(menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat yang khusus pada seluruh siang harinya, orang
yang melakukan puasa bagi yang berakal, dan suci dari haidl dan nifas) 2
pengertian al-shiyam dalam istilah syara’ adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa
sehari penuh, dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari, dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini disepakati
antara Hanafiyah dan Hanabilah. Sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyyah menambahkan kata “dengan niat” pada akhir
pengertian di atas. Hal ini dikarenakan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, niat bukanlah rukun puasa, maka ia tidak
termasuk bagian dari pengertian puasa. Namun demikian, niat adalah syarat yang harus dikerjakan, tidak boleh tidak.
Maka barang siapa tidak berniat sesuai dengan kaifiyat yang masyru’, berarti puasanya batal, secara sepakat. 3
Menurut Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, puasa berarti penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan,
serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu
tertentu, yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari, yang dilakuka oleh oleh
orang tertentu yang memenuhi syarat-yaitu kehendak hati unutk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada
kebimbangan, agar ibadah berbeda dari kebiasaan. 4 Sesuai firman Allah SWT :
Artinya : “Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-
Baqarah : 187).
A. Dasar Hukum
Adapun hukum melakukan puasa Ramadlan adalah wajib ‘ain, berdasarkan Al-Qur‟an, sunnah dan ijma’para
ulama’. Seperti pada firman Allah SWT:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah : 183)5
1 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2014), hal: 220
2 Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Mujib. (Surabaya: Darul Ulum,1999) hal. 25
3 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab jilid 4, (Cirebon: Darul Ulum Press, 2012), hal: 3
4 Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 3, (Jakarta: Darul Fikir, 2006), hal:.19
5 Ibnu Katsir, Al-Qur’an Tarjamah, (Bandung: Jabal, 2010), hal: 63
2
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di
tegakan diatas lima perkara, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikan
Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim).
B. Macam-Macam Puasa
Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali sepakat bahwasanya puasa itu terbagi menjadi empat macam,
yaitu :
1. Puasa wajib, yaitu puasa bulan ramadhan, puasa kifarat, puasa nazar.
2. Puasa sunnah (mandub)
3. Puasa makruh
4. Puasa haram6
Telah kita ketahui bahwasanya puasa fardhu ialah puasa ramadhan yang dilakukan secara tepat waktu
artinya pada bulan Ramadhan secara ada’ dan demikian pula yang dikerjakan secara qadha’. Termasuk puasa
fardhu lagi ialah puasa kifarat dan puasa yang dinazarkan. Ketentuan ini telah disepakati menurut para imam-
imam madzhab, meskipun sebagian ulama hanafiyah berbeda pendapat dalam hal puasa yang dinazarkan.
Mereka ini mengatakan bahwa puasa nazar itu puasa wajib bukan puasa fardhu.
Puasa ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukllaf yang mampu berpuasa. Puasa ramdhan
tersebut mulai diwajibkan pada tanggal 10 sya’ban satu setengah tahun setelah hijrah. Tentang dalil dasarnya
yang menyatakan kewajiban puasa ramadhan ialah Al-qur’an, hadits dan ijma’. Dalil dari Al-qur’an iala firma
Allah swt :
Artinya : (bulan yang diwajibkan berpuasa didalamnya) ialah bu;lan ramdhan, yang didlamanya
diturunkan (permulaan) Al-qur’an. (Al-Baqarah: 185)
Puasa sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan apabila kita tinggalkan atau tidak
kita kita kerjakan tidak berdosa.Berikut contoh-contoh puasa sunnat: Puasa hari Tasu’a – ‘asyura – hari-hari putih
dan sebagainya.
Puasa sunnah diantaranya ialah berpuasa pada bulan Muharram. Yang lebih utama adalah tanggal ke 9 dan ke
10 bulan tersebut :Puasa hari Arafah.
Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya,
pada hari itu bagi selain orang yang sedang melaksanakan ibadah haji : Puasa hari senin dan kamis.
Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis setiap minggu dan di dalam melakukan puasa dua hari itu
mengandung kebaikan pada tubuh. Hal demikian tak ada keraguan lagi : Puasa 6 hari di bulan Syawal.
Disunnhakan berpuasa selama 6 hari dari bulan syawal secara mutlak dengan tanpa syarat-syarat : Puasa sehari
dan berbuka sehari.
Disunnahkan bagi oramg yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari. Diterangkan bahwa
puasa semacam ini merupakan salah satu macam puasa sunnah yang lebih utama : Puasa bulan rajab, sya’ban dan
bulan-bulan mulia yang lain.
Disunnahkan berpuasa pada bulan rajab dan sya’ban menurut kesepakatan tiga kalangan imam-imam
madzhab.Adapun bulan-bulan mulia yaitu ada 4, dan yang tiga berturut-turut yakni: Dzulqa’dah, dzulhijjah dan
Muharram, dan yang satu sendiri yakni bulan Rajab, maka berpuasa pada bulan-bulan tersebut memang disunnahkan
.Bila seseorang memulai berpuasa sunnah lalu membatalkannya.
Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadha nya jika dibatalkan adalah disunnahkan
menurut ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.
c. Puasa Makruh
Puasa hari jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, puasa hari perayaan besar yang keduanya
disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka
puasa itu dimakruhkan menurut tiga kelompok imam madzhab. Namun ulama madzhab syafi’I mengatakan : tidak
dimakruhkan berpuasa pada kedua hari itu secara mutlaq.
d. Puasa Haram
Maksudnya ialah seluruh ummat islam memang diharamkan puasa pada saat itu, jika kita berpuasa maka kita
akan mendapatkan dosa, dan jika kita tidak berpuasa maka sebaliknya yaitu mendapatkan pahala. Allah telah
menentukan hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa keadaan, diantaranya ialah :
1) Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah (Idul Fitri) dan hari raya kurban (idul adha)
2) Tiga hari setelah hari raya kurban. Banyak ulama berbeda pendapat tentang hal ini(fiqih empat madzhab
hal 385)
3) Puasa seorang wanita tanpa izin suaminya dengan melakukan puasa sunnat, atau dengan tanpa kerelaan
sang suami bila ia tidak memberikan izin secara terang-terangan. Kecuali jika sang suami memang tidak
memerlukan istrinya, misalnya suami sedang pergi, atau sedang ihram, atau sedang beri’tikaf.
7 Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu jilid 2, (Damaskus : Darul Fikir, 1985), hal: 610
4
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semua Ulama’ ahli Fiqih sepakat bahwa syarat sah
puasa adalah niat dan suci dari haid dan nifas sepanjang siang hari. Sedangkan islam adalah syarat sah puasa menurut
Jumhurul Fuqoha’ dan merupakan syarat wajib puasa menurut Imam Hanafi. 8
D. Rukun-rukun Puasa
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa itu mempunyai satu rukun, yaitu menahan diri dari segala yag dapat
membatalkan puasa. Sedangkan menurut Malikiyah, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat, sebagian berpendapat
bahwa rukun puasa ada dua, yaitu:
1. Niat
2. Menahan diri dari segala yang dapat membatalkan puasa.
Namun, sebagian Malikiyah yang lain cenderung menganggap niat sebagai syarat, bukan rukun puasa 9.
Menurut Syafi’iyah, rukun puasa itu ada 3, yaitu:
1. Niat; yaitu menyengaja akan melakukan puasa. Lafal niat puasa Ramadhan adalah:
ض فشهنر رمضافن هنذنه الصسنفنة ن ن س
ل تفصفعال صيوفم فغد فعين أففداء فصير ن ي فف ف ف
ت ف
نفصفويي م
Artinya: “Saya niat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadhan tahun ini karena Allah”.
Niat puasa Ramadhan harus dilakukan pada malam hari sampai sebelum terbitnya fajar. Rasulullah SAW
bersabda:
ن
صفيافم قفصيبفل اليفيجنر ففل صفيافم لفهم
فمين فلي فييفميع ال ص
Artinya: “Barang siapa tidak berniat akan mengerjakan puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, maka
bukanlah ia berpuasa.” (HR. Lima ahli hadist).
2. Menahan diri dari hal-hal/ perbuatan yang membatlkan puasa sejak terbit matahari sampai terbenamnya.
1. Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang yang terbuka (mulut, hidung, dan lain-lain).
Seperti yang sudah kita tahu bahwa definisi dari shaum puasa adalah imsak atau menjaga, menahan
sesuatu agar tidak masuk ke dalam tubuh kita. Baik itu berupa makanan, minuman, obat-obatan, atau segala
macam benda lainnya. Sebagaimana dalam Alquran Allah Swt. berfirman;
Makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam…
(QS. Albaqarah, 2: 187)
Adapun jika kita melakukan aktivitas di atas tanpa sengaja, maka kita diwajibkan melanjutkan puasa
tersebut sampai selesai tanpa harus mengqadanya. Hal ini berlandaskan hadis Rasulullah Saw.;
“Jika lupa sehingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya. Karena
sesungguhnya Allah SWT yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalu lubang yang tertutup, seperti benda yang masuk ke
otak melalui kepala. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa orang yang berpuasa wajib mencegah
sesuatu yang bisa masuk ke dalam anggota tubuh.
3. Mengobati orang yang sakit melalui dua jalan (qubul dan dzubur)
4. Muntah dengan sengaja, namun apabila tidak disengaja maka hukumnya tidak batal. Berlandaskan hadis
Rasulullah SAW:
“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya menqadha puasanya. Dan
barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya menqadha puasanya” (Hadits Riwayat Abu Daud
2/310, At-Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, dan Ahmad 2/498
5. Berjimak, Bersetubuh, melakukan hubungan seksual dengan sengaja. Namun tidak batal apabila lupa (kalau
sedang puasa) seperti yang disampakan oleh Ibnul Qayyim dalam Kitabnya (Zaadul Ma`ad 2/66): Alquran
menunjukkan bahwa Jima` membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat
dalam hal ini.
Bagi pasangan yang dengan sengaja melakukan Jimak saat berpuasa, maka diwajibkan baginya
membayar kafarat yaitu memerdekakan budak mukmin. Apabila dia tidak sanggup atau tidak menemukannya,
maka wajib baginya berpuasa di luar puasa Ramadhan selama dua bulan berturut-turut, dan apabila ia tidak
mampu juga maka diwajibkan membayar fidyah untuk 60 orang fakir atau miskin. Dan bagi tiap-tiap orang
miskin mendapatkan satu mud dari makanan yang mencukupi untuk zakat fitrah.
Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat tersebut tidak gugur dan tetap menjadi
tanggungannya. Dan pada saat ia ada kemampuan untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja
dengan segera.
6. Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan perempuan) walaupun tanpa berjima’.
Diharamkan apabila mengeluarkannya dengan tangan, namun tidak diharamkan seumpama dikeluarkan dengan
tangan istrinya atau budaknya (tapi tetap termasuk perkara yang membatalkan puasa). Adapun keluar mani
tanpa disengaja seperti karena mimpi maka itu tidaklah batal.
7. Haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah menginjak usia batas minimal 9 tahun.
Adapun waktu haid paling cepat selama sehari semalam (24 jam). Umumnya darah haid keluar selama satu
minggu, dan paling lama masa haid selama 15 hari.
8. Nifas, adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Adapun darah yang keluar sebelum melahirkan atau
bersamaan dengan waktu melahirkan bukan termasuk darah nifas, akan tetapi disebut darah istihadhah.
6
Batasan minimal dari darah nifas adalah setetes dalam waktu sebentar. Apabila setelah itu tidak ada
lagi darah yang keluar, maka ia suci dan harus mandi besar. Dan apabila setelah melahirkan tidak ada darah
yang keluar, maka status wanita tersebut suci dan tetap harus mandi besar karena wiladah (keluarnya anak)
yang berasal dari mani suami istri.
Masa nifas biasanya 40 hari. Sedangkan paling lama adalah 60 hari. Dengan demikian wanita yang
keluar darah selama masa nifas maka hukumnya si wanita tidak diperbolehkan melakukan shalat dan puasa.
9. Hilang Akal. Ada beberapa ciri orang hilang akal yang masuk dalam perkara yang membatalkan puasa:
Pertama, gila. Orang hilang akal yang menyebabkan dirinya tidak bisa membedakan perkara halal dan
haram, Perkara baik dan tidak baik, maka dia dianggap sudah keluar dari kewajiban (mukallaf) dan dihukumi
sama halnya seperti bayi.
Kedua, Mabuk dan pingsan. Jika disengaja, maka mabuk dan pingsan membatalkan puasa
biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti
mabuk atau pingsan. Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika
terjadi seharian penuh.
Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya sebentar di siang hari maka puasanya
tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabuk atau
pingsan sementara ia tidak tahu kalau hal itu akan memabukkan atau menjadikannya pingsan. Maka
orang tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.
10. Murtad, yaitu melakukan sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam dengan (semisal)
mengingkari keberadaan Allah Swt. sebagai zat tunggal. Jika terjadi di saat ia sedang melaksanakan ibadah
puasa, maka otomatis hal ini masuk dalam perkara yang membatalkan puasa 10.
1. Bepergian (Safar)
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi :”Maka barang siapa di antara kamu
dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari lain”.
a) Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89 km. Safar ini, menurut
jumhur (mayoritas) ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai
perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh), maka dia tidak boleh membatalkan puasanya.
Kendati begitu jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan,
maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya Rasulullah
berangakat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah
jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa.
Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa,
hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul”. Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis
Asar. Anggota rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian
lain ada yang masih tetap bertahan meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa,
maka Rasul pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras”. Hadis ini
menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai
puasanya pada hari itu.
b) Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru memulai perjalanannya pada siang hari
sebagaimana riwayat Abu Dawud dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam
perjalanan, dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”
c) Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang bepergian tersebut bukan termasuk orang
yang selalu bepergian seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui masyaqqah
(kepayahan) yang luar biasa.
d) Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:
1. Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah memperbolehkan membatalkan
puasa sekalipun perjalanan itu demi kemaksiatan)
2. Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.
e) Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada malam harinya.
2. Sakit
Sakit merupakan ‘udzur puasa berdasarkan firman Allah : “Barang siapa diantara kamu dalam keadaan sakit
atau sedang bepergian …..”
Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk
melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan
dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu,
tidak boleh membatalkan puasanya. Dan seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan
menjadi sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda dari Syafi’iyah dan Hanbaliyah), dia dihukumi sama
dengan orang sakit. Demikian pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi
salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.
Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja
bagi orang hamil.
4. Lanjut Usia
Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa,
baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya
melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al
Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu
lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah
“..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan bagi
mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
8
1. Dengan melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan, yang dikenal dengan istilah “ru’yatul hilal”, yaitu bila di
langit tidak ada suatu yang dapat menghalangi ru’yat seperti awan, asap (kabut), abu, atau lainnya.
2. Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, yaitu bila di langit ada peghalang (untuk
dilakukan ru’yat). Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Puasalah kamu bila melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah kamu bila melihatnya (hilal Suawal); Jika
kamu terhalang oleh awan (untuk dapat melihat hilal), maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban itu menjadi 30
hari” (HR. Imam Bukhori dan Abu Hurairah).
Menurut Syafi’iyyah, bahwa bulan Ramadhan itu ditetapkan dengan ru’yat seorang yang adil, sekalipun perihal
dirinya tidak diketahui, baik langit dalam keadaan cerah atau suatu penghalang yang dapat menyulitkan ru’yat.
Saksi tersebut disyaratkan seorang muslim yang akil, balihg, merdeka, laki-laki, dan adil. Dalam kesaksian itu
ia harus mengatakan “Saya menyaksikan”, misalnya dengan mengatakan di hadapan hakim.
Apabila ru’yat telah diputuskan di suatu daerah, maka bagi daerah lainnya wajib puasa. Tidak ada perbedaan
apakah daerah itu dekat dari tempat diputuskannya ru’yat ataupun jauh.
Hukum mengamati hilal adalah fardu kifayah bagi kaum muslimin untuk mengamati hilal pada waktu
terbenamnya matahari pada tanggal 29 Sya’ban dan Ramadhan. Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafi’iyyah
sepakat tentang hukum Fardhu kifayah. Sedang menurut Hanabilah berpendapat bahwa mengamati hilal itu
hukumnya mandub, bukan wajib.
9