Anda di halaman 1dari 5

KONTRIBUSI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM KEMANDIRIAN DAN

KETAHANAN TERHADAP DOMINASI MELAWAN PENJAJAH ABAD XVII SAMPAI


XIX

Pesantren dalam periode ini, dapat dipandang sebagai sebuah sistem pendidikan yang
sangat unik, serta sebagai sebuah komunitas otonom di bawah komando para kyai yang
kharismatik. Signifikansi peran dan posisi kyai dalam kehidupan religius santri berada pada
sebuah atmosfir yang sangat kondusif untuk menjadi pendukung dan legitimasi atas apa yang
dinamakan “penguasa yang soleh”. Melihat fenomena seperti ini, maka Sultan Agung sebagai
penguasa mataram memberikan sejengkal tanah perdikan1 kepada komunitas santri yang terdiri
dari 300 pesantren, supaya mereka berhasil mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan
tersebut. Pada awalnya pesantren-pesantren ini bisa di katagorikan menjadi pesantren induk dan
pesantren tarekat. 2
Sejak periode walisongo pada abad XV – XVI hingga periode Sultan Agung pada abad
XVII tidak terdapat kesenjangan antara kehidupan istana dan komunitas pesantren, mereka
mempunyai hubungan yang harmonis. Sehingga banyak pegawai-pegawai istana kerajaan
mataram yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren yang jelas. Oleh karena hal
tersebut maka, terjadi pertumbuhan yang sangat signifikan terhadap Institusi-institusi Islam dan
mutu pendidikan tradisional. Menurut catatan resmi yang diberikan oleh pemerintah belanda di
jawa pada tahun 1831, jumlah lembaga pendidikan mencapai 1853 buah dengan jumlah siswa
mencapai 16,556 siswa. Laporan resmi lainya yang diberikan oleh Van den Berg pada tahun
1886 menunjukan bahwa jumlah lembaga pendidikan meningkat menjadi 14.929 dengan 222.663
siswa. Perkembangan ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa kaum muslim jawa banyak
yang di didik dalam institusi-institusi Islam yang kian marak, walaupun itu terjadi dalam sebuah
kondisi tekanan yang keras oleh kaum kolonial sejak dua abad sebelumnya. Ini menunjukan

1
yaitu sebuah tanah tertentu yang bebas dan istimewa, dimana pajak dan beban dari negara di tiadakan.
2
yakni pesantren takhassus dengan spesifikasi pengetahuan keIslaman dan tarekat. Yang mempelajari pelajaran
khusus secara mendalam serta belajar tarekat tertentu khususnya tarekat Qodiriyah, Naqsabandiyah dan Syatiriyah.
(lihat M. Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, hal 226-227. Dalam Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke
Nusantara; Jejak intelektual arsitek pesantren, hal 93
bahwa pendidikan telah menjadikan mereka lebih memiliki harga diri serta kemandirian dan
pada gilirannya menjadi inspirasi untuk melawan penindasan yang tengah berlangsung.3
Pesantren-pesantren dalam periode ini menunjukan gambaran yang lebih hidup dengan
keberhasilannya merespon berbagai tantangan internal maupun eksternal. Pesantren lebih
berfungsi sebagai cultural and educational institution dengan melanjutkan tradisi walisongo
ketimbang cenderung masuk ke institusi politik. Perlu diingat bahwa perjuangan masyarakat
pesantren dalam menjalin kerjasama dengan sultan yang saleh melawan kaum kolonial harus
lebih dilihat sebagai suatu komunitas yang diilhami oleh pemimpin yang religius, itu lebih efektif
daripada sebagai sebuah institusi. Pesantren tebuireng tahun 1899 misalnya mencerminkan
hubungan simbolis antara dimensi ideologis, kultural dan pendidikan. Tidak ada yang
menyangkal bahwa tujuan KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) mendirikan pesantren Tebuireng
pada pokoknya adalah untuk menyebarluaskan pengetahuan yang dia peroleh baik di Jawa
maupun di Arab. Dan tidak dapat dipungkiri pula bahwa perkembangan karier maupun
lembagannya, baik dalam arti sempit maupun luas, memiliki dimensi politis. Seseorang juga bisa
mengasumsikan bahwa motivasi politik melawan kaum kolonial yang ditunjukan oleh pesantren
Asy’ari merupakan manifestasi tertinggi dari kesadaran dan harga diri di kalangan komunitas
pesantren. Hal demikian juga sama yang terjadi di pesantren terkenal lainnya misalnya di
pesantren Tremas yang didirikan oleh kakek Mahfudz at Tirmisi KH Abdul Manan ( w. 1865)
pada tahun 1830 pesantren Tremas awalnya bertujuan untuk memperkenalkan pelajaran
membaca al Qur’an sebagai pemahaman dasar tentang pengetahuan keagamaan, khususnya
tauhid dan fikih dengan penekanan pada praktek peribadatan sehari-hari.4
Fenomena pesantren yang terjadi tersebut diatas, menunjukan bahwa pesantren-pesantren
tersebut di hadapkan pada problem-problem internal maupun eksternal yang terjadi pada masa
abad XIX. Pesantren baik sebagai sebuah institusi maupun komunitas mampu menunjukan
kekuatan politiknya. Walaupun kemudian hal semacam ini pada kenyataannya tidak dapat
dipisahkan sejak tahun 1830 saat pemerintah kolonial belanda melancarkan politik tanam paksa
secara besar-besaran. Karena mayoritas pesantren berlokasi di daerah pedalaman, maka
kebijakan pemerintah kolonial belanda itu dirasakan sangat memberatkan komunitas pesantren.
Tradisi pesantren memiliki rangkaian historis dan ideologis, yaitu menuntut ilmu ke tempat
yang sangat jauh tidak pernah berhenti. Kebiasaan ini bahkan semakin meningkat ketika
3
Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak intelektual arsitek pesantren, hal 94-96
4
Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak intelektual arsitek pesantren, hal 98
pemerintahan kolonial memperketat kontrol mereka atas pelajaran-pelajarannya. Khususnya
pada abad XIX, ketika para santri terkemuka berpetualang jauh hingga ke pusat dunia Islam,
mekkah dan madina dalam rangka belajar mengajar. Bahkan beberapa pemimpin santri seperti
Nawawi al Bantani, Mahfudz at Tirmisi berhasil menjadi guru-guru terkemuka baik di Makkah
maupun Madinah, semua kitab-kitab mereka ditulis dengan menggunakan bahasa arab dan
digunakan secara luas di berbagai negara Islam. Nawawi al Bantani dan Mahfud at Tirmisi
menempati posisi yang sangat terhormat dalam tradisi intelektual santri, karena peran mereka
sebagai model guru-guru orang Jawa yang ada di Arab. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh
mereka dalam memberikan kontribusi bagi peningkatan dan perkembangan masyarakat jawa
sunni. Mereka adalah bagian ulama internasional di arab dan mereka telah membangkitkan
kebanggaan nasional di kalangan santri jawa hingga saat ini.5
Meskipun Nawawi al Bantani bukan berasal dari keluarga pimpinan pesantren, akan tetapi
Mahfudz at Tirmisi berasal dari keluarga seorang perintis pesantren di Tremas Jawa Timur. Dia
di kirim oleh orang tuannya ke Mekah untuk melanjutkan studi agama Islam. Terbukti dia
menjadi seorang pelajar yang sangat berbakat sehingga dia menjalani kehidupan intelektualnya
di kota suci ini dan pada akhirnya dipromosikan menjadi seorang guru di Masjidil Haram. Ada
beberapa tokoh yang mempunyai tipikal yang sama yang telah belajar pada institusi yang sama,
namun berbeda dalam menentukan perjalanan karirnya pada abad XIX ini, mereka lebih
memilih untuk berkarir kembali ke nusantara dalam mengejar profesi akademik dengan mengajar
dan menulis secara produktif, diantara mereka adalah Ahmad Rifa’I Kalisasak, KH Abdullah at
Tirmisi, Kiai Soleh Darat semarang dan Ihsan Muhammad Dahlan dari Kediri. Mereka adalah
ulama-ulama yang mumpuni yang menjadi inspirator di kalangan pesantren dan para santri di
jawa.
Kyai Soleh Darat misalnya beliau merupakan guru utama dari para guru di pesantren Jawa
sebagaimana Mahfud at Tirmisi dan KH Asnawi Kudus, sebelum mereka menempuh pendidikan
yang lebih tinggi di Arab pada paruh pertama abad XIX, mereka telah memberikan kontribusi
yang sangat besar dengan mendorong para santri terkemuka pribumi untuk menuntut ilmu yang
lebih tinggi di Makkah sebagaimana yang telah mereka lakukan. Transmisi pengetahuan
keagamaan dalam masyarakat di tangan para kyai, ini baik dalam kapasitas sebagai pribadi
maupun kelembagaan itu tergantung pada hubungan antara para santri dan gurunya secara

5
Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak intelektual arsitek pesantren, hal 104
individual. Karena Pendidikan agama tidak hanya di khususkan bagi para penguasa saja, namun
juga terbuka untuk semua lapisan masyarakat, yang perlu di tekankan bahwa kebanyakan
aktivitas pendidikan masih ditempatkan di bawah induk system pendidikan agama yakni
pesantren. Proses pendidikan Islam harus menjadi bagian yang integral dari pendidikan Islam
secara luas.
Meskipun hubungan antara para kyai dengan santrinya tampak begitu informal, namun di
sana terdapat jaringan intelektual yang kuat diantara mereka. Ketika Nawawi al Bantani dan
Mahfudz at Tirmisi memutuskan untuk menghabiskan kehidupan intelektualnya di arab, maka
tiga orang murid utama mereka yaitu Khalil Bangkalan, Asnawi kudus dan Hasyim asy’ari
memilih mengabdikan diri kepada komunitas pesantren di Tanah air. Dan bahwa kemudian hari
ada pesantren besar yang lebih terkoordinir, maka itu diilhami dan dirancang oleh mereka pada
level nasional di bawah nama Nahdhatul Ulama, ini menjadi bukti bahwa hubungan intelektual
mereka tidak hanya terbatas pada masalah waktu dan tempat. Kemudian patut untuk di catat
bahwa pulau Jawa pada abad XIX terjadi upaya yang sangat massif oleh para pelajar dalam upaya
menuntut ilmu secara lebih intensif di arab. setelah mereka menguasai inti pengetahuan Islam,
mereka berupaya keras untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya, sehingga tidak di
ragukan lagi, ini berdampak pada perkembangan intelektual yang sangat membantu bagi
perkembangan intelektual kaum santri yang lainnya di tanah jawa yang kemudian pada masa
berikutnya terjadi pertumbuhan dan penciptaan lembaga pendidikan atau pesantren yang baru.
Mayoritas pesantren terkemuka di jawa memiliki keterkaitan intelektual dengan mereka
yang mengenyam pendidikan di Hijaz di bawah bimbingan dua guru utama dan tiga murid
mereka. Ketika penguasa muslim jawa cenderung menjadi pendukung ilmu pengetahuan Islam,
maka tradisi akdemik dalam masyarakat semakin tampak, yaitu tradisi melakukan perjalanan
dalam rangka mencari ilmu tumbuh subur dengan munculnya kelompok-kelompok sarjana baru
dan para sufi yang tersebar di pulau jawa. Para santri senang dalam berkelana dari pesantren satu
ke pesantren lainnya dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan dari seorang guru yang dianggap
mumpuni dan terkenal. Para santri biasanya belajar tafsir Al qur’an dan ilmu Hadits, fikih dan
tasawuf. Sehingga setelah memahami ilmu-ilmu tersebut mereka mempunyai tanggung jawab
untuk mengajarkannya kepada santri dan masyarakat lainnya. Dan tradisi ini berjalan hingga
turun temurun sehingga menjadi pola pendidikan yang berada di pesantren.

Anda mungkin juga menyukai