkan oleh diabetes melitus, pada keadaan
hiperglikemia dapat terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa di
dalam lensa, sehingga menyebabkan kekeruhan pada lensa.
Katarak komplikata juga dapat disebabkan oleh efek obat seperti
penggunaan steroid local lama, steroid sistemik, oral
kontraseptik dan miotika antikolinesterase.
2. Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda
asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Sebagian
besar katarak traumatik dapat dicegah. Lensa menjadi putih
segera setelah masuknya benda asing, karena lubang pada
kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang
korpus vitreum masuk dalam struktur lensa. Pasien mengeluh
penglihatan kabur secara mendadak. Mata jadi merah, lensa
opak, dan mungkin disertai terjadinya perdarahan intraokular.
Apabila humor aqueus atau korpus vitreum keluar dari mata,
mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis,
ablasio retina dan glaukoma.

2.12 Penatalaksanaan
19

1. Pembedahan dilakukan apabila ada keluhan tajam penglihatan


menurun

2. Koreksi afakia

3. Implantasi intra okuler

4. Kaca mata

5. Lensa kontak

Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak


mencakup indikasi visus,medis, dan kosmetik.

1. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini


berbeda pada tiap individu, tergantung dari gangguan yang
ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
2. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan
kekeruhan pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis
dilakukan operasi katarak seperti glaukoma imbas lensa (lens-
induced glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan
pada retina misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
3. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur
meminta ekstraksi katarak untuk memperoleh pupil yang hitam
(Duker & Yanoff, 2009)
a. Pembedahan Intrakapsuler / ICCE / Intra Capsular
Cataract Extraction

Pada ekstraksi jenis ini lensa dikeluarkan bersama-sama


dengan kapsul lensanya dengan memutus zonula zinni yang telah
mengalami degenerasi. Dalam melakukan teknik ini tidak perlu
khawatir terhadap perkembangan selanjutnya dan penanganan dari
opasitas kapsul. Teknik ini dapat dilakukan dengan alat – alat yang
sedikit canggih dan di daerah dimana tidak terdapat mikroskop
operasi dan sistem irigasi (Kanski & Bowling, 2016).
Bagaimanapun sejumlah kerugian dan komplikasi post
operasi, insisi limbus yang lebar sering dikaitkan dengan beberapa
20

faktor risiko yang mengikutinya seperti penyembuhan yang


terlambat, keterlambatan perbaikan visus, timbulnya astigmatismat,
inkarserasi iris, luka operasi yang bocor, inkarserasi vitreus. Edema
kornea merupakan suatu keadaan yang umum terjadi saat operasi
dan komplikasi post operasi. Meskipun banyak komplikasi post
operasi, namun ICCE masih dapat digunakan pada kasus-kasus
dimana zonular rusak berat, sehingga dapat dilakukan
pengangkatan lensa dengan sukses (Riordan-Eva and
Witcher,2018).
ICCE merupakan kontraindikasi absolut pada anak-anak
dan dewasa muda dengan katarak dan kasus-kasus dengan trauma
ruptur kapsular. Kontraindikasi relatif adalah miopia tinggi,
sindrom marfan, katarak morgagni, dan adanya vitreus di bilik
mata depan.Keuntungan metode ini tidak diperlukan operasi
tambahan untuk memasang lensa pengganti, peralatan sederhana,
penurunan penglihatan dengan kacamata ditambah +10 dioptri.
ICCE masih sangat bermanfaat pada kasus-kasus yang tidak stabil,
katarak intumesen, hipermatur dan katarak luksasi. ICCE juga
masih lebih dipilih pada kasus dimana zonula zini tidak cukup kuat
sehingga tidak memungkinkan menggunakan ECCE (Duker &
Yanoff, 2009).
21

Gambar 2.15 Langkah-langkah prosedur ICCE (Ambadan,


2014)

b. Pembedahan Ekstrakapsuler / ECCE / Extra Capsular


Cataract Extraction

ECCE melibatkan pengangkatan nukleus lensa dan korteks


melalui bukaan pada kapsul lensa anterior dan meninggalkan
kapsula posterior. Pelaksanaan prosedur ini tergantung dari
ketersediaan alat, kemampuan ahli bedah dan densitas nucleus.
Prosedur ini memiliki beberapa keuntungan dibanding ICCE
karena dilakukan dengan insisi yang lebih kecil, maka trauma
endothelium kornea lebih sedikit, astigmatisma berkurang,
jahitannya lebih stabil dan aman. Kapsula posterior yang intak
akan mengurangi resiko keluarnya vitreous intraoperatif, posisi
fiksasi IOL lebih baik secara anatomi, mengurangi angka kejadian
edema makular, kerusakan retina dan edema kornea, mengurangi
mobilitas iris dan vitreous yang terjadi dengan pergerakan saccus
(endophtalmodenesis), adanya barrier restriksi perpindahan
molekul aquous dan vitreous, dan mengeleminasi komplikasi
22

jangka panjang dan pendek yang berhubungan dengan lengketnya


vitreous dengan iris, kornea dan tempat insisi (Riordan-Eva and
Whitcher, 2018).
Prosedur ECCE memerlukan keutuhan dari zonular untuk
pengeluaran nukleus dan materi kortikal lainnya. Oleh karena itu,
ketika zonular tidak utuh pelaksanaan prosedur yang aman melalui
ekstrakapsular harus dipikirkan lagi. Metode ini diindikasikan pada
pasien dengan katarak yang sangat keras atau pada keadaan dimana
ada masalah dengan fakoemulsifikasi. Penyulit yang dapat timbul
adalah terdapat korteks lensa yang dapat menyebabkan katarak
sekunder (Kanski & Bowling, 2018).

Gambar 2.16 Langkah-langkah ECCE (Ambadan, 2014)

c. SICS (Small Incision Cataract Surgery)

Teknik ini hanya memerlukan dua sayatan kecil di sisi bola


mata, lalu melepas lensa mata keruh dan memasangkan lensa
intraokular buatan. Hasil operasi teknik ini sama dengan hasil
operasi teknik phacoemulsification. Tak hanya itu, waktu operasi
23

juga relatif singkat, sekitar 5-8 menit, dan pasien langsung bisa
melihat kembali (Kanski & Bowling, 2018).
Insisi dilakukan pada sklera dengan ukuran insisi bervariasi
dari 5-8 mm. Penutupan luka insisi terjadi dengan sendirinya (self-
sealing). Teknik operasi ini dapat dilakukan pada stadium katarak
immature, mature, dan hypermature. (Riordan-Eva and Whitcher,
2011).
Kondisi ideal untuk dilakukan manual SICS adalah kondisi
kornea jernih, ketebalan normal, endotelium sehat, BMD cukup
dalam, dilatasi pupil cukup, zonula utuh, tipe katarak kortikal, atau
sklerosis nuklear derajat II dan III. Keuntungan metode ini:
penyembuhan lebih cepat dan resiko astigmatisme minimal.
Dibanding fakoemulsifikasi: kurve pembelajaran lebih pendek,
dimungkinkan kapsulotomi can opener, instrumentasi lebih
sederhana, alternatif utama jika operasi fakoemulsifikasi gagal,
resiko komplikasi rendah, waktu bedah singkat, lebih murah
(Suhardjo & Hartono, 2007).

Gambar 2.17 Langkah-langkah SICS (Ambadan, 2014)


24

d. Fakoemulsifikasi

Fakoemulsifikasi menggunakan ultrasound untuk


menghancurkan nukleus lensa dan mengemulsifikasikan
pecahannya. Teknik ini juga menggunakan sistem aspirasi yang
dikendalikan secara otomatis untuk mengeluarkan bahan kortikal
melalui jarum kecil yang dimasukkan ke mata melalui sayatan
yang sagang kecil Fakoemulsifikasi memiliki komplikasi yang
lebih rendah, penyembuhan dan rehabilitasi visual yang lebih cepat
daripada prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar.
Teknik ini juga menciptakan sistem relatif tertutup selama
fakoemulsifikasi dan aspirasi sehingga mengendalikan ke dalaman
bilik mata depan danmemberikan perlindungan terhadap tekanan
positif vitreus dan perdarahan khoroidal. Biasanya tidak
dibutuhkan jahitan. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital,
traumatik, dan kebanyakan katarak senilis (Riordan-Eva and
Witcher, 2011). Indikasi teknik fakoemulsifikasi berupa calon
terbaik pasien muda dibawah 40-50 tahun, tidak mempunyai
penyakit endotel, bilik mata dalam, pupil dapat dilebarkan hingga 7
mm. Kontraindikasinya berupa tidak terdapat hal – hal salah satu
diatas, luksasi atau subluksasi lensa. Kerugiannya berupa dapat
terjadinya katarak sekunder sama seperti pada teknik EKEK, sukar
dipelajari oleh pemula, alat yang mahal, pupil harus terus
dipertahankan lebar, endotel ’loss’ yang besar. Penyulit pasca
bedah berupa edema kornea, katarak sekunder, sinekia posterior,
ablasio retina (Riordan- Eva and Whitcher, 2018).
25

Gambar 2.18 Langkah-langkah PE (Ambadan, 2014)

e. Kaca Mata Afakia

Mampu memberikan pandangan sentral yang baik. Namun


pembesaran 25% sampai 30% menyebabkan penurunan dan
distorsi pandangan perifer, yang menyebabkan kesulitan dalam
memahami relasi spasial, membuat benda – benda nampak jauh
lebih dekat dari yang sebenarnya. Kaca mata ini juga menyebabkan
aberasi sferis, mengubah garis lurus menjadi lengkung.
Memerlukan waktu penyesuaian yang lama sampai pasien mampu
mengkoordinasikan gerakan, memeprrkirakan jarak, dan berfungsi
aman dengan medan pandangan yang terbatas. Kaca mata afakia
sangat tebal dan merepotkan dan membuat mata kelihatan sangat
besar (Riordan-Eva and Whitcher, 2018).
f. Lensa Kontak
Jauh lebih nyaman dari kaca mata afakia. Tak terjadi
pembesaran yang bermakna (5%-10%), tak terdapat aberasi sferis,
tak ada penurunan lapang pandangan dan tak ada kesalahan
orientasi spasial. Lensa ini memberikan rehabilitasi visual yang
hampir sempurna bagi mereka yang mampu menguasai cara
26

memasang, melepaskan dan merawat dan bagi mereka yang dapat


mengenakannya dengan nyaman (American Academy of
Ophthalmology, 2016).
g. Implantasi Lensa Okuler
Lensa implan intraokuler adalah lensa buatan yang
ditanamkan di mata, biasanya menggantikan lensa kristal alami
karena telah keruh oleh katarak, atau telah dihapus sebagai
bentuk bedah refraktif untuk mengubah daya optik mata. Lensa ini
biasanya terdiri dari akrilik atau silikon dengan kaitan plastik, yang
disebut haptics, untuk memegangi lensa ditempatnya dalam
kantong kapsuler. Prosedur ini dapat dilakukan
dengan anestesi lokal di mana pasien terjaga sepanjang operasi.
Prosedur ini biasanya memakan waktu kurang dari 30 menit di
tangan seorang dokter mata berpengalaman. Periode pemulihan
adalah sekitar 2-3 minggu. Setelah operasi, pasien harus
menghindari olahraga berat atau kegiatan apapun yang secara
signifikan meningkatkan tekanan darah. Mereka juga harus
mengunjungi dokter bedah mereka secara teratur selama beberapa
bulan sehingga implan dapat dipantau (Riordan-Eva and Whitcher,
2018).

2.13 Prognosis

Prognosis katarak adalah baik dengan lebih dari 95%


pasien mengalami perbaikan visual setelah dilakukan operasi.
27

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. T

Usia : 41 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Hang Tuah 4/2, surabaya

Pekerjaan : Pedagang

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 04 September 2019

No. DMK : 12.77. 62.60

3.2. DATA DASAR

Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama: Penglihatan kabur

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan mata sebelah kiri kabur sejak 1


tahun yang lalu. Kabur dirasakan seperti tertutup kabut dan dilapisi
awan. Kabur dirasakan perlahan-lahan, mulai dari bagian tengah lapang
pandang pengelihatan. Semakin lama kabur dirasa semakin tebal dan
keluhan kabur semakin memberat. Keluhan mata kabur dirasakan
bertambah berat hingga saat ini. Pasien juga mengeluhkan pandangan
28

mata sebelah kiri silau, dan ketika melihat di dalam ruangan terasa lebih
baik. Pasien tidak mengeluhkan keluhan terdapat titik-titik melayang,
melihat kilatan cahaya, pengelihatan seperti tirai dan tidak ada keluhan
sulit membedakan warna. Keluhan mata merah, berair, dan nyeri tidak
ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi
ataupun kencing manis, riwayat asma, penyakit jantung, dan riwayat
penyakit mata sebelumnya tidak ada. Alergi seafood (+)
Riwayat Penggunaan Kacamata
Pasien tidak memiliki riwayat memakai kacamata ataupun
riwayat menggunakan lensa kontak sebelumnya.
Riwayat Operasi
Pasien pernah melakukan operasi katarak dan pemasangan IOL
pada mata sebelah kanan 2 tahun yang lalu.
Riwayat Konsumsi Obat

Tidak ada obat – obatan yang dikonsumsi secara rutin.

Riwayat Sosial

Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang makanan. Pasien


tidak memiliki riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol maupun
mengkonsumsi jamu-jamuan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit / keluhan


yang sama. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat tekanan
darah tinggi, kencing manis, asma, maupun penyakit jantung. Tidak ada
anggota keluarga yang menggunakan kacamata.
29

3.3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik , GCS 456

Tekanan darah : 120/90 mmHg, posisi duduk, lengan kanan

Nadi : 100 x/menit, regular, kuat angkat

RR : 18 x/menit regular

Status generalis

K/L : a/i/c/d (-), pKGB (-)

Thorax : Simetris (+), retraksi (-)

Cor S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo sonor/sonor, vesikuler/vesikuler, rhonki -/- ; wheezing- /-

Abdomen : Flat, BU (+), Normal

Extrimitas : Akral hangat kering merah; edema (-)

Status Lokalis Mata

VOD : 5/60 PH 5/8 cc S-2,25 C-1,00 5/6,5

VOS : 5/20 PH 5/12 cc S-2,25 C-1,00 5/12

TOD : 14,6 mmHg

TOS : 14,6 mmHg

Pemeriksaan segmen anterior

Kanan Kiri

edema - spasme - Palpebra edema - spasme -

hiperemi -, sekret- Konjungtiva hiperemi -, sekret -

jernih + Kornea jernih +

dalam+ BMD dalam +


30

radier + - Iris radier + -

bulat +, isokor, bulat +, isokor,


diameter 3mm, RC Pupil diameter 3 mm, RC
+ +-

IOL + Lensa keruh +

Pemeriksaan segmen posterior

FDOD: Fundus reflex +, papil N.II batas tegas, warna normal, retina
perdarahan -, Macular reflex +

FDOS: Fundus reflex +, papil N.II sulit dievaluasi, warna sulit


dievaluasi, retina sulit dievaluasi, macular reflex sulit dievaluasi
31

FOTO KLINIS

OD OS

Gambar mata kanan dengan slit lamp


32

Gambar mata kiri dengan slit lamp, gambaran katarak imatur

Gambar mata kiri dengan slit lamp, gambaran katarak imatur


33

3.4 PROBLEM LIST

Problem List

1. Mata sebelah kiri kabur sejak 1 tahun yang lalu.


2. Mata kiri kabur seperti tertutup kabut dan dilapisi awan.
3. Mata kiri kabur perlahan-lahan, mulai dari bagian tengah lapang
pandang pengelihatan.
4. Pandangan mata sebelah kiri silau
5. VOD : 5/60 PH 5/8 cc S-2,25 C-1,00 5/6,5
6. VOS : 5/20 PH 5/12 cc S-2,25 C-1,00 5/12
7. Lensa mata kanan IOL +

8. Lensa mata kiri keruh

9. FDOS: Fundus reflex +, papil N.II sulit dievaluasi, warna sulit


dievaluasi, retina sulit dievaluasi, macular reflex sulit dievaluasi

Diagnosis

OS Katarak imatur PSC + OD Pseudofakia

3.5 PLANNING

Diagnosis:

Biometri mata

Terapi

Pro OS Phacoemulsification + Implant IOL

Monitoring

Keluhan pasien, vital sign, visus, segmen anterior-posterior.

Edukasi

1. Menjelaskan tentang penyakit yang diderita dan prognosisnya

2. Menjelaskan tentang pemeriksaan – pemeriksaan yang akan


dilakukan
34

3. Edukasi tentang tindakan operasi yang akan dilakukan,


komplikasi, keberhasilannya serta tindakan post operasi
35

BAB 4
PEMBAHASAN

Katarak merupakan penyakit kekeruhan pada lensa mata.


Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin perempuan dan berusia 41
tahun. Dari anamnesis didapatkan data pasien datang dengan keluhan
mata sebelah kiri kabur sejak 1 tahun yang lalu. Kabur dirasakan
seperti tertutup kabut dan dilapisi awan. Kabur dirasakan perlahan-
lahan, mulai dari bagian tengah lapang pandang pengelihatan.
Semakin lama kabur dirasa semakin tebal dan keluhan kabur semakin
memberat. Keluhan mata kabur dirasakan bertambah berat hingga
saat ini. Pasien juga mengeluhkan pandangan mata sebelah kiri silau,
dan ketika melihat di dalam ruangan terasa lebih baik.
Anamnesis pasien pada kasus ini didapatkan keluhan khas
katarak yaitu pandangan kabur diikuti penurunan ketajaman
penglihatan/visus yang mengalami progresivitas perlahan dalam satu
tahun terakhir. Apabila menghadapi keluhan penurunan visus
perlahan seperti pada pasien ini, perlu dipikirkan beberapa diagnosis
banding. Keluhan penurunan visus secara perlahan tanpa ada keluhan
mata merah menyingkirkan semua diagnosis penyakit mata dengan
penurunan visus akut, seperti keratitis dan uveitis. Keluhan
penurunan visus juga tidak diikuti keluhan melihat kilatan cahaya,
pandangan seperti tertutup tirai, dan titik-titik hitam atau benang-
benang berterbangan yang menyingkirkan ablasio retina.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan penurunan visus
okuli sinistra menjadi 5/20. Tekanan intra ocular okuli dextra
maupun sinistra 14,6 yang berarti dalam batas normal, sehingga
menyingkirkan glaukoma sudut terbuka kronis. Pemeriksaan segmen
anterior didapatkan abnormalitas pada lensa okuli sinistra berupa
lensa keruh pada bagian tengah sehingga menutupi visual axis, yang
mana hal ini dapat menyebabkan penurunan visus pada pasien.
Pemeriksaam fisik yang ditemukan pada pasien ini mendukung
36

diagnosis katarak. Pemeriksaan dilanjutkan dengan funduskopi


segmen posterior. Refleks fundus okuli sinistra positif namun untuk
detail segmen posterior mata sulit untuk dievaluasi sehingga tidak
bisa dievaluasi lebih lanjut.Dengan demikian dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah OS
Katarak imatur subkapsuler
Penatalaksanaan katarak pada pasien ini adalah dengan
planning diagnostic berupa pemeriksaan biometri bola mata sehingga
dapat menentukan bentuk dan ukuran IOL yang akan diimpantasi
kepada pasien. Persiapan operasi yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, foto thorax, dan ekg untuk mengevaluasi
kesiapan fisik pasien menghadapi risiko pembedahan dan anestesi
pada pasien ini.
Terapi definitive pada kasus katarak ini adalah pembedahan
pengambilan lensa oculi sinistra yang keruh diikuti pemasangan
lensa tanam atau intra ocular lens (IOL). Ada beberapa macam
teknik dan modalitas pembedahan yang dapat dipilih. Pada kasus ini,
teknik yang dipilih adalah teknik fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi
merupakan salah satu teknik operasi menggunakan ultrasound untuk
menghancurkan nukleus lensa dan mengemulsifikasikan pecahannya.
Teknik ini juga menggunakan sistem aspirasi yang dikendalikan
secara otomatis untuk mengeluarkan bahan kortikal melalui jarum
kecil yang dimasukkan ke mata melalui sayatan yang sangat kecil.
Fakoemulsifikasi mengakibatkan insiden komplikasi yang lebih
rendah, penyembuhan dan rehabilitasi visual yang lebih cepat
daripada prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar.
Teknik ini juga menciptakan sistem relatif tertutup selama
fakoemulsifikasi dan aspirasi sehingga mengendalikan ke dalaman
bilik mata depan danmemberikan perlindungan terhadap tekanan
positif vitreus dan perdarahan khoroidal. Biasanya tidak dibutuhkan
jahitan.
37

Adapun monitoring pascabedah ekstraksi katarak adalah


ketajaman penglihatan atau visus pasien, tanda-tanda infeksi
pascabedah, dan pemeriksaan segmen anterior serta segmen posterior
oculi sinistra untuk mengevaluasi adanya tanda-tanda penolakan
tubuh terhadap lensa tanam IOL, kekeruhan pada IOL, dan
kemungkinan komplikasipascabedah seperti edema kornea, ablasio
retina, dan gejala abnormal lainnya yang timbul pascabedah.
38

DAFTAR PUSTAKA

Ambadan K. 2014. Management of Cataract. Diakses 17 Desember 2017 di


http://www.slideshare.net/.
American Academy of Ophthalmology. 2016. Lens and Cataract: Basic and
Clinical Science Course 2015-2016 Section11. American Academy of
Ophthalmology.
Budiono S, Djiwatmo, Hermawan D, Wahyuni I. 2013. Lensa dan Katarak
in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University
Press.
Riordan-Eva P, and Witchen. 2018. Vaughan & Asbury's general
ophthalmology. (18th ed.). McGraw-Hill Medical.
Duker JS, Yanoff M. 2009. Ophthalmology. St. Louis, Mo: Mosby/Elsevier.
EyeRounds, 2017. EyeRounds Online Atlas of Ophthalmology. Diakses 16
Desember 2017 di http://www.eyerounds.org/.
Kanski JJ, Bowling B. 2018. Clinical Ophtalmology, A Systematic
Approach 7th ed. London: B.H. Elsevier.
Kemenkes RI, 2014. InfoDATIN: Situasi Gangguan Pengelihatan dan
Kebutaan: Jakarta.
Patil B. 2014. Anatomy and embryology of crystalline lens. Diakses 16
Desember 2017 di http://www.slideshare.net/
Suhardjo SU., Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM.
Vasudevan M dan Premnath MG. 2014. A Prospective Observational Study
to Analyze the Causes and Types of Pre Senile Cataract in South Indian
Patients. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences 2014;
Vol. 3, Issue 53, October 16; Page: 12308-12315, DOI:
10.14260/jemds/2014/3626
Vision 2020. 2011. Guidelines for the Management of Cataract in India.
New Delhi: Vision 2020.
WHO. 2017. Prevention of Blindness and Visual Impairment. Diakses pada
16 Desember 2017 di http://www.who.int/

Anda mungkin juga menyukai