Anda di halaman 1dari 14

AKAD DALAM PERBANKAN DAN ASURANSI SYARIAH

Ima Nuramalia

10010211035

Kelas A

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG


FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH
BANDUNG
2013
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Secara luas, akad adalah mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain
membuat suatu perjanjian. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan: “Pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan.

Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada 2. Yang pertama. Sahih, atau sah, yang artinya
semua rukun kontrak beserta semua kondisi nya sudah terpenuhi, yang kedua. Batil, apabila
salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontrak tersebut menjadi batal atau tidak
sah, apa lagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Akad yang efektif dibagi lagi
menjadi 2 , Yaitu : 1. Lazim – mengikat dan Ghayr al –lazim – tidak mengikat. Akad lazim adalah
akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya.
Contohnya: perceraian dengan kompensasi pembayaran properti dari istri yang diberikan
kepada suami. Akad ghayr al-lazim dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan
dari pihak yang lainnya contohnya dalam transaksi partnership (musyarakah), agency
(wakalah), wasiat (wassiyyah), pinjaman (arriyah), dan penitipan (wadiah).

Dengan penjelasan tersebu t penulis mengangkat judul makalahnya yang berjudul “Akad
dalam Perbankan dan Asuransi Syariah”.
BAB II

Rumusan Masalah

1. Bagaimana akad dalam bank syariah

2. Bagaimana akad dalam asuransi syariah

3. Bagaimana perjanjian asuransi dapat terjadi

4. Bagaimana syarat sah perjanjian asuransi

5. Bagaimana pandangan para ulama terhadap akad


BAB III

Pembahasan

3.1 Akad dalam Bank Syariah

A. ANTARA WA’AD DENGAN AKAD

Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah
kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi
janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak
dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.

Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing
pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan
spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah
disepakati dalam akad.

B. ANTARA TABARRU’ DENGAN TIJARAH

Dari segi ada atau tidak adanya kompensasi , terbagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad
tabarru’ dan akad tijarah/mu’awadah.

I. AKAD TABARRU’

Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for
profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis untuk
mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya
kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari
Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun
mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah,
wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll.
Fungsi Akad Tabarru’
Akad tabarru’ ini adalah akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad
bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bank syariah sebagai
lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad-
akad tabarru’ untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba, maka
gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah. Namun demikian, bukan
berarti akad tabarru’ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada
kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena
akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.

II. AKAD TIJARAH


Seperti yang telah kita singgung di atas, berbeda dengan akad tabarru’, maka akad
tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari
keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-
beli, sewa-menyewa, dll.

Natural Certainty Contracts (NCC)


Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek
pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik
jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of
delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) menawarkan return
yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-
mengupah, sewa-menyewa, dll, yakni sebagai berikut:
a. Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan Istishna’)
b. Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT)
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik
real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak saling
bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama.

Akad Jual-Beli (Al-Bai’. Salam, dan Istishna’)

Al-Bai’ naqdan adalah akad jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. (Al-Bai’ berarti jual beli,
sedangkan naqdan artinya tunai).
Jual-beli dapat juga dilaksanakan tidak secara tunai, tapi dengan cicilan. Jual beli cicilan ini
disebut al-bai’ muajjal. Pada jenis ini, barang diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat
diserahkan pada periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama
periode hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus (lump-sum) di akhir periode.
Kita juga mengenal suatu akad jual beli, di mana si penjual menyatakan dengan terbuka kepada
si pembeli mengenai tingkat keuntungan yang diambilnya. Bentuk jual-beli seperti ini
dinamakan murabahah (terambil dari kata bahasa Arab ribhu= keuntungan). Hal ini dilakukan
untuk menghindari mereka dari penipuan. Dewasa ini, akad murabahah pun digunakan dalam
praktek perbankan syariah, karena nasabah diasumsikan tidak begitu mengetahui teknis
perhitungan bagi hasil (dengan demikian dapat dianalogikan sebagai orang yang kurang
mengerti, seperti anak kecil). Jadi bank syariah memberitahukan tingkat keuntungan yang
diambilnya kepada nasabah.
Akad Sewa-Menyewa (Ijarah dan IMBT)
Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga
kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa.
Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah.
Sedangkan ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja
(performance) objek yang disewa/diupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan
objek ijarah. Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.

3.2 Akad dalam Asuransi Syariah

Perjanjian yang digunakan merupakan akad takafuli dan bukan akad tadabuli, bersifat tolong
menolong (ta’awun) dengan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah serta tidak
mengandung unsur Riba (bunga uang), Maisir (Judi), dan Gharar (untung-untungan) yang
dilarang dalam akad-akad keuangan Islami. Konsep asuransi syariah adalah konsep tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana telah digariskan dalam QS. Al-Maidah :
2 yang artinya dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa. Ini berarti dalam
asuransi syariah semua peserta merupakan satu keluarga besar akan saling melindungi dan
secara bersama-sama akan menanggung risiko keuangan dari musibah yang mungkin terjadi.
Konsep asuransi syariah ini dilakukan melalui mekanisme perjanjian (akad). Asuransi syariah
adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang dalam
menghadapi terjadinya musibah atau bencana melalui perjanjian yang disepakati bersama.
Perjanjian syariah yang digunakan dalam asuransi syariah bersifat takafuli dan menggunakan
prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah.
Akad takafuli dalam perusahaan asuransi syariah terdiri dari akad tabarru’ dan
akad tijari, dengan menggunakan prinsip mudharabahdan prinsip tabarru’. Akad tabarru’ untuk
kepentingan sosial, bukan untuk mencari keuntungan dan bersifat social oriented
(hibah/charity), sedangkan akad tijari untuk kepentingan komersial/bisnis, bertujuan mencari
keuntungan dan bersifat profit oriented.Akad tabarru’ terkait dengan hubungan antara sesama
peserta dengan prinsip saling tolong menolong dan saling menanggung antara satu peserta
dengan peserta lainnya (risk sharing), sedangkan akad tijari terkait dengan hubungan antara
pemegang polis dengan perusahaan, operasional dan fungsi perusahaan asuransi. Implementasi
akad tabarru’ pada asuransi syariah, yaitu peserta memberikan kontribusi berupa
dana tabarru’ yaitu sebagian dari premi yang diikhlaskan untuk tolong menolong dan saling
menanggung setiap risiko yang ada diantara peserta (risk sharing), perusahaan asuransi
bertindak sebagai operator/administrator dalam hal pengumpulan dana peserta (pool of fund),
bukan untuk mendapatkan keuntungan tetapi untuk kemaslahatan umat (social oriented).
Implementasi akad tijari pada perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan asuransi
berperan sebagai underwriter dan administrator, collector serta fund manager dimana
kontribusi dari peserta bukan sebagai pendapatan tetapi merupakan amanah untuk dikelola
secara syariah, perusahaan asuransi akan mendapatkan management fee dari fungsinya
sebagai administrator dan untuk memanfaatkan dana Tabarru’/pool of hibah fund, perusahaan
akan mendapatkan bagi hasil atau fee.

3.3 Perjanjian Asuransi Syariah

Perjanjian asuransi syariah dapat terjadi antara :


1. Perusahaan asuransi syariah dengan perseorangan, tertuang dalam bentuk polis asuransi
syariah dan akad yang digunakan tergantung dari produk asuransi syariah yang diambil dan
dalam satu polis asuransi syariah dapat mengandung akad lebih dari satu. Pada umumnya
akad yang digunakan dalam polis asuransi syariah terdiri dari akad tabarru’ dan
akad tijari, penggunaan akad ini dipengaruhi produk asuransi syariah.
2. Perusahaan asuransi syariah dengan lembaga keuangan ataupun instansi lain, tertuang
dalam bentuk perjanjian kerjasama berupamemorandum of understanding (MoU) yang
didalamnya mengandung prinsip akad musyarakah. MoU ini dapat berdiri sendiri maupun
ditindaklanjuti dengan polis asuransi apabila MoU tersebut berkenaan dengan salah satu
produk asuransi, misalnya untuk pembiayaan.
3. Perusahaan asuransi syariah dengan rumah sakit, merupakan perjanjian kerjasama yang
tertuang dalam bentuk MoU dan mengandung prisip akad musyarakah.
4. Perusahaan asuransi syariah dengan perusahaan asuransi (co-insurance), merupakan
perjanjian kerjasama antar perusahaan asuransi untuk saling menanggung risiko dan
berbagi risiko (risk sharing) apabila terjadi risiko yang tidak bisa ditanggung oleh satu
perusahaan asuransi dengan prosentase pemabagian risiko ini telah ditentukan secara
nasional melalui lembaga asosiasi perusahaan asuransi. Perjanjian ini menggunakan
prinsip mudharabah musytarakah.
5. Perusahaan asuransi syariah dengan perusahaan reasuransi, dalam hal reasuransi dan
dalam perjanjian ini menggunakan akadwakalah.

3.4 Syarat Syah Perjanjian Asuransi

Syarat sahnya perjanjian asuransi syariah sebagaimana dengan syarat sahnya perjanjian
berdasarkan hukum positif dan hukum Islam adalah :

1. Adanya kata sepakat untuk saling mengikatkan diri, secara hukum perjanjian Islam
berkaitan dengan keridhaan para pihak yang berakad dan adanya pilihan untuk menentukan
transkasi dan akad yang digunakan. Kata sepakat dalam akad asuransi syariah ini terjadi
pada saat dibuatnya akad yaitu pada saat diterimanya dan disetujuinya proposal maupun
permohonan aplikasi dalam surat permintaan asuransi syariah serta secara tersurat dalam
setiap akad asuransi syariah yang dibuat yaitu mengenai pernyataan mengikatkan diri
(shighat al-aqad) dalam suatu akad dimana peserta membayar premi dan perusahaan
mengelola premi tersebut dengan memberikan manfaat asuransi sesuai dengan ketentuan
dan syarat-syarat yang telah disepakati dan tertuang dalam polis asuransi syariah.
2. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan, dalam hukum perjanjian Islam berkaitan
dengan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang berakad yaitu telah dewasa dan
berakal (aqil), dapat membedakan sebagai tanda kesadaran (tamyiz). Mengenai kecakapan
dan kedewasaan ini setiap perusahaan asuransi syariah mempunyai kebijakan yang berbeda
yaitu ukuran kedewasaan bagi peserta asuransi syariah yaitu 15 (lima belas) tahun sampai
dengan 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah pernah menikah sebelumnya berkisar antara
usia. Usia minimal peserta asuransi syariah pada perusahaan asuransi yang satu berbeda
dengan perusahaan asuransi yang lain tergantung pada kebijakan perusahaan. Ada
perusahaan asuransi syariah yang menerapkan usia minimal peserta adalah 15 (lima belas)
tahun dan ada juga yang 17 (tujuh belas) tahun. Untuk program dana pendidikan usia
minimal peserta rata-rata 21 (dua puluh satu) tahun atau pernah menikah sebelumnya,
sedangkan anak dibawah umur, belum dewasa maupun belum pernah menikah sebelumnya
tidak berkedudukan sebagai peserta tetapi sebagai penerima santunan.
3. Suatu hal tertentu, dalam hukum perjanjian Islam berkaitan dengan obyek akad harus jelas
antara lain telah ada pada waktu akad diadakan, dapat menerima hukum akad, dapat
ditentukan dan diketahui, dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Hal tertentu sebagai
obyek dari perjanjian asuransi syariah ini berupa perlindungan dan investasi sebagai
manfaat takaful.
4. Suatu sebab yang halal, dalam hukum perjanjian Islam causa halal ini berarti tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya akad, sebab yang halal dalam asuransi
syariah yaitu sesuai dengan ketentuan syariah dalam pengertian tidak mengandung
darigharar (penipuan), maysir (perjudian), riba (bunga), zhulm (penganiayaan), riswah(suap)
,barang haram, dan maksiat.

3.5 Pandangan Ulama Terhadap Bank dan Asuransi Syariah

Pandangan terhadap Bank Syariah


a. Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama sesuai hasil muktamar XII, XIV dan XVII serta diperbarui dari basil Bahtsul
Masail di Pondok Pesantren Darussalam Banyuwangi mengeluarkan Fatwa bahwa ada tiga
hukum bunga bank yaitu:
1) Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya.
2) Mutasyabihat, tidak tentu halal haramnya karena ulama masih
berbeda pendapat.
3) Halal, tidak ada syarat pada waktu aqad, menurut ahlil hukum adat
yang berlaku itu tidak menjadi syarat.

b. Majlis Tarjih Muhammadiyah

Dalam sejarahnya Majlis Tarjih Muhammadiyah juga telah beberapa kali melakukan kajian
mengenai hukum bunga dalam Islam antara lain: Majlis Tarjih Muhammadiyah pemah
membedakan hukum bunga bank dengan membedakan antara bank pemerintah dengan bank
swasta. Bank dengan 11nsure riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
Bunga yang diberikan oleh bank milik Negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama
ini belaku, termasuk perkara mutasyabihat, keputusan ini kemudian diperbaharui dengan hasil .
Muktamar Majlis Tarjih di Banyuwangi yang mengambil keputusan bahwa koperasi simpan
pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam
bukan termasuk riba asal tidak melampaui laju inflasi.

c. Persis dan Pendapat Ulama Lainnya

Berkaitan dengan bunga bank, persis menyatakan asal tidak memberatkan maka
diperbolehkan. Sementara itu pendapat lain mengenai bunga dikeluarkan oleh Ulama Mesir
yang melihat bunga sebagai situasi darurat karena tidak bisa dihindari. Konsul Kajian Islam
Dunia pada tahun 1965 menetapkan bahwa tidak ada sedikitpun keraguan haramnya bunga
bank atas praktek pembangunan uang seperti yang dilakukan bank konvensional. Pendapat ini
juga diperkuat oleh Fiqih Liga Muslim Dunia dan pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan Kajian
dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia. Banyaknya variasi ini menunjukkan adanya dinamika dalam
pemikiran mengenai bunga oleh masyarakat santri muslim di dunia dan khususnya Indonesia,
sehingga dapat metnperkaya wawasan dan selanjutnya memberikan kesempatan kenada
masyarakat santri untuk mengambil dengan keputusan dasar-dasar yang diketahui.
Pandangan terhadap Asuransi
Yusuf al-Qardhawi dan ‘Isa Abduh, mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi
jiwa. Menurut mereka bahwa pada asuransi yang ada sekarang ini terdapat 12nsure-unsur yang
diharamkan oleh Allah. Asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan
sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi. Asuransi mengandung ketidakjelasan dan
ketidakpastian, karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah
ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu, belum
ada kepastian, apakah jumlah tertentu itu dapat diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal
ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan memperoleh
seluruhnya, tapi mungkin juga ia tidak memperoleh sama sekali. Asuransi mengandung 12nsure
riba, karena tertanggung memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya lebih besar daripada
premi yang dibayarkan.
Mushthafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Al-Bahi’, membolehkan asuransi secara mutlak
tanpa kecuali, argumentasi yang dipakainya adalah; Tidak terdapat nash al-Qur’an dan Hadis
yang melarang asuransi. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah
pihak. Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Asuransi mengandung kepentingan
umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudharabahantara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyyat, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong
menolong.

Muhammad Abu Zahrah, membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan meng-haramkan
asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Sedangkan ‘Abdullah Ibn Zaid membolehkan
asuransi kecelakaan dan mengharamkan asuransi jiwa. Alasannya hampir sama dengan
kelompok pertama dan kedua di atas, hanya saja ia mencari titik temu di antara keduanya.
BAB IV
Penutup

4.1 Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara
beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum
tertentu. Terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya
rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari
berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda,
dan lain-lain. Semua mengandung unsur yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar
kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang
melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban
diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam
kehidupan kita sehari-hari

4.2 Saran

Akad dapat terjadi dalam keseharian kita namun dalam berakad ada landasan hukumnya. Agar
terjadi akad yang syah sebaiknya adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak
terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak.
DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada


Shantika. “AKAD/PERJANJIAN DENGAN PRINSIP SYARIAH PADA LEMBAGA ASURANSI”.
http://shantidk.wordpress.com/2009/07/15/
Djuwaini, Dimyauddin. 2008, Fiqh Muamalah
“Pandangan Ulama Terhadap Bank Syariah”. http://id.shvoong.com/social-
sciences/economics/2242096

Anda mungkin juga menyukai