Abstract
Through the media political economy approach, this study reveals how the
commodification taken place on a media company that produced actual information
in a program. The results showed that the commodification of news on talk show
program of Polemik Sindo Trijaya runs behind the ideology of the political economy
of media. In the commodification of the concentration of media content is known that
more frequent lifting polemic political topic. Politic is considered the most attractive
political issue than the issue of cultural, economic, and health. The commodification
in the public discussion of the concentration, it is known that the Polemik is aimed at
educating the public (listener) to act on the knowledge that they had heard. This
indicates that the editorial team cares with the audience, not as disclosed Mosco that
commodification is not overly concerned with the audience. In the commodification of
the concentration of workers, shown that the editorial team works together to support
the ideals of the concept of a talkshow program, find the right sourceperson, while
the editors are behind the ideology of the political economy of the media itself.
Abstrak
57
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
Pendahuluan
Media massa tak henti-hentinya menjadi objek yang menarik untuk diteliti.
Beragam kajian media baik terkait dengan pemberitaan suatu peristiwa ataupun
perusahaan media itu sendiri merupakan objek riset yang penting. Hal itu menjadi
penting karena media massa merupakan pilar ke empat dalam pembangunan di suatu
Negara. Penelitian ini mengungkap bagaimana komodifikasi berlangsung pada
sebuah perusahaan media yang mengemas informasi actual dalam sebuah program
yang bermanfaat bagi publik dan sarat dengan ideologi ekonomi media.
Dalam konteks ekonomi politik media, proses perubahan nilai guna menjadi
nilai tukar dikenal dengan istilah komodifikasi. Praktik komodifikasi semakin tampak
tidak membutuhkan pertimbangan konteks social, selain terus-menerus menunjukkan
performanya di pasar bebas. Dengan kata lain, komodifikasi adalah manfaat bisnis.
Pada penelitian ini, peneliti tertarik untk melakukan riset ekonomi politik media pada
Program Polemik, sebuah program berita produk radio Sindo Trijaya yang dikemas
dalam bentuk talkshow akhir pekan dan berlangsung di luar studio. Polemik
sebenarnya lanjutan dari talkshow Bincang Sabtu yang sudah sejak 2001. Saat itu
nama Radio Sindo Trijaya masih Trijaya. Bincang Sabtu mengudara pukul 09.00-
11.00 WIB, dengan menghadirkan empat narasumber, dipandu seorang host, dan
tidaka da bedanya dengan Polemik saat ini.
Sedikit mengenai perubahan nama, pada 2005 MNC mengakuisisi Trijaya
100%. Pada 2005 itu ada perubahan nama pada Program ‘Bincang Sabtu’ menjadi
‘Polemik’. Alasannya, agar karakter talkshow terasa lebih kuat. Bincang Sabtu dan
Polemik mengusung konsep talkshow perdebatan. Selain itu, untuk mempertegas
positioning talkshow itu sendiri. Dengan mengambil nama Polemik, diharapkan akan
jauh lebih mudah melekat di ingatan pendengar.
Perkembangannya; radio ini setiap minggu outside broadcast, yang diliput
media di Indonesia yang bertahan 2001 sampai 2014, mungkin radio yang seperti ini
menjadi model satu-satunya di dunia. Outside broadcast maksudnya siaran di luar
studio, live di 50 kota, pada frekuensi 104.6 FM (Jakarta). Nama ‘Polemik’
dicetuskan oleh salah satu direktur utama 2005, Pak Tito namanya, dalam rapat
redaksi. Bentuknya unik, talkshow yang diselenggarakan media, radio, dan
mengundang media. Sindo gak peduli media mana aja yang datang, baik grup
maupun bukan. Program ini seolah menghipnotis pendengar untuk tidak berfikir
bahwa ini adalah upaya Sindo Trijaya dalam menjalankan praktik komodifikasi.
Untuk itu, peneliti menetapkan tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
praktik komodifikasi Radio Sindo Trijaya dalam program Polemik. Manfaat
penelitian ini adalah untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu
komunikasi, khususnya komunikasi politik dan kajian media. Secara praktis,
penelitian ini bermanfaat sebagai bahan perencanaan dan evaluasi dewan redaksi
Sindo Trijaya dalam mengemas program-program beritanya yang lain. Komunikasi
politik, yaitu (kegiatan) komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan
konsekuensi-konsekuensinya (actual maupun potensial) yang mengatur perbuatan
manusia di dalam kondisi-kondisi konflik (Nimmo, 2004).
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai
“Ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai
sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain.
58
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
Metode Penelitian
59
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma ini tidak sekedar
melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial
kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut
menjadi lebih adil. Dalam penelitian ini, peneliti mengkritisi program talkshow
sebagai sebuah strategi Radio Sindo Trijaya dalam memperoleh keuntungan melalui
komodifikasi isi berita, khalayak, dan pekerja media.
Data penelitian kualitatif diperoleh melalui teknik wawancara mendalam.
Wawancara dilakukan dalam beberapa kali pertemuan, dengan pertanyaan yang tidak
terstruktur. Kendala yang dihadapi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah
waktu yang tersedia untuk melakukan pertemuan relative singkat, sehingga peneliti
harus menemui para informan beberapa kali. Data sekunder didapatkan melalui
observasi, yaitu dengan menghadiri Talkshow Polemik yang diselenggarakan setiap
Sabtu di Warung Daun. Selama proses penelitian ini, peneliti hadir tidak lebih dari 5
kali. Peneliti juga mendengarkan program-program siaran Sindo Trijaya lainnya
seperti Sindo Hot Topic, Jakarta Punya Cerita, Indonesia Bersaing, Tokoh Bicara, dan
Talk to CEO.
Data sekunder lainnya adalah penelusuran data melalui internet dan sumber-
sumber buku untuk menunjang teori dalam penelitian ini. Peneliti menetapkan
seorang informan kunci yang terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
program talkshow Polemik, yaitu Pemimpin Redaksi (Pemred). Selain informan
kunci, data dan informasi penelitian ini didukung oleh penjelasan-penjelasan dari
informan lainnya, yaitu Produser, newswriter, dan penanggungjawab media sosial
Sindo Trijaya. Alasan peneliti memilih mereka sebagai informan adalah karena
menganggap kedua jabatan tersebut adalah yang bertanggungjawab terhadap
penentuan konsep dan konten isu, serta pelaksanaan talkshow di ‘lapangan’.
Proses komodifikasi tampak sejak awal tim redaksi menentukan topik dengan
menjaring isu dari berbagai berita yang terbit di surat kabar. Misalnya, topik yang
sedang hangat diberitakan adalah mengenai Calon Presiden (Capres) dan Tenaga
kerja Indonesia (TKI) Satinah. “Terkait kasus Satinah, apanya yang kita (redaksi)
mau angkat, moratorium TKI, menyelamatkan Satinah, atau apa yang mau kita
angkat. Dari kasus Satinah, apa yang mau kita polemikkan, musti ada pro dan kontra.
Misalnya terakhir, hentikan TKI di Arab Saudi,” demikian ungkap Pemred menirukan
ucapannya ketika rapat perencanaan.
Masih terkait konten, selain media massa cetak dan online, televisi dan media
sosial juga menjadi referensi ide. Saat ini sedang marak di sosial media tentang
satinah: save Satinah; Capres untuk kasus Aburizal Bakrie, Jokowi yang
dipertanyakan orang; dan isu pemilu: kecurangan, kampanye pemilu yang gak
mendidik. “Nanti hari kamis kita meeting lagi, harus segera kita putuskan mana yang
akan diambil sebagai tema pertama, ke dua, ke tiga, jadi cadangannya ada dua,” jelas
Pemred Sindo Trijaya.
Pada kesemapat yang berbeda, Produser melengkapi pernyataan Pemred
bahwa selain surat kabar (dalam hal ini disebutkan Koran Tempo dan Kompas),
media televisi (TV One), dan media online, Program ‘Sindo Hot Topic’ juga turut
60
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
memberikan kontribusi yang baik dalam hal pilihan ide untuk tema Polemik. Produser
mencermati respon pendengar dari jumlah tweet dan pesan singkat yang masuk ke
redaksi. Selain itu, reporter juga menjadi referensi sekunder dalam memberikan
masukan ide topik Polemik.
Pola pengumpulan isu berita, seperti yang diungkapkan oleh Pemred,
dilakukan olehnya bersama produser. “Kita media massa, kita harus mengambil satu
tema yang diperbincangkan di publik. Sesuatu yang diperbincangkan publik pasti
akan menimbulkan pro dan kontra. Sebagian besar yang kita ambil itu yang
diperbincangkan publik, baik itu di media sosial, online atau di manapun, karena kita
mendiskusikannya secara komprehensif, ada pihak pro, kontra, dan ada solusi,” tegas
Pemred.
“…yang berpolemik di publik itu sudah pasti mendapat urutan nomor satu
untuk kita diskusikan. Ada juga kita mengambil satu isu yang dipolemikkan, namun
tidak sedang hangat diperbincangkan publik, tapi masih menjadi persoalan yang
belum selesai. Misalnya soal banyaknya produk impor. Hampir tidak ada media yang
angkat. Paling hanya 1 atau 2 media yang mengangkat, itupun hanya media bisnis,”
jelasnya.
Pemred Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta, juga mengatakan bahwa
brainstorming biasanya dilakukan di saat current issue sedang landai. “Misalnya
koruptor nggak ada yang tertangkap,” sebutnya. “Begitu landai, kita harus ambil satu
tema yang tersembunyi tapi penting untuk kita diskusikan, ini menyangkut
kepentingan banyak orang,” tandasnya. “Misalnya impor sementara kita akan
menghadapi masa ekonomi ASEAN, dari mulai buah-buahan, semua produk, semua
impor. Lalu kita ambil judul ‘Belenggu Impor’. Lalu misalkan soal swasembada
beras, pendidikan, kurikulum, dan lain-lain,” tambahnya. Ketika peneliti menggali
lebih dalam tentang isu yang paling dianggap tidak penting, Pemred menjawab bahwa
penting atau tidak penting tergantung media dan kondisi, sesuatu bisa gak penting di
radio tapi menjadi penting di Koran, sesuatu yang tidak dianggap penting di TV tetapi
penting di radio, dan sebaliknya.
“Dalam konteks Polemik, yang nggak penting itu jika gak ada isu tetapi tiba-
tiba kita ngomongin kebudayaan, sejarah, hal-hal yang sifatnya wacana. Itu nggak
tertarik orang. Apalagi dua jam orang ngomongin wacana itu males. Kecuali kita kita
ngomongin politik, KPK, impor, mafia, respon orang lumayan banyak,” lugas
Pemred.
Ia menambahkan, wacana politik pun orang nggak terlalu tertarik, misalnya
mencari capres masa depan, kecuali pada musim politik saat ini. Politik tidak selalu
menarik bagi pendengar, kecuali TKI itu responnya selalu banyak, karena itu kasus
yang gak kelar, demikian juga dengan impor. “Kalau ngomongin hal yang terlalu
teknis, misalnya kenapa produksi minyak terus turun di Indonesia, orang tidak peduli
minyak sedikit atau turun, yang penting harga minyak murah. Kecuali bahas harga
kenaikan BBM. Ngomongin teknis dua jam di radio, lebay, Kecuali satu jam di studio
diselingi lagu. Ini kan dua jam nonstop gak ada lagu,” ungkapnya.
Pernyataan Pemred didukung oleh Produser yang mengatakan bahwa isu
politik bukanlah satu-satunya isu yang terbesar. Isu lain yang menandinginya adalah
isu kesehatan. “(Isu) kesehatan kadang lebih penting buat mereka (pendengar),”
ungkapnya.
Tahap penggalian informasi terasa lebih dalam ketika peneliti menyinggung
idealisme pada inti skenario Polemik. “Kalo idealismenya, kita ingin memberikan
61
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
sumbangsih penyelesaian terhadap sesuatu masalah, ada solusi lah. Kedua, kita
pengen masyarakat/ publik/ pendengar tahu masalah apa yang sedang terjadi sehingga
mereka punya jawaban, dan mereka punya jawaban dan pilihan-pilihan untuk
menentukan apa yang musti mereka lakukan. Ini kan di-relay sekitar 50 radio di
seluruh Indonesia. Omongan radio lebih masuk ke otak pendengar daripada media
massa lain, karena mendengarkan radio itu kan musti konsentrasi,” papar Pemred.
Selain memberi solusi dari persoalan, Sindo Trijaya juga memberi pilihan-
pilihan ke pendengar mengenai sikap yang musti dilakukan. Misalnya soal mencari
Caleg, bukan Caleg biasa. Redaksi ingin menginformasikan sekaligus mendidik
pendengar untuk memilih Caleg dengan benar, karena caleg di DPR itu menentukan
masa depan. “Pendengar harus pilih yang serius, pilih yang jujur, biar mereka ada
pilihan. Tapi dari sisi komersial, kan kita juga butuh pendengar, kita butuh eksposure
juga, kita butuh iklan. Kita pengen misi kita dapat tapi juga kita tidak kehilangan
popularitas. Pendengarnya tetap banyak, orang yang hadir juga banyak dan talkshow
itu jadi menarik. Itu soal kemasan dan narasumber yang hadir, yang musti kita
tampilkan,” ungkap Pemred.
Talkshow Polemik mengudara selama dua jam, dan jika sedang menampilkan
edisi berisi kasus, redaksi mengaku pada saat itu mereka sedang mencoba
mengklarifikasi persoalan. “Misalkan terkait soal Dinasti Atut Cenat Cenut. Kita
menghadirkan juru bicaranya atut, pengamat hukum, Partai Golkar. Ratu Atut kan
tersangka, terus kita mau bahas apa, fokusnya apa dari kasus ini. Judul yang dipilih
pun sengaja bersifat umum,” ungkap Pemred.
“Kita hanya ingin menyampaikan pesan bahwa Ratu Atut tersangka, ditahan,
bagaimana masa depan dinastinya dan masa depan Banten. Tapi kan sebelum kita
menuju itu, kita harus tanya dulu menurut juru bicaranya, mengapa Ratu Atut
dipenjara, apakah dia terlibat korupsi apa enggak sih sebenernya. Kita
mengklarifikasi ke jubirnya. Setelah itu kita tanya ke (partai) Golkar. Golkar itu juga
kita hadirkan karena dia sebagai orang partai kan. Jika Ratu Atut dipenjara,
bagaimana partainya bersikap? Turun atau bagaimana? Lalu kita tanya ke pengamat
hukum, jika Atut dipenjara, Banten gimana? Apakah dia harus mundur apa enggak?,”
demikian Pemred menambahkan.
Praktik komodifikasi berita sangat lekat kaitannya dengan bagaimana redaktur
menyajikan fakta. Fakta yang disajikan dalam Polemik Sindo Trijaya digali dari
narsum. “Kita mulai dari fakta, misalnya “Siapa Peduli Energi”. Kenapa kita bahas
itu? Karena kita merasa idealisme kita itu nanti pemerintahan baru, anggota DPR
baru, punya visi tentang energy itu seperti apa. Karena pertama, BBM kita subsidinya
sudah 300 triliyun, itu bukan sedikit, dan itu subsidi. Subsidi itu nggak tepat sasaran,
yang menikmati orang kaya. Jadi kita mensubsidi orang kaya 300 triliyun. Sementara
desa lebih butuh. Uang 300 trilyun itu kalo untuk membangun jembatan bisa dari
Sabang sampai Merauke. Nah, itu fakta,” ulas Pemred.
Lalu yang ke dua, lanjutnya, kita punya energy namanya gas, BBG murah,
sehat, bersih, dan nggak dipake. Kita lebih memilih mensubsidi BBM dari pada BBG.
Padahal BBG itu murah dan banyak jumlahnya, kenapa kok bisa begitu? Nah, itu
menjadi salah satu pertanyaan kunci kita saat bertanya ke narasumber. Itu fakta yang
dari awal yang sudah kita kumpulkan.
Ia melengkapi dengan menjelaskan bahwa fakta didapat dari data, diantaranya
media dan data resmi perusahaan misalnya PGN dan Media. “Subsidi keseluruhan
kita lihat dari APBN. BBG nggak berkembang kita lihat di berita PGN bilang kita gak
62
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
punya SPBG, SPBG gak dibangun oleh pemerintah. Pemerintah lebih suka
membangun SPBU, dan swasta juga nggak mau bangun SPBG karena apa? Karena
siapa yang pakai SPBG? Karena nggak ada yang menggunakan, jadi tidak ada yang
berinvestasi. Kenapa tidak dibangun? Apa salahnya ini? Apa yang terjadi?
Bagaimana menurut partai? Mengapa ini terjadi? Ternyata ini kemudian terungkap,
bahwa ternyata menurut mereka ada mafia BBM yang gak pengen BBG tumbuh.
Karena kalau BBG tumbuh orang-orang yang menikmati BBM ini akan kehilangan
rejekinya. Jadi dibiarkan saja BBG gak tumbuh biar BBM itu terus diimpor, jual beli,
tanker, dan lain-lain. Itu milyaran jumlahnya. Itu fakta baru yang dingin
disampaikan. Biar masyarakat juga ngerti,” ulas Pemred.
Ketika menentukan narsum, tim redaksi menentukan kriteria narasumber,
redaksi menacari tahu yang bersangkutan pro atau kontra terhadap suatu masalah. Ini
melibatkan pengalaman. Berdasarkan apa yang pernah anggota Tim redaksi baca dan
hadapi. “Pengalaman dan pengetahuan berpengaruh terhadap konten. Kalau tidak
berpengalaman, asal saja kita bikin, tiba-tiba semua pro atau kontra. Kalau kurang
paham ya kita cari di google untuk mendapatkan referensi dalam menganalisis sikap
yang bersangkutan pro atau kontra terhadap isu yang akan dibahas,” ungkap Pemred.
B. Komodifikasi Khalayak
Dari sisi pendengar, kadang jika isu sedang landai, pendengar tidak bertanya.
Namun jika ada beberapa isu yang sedang marak, redaksi memilih salah satu.
Biasanya ada wartawan atau pendengar yang menanyakan mengapa pilih isu tersebut,
padahal ada isu lain yang dianggap lebih ramai. Respon interaktif sama saja
animonya, baik saat ada isu maupun tidak. Isu kurang populer memang tidak
sebanyak saat Polemik membahas isu aktual, seperti politik korupsi, hukum. Isu
ekonomi atau kesehatan dianggap kurang menarik.
Sedangkan mengenai konsep mengundang media, ini muncul dari Direktur
Utama Trijaya yang pertama. “Kenapa undang media karena waktu itu dia pengen
Trijaya itu setiap minggu (Sabtu) mengemas isu menjadi berita dan diliput media,
supaya nama kita ada di mana-mana, tujuan utamanya itu,” ungkap Pemred yang
sudah bekerja lebih dari 10 tahun di stasiun radio milik MNC tersebut. Talkshow
Polemik Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta ini lebih banyak dihadiri media elektronik
dan online daripada media cetak. Menurut Pemred, program ini sengaja dijadwalkan
setiap sabtu karena relative dianggap tidak ada program radio lainnya yang menjadi
saingan. Dan dampaknya sekarang di media, Sabtu adalah Polemik, apapun isunya,
sudah menjadi agenda media. Tidak ada acara dari lembaga survey atau manapun
yang sabtu bentrok dengan jadwal Polemik. “Karena mereka (media lain) mikir Sabtu
bentrok sama Polemik nanti (acara mereka) bisa sepi. Jadi mereka bikin setelah kita.
Karena kita sudah konsisten puluhan tahun, gak pernah berhenti kecuali hari libur dan
lebaran,” ujarnya. Secara pribadi, Pemred mengungkapkan, Polemik itu
diibaratkannya seperti masjid. Ketika seseorang memiliki tanah dan bangun masjid,
maka masjid itu sudah bukan milik yang punya tanah, tapi sudah menjadi milik
masyarakat. Maka siapapun boleh solat di situ.
“Polemik sudah jadi milik publik. Jadi seperti masjid, di mana semua orang
bisa berdebat, berdiskusi di situ. Dan namanya masjid adalah untuk kebaikan, bukan
menyerang pihak satu atau pihak dua. Kita jaga itu, kalo ada yang pro dan kontra kita
cari solusi. Nggak bisa yang hadir kontra semua atau pro semua,” urainya. Lebih
63
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
jauh, ia mengungkapkan bahwa Pers itu adalah kepercayaan. Begitu publik sudah
melihat media/pers berat sebelah, tidak akan lagi bisa dipercaya, dan hanya partisan,
maka tidak akan ada media lain yang mau datang. Jadi sebisa mungkin dijaga
independensinya, minimal objektivitasnya dan tidak menyerang suatu pihak.
Terkait dengan harapan terhadap audiens, kedua informan sepakat bahwa
redaksi tidak dapat memprediksi, tugas mereka adalah memaparkan fakta. Soal
apakah diterima oleh pendengar atau tidak, dipahami cepat atau lambat, kembali ke
individu pendengar masing-masing. “Serapi apapun agenda setting yang kita bikin,
ini media masa, anonim. Kita bisa saja lihat dari respon misalnya sms yang muncul
tiba-tiba mereka bilang “mafia migas ini yang bikin kita hancur” nah itu berarti sudah
paham dengan diskusi kita. Atau “terang aja BBG gak akan berkembang karena ada
orang berkurang rejekinya” nah itu berarti sudah paham,” ujar Pemred.
Ia juga menegaskan bahwa seseorang yang mendengarkan Talkshow Polemik,
maka dia akan lebih peduli dengan bangsa ini, anti korupsi, lebih cerdas, lebih paham
persoalan, dan dia akan punya pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya.
Berdasarkan pandangan etimologi social Williams, ada beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan sebelum menerapkan ekonomi politik menjadi ilmu atau deskripsi
intelektual soal system produksi, distribusi, dan pertukaran – Mosco menyebutnya
sebagai konsumsi. Ekonomi politik berarti kebiasaan, praktik, dan pengetahuan
mengenai bagaimana mengelola rumah tangga dan masyarakat. Artinya, konteks
ekonomi politik bersentuhan dengan sejumlah hal, termasuk pengetahuan sosial,
dalam ‘memuaskan’ kebutuhan masyarakat.
Dari penjelasan narasumber dan dikaitkan dengan pandangan etimologi di
atas, tampak bahwa Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta berupaya memenuhi kebutuhan
informasi dan pengetahuan para pendengarnya. Hal yang menjadi temuan menarik
bagi peneliti adalah bahwa khalayak Polemik bukan hanya pendengar dari kalangan
masyarakat umum, melainkan juga media. Sindo Trijaya jelas tidak hanya
menjadikan publik sebagai sasaran, tetapi juga media massa yang diundang, untuk
kepentingan popularitasnya. Dengan menyelenggarakan program ini di hari Sabtu, di
mana biasanya isu sedang landai, perhatian media akan tersedot pada program ini.
Lagi-lagi ini erat kaitannya dengan hegemoni dan kekuasaan pemilik media yang
melakukan agenda setting.
64
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
65
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
Khusus untuk kriteria host, Produser Polemik mengatakan bahwa syarat utama
untuk terpilih menjadi host Polemik adalah smart dan berkarakter. Saat kajian ini
disusun, Host Polemik Sindo Trijaya adalah Pangeran Ahmad Nurdin, seorang
jurnalis pria yang juga mengelola rubrik Opini di Koran Sindo. Dirinya terpilih
karena kesepakatan grup yang menilainya adalah sosok yang saat ini sesuai dalam
rangka menggantikan Host Polemik yang sebelumnya, yaitu Latief Siregar, Aryo
Ardi, dan Fadly Sungkara. Host Polemik hingga saat ini belum pernah dilakoni sosok
perempuan. Menurut penjelasan Produser kepada peneliti, bukan berarti perempuan
tidak memiliki kemungkinan untuk menjadi Host Polemik, namun memang untuk
saat ini tim redaksi belum menemukan sosok yang diharapkan.
Sementara, menurut pengamatan peneliti, Polemik Sindo Trijaya tidak jarang
menampilkan narasumber perempuan, walaupun jumlahnya selalu lebih sedikit
dibandingkan narasumber pria yang dihadirkan. “Narasumber perempuan pernah ada
juga, tetapi memang jarang karena Polemik ini berat dan harus diadu antara pro dan
kontra,” ujar Produser.
Terkait fenomena ini, peneliti menemukan fakta bahwa ada keterkaitan antara
ekonomi politik media dengan peran perempuan. Ideologi atau cara berfikir redaksi
Polemik, secara sadar diungkapkan dalam pernyataan di atas. Berdasarkan sudut
pandang peneliti, kenyataan tersebut secara implisit menyatakan bahwa perempuan
masih dipandang tidak setara dengan pria. Perempuan seolah dianggap hanya mampu
mengerjakan/ menghadapi permasalahan ringan dan cenderung memiliki sedikit
ruang untuk berargumen (dalam hal pro dan kontra). Padahal fakta menunjukkan
bahwa Prof. Dr. Siti Zuhro, seorang peneliti perempuan di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah berhasil meraih predikat narasumber terbaik
versi RRI pada 2012 lalu.
Wacana tersebut didukung oleh gambar berikut, bahwa dalam edisi Spesial 2
tahun ‘Polemik’ Sindo Trijaya mengahdirkan delapan narasumber yang tidak satupun
berjenis kelamin perempuan.
Namun demikian, Produser Polemik mengakui ada banyak (walaupun
jumlahnya lebih sedikit dari pria) narasumber wanita, Selain Siti Zuhro (Peneliti
66
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
Senior LIPI), sosok lain yang dipandang berkualitas antara lain Dewi Aryani (Politisi
PDIP), Eny Hafid (Ekonom Indef), Fahira Fahmi Idris (DPD RI), dan yang lainnya.
“… bikin talkshow itu soal pola pikir, bahan pengetahuan, bahan bacaan,
karakter, sikap. Jadi itu juga penting berpengaruh. Apalagi talkshow ini rawan orang
bermain. Kalau ada produser yang ada pesanan dari pihak tertentu untuk mengangkat
suatu isu/ tema, itu adalah tantangan tersendiri. Kita harus pastikan bahwa orang yang
bekerja itu punya tujuan agar talkshow ini menjadi bagus,” tambahnya.
“Kerja saya sendiri belum maksimal,” aku Pemred. Lebih jauh ia
mengungkapkan bahwa dalam arti mendelivered pesan-pesan ruh Polemik kepada tim
yang mengelola talkshow ini setiap harinya belum sampai. Tetap saja Pemred harus
terlibat karena ini seperti barang mewah yang harus dijaga setiap minggu. “Karena
Polemik itu Sindo Trijaya dan Sindo Trijaya adalah Polemik. Polemik itu sikap kita
terhadap suatu peristiwa. Karena sikap, maka redaksi utama yang harus terlibat jadi
gak bisa dilepas, kalo talkshow lain bisa dilepas karena hanya satu dua orang yang
tampil, itu bisa kita percaya. Tapi Polemik Sindo Trijaya 104.6 FM Jakarta
melibatkan media lain yang menyorot kita dan ini acara yang bergengsi sudah
puluhan tahun. Jangan sampai karna ada satu tema yang kita angkat itu merusak
semuanya,” tegasnya.
Sumber masalah terkait tim kerja, justru bisa muncul dari sisi narasumber.
Tim pernah belum berhasil mendapatkan narasumber hingga pukul 23.00 WIB, hari
Jum’at. Itu karena mereka idealis menginginkan untuk mendapatkan dan
menghadirkan narasumber yang terbaik.
“Tapi biasanya kalo sampai jam 11 malam kita nggak dapet, ya kita cari yang
ada aja tapi yang ngomongnya bagus. Kita pun pernah putus asa karena itu.
Narasumber cuma dua, kita harus cari dua lagi. Saking kita pengen nyari yang
sempurna. Harus empat, bukan hanya empat yang pro dua, yang kontra belum dapat.
Sampai kapanpun kita bakal tetep cari yang kontra. Sampai besok pagi, kita tunggu
sampai jam 6. Tapi biasanya sampe jam 11 begitu kita nggak dapet akhirnya kita cari
yang ada aja, tapi yang ngomongnya bagus,” urai Pemred.
“Kenapa sampe jam 11 bukannya kita terburu-buru. Nyari sudah dari hari
kamis, tapi karena kita mau cari yang terbaik berpolemik, karena kita mau
menampilkan yang pro dan kontra. Kalo semua pro, jadi seminar, bukan diskusi.
Diskusi kan harus ada yang pro dan kontra. Diskusi satu arah ya nggak seru,”
lanjutnya.
Pernyataan itu didukung oleh produser yang menyatakan bahwa biasanya
setiap kamis tim redaksi mulai mengerucutkan tema-tema atau apa yang terjadi dari
Senin hingga Kamis. Bahkan tim redaksi juga bisa saja tiba-tiba berputar arah jika
Jum’at atau Sabtu akan terjadi sesuatu yang besar, seperti kejadian Ratu Atut yang
ditahan KPK pada Jum’at, tema bisa saja berubah untuk Sabtu menjadi tema kasus
Ratu Atut.
“…dan yang kita pilih adalah benar-benar yang berpolemik, hot, menarik,”
ungkap Produser. Terkait pesan, redaksi tidak pernah bermaksud untuk menekankan
atau memojokkan suatu pihak, tetapi memberikan sebuah gambaran dari pernyataan-
pernyataan yang dilontarkan narasumber. Redaksi lebih dominan mengangkat wacana
yang sedang hangat menjadi polemik di publik.
“Tidak pernah ada conclusion dari host di akhir, paling closing harapan. Konklusion
datang dari narasumber atau closing statement. Misalnya mencari Kapolri, atau polisi
harapan rakyat. Di akhir talkshow pasti hostnya akan menyampaikan semoga polisi
67
Jurnal Komunikasi ISSN 2085-1979
Vol. 7, No. 1, Juli 2015, Hal 57 - 69
kita makin baik, semoga gaji polisi meningkat. Itu bukan kesimpulan, itu harapan.
Harapan/ Keinginan media adalah keinginan publik, jadi kita mewakili publik,”
ungkap Pemred yang juga pernah berperan sebagai Host Polemik.
Positioning Polemik sebagai satu-satunya talkshow (politik) di radio yang
konsisten setiap minggu dengan isu-isu yang menarik, dan positioning itu sudah
melekat di masyarakat. “Masyarakat sudah tau, Sabtu itu Polemik. Bahkan sekarang
positioning itu sudah sampai ke Warung Daun. Warung Daun itu Polemik. Bahkan
ada narasumber diundang acara di Warung Daun bukan Polemik, dia menghubungi
kita. Bener nggak, ada acara Sindo? Kan itu di Warung Daun. Dikiranya Warung
Daun itu punya kita,” ungkap Pemred.
Menurut penjelasan dari informan lain, selain di Warung Daun, Polemik juga
pernah diselenggarakan di tempat lain sebanyak dua kali, yaitu di Doubletree, Hotel
Hilton Jakarta.
“Dari sisi popularitas dan positioning, Polemik itu sudah dapet. Tugas kita
sekarang tinggal mempertahankan dan membuat orang jadi gak bosen. Menjaga
kualitasnya,” tandas Pemred.
“Kalau masalah idealisme, kami menjaga Polemik tetap hot dan selalu jadi
trigger untuk media-media lain, yang terjadi seperti itu kita mempengaruhi media dan
pemerintah, tentunya ini dibantu media lain,” jelas Produser
Ketika peneliti bertanya mengenai kompensasi berupa bonus atau honor
tambahan bagi para pekerja yang hadir dan bekerja di hari Sabtu, Pemred mengatakan
bahwa tidak ada upah/ bonus tambahan bagi mereka. Berdasarkan fakta tersebut,
sesuai dengan apa yang diungkapkan Strinati (Strinati: 2009) bahwa kepatuhan media
massa kepada pemilik modal dan kekuasaan politik diwujudkan dengan upaya
berkompromi kepada pasar melalui produk-produk ‘budaya’ komersial. Ekonomi
politis ingin mengkaji organisasi media sebagai lembaga yang menjadi perantara
struktur ekonomi media dengan hasil budayanya, tapi sukar untuk
membandingkannya dengan pernyataan bahwa apa yang mereka kerjakan amat
dibatasi oleh kebutuhan untuk menghasilkan dan menyebarkan ideology kelas
penguasa. Jadi, ekonomi politis terperangkap antara model konspirasi dan otonomi, di
mana keduanya tidak ingin diterima.
Simpulan
68
Dyah Rachmawati Sugiyanto: Komodifikasi Berita Dibalik Ideologi Ekonomi Politik Media (Studi
Pada Program ‘Polemik‘ Di Radio Sindo Trijaya 104.6 Fm Jakarta)
Daftar Pustaka
Burton, Graeme. (2008). Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer.
Yogyakarta: Jalasutra
Downing, John D.H., Denis McQuail., Philip Schlesinger., & Ellen Wartela. (2004).
The SAGE Handbook of Media Studies. California: SAGE Publication.
Halim, Syaiful. (2013). Postkomodifikasi Media, Analisis Media Televisi dengan
Teori Kritis dan cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication, Rethinking and
Renewal. London: Sage Publication.
Mosco, Vincent (2009). The Political Economy of Communication. London: Sage
Publication.
Strinati, Dominic. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer. Sleman: Ar-Ruzz Media.
Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LkiS
Sutrisno, Mudji., & Hendar Putranto. (2005). Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta:
Kanisius.
69