Bagian
I Awal dari Suatu
TantanganBab I
Pendahuluan
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
PENDIDIKAN dimengerti secara luas dan umum sebagai usaha
sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan,
pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik
mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya
pribadi yang dewasa-susila.' Kata “pendidikan” mengan-
dung sekurang-kurangnya empat pengertian, yaitu bentuk
kegiatan, proses, buah atau produk yang dihasilkan proses
tersebut, serta sebagai ilmu?
‘Dr. J. Sudarminta, 1990, Filsafat Pendidikan, IKIP Sanata Dharma,
Yogyakarta, hal. 12.
"bid., hal. 8.
3hKi Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, me-
rumuskan hakekat pendidikan sebagai usaha orang tua bagi
anak-anak dengan maksud untuk menyokong kemajuan
hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan ro-
hani dan jasmani yang ada pada anak-anak. Pendidikan juga
dimaksudkan untuk menuntun segala kekuatan yang ada
agar masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.? Pendidikan bertujuan untuk men-
dapatkan kesempurnaan hidup lahir dan bathin, baik sebagai
perseorangan, maupun sebagai anggota masyarakat sosial +
Prof. Dr. N. Driyarkara* mengatakan bahwa pendidikan
pada hakekatnya adalah suatu perbuatan fundamental da-
Jam bentuk komunikasi antarpribadi, dan dalam komunikasi
tersebut terjadi proses pemanusiaan manusia muda, dalam
arti proses hominisasi (proses menjadikan seseorang sebagai
manusia) dan humanisasi (proses pengembangan kema-
nusiaan manusia). Pendidikan harus membantu orang agar
seseorang secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia
dan bukan hanya secara instinktif saja. Jadi pendidikan
adalah proses hominisasi).
Undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional merumuskan pendidikan sama dengan pengertian
secara luas, bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
3Majelis Luhur Taman Siswa, 1976, Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta,
hal. 20.
‘Ima H.N. Hadi Soewito, 1985, Soewardi Soerjaningrat dalam Pe-
ngasingan, PN.Balai Pustaka, Jakarta, hal.106.
5N. Driyarkara, 1980, Tentang Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, hal.
87.
Vapengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.
Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang
No. 2 Tahun 1989 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu ma-
nusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan man-
diri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Rumusan tentang tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam UU No. 2 Tahun 1989 itu merupakan
penjabaran lebih lanjut dari tugas negara untuk mencer-
daskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh
Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan dalam Pasal 31 UUD
1945 yang menyatakan: (1) Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran, (2) Pemerintah mengusahakan penye-
lenggaraan satu sistem pengajaran nasional yang diatur
dengan Undang-Undang.
Ayat pertama Pasal 31 UUD 1945 di atas menunjukkan
bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menghormati dan
melindungi hak asasi individu yang berkedudukan sebagai
warga negara untuk mendapatkan pengajaran. Sedangkan
ayat dua menunjukkan bahwa pemerintah dalam alam ke-
merdekaan akan mewujudkan kewajiban melindungi hak
asasi untuk mendapatkan pendidikan bagi warga negara-
nya, dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional.®
°H. Hadari Nawawi dan H.Mimi Martini, 1994, Kebijakan Pendidikan
di Indonesig Ditinjau dari Sudut Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 41-42.
s]2. Kebijakan Pendidikan pada Masa Krisis
Pemerintah Indonesia telah berupaya melaksanakan
sebagian kewajiban itu dengan menyelenggarakan
pendidikan dari tingkat TK (Taman Kanak-Kanak) hingga
PT (Perguruan Tinggi), bahkan melalui kursus-kursus
(pendidikan nonformal). Komitmen pemerintah untuk
mencerdaskan bangsanya itu ditegaskan melalui program
wajib belajar enam tahun (1984) yang kemudian ditingkat-
kan menjadi program wajib belajar sembilan tahun (1994).
Sejak dicanangkan program wajib belajar sembilan tahun
itu berarti setiap warga Indonesia yang berusia 7-15 paling
rendah berpendidikan SLTP (sembilan tahun). Dan untuk
itu pemerintah membuka SLTP-SLTP baru di setiap ke-
camatan. Kecuali itu juga dibuka SLTP Terbuka di beberapa
wilayah. Semua itu dimaksudkan agar seluruh anak usia
sekolah mempunyai kesempatan yang sama untuk mem-
peroleh pelayanan pendidikan. Meskipun demikian, tidak
semua anak usia sekolah, terutama golongan miskin bisa
bersekolah.
Bagi golongan miskin pendidikan merupakan persoalan
yang dilematis. Di satu pihak kemiskinanlah yang membuat
mereka tidak bisa bersekolah, tapi di lain pihak karena tidak
bersekolah mereka sulit untuk bisa keluar dari lingkaran
kemiskinan. Bagi golongan miskin, pendidikan itu dianggap
sebagai beban karena terlalu banyaknya biaya yang harus
mereka keluarkan, sehingga muncul apriori bahwa pen-
didikan justru semakin memiskinkan kehidupan mereka.
Terjadinya krisis moneter, yang kemudian berkembang
menjadi multi krisis (ekonomi, politik, kepercayaan, dan bu-
daya) telah meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia
[6dari 22,5 juta jiwa (1996) menjadi sekitar 80 juta jiwa (1998).
Dampak lebih jauhnya adalah semakin banyaknya jumlah
anak usia sekolah yang tidak bisa bersekolah. Hal itu
ditandai dengan menurunnya angka partisipasi pendidikan.
Pada tahun ajaran 1998/1999 jumlah anak usia sekolah yang
tidak bersekolah diperkirakan mencapai 5-6 juta.
Komitmen pemerintah dalam pendidikan tidak berubah.
Meskipun dalam kondisi krisis ekonomi, pemerintah tetap
ingin mempertahankan kuantitas maupun kualitas
pendidikan dasar, terutama khususnya Sekolah Dasar (SD).
Ini penting agar setelah multi krisis ini berlalu, nasib bangsa
Indonesia, terutama kaum miskin tidak semakin terpuruk.
Melalui program “Aku Anak Sekolah” yang didukung oleh
lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World
Bank), Asia Development Bank (ADB), dan UNICEF pe-
merintah Indonesia memberikan dukungan beasiswa kepa-
da anak-anak tidak mampu serta dana bantuan operasional
(DBO) kepada sekolah-sekolah yang tidak mampu, dengan
tujuan untuk menyelamatkan kuantitas dan kualitas,
terutama pendidikan dasar. Program itu merupakan bagian
dari jaring pengaman sosial (JPS) khususnya dalam pen-
didikan.
Secara konseptual program tersebut memberikan
harapan baik bagi kelangsungan dan terjaganya mutu
pendidikan di Indonesia semasa krisis. Akan tetapi karena
birokrasi pelaksana di lapangan adalah birokrasi bentukan
Orde Baru yang sangat korup dan manipulatif, maka pro-
gram itu pun tidak banyak dampak positifnya: angka par-
tisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan
tetap menurun. Boleh jadi hal itu disebabkan oleh besarnya
dana yang salah sasaran.
73. Tujuan Penulisan
Berdasarkan realitas pendidikan seperti diuraikan di
atas, buku ini disusun dengan tujuan: Pertama, untuk
melihat dampak krisis terhadap pendidikan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, baik jangka pendek maupun
jangka panjang, beserta respon yang telah diberikan oleh
pemerintah untuk mengatasinya. Kedua, sebagai bahan
refleksi terhadap pengelolaan pendidikan pada masa Orde
Baru, dan ketiga, menawarkan alternatif lain (belum tentu
baru) tentang pengelolaan maupun pengembangan pendi-
dikan pada masa-masa mendatang, terutama setelah masa
multi krisis ini terlewati.
4. Kerangka Penulisan
Buku ini ditulis dengan maksud utama untuk melakukan
semacam evaluasi terhadap jalannya pendidikan pada masa
krisis. Sebagai bentuk evaluasi, buku ini disusun dengan
mengandalkan pada data yang berkembang selama tahun
ajaran 1998/1999. Pengambilan data sebagian besar bersum-
ber pada pemberitaan media cetak, seperti Kompas, Pos Kota,
Republika, Suara Pembaruan, Majalah D&R, dan Tempo. Tapi
juga diperoleh dari Departemen P dan K serta dari lapangan
langsung melalui wawancara. Data tersebut tidak dianalisis
dengan menggunakan metodologi analisis isi secara ketat
(sebagaimana dipakai dalam ilmu komunikasi), tapi dijadi-
kan semacam nara sumber yang tidak bisa bicara.Penulisan buku ini didasarkan pada kerangka perenca-
naan strategis,” yaitu melihat mission statement tentang
pendidikan nasional, menganalisis faktor internal untuk
mengetahui potensi dan kekurangan yang ada, serta analisis
faktor eksternal untuk mengetahui hal-hal yang meng-
hambat maupun yang menjadi peluang untuk mengem-
bangkan pendidikan nasional pada masa yang akan datang.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian dan terdiri dari tujuh
bab. Pada Bagian I yang terdiri dari pendahuluan dan
kronologi tentang krisis (Bab I dan II) dimaksudkan untuk
memberikan gambaran awal baik tentang kebijakan
pendidikan nasional maupun kronologi terjadinya krisis
moneter yang kemudian berkembang menjadi multi krisis.
Bagian II, yang terdiri dari tiga bab (Bab III, IV, V) secara
khusus membahas tentang dampak multi krisis terhadap
pendidikan nasional, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, serta respon yang diberikan untuk menghadapi
masalah tersebut. Sedangkan pada Bagian III yang terdiri
dari dua bab mencoba untuk merefleksikan kebijakan
pendidikan pada masa Orde Baru (Bab VI) dan menawarkan
alternatif kebijakan bagi pendidikan di masa yang akan
datang (Bab VII). Dengan struktur penulisan seperti itu
diharapkan dapat membantu mempermudah pembaca
untuk melihat dampak krisis terhadap pendidikan serta
mencari jalan keluarnya. Sekaligus mencari mode} pen-
didikan yang cocok untuk masa datang. 0
"Kajian dengan menggunakan kerangka perencanaan strategis,
dipakai pula dalam studi kebijakan tentang Pendidikan Dasar oleh
Oxfam (1998). Pilihan kerangka ini didasarkan pada hasil diskusi dengan
Wiladi Budiarga dan kawan-kawan di LPIST. Untuk itu dalam kesem-
patan ini saya patut berterima kasih kepada mereka.
alBab If
Dari Krisis Moneter
ke Multi Krisis
1. Kronofogi Krisis Ekonomi \”
PEMBANGUNAN Orde Baru selama 32 tahun telah berhasil
membuat masyarakat Indonesia terlelap dalam tidur
panjang. Mereka terbuai dalam alam mimpi indah yang di-
ciptakan oleh mesin-mesin kekuasaan Orde Baru, yang ber-
gerak dari bilik satu ke bilik lain milik setiap individu. Setiap
hari masyarakat selalu dipenuhi dengan impian, ibaratnya
tiada hari tanpa mimpi indah.
Orde Baru memang pandai membuat masyarakat hidup
dalam dunia impian: Mimpi hidup makmur, mimpi hidup
modern, mimpi tinggal landas, mimpi mempunyai industri
V0pesawat terbang yang canggih, dan mimpi-mimpi lain untuk
menjadi bangsa yang sesba “ter”, terbesar, terkemuka,
terkaya, tercanggih, dan ter-ter yang lain.
Tapi yang namanya mimpi tidak mudah menjadi kenya-
taan. Biasanya mimpi berakhir saat kita terbangun seperti
yang kita alami sekarang. Setelah 32 tahun kita tidur nyenyak
dibuai impian (indah), tiba-tiba kita terbangun oleh krisis
ekonomi, kita semua gragapan (gugup), semua jalan buntu,
akhirnya kita diam termangu-mangu, tidak dapat berbuat
apa-apa.
Sampai dengan awal tahun 1997 angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih berada di atas tujuh persen.
Bahkan ketika nilai tukar Bath (Thailand) atau nilai tukar
Won (Korea Selatan) terhadap dollar AS turun, masing-
masing pada bulan Mei dan Juni, para pejabat ekonomi
maupun ekonom di Indonesia begitu optimis rupiah tidak
akan ikut jatuh, fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat.
Dan ketika minggu III Juli 1997 nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS mulai merosot, para ekonom kita masih yakin,
tupiah tidak akan merosot lebih jauh, rupiah akan segera
pulih lagi karena fundamental ekonomi kita cukup kuat.
Tapi makin hari keyakinan para ekonom mulai mengen-
dor. Kondisi ekonomi nasional tidak membaik tapi justru
cenderung menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
semakin hari semakin merosot. Awal Juli 1997 nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS yang masih berkisar pada Rp
2.400/dollar terus menurun menjadi Rp 2.445/dollar pada
minggu kedua, dan pada akhir Juli 1997 menjadi Rp 2.580/
dollar. Kurs rupiah terus melorot sampai sekarang dengan
sedikit mengalami fluktuasi pada kurun waktu tertentu.
ulMerosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ber-
mula dari jatuh tempo pembayaran utang luar negeri sekitar
228 pengusaha besar di Indonesia pada waktu bersamaan.
Besarnya kebutuhan uang dollar AS untuk bayar utang itu
otomatis menaikkan nilai dollar AS. Itu soal hukum ekonomi
yang wajar, bila permintaan lebih besar daripada persediaan
otomatis harga naik.
Sampai tiga bulan pertama krisis moneter hanya dira-
sakan oleh kalangan pengusaha dan orang-orang di lapisan
ekonomi menengah ke atas yang dalam setiap transaksi
bisnisnya langsung bersentuhan dengan dollar AS. Industri-
industri yang inputnya memakai komponen impor dan dijual
dalam negeri, seperti elektronik, otomotif, obat-obatan, dll.
paling cepat merasakan dampak krisis. Juga mereka yang
punya pinjaman dalam dollar AS.
Tetapi menginjak awal tahun 1998 krisis itu mulai dirasa-
kan oleh seluruh lapisan masyarakat. Awalnya harga barang-
barang hanya naik berkisar antara 50-200%, tapi kemudian
mencapaiantara 100-400%, terutama setelah kurs rupiah meng-
alami fluktuasi dan pernah menembus angka Rp 17.000/
dollar AS. Banyak perusahaan tutup dan buruh banyak yang
di-PHK. Dana Moneter Internasional (International Monatary
Fund = IMF) memperkirakan jumlah pengangguran mencapai
24,8 juta jiwa. Bomer Pasaribu, Direktur Center for Labor
and Development Studies angka pengangguran dalam dua
tahun terakhir meningkat tajam. Jika pada tahun 1996 tingkat
pengangguran hanya berkisar 7%, kemudian pada tahun
1997 meningkat menjadi 9,8%, maka pada tahun 1998 pa-
ling tidak akan meningkat menjadi 21,8% dari total angkatan
kerja produktif, yang berjumlah 91,7 juta. Dengan kata lain
angka pengangguran yang ada sekarang sekitar 20 juta jiwa.’
TeHasil Survai Angkatan Kerja Nasional (Sukernas) Biro
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penduduk angkatan
kerja yang bekerja kurang dari 35 jam/minggu, yang disebut
pengangguran terselubung, mencapai 34,257 juta jiwa?
Meningkatnya angka pengangguran di satu pihak dan
harga barang-barang berkisar antara 100-400% di pihak lain
telah menambah angka kemiskinan di Indonesia. Jika pada
tahun 1996 jumlah orang miskin “tinggal” 22,5 juta jiwa, dan
kemudian meningkat menjadi 30 juta jiwa, maka pada pada
tahun 1998 jumlah orang miskin itu meningkat menjadi 80
juta jiwa (versi BPS). Sedangkan menurut versi IMF jumlah
orang miskin mencapai 124,5 juta jiwa2 Ini adalah konse-
kuensi logis saja, yaitu ketika daya beli masyarakat menurun,
otomatis standar hidup mereka pun turun.
Mereka yang kehilangan pekerjaan itu adalah para
buruh bangunan, buruh pabrik, buruh kasar, buruh rumah
tangga, sopir angkutan, pekerja di sektor informal, pengu-
saha kecil, dan pekerja sektor pariwisata. Sektor properti
dan pariwisata merupakan sektor yang merasakan pukulan
berat akibat krisis ekonomi.
Pada awalnya krisis ini hanya merupakan krisis moneter
dengan ditandai oleh turunnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS. Tapi setelah beberapa kebijakan moneter ditem-
puh dan tidak membawa hasil, maka kemudian berkembang
menjadi krisis ekonomi dan kemudian meluas menjadi kri-
sis politik. Usaha mengatasi krisis itu dilakukan dengan
)Majalah D&R, 28 Desember 1998-2 Januari 1999, hal. 49-50.
2Suara Pembaruan, 5/4 1999.
3Majalah D&R, Ibid.
slmengundang IMF untuk datang ke Indonesia. Pada Oktober
1997 IMF berjanji akan memberikan bantuan US$ 43 milyar
dengan beberapa persyaratan, antara lain: perbaikan sektor
perbankan, penghapusan monopoli, Bulog hanya dibatasi
untuk urusan beras, penghapusan subsidi BBM, IPTN, Mobil
Nasional Timor, dan penundaan sejumlah megaproyek. Tapi
kesepakatan itu tidak pernah dijalankan semua oleh Soeharto
sehingga reaksi pasar kembali negatif. Akhirnya pada tanggal
15 Januari 1998 Soeharto kembali menandatangani Letter of
Intent Il yang berisi 50 butir di hadapan Presiden IMF Michel
Camdesus untuk melakukan reformasi ekonomi, seperti
yang dianjurkan IMF, termasuk di dalamnya adalah revisi
terhadap RAPBN, yang terjadi baru pertama kali dalam
sejarah Orde Baru (isi lengkap 50 butir kesepakatan itu lihat
lampiran).
RAPBN Tahun Anggaran 1998/99, meskipun dinyatakan
telah mencerminkan keprihatinan pemerintah dan bangsa,
tapi dinilai oleh IMF masih terlalu ambisius dan justru akan
semakin memberatkan pemerintah. Misalnya, pemerintah
mematok angka pertumbuhan 4%, inflasi ditargetkan 9%,
subsidi BBM sebesar Rp 10,1 triliun, nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS juga dipatok Rp 4.000,-, dan tabungan
pemerintah 1% dari PDB.
Untuk melaksanakan reformasi ekonomi ini, Presiden
Suharto membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Eko-
nomi dan Keuangan dengan susunan sebagai berikut: Presi-
den Suharto (Ketua), Prof. Dr. Widjojo Nitisastro (Sekjen),
dengan para anggota sejumlah menteri kabinet.
Tapi ternyata langkah-langkah yang ditempuh oleh
Soeharto, termasuk pula penandatanganan Letter of Intent II
tidak membawa hasil. Reformasi ekonomi yang telah
Tisditandatangani antara Soeharto-IMF itu ibaratnya keluar
dari mulut buaya lalu masuk ke mulut singa, sama-sama
tidak menyenangkan. Program reformasi ekonomi yang di-
tawarkan oleh IMF justru dinilai akan semakin menyengsa-
rakan kehidupan rakyat miskin, terutama menyangkut peng-
hapusan subsidi untuk sektor-sektor yang menyentuh ke-
pentingan publik, seperti bahan bakar minyak (BBM) —yang
akan berdampak pada kenaikan harga barang dan biaya
hidup—,, dicabutnya monopoli Bulog untuk tata niaga kacang
kedelai, gula, dan terigu. Ini juga berdampak pada naiknya
harga bahan-bahan itu.
Ketidakmampuan Soeharto membawa bangsanya keluar
dari krisis ekonomi telah mendorong perubahan politik
dalam negeri. Masyarakat mendesak agar Soeharto mundur
dari jabatannya. Namun, tuntutan itu tidak pernah dide-
ngarkan oleh para wakil rakyat. Sebaliknya, sejumlah aktivis
justru diculik (belakangan diketahui oleh Komando Pasukan
Khusus, Kopasus) dan Harmoko sebagai Ketua DPP Golkar
menyatakan kepada Soeharto, bahwa seluruh rakyat Indo-
nesia menghendaki Soeharto menjadi presiden lagi.
Diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden RI
ketujuh kali dan BJ. Habibie sebagai wakilnya pada tanggal
10-11 Maret 1998 dan kemudian diikuti pengangkatan
sejumiah menteri Kabinet Pembangunan VII yang berbau
nepotisme, seperti Bob Hasan (kroni), Siti Hardiyanti Ruk-
mana (Tutut, anak), Haryanto Danutirto dan Abdul Latif
(yang dinilai korup), justru mengundang respon sangat
negatif, terutama dari kalangan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa menolak kepemimpinan Soeharto
makin meluas di mana-mana. Tertembaknya empat maha-
siswa Universitas Tri Sakti Jakarta (12 Mei 1998) dalam aksi
sldemo di depan kampusnya dan munculnya aksi kerusuhan
antara 13 - 15 Mei 1998 di Jakarta, Solo, dan Medan yang
menelan korban ribuan nyawa manusia telah mendorong
mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan pada akhir-
nya berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri dari
bangku kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998.
Pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil
Presiden BJ. Habibie semula diharapkan memberikan
perubahan, tapi kenyataannya sampai sekarang keadaan
perekonomian kita makin terpuruk. Sejak awal pencalonan
BJ. Habibie sebagai wakil presiden memang telah menim-
bulkan pro dan kontra. Sikap pro versus kontra itu masih
berlanjut sampai sekarang.
Tidak bulatnya suara yang mendukung kedudukannya
sebagai presiden itu memaksa Habibie selama enam bulan
awal masa jabatannya sibuk untuk mencari legitimasi.
Bahkan upaya mencari legitimasi itu masih berlanjut sampai
sekarang. Tapi sampai sekarang masyarakat menilai Habibie
tidak konsisten. Pada awal pemerintahannya ia menyatakan
tidak bersedia untuk dipilih menjadi presiden untuk kedua
kalinya, tapi sekarang ia telah menerima (bersedia) menjadi
calon presiden tunggal dari Partai Golkar.
Secara politis, Habibie memang telah melakukan bebe-
rapa perubahan seperti terciptanya kebebasan pers (tanpa
embel-embel), dicabutnya lima paket UU Politik, munculnya
multi partai, dibebaskannya sejumlah tahanan politik,
termasuk 10 tahanan “G30S PKI”, penghapusan penataran
P4, pencabutan UU Subversif, opsi otonomi seluas-luasnya
atau merdeka bagi Timor Timur, dan dilepasnya polisi dari
ABRI per 1 April 1999. Tapi di lain pihak Habibie juga mem-
buat UU tentang Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di
TisMuka Umum, UU Bela Negara, dan akan melaksanakan
penataran Wawasan Kebangsaan sebagai ganti penataran
P4. Jadi istilahnya saja yang berbeda tapi isinya sama.
Ketidakkonsistenan BJ. Habibie ini telah berakibat pada
buruknya kinerja ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi
tahun 1998 mengalami penurunan dari 4,9 (1997) menjadi -
13,7% sedangkan angka inflasi mencapai 80%. Sedangkan
besarnya defisit APBN untuk tahun anggaran 1998/1999 dan
1999/2000 akan mencapai 6% dari PDB tahunan.* Pertum-
buhan yang buruk itu diikuti dengan merosotnya keperca-
yaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), persetujuan PMDN (Penanaman Modal
Dalam Negeri) anjlok dari 718 proyek dengan nilai investasi
Rp 119,872 triliun pada tahun 1997, pada tahun 1998 turun
menjadi 324 proyek dengan nilai investasi Rp 60,749 triliun.
Dan pada tahun 1999 ini baru 15 proyek yang disetujui.
Hal yang sama terjadi pada PMA (Penanaman Modal
Asing). Jika pada tahun 1997 mencapai 790 proyek dengan
nilai investasi sebesar US$33,832 miliar, tahun 1998 jumlah
proyek meningkat menjadi 1.035 proyek, tapi nilai inves-
tasinya turun menjadi US$ 13,563 miliar, maka pada tahun
1999 baru 87 proyek yang disetujui dengan nilai investasi
US$ 232 juta>
Keraguan para investor itu selain karena kebijakan eko-
nomi yang tidak jelas, juga karena karena banyak investor
4Anwar Nasution, Dr., “Kondisi dan Prospek Ekonomi Makro Indo-
nesia”, makalah seminar 17 Mei 1999.
‘Suara Pembaruan, 3/4 1999.
71meragukan keamanan usaha mereka di Indonesia. Selama
masa kekuasaan Habibie aksi-aksi kerusuhan muncul di
mana-mana dan menghancurkan seluruh sendi-sendi ke-
hidupan masyarakat, seperti aksi pembunuhan dukun Santet
di Banyuwangi (Jawa Timur) dan Ciamis (Jawa Barat), aksi
kerusuhan di Kupang (NTT), Ambon (Maluku), Sambas dan
Singkawang (Kalimantan Barat), Aceh, dan Timor Timur.
Kerusuhan-kerusuhan itu sampai sekarang belum disele-
saikan secara tuntas.
2. Harapan Akan Impian
Pemilihan Umum (Pemilu) yang dijadwalkan akan
berlangsung 7 Juni 1999, semula diharapkan akan menjadi
momentum penting untuk memperoleh pemerintahan yang
legitimate dan sekaligus untuk melakukan pembaruan
ekonomi serta politik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya,
Pemilu menimbulkan kecemasan di masyarakat, terutama
menyangkut kerusuhan yang muncul di seputar Pemilu.
Bentrok antarpartai yang terjadi jauh sebelum pelaksanaan
kampanye dan menelan korban jiwa maupun harta benda,
seperti di Brebes, Purbolinggo, Jepara (Jawa Tengah), Yogya-
karta, dan Bali telah meningkatkan kecemasan masyarakat:
terjadi aksi borong bahan-bahan kebutuhan pokok, sekitar
72.000 orang Indonesia mengungsi ke luar negeri, sejumlah
tempat usaha (pabrik dan toko) tutup dalam satu bulan, dan
banyak negara menghimbau warganya untuk tidak ber-
kunjung ke Indonesia sampai batas waktu yang belum dapat
ditentukan. Semua itu semakin membuat perekonomian
nasional makin terpuruk, sehingga prospek perekonomian
nasional tahun 1999 diperkirakan masih sulit. Berdasarkan
fisasumsi yang dipakai untuk menyusun APBN 1999/2000,
angka pertumbuhan ekonomi diperkirakan 0 persen, laju
inflasi 17%, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar se-
kitar Rp 7.500,- per dolar AS.
Harapan akan impian membaiknya perekonomian na-
sional itu mulai kembali muncul ketika usai pelaksanaan
pemilu, yang ternyata berlangsung secara demokratis, tidak
menimbulkan huru-hara, dan munculnya partai-partai
teformis (PDIP, PKB, dan PAN) sebagai pemenangnya.
Impian itu seolah hampir terwujud ketika kurs rupiah mulai
menguat dari di atas Rp 8.000,- per dolar AS turun menjadi
di bawah Rp 7.000,- per dolar AS. Namun, harapan akan
tetap menjadi harapan bila iklim politik nasional semakin
tidak menentu sehubungan dengan masalah pencalonan
presiden, baik B,J. Habibie maupun Megawati yang sama-
sama menimbulkan kontroversial dari masing-masing kubu
Jawan.
Semakin tidak menentunya situasi politik, bisa mem-
perburuk kinerja perekonomian nasional, dan itu berarti
semakin banyak orang yang hidup menderita. Sulit kiranya
mengharapkan perbaikan tarap hidup masyarakat pada saat
sekarang maupun tiga tahun ke depan. Konsekuensi dari
buruknya kualitas hidup masyarakat itu adalah makin
buruknya kualitas sumber daya manusia. Sebab, pendidikan
yang merupakan institusi utama untuk mencerdaskan
masyarakat dihadapkan pada kendala yang sangat besar,
yaitu keterbatasan biaya; baik biaya operasional bagi seko-
lah, peningkatan pendidikan guru, maupun biaya pendi-
dikan bagi masyarakat (siswa) yang tidak mampu. Akhirnya
anak-anak orang miskin banyak yang memilih tidak ber-
sekolah karena tidak ada biaya pendidikan.
ioBesarnya jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah
merupakan persoalan serius, mengingat ke depan kita akan
menghadapi persaingan global dan untuk itu memerlukan
dukungan sumber daya manusia yang berkualitas. Tapi di
pihak lain, kesempatan kita untuk melakukan peningkatan
kualitas sumber daya manusia justru terhambat karena
adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Inilah
tantangan besar kita.
Salah satu upaya pemerintah untuk merespon persoalan
ini adalah melalui program jaring pengaman sosial (JPS).
Tetapi karena pelaksanaannya kurang terencana dengan baik
dan tidak didukung oleh aparat yang bersih dan berpengalam-
an, maka program itu tidak sampai pada sasaran yang mem-
butuhkan. 5