Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FIQIH

BAB PUASA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 1

Dosen Pembimbing : Bapak Dr. KH. Isrofil Amar, M.Ag

Disusun oleh:

Ahmad Zaenuri
Alfian Mujayidil Khobir
Luqman Nurudin
Widyowati
Mujayanti
Tutiul Khoti’ah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ULA”

NGLAWAK – KERTOSONO - NGANJUK

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
nikmat-Nya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun
agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Ibadah Puasa” yang penulis
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas yang dalam mata kuliah Fiqh 1 Program Madin 2019
di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ula Nglawak, Kertosono .

Dalam penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Dalam penulisan makalah ini penyusun menyampaikan ucapan terima


kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada dosen kami, Bapak Dr. KH. Isrofil Amar, M.Ag. yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini. Semoga Allah SWT. selalu meridhoi langkah kita
semua. Amiin.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Nganjuk, 30 September 2019

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB 1 ..................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar belakang .............................................................................................. 3
B. Rumusan masalah......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 4
D. Metode Penulisan ......................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Pengertian Puasa .......................................................................................... 5
B. Dasar Hukum ............................................................................................... 6
C. Macam-Macam Puasa .................................................................................. 7
D. Syarat-syarat wajib dan sah Puasa ............................................................... 9
E. Rukun-rukun Puasa .................................................................................... 10
F. Hal-hal yang membatalkan puasa .............................................................. 11
G. Hal-hal yang membolehkan tidak berpuasa ............................................... 14
H. Sunnah-sunnah Puasa ................................................................................. 17
I. Tentang Penetapan Bulan Ramadhan ........................................................ 18
BAB III ................................................................................................................. 20
PENUTUP ............................................................................................................. 20
A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
B. Saran ........................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam Islam, terdapat bermacam ibadah yang harus ditunaikan oleh setiap
Muslim. Ibadah badaniyah; ibadah yang dilakukan dengan kekuatan badannya,
seperti ibadah shalat dan puasa. Ibadah maliyah; ibadah yang dilaksanakan
dengan mengeluarkan harta benda miliknya karena-Nya, seperti zakat dan
sedekah.

Ibadah yang berupa meninggalkan dan menahan, seperti menahan dan


meninggalkan makan, minum, dan segala hal yang membatalkannya, disebut
dengan ibadah puasa. Puasa adalah rukun islam yang keempat yang wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim. Tetapi di dalam puasa itu terdapat banyak hal
yang perlu kita ketahui sebelum melaksanakan salah satu Rukun Islam yang satu
ini, jadi kita bukan hanya sekedar melaksanakannya saja, namun harus memahami
tentang manfaat dan hikmah yang diperoleh dari pelaksanaan ibadah puasa ini.

Pada dasarnya puasa berawal dari niat yang tulus untuk menjalankan
puasa, namun hendaknya kita juga harus memperhatikan juga syarat-syarat puasa,
hal-hal yang membatalkan puasa dan juga apa saja yang disunnahkan dalam
berpuasa, semua itu agar puasa kita lebih bermanfaat dan diterima oleh Allah
SWT.

Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar


melaksanakan, tanpa memperhatikan dengan cermat syarat sahnya puasa dan hal-
hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka
hanyalah mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Sangatlah rugi bagi kita jika
sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu,
kami dari kelompok II PAI-Madin akan membahas lebih dalam lagi segala hal
yang berkaitan dengan ibadah puasa.

3
B. Rumusan masalah
Dalam pembahansan puasa ini ada beberapa rumusan masalah yang perlu
dibahas yakni:
a. Apa pengertian puasa?
b. Apa dasar-dasar hukum puasa?
c. Apa saja macam-macam puasa?
d. Apa syarat-syarat wajib dan sahnya puasa?
e. Apa saja rukun-rukun puasa?
f. Hal-hal apa saja yang dapat membatalkan?
g. Hal-hal apa saja yang dapat membolehkan seseorang untuk tidak
puasa?
h. Bagaimana kaidah penetapan Bulan Ramadhan menurut Islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun penulisan makalah ini ditujukan untuk hal-hal berikut:

a. Menjelaskan pengertian puasa.


b. Menjelaskan dasar-dasar hukum puasa.
c. Menjelaskan macam-macam puasa.
d. Menjelaskan syarat-syarat wajib dan sahnya puasa
e. Menjelaskan rukun-rukun puasa
f. Menjelaskan hal-hal yang membatalkan puasa.
g. Menjelaskan hal-hal yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
h. Menjelaskan amalan-amalan sunnah puasa
i. Menjelaskan kaidah penetapan Bulan Ramadhan.

D. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, tim penyusun
menggunakan metode pencarian literatur dan bahan-bahan dari sumber-sumber
buku dan internet.

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Secara etimologi, puasa (shaumu, shiyam) dalam bahasa arab berasal dari

kata ‫صيام أو صوم‬-‫يصوم‬-‫صام‬ yang berarti imsak atau “menahan dari segala

sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak
bermanfaat dan sebagainya.1

Sedangkan menurut terminologi, puasa adalah:

‫إمساك عن مفطر بنية مخصوصة جميع نهار قابل للصوم من مسلم‬


.‫عاقل طاهر من حيض و نفاس‬
(menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat yang khusus
pada seluruh siang harinya, orang yang melakukan puasa bagi yang berakal, dan
suci dari haidl dan nifas)2

pengertian al-shiyam dalam istilah syara’ adalah menahan diri dari segala
hal yang dapat membatalkan puasa sehari penuh, dari terbit fajar shadiq hingga
terbenam matahari, dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini disepakati antara
Hanafiyah dan Hanabilah. Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyyah menambahkan
kata “dengan niat” pada akhir pengertian di atas. Hal ini dikarenakan menurut
Hanafiyah dan Hanabilah, niat bukanlah rukun puasa, maka ia tidak termasuk
bagian dari pengertian puasa. Namun demikian, niat adalah syarat yang harus
dikerjakan, tidak boleh tidak. Maka barang siapa tidak berniat sesuai dengan
kaifiyat yang masyru’, berarti puasanya batal, secara sepakat.3

1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014), hal: 220
2
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Mujib. (Surabaya: Darul
Ulum,1999) hal. 25
3
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab jilid 4, (Cirebon: Darul Ulum Press,
2012), hal: 3

5
Menurut Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, puasa berarti penahanan diri dari
syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang
memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu
tertentu, yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar shadiq) sampai terbenamnya
matahari, yang dilakuka oleh oleh orang tertentu yang memenuhi syarat-yaitu
kehendak hati unutk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan,
agar ibadah berbeda dari kebiasaan.4 Sesuai firman Allah SWT :

‫وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط اْلبيض من الخيط اْلسود من‬...
.‫الفجر‬

)187 : ‫(البقرة‬
Artinya : “Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari
benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187).

B. Dasar Hukum
Adapun hukum melakukan puasa Ramadlan adalah wajib ‘ain,
berdasarkan Al-Qur‟an, sunnah dan ijma’para ulama’. Seperti pada firman Allah
SWT:

‫ياا أيههااا الا ين ومنااوا كتااك علاايكم الصايام كمااا كتااك علااى الا ين ماان قاابلكم‬
)183 : ‫ (البقرة‬.‫لعلكم تتقون‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(Al-Baqarah : 183)5

4
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 3, (Jakarta: Darul Fikir, 2006),
hal:.19
5
Ibnu Katsir, Al-Qur’an Tarjamah, (Bandung: Jabal, 2010), hal: 63

6
Sedangkan dalam hadis Rasulullah bersabda:

:‫ قااَ رساوَ ّللا صالى للا علياه وسالم‬:َ‫عن ابن عمر رضي للا عنه قاا‬
،‫ شاهادة أن ْل إلاه إْل ّللا وأن محماًاا رساوَ ّللا‬:‫بني اإلسَلم على خمس‬
‫ (رواه البخاار‬.‫ وصاوم رمضاان‬، ‫ والحا‬،‫ وإيتاا الككااة‬،‫وإقام الصاَلة‬
)‫ومسلم‬
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di tegakan diatas lima perkara, bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
Mendirikan Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan
berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim).

C. Macam-Macam Puasa

Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali sepakat bahwasanya puasa itu
terbagi menjadi empat macam, yaitu :

1. Puasa wajib, yaitu puasa bulan ramadhan, puasa kifarat, puasa nazar.
2. Puasa sunnah (mandub)
3. Puasa makruh
4. Puasa haram6

a. Puasa Wajib (Fardhu)


1. Puasa wajib atau fardhu yaitu puasa pada bulan ramadhan.

Telah kita ketahui bahwasanya puasa fardhu ialah puasa ramadhan


yang dilakukan secara tepat waktu artinya pada bulan Ramadhan secara
ada’ dan demikian pula yang dikerjakan secara qadha’. Termasuk puasa
fardhu lagi ialah puasa kifarat dan puasa yang dinazarkan. Ketentuan ini
telah disepakati menurut para imam-imam madzhab, meskipun sebagian
ulama hanafiyah berbeda pendapat dalam hal puasa yang dinazarkan.
Mereka ini mengatakan bahwa puasa nazar itu puasa wajib bukan puasa
fardhu.

6
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal:4

7
2. Puasa ramadhan dan dalil dasarnya

Puasa ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukllaf yang
mampu berpuasa. Puasa ramdhan tersebut mulai diwajibkan pada tanggal
10 sya’ban satu setengah tahun setelah hijrah. Tentang dalil dasarnya yang
menyatakan kewajiban puasa ramadhan ialah Al-qur’an, hadits dan ijma’.
Dalil dari Al-qur’an iala firma Allah swt :

)185:‫ (البقرة‬... ‫أنكَ فيه القرون‬ ‫شهر رمضان ال‬


Artinya : (bulan yang diwajibkan berpuasa didalamnya) ialah
bu;lan ramdhan, yang didlamanya diturunkan (permulaan) Al-qur’an. (Al-
Baqarah: 185)

b. Puasa Sunnah (mandub)

Puasa sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan
apabila kita tinggalkan atau tidak kita kita kerjakan tidak berdosa.Berikut
contoh-contoh puasa sunnat: Puasa hari Tasu’a – ‘asyura – hari-hari putih dan
sebagainya.

Puasa sunnah diantaranya ialah berpuasa pada bulan Muharram. Yang


lebih utama adalah tanggal ke 9 dan ke 10 bulan tersebut :Puasa hari Arafah.

Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu
disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya, pada hari itu bagi selain orang yang
sedang melaksanakan ibadah haji : Puasa hari senin dan kamis.

Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis setiap minggu dan di
dalam melakukan puasa dua hari itu mengandung kebaikan pada tubuh. Hal
demikian tak ada keraguan lagi : Puasa 6 hari di bulan Syawal.

Disunnhakan berpuasa selama 6 hari dari bulan syawal secara mutlak


dengan tanpa syarat-syarat : Puasa sehari dan berbuka sehari.

Disunnahkan bagi oramg yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak
berpuasa sehari. Diterangkan bahwa puasa semacam ini merupakan salah satu
macam puasa sunnah yang lebih utama : Puasa bulan rajab, sya’ban dan
bulan-bulan mulia yang lain.

Disunnahkan berpuasa pada bulan rajab dan sya’ban menurut kesepakatan


tiga kalangan imam-imam madzhab.Adapun bulan-bulan mulia yaitu ada 4,
dan yang tiga berturut-turut yakni: Dzulqa’dah, dzulhijjah dan Muharram, dan
yang satu sendiri yakni bulan Rajab, maka berpuasa pada bulan-bulan tersebut
memang disunnahkan .Bila seseorang memulai berpuasa sunnah lalu
membatalkannya.

8
Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadha nya jika
dibatalkan adalah disunnahkan menurut ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.

c. Puasa Makruh

Puasa hari jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, puasa hari
perayaan besar yang keduanya disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau
sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka puasa itu
dimakruhkan menurut tiga kelompok imam madzhab. Namun ulama madzhab
syafi’I mengatakan : tidak dimakruhkan berpuasa pada kedua hari itu secara
mutlaq.

d. Puasa Haram

Maksudnya ialah seluruh ummat islam memang diharamkan puasa pada


saat itu, jika kita berpuasa maka kita akan mendapatkan dosa, dan jika kita
tidak berpuasa maka sebaliknya yaitu mendapatkan pahala. Allah telah
menentukan hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa
keadaan, diantaranya ialah :

1) Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah (Idul Fitri) dan hari
raya kurban (idul adha)
2) Tiga hari setelah hari raya kurban. Banyak ulama berbeda pendapat
tentang hal ini(fiqih empat madzhab hal 385)
3) Puasa seorang wanita tanpa izin suaminya dengan melakukan puasa
sunnat, atau dengan tanpa kerelaan sang suami bila ia tidak
memberikan izin secara terang-terangan. Kecuali jika sang suami
memang tidak memerlukan istrinya, misalnya suami sedang pergi, atau
sedang ihram, atau sedang beri’tikaf.

D. Syarat-syarat wajib dan sah Puasa


Syarat puasa terbagi menjadi 2 macam:

1) Syarat wajib puasa


2) Syarat sah puasa7

a. Syarat Wajib Puasa ada 5


1) Islam (menurut pendapat Imam Hanafi sedangkan menurut Jumhurul
Fuqoha’ islam adalah syarat sah puasa)
2) Baligh
Maka tidak wajib puasa bagi anak kecil.
3) Berakal

7
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 2, (Damaskus : Darul Fikir, 1985),
hal: 610

9
Orang gila, orang pingsan, orang mabuk tidak wajib puasa.
4) Mampu berpuasa (tidak sakit dan bukan orang lanjut usia)
5) Mukim (tidak bepergian).

b. Syarat Sah Puasa


1) Menurut pendapat Imam Hanafi
- Niat
- Suci dari haid dan nifas
- Terbebas dari perkara yang merusak/membatalkan puasa
2) Menurut pendapat Imam Maliki
- Niat
- Suci dari haid dan nifas
- Islam
- Pada hari diperbolehkan puasa
3) Menurut pendapat Imam Syafi’i
- Islam
- Berakal
- Suci dari haid dan nifas sepanjang siang hari
- Niat
4) Menurut pendapat Imam Hambali
- Islam
- Niat
- Suci dari haid dan nifas

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semua Ulama’


ahli Fiqih sepakat bahwa syarat sah puasa adalah niat dan suci dari haid dan nifas
sepanjang siang hari. Sedangkan islam adalah syarat sah puasa menurut Jumhurul
Fuqoha’ dan merupakan syarat wajib puasa menurut Imam Hanafi.8

E. Rukun-rukun Puasa
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa itu mempunyai satu rukun,
yaitu menahan diri dari segala yag dapat membatalkan puasa. Sedangkan menurut
Malikiyah, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat, sebagian berpendapat
bahwa rukun puasa ada dua, yaitu:

1. Niat

2. Menahan diri dari segala yang dapat membatalkan puasa.

8
Wahbah Az Zuhaili, op.cit., hal: 617

10
Namun, sebagian Malikiyah yang lain cenderung menganggap niat sebagai
syarat, bukan rukun puasa9.

Menurut Syafi’iyah, rukun puasa itu ada 3, yaitu:

1. Niat; yaitu menyengaja akan melakukan puasa. Lafal niat puasa


Ramadhan adalah:

‫نويت صوم غً عن أدا فرض شهر رمضان ه ه السنة لل تعالى‬


Artinya: “Saya niat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa
Ramadhan tahun ini karena Allah”.

Niat puasa Ramadhan harus dilakukan pada malam hari sampai sebelum
terbitnya fajar. Rasulullah SAW bersabda:

‫من لم يجمع الصيام قبل الفجر فَل صيام له‬


Artinya: “Barang siapa tidak berniat akan mengerjakan puasa pada malam
hari sebelum terbit fajar, maka bukanlah ia berpuasa.” (HR. Lima ahli
hadist).

2. Menahan diri dari hal-hal/ perbuatan yang membatlkan puasa sejak


terbit matahari sampai terbenamnya.

3. Ada orang yang berpuasa.

F. Hal-hal yang membatalkan puasa


Hal-hal yang membatalkan puasa ada 10, yaitu:

1. Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang yang


terbuka (mulut, hidung, dan lain-lain).

Seperti yang sudah kita tahu bahwa definisi dari shaum puasa
adalah imsak atau menjaga, menahan sesuatu agar tidak masuk ke dalam
tubuh kita. Baik itu berupa makanan, minuman, obat-obatan, atau segala
macam benda lainnya. Sebagaimana dalam Alquran Allah Swt. berfirman;

Makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan
antara benang putih dan hitam… (QS. Albaqarah, 2: 187)

9
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal: 8

11
Adapun jika kita melakukan aktivitas di atas tanpa sengaja, maka
kita diwajibkan melanjutkan puasa tersebut sampai selesai tanpa harus
mengqadanya. Hal ini berlandaskan hadis Rasulullah Saw.;

“Jika lupa sehingga makan dan minum, hendaklah


menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Allah SWT yang
memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang yang


tertutup, seperti benda yang masuk ke otak melalui kepala. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa orang yang berpuasa wajib
mencegah sesuatu yang bisa masuk ke dalam anggota tubuh.
3. Mengobati orang yang sakit melalui dua jalan (qubul dan dzubur)
4. Muntah dengan sengaja, namun apabila tidak disengaja maka hukumnya
tidak batal. Berlandaskan hadis Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya


menqadha puasanya. Dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka
wajib baginya menqadha puasanya” (Hadits Riwayat Abu Daud 2/310,
At-Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, dan Ahmad 2/498

5. Berjimak, Bersetubuh, melakukan hubungan seksual dengan sengaja.


Namun tidak batal apabila lupa (kalau sedang puasa) seperti yang
disampakan oleh Ibnul Qayyim dalam Kitabnya (Zaadul Ma`ad 2/66):
Alquran menunjukkan bahwa Jima` membatalkan puasa seperti halnya
makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Bagi pasangan yang dengan sengaja melakukan Jimak saat


berpuasa, maka diwajibkan baginya membayar kafarat yaitu
memerdekakan budak mukmin. Apabila dia tidak sanggup atau tidak
menemukannya, maka wajib baginya berpuasa di luar puasa Ramadhan
selama dua bulan berturut-turut, dan apabila ia tidak mampu juga maka
diwajibkan membayar fidyah untuk 60 orang fakir atau miskin. Dan bagi
tiap-tiap orang miskin mendapatkan satu mud dari makanan yang
mencukupi untuk zakat fitrah.

Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat tersebut tidak


gugur dan tetap menjadi tanggungannya. Dan pada saat ia ada kemampuan
untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja dengan segera.

6. Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan perempuan)
walaupun tanpa berjima’. Diharamkan apabila mengeluarkannya dengan
tangan, namun tidak diharamkan seumpama dikeluarkan dengan tangan
istrinya atau budaknya (tapi tetap termasuk perkara yang membatalkan

12
puasa). Adapun keluar mani tanpa disengaja seperti karena mimpi maka
itu tidaklah batal.
7. Haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah
menginjak usia batas minimal 9 tahun. Adapun waktu haid paling cepat
selama sehari semalam (24 jam). Umumnya darah haid keluar selama satu
minggu, dan paling lama masa haid selama 15 hari.
8. Nifas, adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Adapun darah yang
keluar sebelum melahirkan atau bersamaan dengan waktu melahirkan
bukan termasuk darah nifas, akan tetapi disebut darah istihadhah.

Batasan minimal dari darah nifas adalah setetes dalam waktu


sebentar. Apabila setelah itu tidak ada lagi darah yang keluar, maka ia suci
dan harus mandi besar. Dan apabila setelah melahirkan tidak ada darah
yang keluar, maka status wanita tersebut suci dan tetap harus mandi besar
karena wiladah (keluarnya anak) yang berasal dari mani suami istri.

Masa nifas biasanya 40 hari. Sedangkan paling lama adalah 60


hari. Dengan demikian wanita yang keluar darah selama masa nifas maka
hukumnya si wanita tidak diperbolehkan melakukan shalat dan puasa.

9. Hilang Akal. Ada beberapa ciri orang hilang akal yang masuk dalam
perkara yang membatalkan puasa:

Pertama, gila. Orang hilang akal yang menyebabkan dirinya tidak


bisa membedakan perkara halal dan haram, Perkara baik dan tidak baik,
maka dia dianggap sudah keluar dari kewajiban (mukallaf) dan dihukumi
sama halnya seperti bayi.

Kedua, Mabuk dan pingsan. Jika disengaja, maka mabuk dan


pingsan membatalkan puasa biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja
mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti mabuk atau
pingsan. Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan
membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh.

Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya sebentar


di siang hari maka puasanya tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau
mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabuk atau pingsan
sementara ia tidak tahu kalau hal itu akan memabukkan atau
menjadikannya pingsan. Maka orang tersebut tetap sah puasanya asalkan
sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.

10. Murtad, yaitu melakukan sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar
dari Islam dengan (semisal) mengingkari keberadaan Allah Swt. sebagai

13
zat tunggal. Jika terjadi di saat ia sedang melaksanakan ibadah puasa,
maka otomatis hal ini masuk dalam perkara yang membatalkan puasa10.

G. Hal-hal yang membolehkan tidak berpuasa


Beberapa keadaan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, diantaranya:

1. Bepergian (Safar)

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang


berbunyi :”Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang
bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari lain”.

a) Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal


kira-kira 89 km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, harus
dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia telah berpuasa saat
memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh),
maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Kendati begitu jika ternyata
dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat
melelahkan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya,
sebagaimana hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya Rasulullah berangakat
menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-
Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi
masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa. Kemudian Rasul
mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk
meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan
Rasul”. Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis Asar. Anggota
rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan
puasa, dan sebagian lain ada yang masih tetap bertahan meneruskan
puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa, maka Rasul
pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang
yang keras”. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka
dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.

10
Al-Ghazi, Muhammad bin Qasim, op.cit., hal: 45

14
b) Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru
memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud
dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam
perjalanan, dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”
c) Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang
bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti
sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui
masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
d) Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:

1. Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah


memperbolehkan membatalkan puasa sekalipun perjalanan itu
demi kemaksiatan)
2. Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.

e) Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada


malam harinya.

2. Sakit

Sakit merupakan ‘udzur puasa berdasarkan firman Allah : “Barang siapa


diantara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian …..”

Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si


penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru
memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan
dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika seseorang menderita penyakit-
penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh membatalkan puasanya. Dan
seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan menjadi
sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda dari Syafi’iyah dan
Hanbaliyah), dia dihukumi sama dengan orang sakit. Demikian pula jika
seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi

15
salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan
puasanya.11

3. Hamil dan Menyusui

Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika ia


khawatir akan kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi yang disusui
adalah anak kandungnya atau anak susuan saja. Kekhawatiran disini baik
berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri. Ketentuan seperti ini
berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir, dan hadis Nabi:
“Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk
tidak berpuasa, mengqashar shalat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil
dan yang menyusui.”

Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya


sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.

Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar
fidyah?

 Hanafiyah: mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah.


 Syafi’iyah dan Hanbaliyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika
mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka).
 Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang
menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.

4. Lanjut Usia

Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah
tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya
dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya
melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat

11
Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit., hal: 60

16
ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu
lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu
hari.

Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi
kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak
menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan
bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa
membayar fidyah.

5. Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi.

Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi,
sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh
membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan
puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak mekanisme
(syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke
dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]

6. Dalam keadaan dipaksa

Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang


yang dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib
mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan digauli secara paksa atau dalam
keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib mengqadha’nya puasanya.12

H. Sunnah-sunnah Puasa
Ijma’ ulama menetapkan bahwa diantara sunnah-sunnah yang dianjurkan
saat menjalankan ibadah puasa adalah:

1. Mengakhirkan sahur dan menyegarakan berbuka. Rasulullah bersabda:

‫ (رواه‬.‫ْل تااكاَ الناااس بخياار مااا عجلااوا الفطاار وأخااروا السااحور‬


) ‫البخار‬

12
Abdurrahman Al-Jaziri, ibid., hal: 66

17
“Manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka masih
menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”.

)‫ (متفق عليه‬.‫تسحروا فإن في السحور بركة‬


“Makan sahurlah kalian, kerena sesungguhnya pada makan sahur itu
terdapat keberkahan”.

2. Menurut jumhur, termasuk sunnah puasa adalah menghindari perkataan


keji dan kotor, berdasarkan sabda Nabi SAW:

،‫ فإذا أصابح أحاًكم صاائ اما فاَل يرفاث وْل يجهال‬،‫إنما الصوم جنة‬
)‫ (متفق عليه‬.‫ إني صائم‬: ‫فإن امرؤ شاتمه فليقل‬
“Puasa itu sebenarnya perisai. Apabila salah seorang di antara kalian
berpuasa maka janganlah berkata keji dan berlaku bodoh (menyakiti
orang lain), apabila ada orang lain mencacinya, katakanlah, “saya
sedang berpuasa”.

I. Tentang Penetapan Bulan Ramadhan


Bulan Ramadhan dapat ditetapkan dengan menggunakan salah satu dari
dua cara, yaitu:

1. Dengan melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan, yang dikenal dengan


istilah “ru’yatul hilal”, yaitu bila di langit tidak ada suatu yang dapat
menghalangi ru’yat seperti awan, asap (kabut), abu, atau lainnya.

2. Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, yaitu bila di


langit ada peghalang (untuk dilakukan ru’yat). Berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:

‫صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عًة شعبان‬


)‫ (رواه البخار عن أبي هريرة‬.‫ثَلثين‬
“Puasalah kamu bila melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah kamu
bila melihatnya (hilal Suawal); Jika kamu terhalang oleh awan (untuk
dapat melihat hilal), maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban itu menjadi
30 hari” (HR. Imam Bukhori dan Abu Hurairah).

Menurut Syafi’iyyah, bahwa bulan Ramadhan itu ditetapkan dengan ru’yat


seorang yang adil, sekalipun perihal dirinya tidak diketahui, baik langit
dalam keadaan cerah atau suatu penghalang yang dapat menyulitkan
ru’yat. Saksi tersebut disyaratkan seorang muslim yang akil, balihg,

18
merdeka, laki-laki, dan adil. Dalam kesaksian itu ia harus mengatakan
“Saya menyaksikan”, misalnya dengan mengatakan di hadapan hakim.

Apabila ru’yat telah diputuskan di suatu daerah, maka bagi daerah lainnya
wajib puasa. Tidak ada perbedaan apakah daerah itu dekat dari tempat
diputuskannya ru’yat ataupun jauh.

Hukum mengamati hilal adalah fardu kifayah bagi kaum muslimin untuk
mengamati hilal pada waktu terbenamnya matahari pada tanggal 29
Sya’ban dan Ramadhan. Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafi’iyyah sepakat
tentang hukum Fardhu kifayah. Sedang menurut Hanabilah berpendapat
bahwa mengamati hilal itu hukumnya mandub, bukan wajib.13

13
Abdurrahman Al-Jaziri, opcit., jilid 4 hal:16

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Pengertian puasa Secara etimologi, puasa (shaumu, shiyam) dalam
bahasa arab berarti imsak atau “menahan dari segala sesuatu”.
Sedangkan menurut terminologi, puasa adalah menahan dari sesuatu
yang membatalkan puasa dengan niat yang khusus pada seluruh siang
harinya, orang yang melakukan puasa bagi yang berakal, dan suci dari
haidl dan nifas.
b. Dasar hukum puasa adalah firman Allah SWT:

‫يا أيهها ال ين ومنوا كتك عليكم الصيام كما كتك على ال ين من قبلكم‬

)183 : ‫ (البقرة‬.‫لعلكم تتقون‬


c. Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali sepakat bahwasanya
puasa itu terbagi menjadi empat macam, yaitu :
1) Puasa wajib, yaitu puasa bulan ramadhan, puasa kifarat, puasa
nazar.
2) Puasa sunnah (mandub)
3) Puasa makruh
4) Puasa haram

d. Syarat puasa terbagi menjadi 2 macam:


1) Syarat wajib puasa : Islam, baligh, berakal, mampu berpuasa,
mukim.
2) Syarat sah puasa :
a. Menurut Imam Hanafi: Niat, suci dari hadas dan nifas, terbebas
dari perkara yang merusak/ membatalkan puasa.
b. Menurut Imam Maliki: Niat, suci dari haid dan nifas, islam,
pada hari yang diperbolehkan puasa.
c. Menurut Imam Syafi’i: Islam, berakal, suci dari haid dan nifas
sepanjang siang hari, niat.
d. Menurut Imam Hambali: Islam, niat, suci dari haid dan nifas.

e. Rukun Puasa:
1) Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa itu mempunyai satu
rukun, yaitu menahan diri dari segala yag dapat membatalkan
puasa.

20
2) Menurut Malikiyah, rukun puasa ada dua, yaitu: Niat, Menahan
diri dari segala yang dapat membatalkan puasa
3) Menurut Syafi’iyah, rukun puasa itu ada 3, yaitu: niat, Menahan
diri dari hal-hal/ perbuatan yang membatlkan puasa sejak terbit
matahari sampai terbenamnya, orang yang berpuasa.
f. Hal-hal yang membatalkan puasa ada 10, yaitu:
1) Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang
yang terbuka (mulut, hidung, dan lain-lain).
2) Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang
yang tertutup, seperti benda yang masuk ke otak melalui kepala.
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa orang yang
berpuasa wajib mencegah sesuatu yang bisa masuk ke dalam
anggota tubuh.
3) Mengobati orang yang sakit melalui dua jalan (qubul dan dzubur)
4) Muntah dengan sengaja, namun apabila tidak disengaja maka
hukumnya tidak batal.
5) Berjimak, Bersetubuh, melakukan hubungan seksual dengan
sengaja. Namun tidak batal apabila lupa (kalau sedang puasa)
6) Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan
perempuan) walaupun tanpa berjima’.
7) Haid,
8) Nifas,
9) Hilang Akal.
10) Murtad, yaitu melakukan sesuatu hal yang menyebabkan seseorang
keluar dari Islam dengan (semisal) mengingkari keberadaan Allah
Swt.
g. Beberapa keadaan yang membolehkan untuk tidak berpuasa,
diantaranya: Bepergian (safar), sakit, hamil dan menyusui, lanjut usia,
Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi, dan dalam keadaan
dipaksa.
h. Sunnah-sunnah Puasa
1) Mengakhirkan sahur dan menyegarakan berbuka. Rasulullah
bersabda:
2) Menurut jumhur, termasuk sunnah puasa adalah menghindari
perkataan keji dan kotor.

i. Bulan Ramadhan dapat ditetapkan dengan menggunakan salah satu


dari dua cara, yaitu:
1) Dengan melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan, yang dikenal dengan
istilah “ru’yatul hilal”, yaitu bila di langit tidak ada suatu yang
dapat menghalangi ru’yat seperti awan, asap (kabut), abu, atau
lainnya.

21
2) Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, yaitu
bila di langit ada peghalang (untuk dilakukan ru’yat).

B. Saran
Tiada gading yang tak retak, itulah peribasa yang pantas untuk
mediskripsikan makalah yang kami susun. Makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan untuk
perbaikan selanjutnya, agar kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Semoga makalah yang kami susun seadanya ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca yang budiman.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib Mujib. (Surabaya: Darul
Ulum,1999)

Al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab jilid 4, (Cirebon: Darul Ulum


Press, 2012)

Az Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 3, (Jakarta: Darul Fikir,


2006)

Ibnu Katsir, Al-Qur’an Tarjamah, (Bandung: Jabal, 2010)

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014)

23

Anda mungkin juga menyukai