BAB PUASA
Disusun oleh:
Ahmad Zaenuri
Alfian Mujayidil Khobir
Luqman Nurudin
Widyowati
Mujayanti
Tutiul Khoti’ah
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
nikmat-Nya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun
agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Ibadah Puasa” yang penulis
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas yang dalam mata kuliah Fiqh 1 Program Madin 2019
di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ula Nglawak, Kertosono .
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam Islam, terdapat bermacam ibadah yang harus ditunaikan oleh setiap
Muslim. Ibadah badaniyah; ibadah yang dilakukan dengan kekuatan badannya,
seperti ibadah shalat dan puasa. Ibadah maliyah; ibadah yang dilaksanakan
dengan mengeluarkan harta benda miliknya karena-Nya, seperti zakat dan
sedekah.
Pada dasarnya puasa berawal dari niat yang tulus untuk menjalankan
puasa, namun hendaknya kita juga harus memperhatikan juga syarat-syarat puasa,
hal-hal yang membatalkan puasa dan juga apa saja yang disunnahkan dalam
berpuasa, semua itu agar puasa kita lebih bermanfaat dan diterima oleh Allah
SWT.
3
B. Rumusan masalah
Dalam pembahansan puasa ini ada beberapa rumusan masalah yang perlu
dibahas yakni:
a. Apa pengertian puasa?
b. Apa dasar-dasar hukum puasa?
c. Apa saja macam-macam puasa?
d. Apa syarat-syarat wajib dan sahnya puasa?
e. Apa saja rukun-rukun puasa?
f. Hal-hal apa saja yang dapat membatalkan?
g. Hal-hal apa saja yang dapat membolehkan seseorang untuk tidak
puasa?
h. Bagaimana kaidah penetapan Bulan Ramadhan menurut Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun penulisan makalah ini ditujukan untuk hal-hal berikut:
D. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, tim penyusun
menggunakan metode pencarian literatur dan bahan-bahan dari sumber-sumber
buku dan internet.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Secara etimologi, puasa (shaumu, shiyam) dalam bahasa arab berasal dari
kata صيام أو صوم-يصوم-صام yang berarti imsak atau “menahan dari segala
sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak
bermanfaat dan sebagainya.1
pengertian al-shiyam dalam istilah syara’ adalah menahan diri dari segala
hal yang dapat membatalkan puasa sehari penuh, dari terbit fajar shadiq hingga
terbenam matahari, dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini disepakati antara
Hanafiyah dan Hanabilah. Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyyah menambahkan
kata “dengan niat” pada akhir pengertian di atas. Hal ini dikarenakan menurut
Hanafiyah dan Hanabilah, niat bukanlah rukun puasa, maka ia tidak termasuk
bagian dari pengertian puasa. Namun demikian, niat adalah syarat yang harus
dikerjakan, tidak boleh tidak. Maka barang siapa tidak berniat sesuai dengan
kaifiyat yang masyru’, berarti puasanya batal, secara sepakat.3
1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014), hal: 220
2
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Mujib. (Surabaya: Darul
Ulum,1999) hal. 25
3
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab jilid 4, (Cirebon: Darul Ulum Press,
2012), hal: 3
5
Menurut Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, puasa berarti penahanan diri dari
syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang
memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu
tertentu, yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar shadiq) sampai terbenamnya
matahari, yang dilakuka oleh oleh orang tertentu yang memenuhi syarat-yaitu
kehendak hati unutk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan,
agar ibadah berbeda dari kebiasaan.4 Sesuai firman Allah SWT :
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط اْلبيض من الخيط اْلسود من...
.الفجر
)187 : (البقرة
Artinya : “Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari
benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187).
B. Dasar Hukum
Adapun hukum melakukan puasa Ramadlan adalah wajib ‘ain,
berdasarkan Al-Qur‟an, sunnah dan ijma’para ulama’. Seperti pada firman Allah
SWT:
ياا أيههااا الا ين ومنااوا كتااك علاايكم الصايام كمااا كتااك علااى الا ين ماان قاابلكم
)183 : (البقرة.لعلكم تتقون
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(Al-Baqarah : 183)5
4
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 3, (Jakarta: Darul Fikir, 2006),
hal:.19
5
Ibnu Katsir, Al-Qur’an Tarjamah, (Bandung: Jabal, 2010), hal: 63
6
Sedangkan dalam hadis Rasulullah bersabda:
: قااَ رساوَ ّللا صالى للا علياه وسالم:َعن ابن عمر رضي للا عنه قاا
، شاهادة أن ْل إلاه إْل ّللا وأن محماًاا رساوَ ّللا:بني اإلسَلم على خمس
(رواه البخاار. وصاوم رمضاان، والحا، وإيتاا الككااة،وإقام الصاَلة
)ومسلم
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di tegakan diatas lima perkara, bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
Mendirikan Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan
berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim).
C. Macam-Macam Puasa
Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali sepakat bahwasanya puasa itu
terbagi menjadi empat macam, yaitu :
1. Puasa wajib, yaitu puasa bulan ramadhan, puasa kifarat, puasa nazar.
2. Puasa sunnah (mandub)
3. Puasa makruh
4. Puasa haram6
6
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal:4
7
2. Puasa ramadhan dan dalil dasarnya
Puasa ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukllaf yang
mampu berpuasa. Puasa ramdhan tersebut mulai diwajibkan pada tanggal
10 sya’ban satu setengah tahun setelah hijrah. Tentang dalil dasarnya yang
menyatakan kewajiban puasa ramadhan ialah Al-qur’an, hadits dan ijma’.
Dalil dari Al-qur’an iala firma Allah swt :
Puasa sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan
apabila kita tinggalkan atau tidak kita kita kerjakan tidak berdosa.Berikut
contoh-contoh puasa sunnat: Puasa hari Tasu’a – ‘asyura – hari-hari putih dan
sebagainya.
Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu
disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya, pada hari itu bagi selain orang yang
sedang melaksanakan ibadah haji : Puasa hari senin dan kamis.
Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis setiap minggu dan di
dalam melakukan puasa dua hari itu mengandung kebaikan pada tubuh. Hal
demikian tak ada keraguan lagi : Puasa 6 hari di bulan Syawal.
Disunnahkan bagi oramg yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak
berpuasa sehari. Diterangkan bahwa puasa semacam ini merupakan salah satu
macam puasa sunnah yang lebih utama : Puasa bulan rajab, sya’ban dan
bulan-bulan mulia yang lain.
8
Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadha nya jika
dibatalkan adalah disunnahkan menurut ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.
c. Puasa Makruh
Puasa hari jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, puasa hari
perayaan besar yang keduanya disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau
sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka puasa itu
dimakruhkan menurut tiga kelompok imam madzhab. Namun ulama madzhab
syafi’I mengatakan : tidak dimakruhkan berpuasa pada kedua hari itu secara
mutlaq.
d. Puasa Haram
1) Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah (Idul Fitri) dan hari
raya kurban (idul adha)
2) Tiga hari setelah hari raya kurban. Banyak ulama berbeda pendapat
tentang hal ini(fiqih empat madzhab hal 385)
3) Puasa seorang wanita tanpa izin suaminya dengan melakukan puasa
sunnat, atau dengan tanpa kerelaan sang suami bila ia tidak
memberikan izin secara terang-terangan. Kecuali jika sang suami
memang tidak memerlukan istrinya, misalnya suami sedang pergi, atau
sedang ihram, atau sedang beri’tikaf.
7
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 2, (Damaskus : Darul Fikir, 1985),
hal: 610
9
Orang gila, orang pingsan, orang mabuk tidak wajib puasa.
4) Mampu berpuasa (tidak sakit dan bukan orang lanjut usia)
5) Mukim (tidak bepergian).
E. Rukun-rukun Puasa
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa itu mempunyai satu rukun,
yaitu menahan diri dari segala yag dapat membatalkan puasa. Sedangkan menurut
Malikiyah, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat, sebagian berpendapat
bahwa rukun puasa ada dua, yaitu:
1. Niat
8
Wahbah Az Zuhaili, op.cit., hal: 617
10
Namun, sebagian Malikiyah yang lain cenderung menganggap niat sebagai
syarat, bukan rukun puasa9.
Niat puasa Ramadhan harus dilakukan pada malam hari sampai sebelum
terbitnya fajar. Rasulullah SAW bersabda:
Seperti yang sudah kita tahu bahwa definisi dari shaum puasa
adalah imsak atau menjaga, menahan sesuatu agar tidak masuk ke dalam
tubuh kita. Baik itu berupa makanan, minuman, obat-obatan, atau segala
macam benda lainnya. Sebagaimana dalam Alquran Allah Swt. berfirman;
Makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan
antara benang putih dan hitam… (QS. Albaqarah, 2: 187)
9
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal: 8
11
Adapun jika kita melakukan aktivitas di atas tanpa sengaja, maka
kita diwajibkan melanjutkan puasa tersebut sampai selesai tanpa harus
mengqadanya. Hal ini berlandaskan hadis Rasulullah Saw.;
6. Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan perempuan)
walaupun tanpa berjima’. Diharamkan apabila mengeluarkannya dengan
tangan, namun tidak diharamkan seumpama dikeluarkan dengan tangan
istrinya atau budaknya (tapi tetap termasuk perkara yang membatalkan
12
puasa). Adapun keluar mani tanpa disengaja seperti karena mimpi maka
itu tidaklah batal.
7. Haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah
menginjak usia batas minimal 9 tahun. Adapun waktu haid paling cepat
selama sehari semalam (24 jam). Umumnya darah haid keluar selama satu
minggu, dan paling lama masa haid selama 15 hari.
8. Nifas, adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Adapun darah yang
keluar sebelum melahirkan atau bersamaan dengan waktu melahirkan
bukan termasuk darah nifas, akan tetapi disebut darah istihadhah.
9. Hilang Akal. Ada beberapa ciri orang hilang akal yang masuk dalam
perkara yang membatalkan puasa:
10. Murtad, yaitu melakukan sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar
dari Islam dengan (semisal) mengingkari keberadaan Allah Swt. sebagai
13
zat tunggal. Jika terjadi di saat ia sedang melaksanakan ibadah puasa,
maka otomatis hal ini masuk dalam perkara yang membatalkan puasa10.
1. Bepergian (Safar)
10
Al-Ghazi, Muhammad bin Qasim, op.cit., hal: 45
14
b) Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru
memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud
dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam
perjalanan, dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”
c) Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang
bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti
sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui
masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
d) Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:
2. Sakit
15
salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan
puasanya.11
Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar
fidyah?
4. Lanjut Usia
Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah
tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya
dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya
melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat
11
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal: 60
16
ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu
lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu
hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi
kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak
menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan
bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa
membayar fidyah.
Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi,
sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh
membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan
puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak mekanisme
(syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke
dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]
H. Sunnah-sunnah Puasa
Ijma’ ulama menetapkan bahwa diantara sunnah-sunnah yang dianjurkan
saat menjalankan ibadah puasa adalah:
12
Abdurrahman Al-Jaziri, ibid., hal: 66
17
“Manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka masih
menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”.
، فإذا أصابح أحاًكم صاائ اما فاَل يرفاث وْل يجهال،إنما الصوم جنة
) (متفق عليه. إني صائم: فإن امرؤ شاتمه فليقل
“Puasa itu sebenarnya perisai. Apabila salah seorang di antara kalian
berpuasa maka janganlah berkata keji dan berlaku bodoh (menyakiti
orang lain), apabila ada orang lain mencacinya, katakanlah, “saya
sedang berpuasa”.
18
merdeka, laki-laki, dan adil. Dalam kesaksian itu ia harus mengatakan
“Saya menyaksikan”, misalnya dengan mengatakan di hadapan hakim.
Apabila ru’yat telah diputuskan di suatu daerah, maka bagi daerah lainnya
wajib puasa. Tidak ada perbedaan apakah daerah itu dekat dari tempat
diputuskannya ru’yat ataupun jauh.
Hukum mengamati hilal adalah fardu kifayah bagi kaum muslimin untuk
mengamati hilal pada waktu terbenamnya matahari pada tanggal 29
Sya’ban dan Ramadhan. Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafi’iyyah sepakat
tentang hukum Fardhu kifayah. Sedang menurut Hanabilah berpendapat
bahwa mengamati hilal itu hukumnya mandub, bukan wajib.13
13
Abdurrahman Al-Jaziri, opcit., jilid 4 hal:16
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Pengertian puasa Secara etimologi, puasa (shaumu, shiyam) dalam
bahasa arab berarti imsak atau “menahan dari segala sesuatu”.
Sedangkan menurut terminologi, puasa adalah menahan dari sesuatu
yang membatalkan puasa dengan niat yang khusus pada seluruh siang
harinya, orang yang melakukan puasa bagi yang berakal, dan suci dari
haidl dan nifas.
b. Dasar hukum puasa adalah firman Allah SWT:
يا أيهها ال ين ومنوا كتك عليكم الصيام كما كتك على ال ين من قبلكم
e. Rukun Puasa:
1) Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa itu mempunyai satu
rukun, yaitu menahan diri dari segala yag dapat membatalkan
puasa.
20
2) Menurut Malikiyah, rukun puasa ada dua, yaitu: Niat, Menahan
diri dari segala yang dapat membatalkan puasa
3) Menurut Syafi’iyah, rukun puasa itu ada 3, yaitu: niat, Menahan
diri dari hal-hal/ perbuatan yang membatlkan puasa sejak terbit
matahari sampai terbenamnya, orang yang berpuasa.
f. Hal-hal yang membatalkan puasa ada 10, yaitu:
1) Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang
yang terbuka (mulut, hidung, dan lain-lain).
2) Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang
yang tertutup, seperti benda yang masuk ke otak melalui kepala.
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa orang yang
berpuasa wajib mencegah sesuatu yang bisa masuk ke dalam
anggota tubuh.
3) Mengobati orang yang sakit melalui dua jalan (qubul dan dzubur)
4) Muntah dengan sengaja, namun apabila tidak disengaja maka
hukumnya tidak batal.
5) Berjimak, Bersetubuh, melakukan hubungan seksual dengan
sengaja. Namun tidak batal apabila lupa (kalau sedang puasa)
6) Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan
perempuan) walaupun tanpa berjima’.
7) Haid,
8) Nifas,
9) Hilang Akal.
10) Murtad, yaitu melakukan sesuatu hal yang menyebabkan seseorang
keluar dari Islam dengan (semisal) mengingkari keberadaan Allah
Swt.
g. Beberapa keadaan yang membolehkan untuk tidak berpuasa,
diantaranya: Bepergian (safar), sakit, hamil dan menyusui, lanjut usia,
Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi, dan dalam keadaan
dipaksa.
h. Sunnah-sunnah Puasa
1) Mengakhirkan sahur dan menyegarakan berbuka. Rasulullah
bersabda:
2) Menurut jumhur, termasuk sunnah puasa adalah menghindari
perkataan keji dan kotor.
21
2) Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, yaitu
bila di langit ada peghalang (untuk dilakukan ru’yat).
B. Saran
Tiada gading yang tak retak, itulah peribasa yang pantas untuk
mediskripsikan makalah yang kami susun. Makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan untuk
perbaikan selanjutnya, agar kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Semoga makalah yang kami susun seadanya ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca yang budiman.
22
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib Mujib. (Surabaya: Darul
Ulum,1999)
23