Pengertian Kisi-kisi
Kidi-kisi adalah suatu format atau matriks yang memuat kriteria tentang soal-soal yang
diperlukan atau yang hendak disusun. Kisi-kisi juga dapat diartikan test blue-print atau table of
specification merupakan deskripsi kompetensi dan materi yang akan diujikan. Wujudnya adalah
sebuah tabel yang memuat tentang perperincian materi dan tingkah laku beserta
imbangan/proporsi yang dikehendaki oleh penilai. Tiap kotak diisi dengan bilangan yang
menunjukkan jumlah soal (Suhasimi, 2007:185). Tujuan penyusunan kisi-kisi adalah untuk
menentukan ruang lingkup dan sebagai petunjuk dalam menulis soal.
B. Fungsi Kisi-kisi
1. Panduan/pedoman dalam penulisan soal yang hendak disusun
Pedoman penulisan soal meurupakan aspek tepenting ketika guru hendak memberikan soal
kepada siswa, pedoman tersebut akan menjadi acuan bagi guru dalam penulisan soal sehingga
akan memudahkan dalam pembuatan soal.
2. Penulis soal akan menghasilkan soal-soal yang sesuai dengan tujuan tes.
Tes merupakan bahan evaluasi guru terhadap keberhasilan peserta didik dalam pembelajaran
yang disampaikan, guru dalam mengevalusi peserta didik akan memberikan soal tes evaluasi
yang bermacam-macam sesuai dengan tujuan pencapaian evalusi terhadap pembelajaran tertenu.
Dalam pembuatan soal yang menggunakan kisi-kisi, penulis akan menghasilkan soal-soal yang
sesuai dengan tujuan tes.
3. Penulis soal yang berbeda akan menghasilkan perangkat soal yang relatif sama, dari segi tingkat
kedalamannyas segi cakupan materi yang ditanyakan.
Penulisan kisi-kisi berfungsi untuk menselaraskan perangkat soal, sehingga hal ini juga akan
mempermudah dalam proses evaluasi.
Keterangan:
Isi pada kolom 2, 3. 4, dan 5 adalah harus sesuai dengan pernyataan yang ada di dalam
silabus/kurikulum. Penulis kisi-kisi tidak diperkenankan mengarang sendiri, kecuali pada kolom
6.
1. Tes TipeSubyektif
Istilah subyektif di sini diartikan sebagai adanya faktor lain di luar kemampuan
testi dan perlengkapan instrumen tes yang mempengaruhi proses pemeriksaan dan hasil
akhir berupa skor/nilai. Bentuk soal tes tipe subyektif adalah bentuk uraian (essay). Hal
ini disebabkankarena untuk menjawab soal tersebut siswa dituntut untuk menyusun
jawaban secara terurai. Selain harus menguasai materi tes, siswa dituntut untuk bisa
mengungkapkannya dalam bahasa tulisan dengan baik.
C. Skala penskoring
1. Skala 0 – 10
Dalam penggunaan skala 10, skor aktual siswa ditransfer ke dalam 10 kelompok
nilai, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan anjuran
pada kurikulum 1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin pengetahuannya
tidak bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0 (nol) ditiadakan. sehingga
memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10, guru jarang
memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6.
Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir 1) akan keluar di
rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2. Skala 0 – 100
Memang diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan
skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Untuk
itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih
halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya
dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64. Nilai dengan
menggunakan skala 100 disebut skor T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai
dengan menggunakan skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3. Skala baku (skor Z dan skor T )
Skala baku (standar) disebut juga skala z, dan nilainya disebut nilai baku atau nilai z.
Dasarnya adalah kurva normal baku yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan baku s = 1.
4. Skala Huruf (skala lima)
Skala lima disebut juga dengan skala huruf karena nilai akhir tidak dinyatakan dengan
angka (bilangan), malainkan dengan huruf A, B, C, D, dan E. Beberapa pakar evaluasi
pendidikan ada pula yang menggunakan huruf F (failure) atau huruf G (gagal) sebagai pengganti
nilai E.
2) Penskoran ada koreksi jawaban, yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada
butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
3) Penskoran dengan butir beda bobot, yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda
pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan tingkatan kognitif
(pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah dikontrak guru.
Anda juga dapat membedakan bobot butir soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir
soal yang dikembangkan dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku
pegangan diberi bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai
berikut.
Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain
kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis
4, sintesis 5, dan evaluasi 6.
Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20
butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal analisis dari 2 butir, dan 1
butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1. Contoh Pemberian Skor
Jadi skor yang diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%
Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh akan
sangat beraneka ragam. Untuk menentukan standar lebih dahulu, tentulah sukar. Sebagai upaya
untuk meminimalisir hambatan tersebut adalah dengan mengikuti beberapa langkah-langkah
berikut yang harus dilakukan guru pada waktu mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca
seluruh jawaban, guru dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikan
siswa secara keseluruhan.
2. Menentukan angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya, jika jawabannya lengkap diberi angka
5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban yang paling rendah.
Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya kita perlu berpikir bahwa tidak
ada unsur tebakan. Dengan demikian ada dua pendapat, satu pendapat menentukan angka 1 atau
2 bagi jawaban yang salah, tetapi pendapat lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu
saja bagi jawaban yang kosong (tidak ada jawaban sama sekali), jelas diberikan angka 0.
3. Memberikan angka bagi soal pertama
4. Membaca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan
pemberian angka untuk soal kedua.
5. Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk tes soal berikutnya, dan seterusnya hingga seluruh
soal diberi angka.
6. Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Setelah mempelajari hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dengan membaca terlebih
dahulu seluruh jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin tidak ada
seorang pun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor soal.
Menghadapi situasi seperti ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya,
untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur, padahal kita
menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap itulah kita berikan angka 5,
sedangkan untuk yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka lebih sedikit, yaitu
misalnya 3,5; 2; 1,5 dan seterusnya.
Dengan cara ini maka pemberian angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten
atau tetap dari kelas ke kelas atau dari tahun ke tahun.
Uraian penjelasan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka
menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test), maka langkah-
langkah yang dilakukan akan berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan ulang adalah sebagai
berikut:
1. Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban
yang telah disusun
2. Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3. Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban yang paling
lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang
dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.
Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk
uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4 butir, sedang bentuk
uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40
dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.
Dimana, T adalah singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh:
Banyaknya soal = 10 buah
Jawaban salah = 2 buah
Angkanya adalah
Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika
rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10,
yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya
adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk
tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat
berminat.
Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal
yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik
yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti
benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang
sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti
kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang
dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang
gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor
30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang
memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24
dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik
dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya baik
jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna
(skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan
berhasil dan dengan kategori sempurna.
Tabel 6.4. Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut