Anda di halaman 1dari 22

A.

Pengertian Kisi-kisi
Kidi-kisi adalah suatu format atau matriks yang memuat kriteria tentang soal-soal yang
diperlukan atau yang hendak disusun. Kisi-kisi juga dapat diartikan test blue-print atau table of
specification merupakan deskripsi kompetensi dan materi yang akan diujikan. Wujudnya adalah
sebuah tabel yang memuat tentang perperincian materi dan tingkah laku beserta
imbangan/proporsi yang dikehendaki oleh penilai. Tiap kotak diisi dengan bilangan yang
menunjukkan jumlah soal (Suhasimi, 2007:185). Tujuan penyusunan kisi-kisi adalah untuk
menentukan ruang lingkup dan sebagai petunjuk dalam menulis soal.
B. Fungsi Kisi-kisi
1. Panduan/pedoman dalam penulisan soal yang hendak disusun
Pedoman penulisan soal meurupakan aspek tepenting ketika guru hendak memberikan soal
kepada siswa, pedoman tersebut akan menjadi acuan bagi guru dalam penulisan soal sehingga
akan memudahkan dalam pembuatan soal.
2. Penulis soal akan menghasilkan soal-soal yang sesuai dengan tujuan tes.
Tes merupakan bahan evaluasi guru terhadap keberhasilan peserta didik dalam pembelajaran
yang disampaikan, guru dalam mengevalusi peserta didik akan memberikan soal tes evaluasi
yang bermacam-macam sesuai dengan tujuan pencapaian evalusi terhadap pembelajaran tertenu.
Dalam pembuatan soal yang menggunakan kisi-kisi, penulis akan menghasilkan soal-soal yang
sesuai dengan tujuan tes.
3. Penulis soal yang berbeda akan menghasilkan perangkat soal yang relatif sama, dari segi tingkat
kedalamannyas segi cakupan materi yang ditanyakan.
Penulisan kisi-kisi berfungsi untuk menselaraskan perangkat soal, sehingga hal ini juga akan
mempermudah dalam proses evaluasi.

Kisi-kisi yang baik harus memenuhi persyaratan berikut ini:


a. Kisi-kisi harus dapat mewakili isi silabus/kurikulum atau materi yang telah diajarkan secara
tepat dan proporsional.
b. Komponen-komponennya diuraikan secara jelas dan mudah dipahami.
c. Materi yang hendak ditanyakan dapat dibuatkan soalnya.
C. Penulisan Kisi-kisi
Penulisan kisi-kis soal adalah kerangka dasar yang dipergunakan untuk penyusunan soal
dalam evaluasi proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan kisi-kisi soal ini, maka seorang
guru dengan mudah dapat menyusun soal-soal evaluasi. Kisi-kisi soal inilah yang memberikan
batasan guru dalam menyusun soal evaluasi.
Dengan kisi-kisi penulisan soal maka tidak akan terjadi penyimpangan tujuan dan sasaran
dari penulisan soal untuk evaluasi penulisan soal. Guru hanya mengikuti arah dan isi yang
diharapkan dalam kisi-kisi penulsan soal yang dimaksudkan.
Dalam penulisan kisi-kisi soal, guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Nama sekolah
Nama sekolah ini menunjukkan tempat penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang
akan dievaluasi proses pembelajarannya. Ini merupakan identitas sekolah.
2. Satuan pendidikan
Satuan pendidikan menunjukkan tingkatan pendidikan yang menyelenggarakan proses
pendidikan dan akan dievaluasi. Satuan pendidikan ini misalnya SD, SMP, SMA/SMK.
3. Mata Pelajaran
Mata pelajaran yang dimaksudkan dalam hal ini adalah mata pelajaran yang akan dibuatkan kisi-
kisi soal dan dievaluasi hasil belajar anak-anak. Misalnya Matematika.
4. Kelas/semester
Kelas/semester menunjukkan tingkatan yang akan dievaluasi, dengan menvantumkan kelas atau
semsester ini, maka kita semakin tahu batasan materi yang akan kita jadikan soal evaluasi proses.
5. Kurikulum acuan
Seperti yang kita ketahui model kurikulum di negeri ini selalu berganti, akhirnya ada tumpah
tindih antara kurikulum yang digunakan dan kurikulum baru. Untuk hal tersebut maka kita
informasikan kurikulum yang digunakan dalam penyusunan kisi-kisi penulisan soal. Misalny,
KTSP.
6. Alokasi waktu
Alokasi waktu ini ditulis sebagai penyediaan waktu untuk penyelesaian soal. Dengan alokasi ini,
maka kita dapa memperkirakan kesulitan soal. Dan jumlah soal yang harus dibuat guru agar
anak-anak tidak kehabisan waktu saat mengerjakan soal.
7. Jumlah soal
Jumlah soal menunjukkan berapa banyak soal yang harus dibuat dan dikerjakan anak-anak sesuai
dengan jatah alokasi waktu yang sudah dikerjakan untuk ujian bersangkutan. Dalam hal ini guru
sudah memperkirakan penggunaan waktu untk masing-masing soal.
8. Penulis/guru mata pelajaran
Ini menunjukkan identias guru mata pelajaran atau penulis kisi-kisi soal. Hal ini sangat penting
untuk mengetahui tingkat kelayakan seseorang dalam penuisan kisi-kisi dan soalnya.
9. Standar kompetensi
Standar kompetensi menunjukan kondis standar yang akan dicapai oleh peserta didik setelah
mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan standar kompetensi ini maka guru dan
anak didik dapat mempersiapakan segala yang harus dilakukan.
10. Kompetensi dasar
Kompetensi dasar menunjukkan hal yang seharusnya dimiliki oleh anak didik setelah mengikuti
proses pendidikan dan pembelajaran. Dalam penulisan kisi-kisi soal aspek ini kita munculkan
untuk mengevaluasi tingkat pencapaiannya.
11. Materi pelajaran
Ini menunjukkan semua materi yang diberkan untuk proses pendidikan dan pembelajaran.
Dalam penulisan kisi-kisi soal, aspek ini merupakan batasan isi dari materi pelajaran yang kita
jadikan soal.
12. Indikator soal
Indicator soal menunjukan perkiraan kondisi yang diambil dalam soal ujian. Indikasi yang
bagaimana dari materi pelajaran yang diterapkan disekolah.
13. Bentuk soal
Bentuk soal yang dimaksudkan adalah subjektif tes atau objektif tes. Untuk memudahkan kita
dalam menyusun soal, maka kita harus menentukan bentuk yes dalam setiap materi pelajaran
yang kita ujikan dalam proses evaluasi.
14. Nomor soal
Nomor soal menunjukkan urutan soal untuk materi atau soal yang guru buat. Dal hal ini, setiap
standar kompetensi dan kompetensi dasar, penulisan nomor soal dikisi-kisi penulisan soal tidak
selalu berurutan.guru dapat menulis secara acak. Misalnya, standar kompetensi A dan komptensi
dasar A1 dapat saja diletakkan pada nomor 3 dan seterusnya sehingga tidak selalu standar
kompetensi pertama dan kompetensir dasar pertama harus diurutkan di nomor satu.
D. Penentuan dan Penyebaran Soal
Sebelum menyusun kisi-kisi dan butir soal perlu ditentukan jumlah soal setiap
kompetensi dasar dan penyebaran soalnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh penilaian
akhir semester berikut ini.
Contoh penyebaran butir soal untuk penilaian akhir semester ganjil
Jumlah soal tes Jumlah
No Kompetensi Materi tulis soal
Dasar PG Uraian Praktik
1 1.1 ............ ........... 6 -- --
2 1.2 ............ ........... 3 1 --
3 1.3 ............ ........... 4 -- 1
4 2.1 ............ ........... 5 1 --
5 2.2 ............ ........... 8 1 --
6 3.1 ............ ........... 6 -- 1
7 3.2 ........... ........... -- 2 --
8 3.3 .......... ........... 8 -- --
Jumlah soal 40 5 2

E. Format Penulisan Kisi-kisi Soal

KISI-KISI PENULISAN SOAL

F. Jenis sekolah :……………………… Jumlah soal :…………


G. Mata pelajaran:……………………… Bentuk soal/tes : ..................
H. Kurikulum : ……………………… Penyusun : 1. …………………
I. Alokasi waktu: ……………………… 2. …………………
No. Standar Kompetensi Kls/ Materi Indikator Nomor
Kompetensi Dasar smt pokok soal soal

Keterangan:
Isi pada kolom 2, 3. 4, dan 5 adalah harus sesuai dengan pernyataan yang ada di dalam
silabus/kurikulum. Penulis kisi-kisi tidak diperkenankan mengarang sendiri, kecuali pada kolom
6.

1. Tes TipeSubyektif
Istilah subyektif di sini diartikan sebagai adanya faktor lain di luar kemampuan
testi dan perlengkapan instrumen tes yang mempengaruhi proses pemeriksaan dan hasil
akhir berupa skor/nilai. Bentuk soal tes tipe subyektif adalah bentuk uraian (essay). Hal
ini disebabkankarena untuk menjawab soal tersebut siswa dituntut untuk menyusun
jawaban secara terurai. Selain harus menguasai materi tes, siswa dituntut untuk bisa
mengungkapkannya dalam bahasa tulisan dengan baik.

2. Tes Tipe Obyektif


Istilah obyektif adalah tidak adanya faktor lain yang mempengaruhi proses
pemeriksaan pekerjaan testi dan penentuan skor/nilai akhir yang diberikan oleh terter.
Jadi benar-benar murni hasil pekerjaan siswa.Istilah lain dari tes tipe obyektif adalah tes
dengan jawaban singkat (short answer test). Dinamakan demikian karena tes ini hanya
memerlukan jawaban yang pendek, singkat tapi tepat. Siswa (testi) cukup hanya dengan
memberikan tanda silang (X) atau tanda cek (√) saja pada jawaban yang paling tepat yang
telah tersedia.
Menurut bentuknya tes tipe obyektif terdiri dari 4 macam, yaitu:
a. Bentuk Benar-Salah (True-False)
Tes bentuk Benar-Salah soalnya disajikan dalam bentukpernyataan (stem).
Pernyataan tersebut mengandung nilai kebenaran Benar (B) atau Salah (S).
b. Bentuk Pilihan Ganda (Multiple Choise)
Dilihat dari strukturnya, soal pilihan ganda terdiri dari dua bagian, yaitu
pokok soal (stem) yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan dan sejumlah
pilihan atau kemungkinan jawaban (option).Dari sejumlah pilihan jawaban yang
disediakan, hanya ada satu jawaban yang benar atau yang paling benar, yang
disebut kunci jawaban, sedangkan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang lain
disebut pengecoh (distractor). Tugas testi (murid, siswa, peserta tes) adalah
memilih salah satu di antara jawaban yang tersedia, yang benar atau yang paling
benar.
Ragam soal bentuk pilihan ganda telah dikembangkan menjadi lima
macam, yaitu
a) Pilihan Ganda Biasa
Soal jenis ini terdiri dari stem atau pokok soal berupa pernyataan yang
belum lengkap atau kalimat pertanyaan, diikuti oleh empat atau lima
alternatif jawaban yang merupakan pelengkap dari pernyataan dalam
stem atau jawaban dari pertanyaan dalam stem. Dari kemungkinan-
kemungkinan jawaban yang tersedia hanya ada satu jawaban yang
benar. Testi ditugaskan untuk memilih jawaban yang paling tepat
dengan cara menyilang atau melingkari abjad alternatif jawaban itu.
b) Hubungan Antar Hal
Soal jenis ini terdiri atas dua buah pernyataan yang dihubungkan
dengan kata “sebab”. Kedua pernyataan ini dapat benar atau salah,
atau dapat juga pernyataan yang satu benar sedangkan yang lainnya
salah. Apabila kedua pernyataan itu benar, yang perlu diperhatikan
ialah apakah kedua pernyataan itu mempunyai hubungan sebab akibat
atau tidak?
c) Analisis (tinjauan) Kasus
Soal dalam ragam ini merupakan suatu uraian yang memuat satu atau
beberapa kasus (konsep matematika), siswa (testi) ditugaskan untuk
merincikasus-kasus yang terkandung dalam soal tersebut. Kasus-kasus
yang relevan telah diuraikan dalam bentuk option, testi tinggal
memilihnya untuk kasus yang benar. Biasanya uraian tersebut
merupakan simulasi keadaan nyata, sehingga testi seakan-akan
menghadapi keadaan sebenarnya.
d) Asosiasi Pilihan Ganda (Pilihan Ganda Kompleks)
Ragam pilihan ganda kompleks bentuknya hampir sama dengan ragam
pilihan ganda biasa, yaitu melengkapi pokok soal dengan pilihannya.
Hal yang membedakannya dari bentuk yang pertama ialahbahwa
dalam ragam pilihan ganda kompleks alternatif jawaban yang benar
bisa lebih dari satu.
e) Membaca Diagram
Ragam pilihan ganda ini bentuknya sama dengan bentuk pilihan ganda
biasa (melengkapi pilihan), perbedaannya terletak pada pokok masalah
yakni disajikan dengan menggunakan gambar, diagram, atau
tabel.c.Bentuk Menjodohkan (Matching Item)Bentuk ini terdiri dari
dua kelompok, yaitu kelompok pertama berisi stem atau pokok
masalah (soal) yang biasanya ditulis di sebelah kiri. Kelompok kedua
berisi kemungkinan jawaban atau option.d.Bentuk Melengkapi
(Completion)Soal bentuk melengkapi seringkali disebut dengan tes
isian singkat atau menyempurnakan. Pada tes bentuk ini testi diminta
untuk melengkapi pokok masalah (soal) dengan cara mengisi titik-titik
atau tempat kosong sebagai pelengkap kalimat dalam soal. Jadi soal
bentuk melengkapi ini disajikan dalam bentuk pernyataan (bukan
pertanyaan) yang kalimatnya belum selesai

2.1 Konsep Penilaian Dan Penskoran


A. Definisi Penskoran
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen
menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam
instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Skor
adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dari
setiap butir soal yang telah di jawab dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban
yang benar.
Maka dapat disimpulkan bahwa Penskoran (skoring) adalah suatu proses pengubahan
jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh
dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab dengan benar oleh siswa.
Skor maksimum tidak selalu tetap, karena ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot soal-
soal tesnya.
Dalam menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu yaitu :
1. Pembantu menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban
2. Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring
3. Pembantu menentukan angka, disebut pedoman penilaian
Adapun pada umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Menurut
Zainal Arifin (2006) dalam pengolahan data hasil tes menggunakan empat langkah pokok yang
harus di tempuh.
1. Menskor, yaitu memperoleh skor mentah daritiga jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban kunci
scoring dan pedoman konversi.
2. Mengubah skor mentah menjadi skor standar
3. Menkonversikan skor standar kedalam nilai
4. Melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan realibilitas
soal, tingkat kesukaran soal (difficulty index) dan daya pembeda.

B. Perbedaan Antara Skor Dan Nilai


Dewasa ini banyak diantara para guru sendiri yang masih rancu mengenai definisi dari skor
dan nilai. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-
angka bagi setiap soal tes yang dijawab benar oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan
dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar.
Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah
memperoleh skor ulangan harian atau unutk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka
memperoleh nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu
skor yang diperoleh (obtained score) dan skor sebenarnya (true score).
Skor yang diperoleh (obtained score) adalah sejumlah angka yang dimiliki oleh testee
sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung,
kecemasan, dan lain-lain faktor dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-
faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat
mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan
pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
Skor sebenarnya (true score) seringkali juga disebut dengan istilah skor univers atau skor
alam (universe skor), adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu
berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebagai contoh adalah apabila
seseorang diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil
tersebut menggambarkan resultan dari variasi hasil yang tidak ajeg. Inilah gambaran mengenai
skor sebenarnya. Akan tetapi di dalam praktek tentu tidak mungkin bahwa penilai meminta
kepada testee untuk mengerjakan sebuah tes secara berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk
menunjukkan contoh saja dalam menjelaskan pengertian skor sebenarnya.

C. Skala penskoring
1. Skala 0 – 10
Dalam penggunaan skala 10, skor aktual siswa ditransfer ke dalam 10 kelompok
nilai, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan anjuran
pada kurikulum 1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin pengetahuannya
tidak bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0 (nol) ditiadakan. sehingga
memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10, guru jarang
memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6.
Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir 1) akan keluar di
rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2. Skala 0 – 100
Memang diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan
skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Untuk
itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih
halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya
dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64. Nilai dengan
menggunakan skala 100 disebut skor T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai
dengan menggunakan skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3. Skala baku (skor Z dan skor T )
Skala baku (standar) disebut juga skala z, dan nilainya disebut nilai baku atau nilai z.
Dasarnya adalah kurva normal baku yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan baku s = 1.
4. Skala Huruf (skala lima)
Skala lima disebut juga dengan skala huruf karena nilai akhir tidak dinyatakan dengan
angka (bilangan), malainkan dengan huruf A, B, C, D, dan E. Beberapa pakar evaluasi
pendidikan ada pula yang menggunakan huruf F (failure) atau huruf G (gagal) sebagai pengganti
nilai E.

2.2 Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif


a. Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama penskoran tanpa
ada koreksi jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.
1) Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang dijawab benar
mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah skor yang diperoleh
peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya butir soal yang dijawab benar. Rumusnya
sebagai berikut.

B = banyaknya butir yang dijawab benar


N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi
adalah:

2) Penskoran ada koreksi jawaban, yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada
butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

B: Banyaknya soal yang dijawab benar


S: Banyaknya soal yang dijawab salah
P: Banyaknya pilihan jawaban tiap butir
N: Banyaknya butir soal
Contoh :
Pada soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan
banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, menjawab salah 12 butir dan tidak
dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:

3) Penskoran dengan butir beda bobot, yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda
pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan tingkatan kognitif
(pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah dikontrak guru.
Anda juga dapat membedakan bobot butir soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir
soal yang dikembangkan dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku
pegangan diberi bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai
berikut.

Bi = banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes


bi = bobot setiap butir soal
St = skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)

Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain
kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis
4, sintesis 5, dan evaluasi 6.

Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20
butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal analisis dari 2 butir, dan 1
butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1. Contoh Pemberian Skor
Jadi skor yang diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%

b. Penskoran Soal Bentuk Uraian Objektif


Pada bentuk soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai
indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman penskoran dalam soal
bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkah-langkah mengerjakan dapat dimunculkan atau
dikuasai oleh peserta didik dalam lembar jawabannya.
Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya melihat kembali rencana kegiatan
pembelajaran untuk mengidentifikasi indikator-indikator tersebut. Perhatikan contoh berikut.
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan
ukurannya.
Butir soal :
Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm.
Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)

Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif


c. Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk uraian objektif yaitu
menentukan indikator kompetensinya. Perhatikan contoh berikut.
Indikator: Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara Indonesia bangga menjadi
Bangsa Indonesia.
Butir soal: Tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda bangga sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman penskoran:
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran

Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh akan
sangat beraneka ragam. Untuk menentukan standar lebih dahulu, tentulah sukar. Sebagai upaya
untuk meminimalisir hambatan tersebut adalah dengan mengikuti beberapa langkah-langkah
berikut yang harus dilakukan guru pada waktu mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca
seluruh jawaban, guru dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikan
siswa secara keseluruhan.
2. Menentukan angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya, jika jawabannya lengkap diberi angka
5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban yang paling rendah.
Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya kita perlu berpikir bahwa tidak
ada unsur tebakan. Dengan demikian ada dua pendapat, satu pendapat menentukan angka 1 atau
2 bagi jawaban yang salah, tetapi pendapat lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu
saja bagi jawaban yang kosong (tidak ada jawaban sama sekali), jelas diberikan angka 0.
3. Memberikan angka bagi soal pertama
4. Membaca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan
pemberian angka untuk soal kedua.
5. Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk tes soal berikutnya, dan seterusnya hingga seluruh
soal diberi angka.
6. Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Setelah mempelajari hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dengan membaca terlebih
dahulu seluruh jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin tidak ada
seorang pun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor soal.
Menghadapi situasi seperti ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya,
untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur, padahal kita
menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap itulah kita berikan angka 5,
sedangkan untuk yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka lebih sedikit, yaitu
misalnya 3,5; 2; 1,5 dan seterusnya.
Dengan cara ini maka pemberian angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten
atau tetap dari kelas ke kelas atau dari tahun ke tahun.

Uraian penjelasan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau
mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka
menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test), maka langkah-
langkah yang dilakukan akan berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan ulang adalah sebagai
berikut:
1. Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban
yang telah disusun
2. Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3. Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban yang paling
lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang
dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.

d. Pembobotan Soal Bentuk Campuran


Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan
bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan
oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam
mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak,
sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih
banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan
ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab
benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik tersebut mendapat skor:

Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk
uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4 butir, sedang bentuk
uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40
dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.

a. skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80


b. skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62
e. Penskoran Bentuk Soal Benar-Salah
Pada tes dengan menggunakan instrumen soal benar-salah, testee (tercoba) hanya diminta
melingkari huruf B atau S, sehingga kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan
nomor serta huruf dimana kita menghendaki untuk melingkari (atau dapat juga diberi tanda X).
Contoh:
1. B 6. S
2. S 7. B
3. S 8. S
4. B 9. S
5. B 10. B (dan seterusnya)
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya
dengan tujuan sebagai berikut:
- Dapat diketahui imbangan antara jawab B dan S
- Dapat diketahui letak atau pola jawaban B dan S
Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B hampir
sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola
jawabannya. Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B-S ini kita dapat menggunakan
2 (dua) cara, yaitu tanpa hukuman atau tanpa denda adalah apabila banyaknya angka yang
diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci dan dengan hukuman atau dengan
denda
Dengan hukuman yaitu apabila terdapat keraguan adanya unsur tebakan.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Pertama dengan rumus,

dimana, S: Score R: Right W: Wrong


Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang
salah.
Contoh:
 Banyak soal = 10
 Jawaban benar = 8
 Jawaban salah = 2 buah
 Angkanya adalah 8-2 = 6

- Kedua dengan rumus,

Dimana, T adalah singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh:
 Banyaknya soal = 10 buah
 Jawaban salah = 2 buah
 Angkanya adalah

f. Pemberian Skor Bentuk Soal Jawab Singkat (Short Answer Test)


Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbetuk kata atau
kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk
kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian.
Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Tes bentuk isian, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini, kunci jawaban tes bentuk ini
merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Contoh:
1. Berat jenis
2. Mengembun
3. Komunitas
4. Populasi
5. Energi
Pemberian skor pada bentuk tes ini adalah dengan mengingat jawaban yang hanya satu
pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh
siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk benar-salah atau bentuk pilihan ganda.
Sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua). Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada
bentuk benar-salah atau bentuk pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan
atau mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap
dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.

g. Pemberian Skor Bentuk Soal Menjodohkan (Matching)


Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-
jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka
pilihan jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih
dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan lagi untuk pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang dikehendaki atau
deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.
Contoh:
1. Tahun 1922 atau 1. F
2. Imam bonjol atau 2. C
3. Perang padri atau 3. H
4. Teuku umar atau 4. A
5. P. Diponegoro atau 5. B
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih
kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai acuan
dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).

h. Pemberian Skor Pada Tugas


Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat di
dalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai
kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak ukur tertentu.
Tolak ukur yang disarankan ini digunakan sebagai ukuran keberhasilan tugas adalah sebagai
berikut:
1. Ketepatan waktu penyerahan tugas
2. Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan siswa dalam mengerjakan tugas
3. Sistematika yang menunjukkan alur keruntutan berfikir
4. Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi
5. Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh guru
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek
kriteria tersebut, misalnya:
A1 - ketepatan waktu, diberikan bobot 2
A2 - bentuk fisik, diberi bobot 1
A3 - sistematika, diberi bobot 3
A4 - kelengkapan isi, diberi bobot 3
A5 - mutu hasil, diberi bobot 3
Maka nilai akhir untuk tugas tersebut diberikan dengan rumus:

2.3 Pemberian Skor Tes Pada Domain Afektif


Domain afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Sedikitnya terdapat 2
(dua) komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat terhadap
suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu
diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat
untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu
bisa diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak berminat
sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, guru memiliki tugas untuk
membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang
diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas
proses pembelajaran.
Langkah pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a. Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b. Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu
mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada
peserta didik.
c. Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat,
sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah instrumen oleh sejawat.
e. Perbaiki instrumen.
f. Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g. Skor inventori.
h. Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.

Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika
rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10,
yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya
adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk
tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat
berminat.

2.4 Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor


a. Penyusunan Tes Psikomotor
Tes untuk mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja
(performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam
Majid (2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya sedikit. Perbuatan yang
diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak sempurna
sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak sempurna dan skala 5
paling sempurna.
Misal dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan thermometer
badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang menunjukkan peserta didik terampil
menggunakan thermometer tersebut, misal indikator-indikator sebagai berikut:
1) Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2) Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3) Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4) Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5) Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur suhunya.
6) Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.

Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal
yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik
yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti
benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang
sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti
kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang
dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang
gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor
30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang
memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24
dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik
dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya baik
jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna
(skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan
berhasil dan dengan kategori sempurna.
Tabel 6.4. Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut

2.5 Hambatan Dan Solusi Dalam Pemberian Skor


Adakalanya guru dituntut untuk memberikan nilai terhadap prestasi belajar siswa tanpa
memberikan skor terlebih dahulu. Misalnya, pada waktu ujian lisan. Apabila nilai ujian diberikan
terhadap setiap butir pertanyaan, maka akan cukup memadahi. Tetapi hal yang perlu diperhatikan
adalah munculnya unsur subjektifitas sehingga guru seringkali melakukan hal-hal diluar
keadilan.
Contohnya adalah guru yang berkali-kali menunjukkan kepuasannya terhadap hasil belajar
siswa dan bagaimana guru tersebut mempertahankan seorang siswa. Subjektifitas tidak hanya
berimplikasi pada kredibilitas nilai yang dihasilkan saja tetapi juga berdampak pada kriteria
dalam pengukuran tingkat pencapain hasil belajar yang dimaksud.
Dalam menentukan nilai terhadap tiap-tiap aspek ini pun kita dituntut untuk memberikan
pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan. Sebenarnya guru dapat mengambil beberapa
langkah sebagai dasar untuk meminimalisir kesulitan objektifitas penilaian tersebut yaitu dengan
cara sebagai berikut:
1) Bertitik tolak dari batas bawah, yaitu berpikir pekerjaan yang jelek diberi nilai berapa,
kemudian membandingkan hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan nilai batas bawah tersebut.
Dari batas bawah ini kita memberikan tambahn nilai sebanyak jarak antara nilai batas bawah
dengan pekerjaan siswa. Jadi, kita berangkar dari bawah, lalu naik ke atas. Menurut pengalaman,
oemberian nilai dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai rendah.
2) Bertitik tolak dari plafon atau batas atas. Dengan cara ini kita berpikir mengenai kesempurnaan
pekerjaa, tetapi diukur menurut ukuran siswa, bukan diukur dengan kemampuan guru.
Selanjutnya berangkat dari nilai batas atas tersebut kita kurangkan sedikit-sedikit sejauh
kesenjangan antara nilai batas dengan pekerjaan siswa yang dihadapi. Jadi, kita berangkat dari
atas kemudian turun ke bawah. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini cenderung
menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara-cara seperti diatas dapat juga diterapkan untuk menilai tugas-tugas yang sifatnya relatif dan
cenderung menimbulkan subjektifitas.

Anda mungkin juga menyukai