Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang sengaja didirikan dan
diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sugguh-sungguh) untuk
mengejawatahkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sebagaimana tertuang atau terkandung
dalam visi,misi, tujuan, program kegiatan maupun pada praktik pelaksanaan
kependidikannya. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI)
merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan sistem pendidikan Islam.
Kurikulum sifatnya dinamis karena selalu berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan dan tantangan zaman. Semakin maju peradaban suatu bangsa, maka
semakin berat pula tantangan yang dihadapinya. Persaingan ilmu pengetahuan
semakin gencar dilakukan oleh dunia internasional, sehingga Indonesia juga dituntut
untuk dapat bersaing secara global demi mengangkat martabat bangsa. Oleh karena
itu, untuk menghadapi tantangan yang akan menimpa dunia pendidikan kita,
ketegasan kurikulum dan implementasinya sangat dibutuhkan untuk membenahi
kinerja pendidikan yang jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia.
Di tengah-tengah pesatnya inovasi pendidikan, terutama dalam konteks
pengembangan kurikulum, sering ali para guru PAI merasa kebinggungan dalam
menghadapinya. Apalagi inovasi pendidikan tersebut cenderug bersifat top-down
inovation dengan strategi power coersive atau strategi pemaksaan dari atasan (pusat)
yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama Islam ataupun untuk meningkatkan efisiensi
serta efektivitas pelaksanaan PAI dan sebagainya.
B. Tujuan Masalah
1. Untuk Memahami Waktu Tertentu Kurikulum Sekolah (Terutama Kurikulum
Pendidikan Islam) harus selalu ditinjau kembali Untuk dikembangkan
2. Untuk Memahami Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam
3. Untuk Memahami Peran Kepala Sekolah dan Guru dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam

1
4. Untuk Memahami Model Kurikulum 2013 (K-13) dan bandingkan dengan
pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata Pelajaran
PAI.
5. Untuk Memahami Model pengembangan Religious Culture sebagai basis
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
C. Rumusan Masalah
1. Mengapa dalam Kurun Waktu Tertentu Kurikulum Sekolah (Terutama Kurikulum
Pendidikan Islam) harus selalu ditinjau kembali Untuk dikembangkan?
2. Bagaimana Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Peran Kepala Sekolah dan Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam?
4. Bagaimana Model Kurikulum 2013 (K-13) dan bandingkan dengan
pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata Pelajaran
PAI?
5. Bagaimana Model pengembangan Religious Culture sebagai basis Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kurikulum Sekolah (Terutama Kurikulum Pendidikan Islam) harus selalu


ditinjau kembali Untuk dikembangkan
Pemahaman tentang pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah dapat dilihat
dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI
sebagai aktivitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup
(bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap
hidup dan ketrampilan hidup baik yang bersifat manual maupun mental dan sosial
yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sedangkan PAI
sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan atau
penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup
yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan
dalam sikap hidup serta ketrampilan hidup pada salah satu atau beberap pihak.
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsug di sekolah masih
mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori (1992) menilai pendidikan agama
masih gagal. Kegaalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya haya
memperhatiakan aspek kongnitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai
(agama) dan mengabaikan peembinaan aspek afektif dan konatif-volitif yakni
kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-niali ajaran agama. Akibatnya terjadi
kesenjanagan antara pengetahuan dan pengalaman antara gnosis dan praxis dalam
kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi
pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral,
padahal intisari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Ada beberapa alasan mengapa kurikulum perlu dikembangkan sebaik mungkin,
diantaranya;
1. Konsevatif Kurikulum
Kurikulum yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial, tidak sesuai lagi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga tidak sesuai dengan
dunia kerja, maka sudah jelas kurikulum akan mengalami problem, yaitu akan
terjadi pengangguran pada lulusan sekolah. Dengan melihat data tersebut
kurikulum perlu dirubah, dikembangkan dan diperbaruhi.

3
kurikulum yang telah usang korbannya bukan hanya terletak pada peserta
didik saja, tapi dampak negatifnya akan menimpa pada lembaga sekolah.
Lembaga akan dijauhi masyarakat, sekolah akan ketinggalan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga akan sulit akan membangun tujuan nasional yang telah
direncanakan pada sebelumnya.
Kurikulum pendidikan harus bersifat dinamis, senantiasa berubah
menyesuaikan dengan keadaan suapaya dapat memantapkan belajar dan hasil
belajar.
Secara garis besar perubahan kurikulum dilatar belakangi oleh beberapa hal.
Akan tetapi kata-kata perubahan bukan menghapus kurikulum sebelumnya secara
sepenuhnya akan tetapi menyempurnakan dan mengembangkan.
2. Sentralisasi dan desentralisasi kurikulum
Sentralisasi merupakan problem kurikulum yang paling utama, yang
memunculkan pengembangan kurikulum tingkat otonomi daerah, sebagaimana
yang dikemukakan oleh menteri pendidikan fuad Hasan, bahwa tidak mungkin
diterapkannyua kurikukulum yang baku (sentralisasi) di seluruh
Indonesia. karena setiap daerah mempunyai kadar potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang berbeda, diharapkan dengan potensi tersebut setiap
daerah dapat mengembangkan dan mengelola sesuai dengan potensinya masing-
masing. Dimana poteni-potensi tersebut dapat diintegrasikan dalam kurikulum
muatan lokal.
Kurikulum yang diberlakukan di sekolah hanya satu dan pusat, sehingga
faktor daerah seringkali kurang diperhatikan. Didalam pengelolaan, seharusnya
dihindari sentralisasi kurikulum, dan digunakan sebanyak mungkin desentralisasi
kurikulum. Untuk menuju kurikulum yang berbasis desentralisasi tersebut
diperlukan pengembangan kurikulum.
3. Tingkat kematangan siswa
Tingkat kematangan siswa juga menjadi alasan pengembangan kurikulum,
karena setiap peserta didik mempunyai jenjang pendidikan yang berbeda. Jika
kurikulum pendidikan tidak berusaha disesuaikan dengan tingkatan peserta didik
maka tujuan pembelajaran akan sulit tercapai. Untuk itu para pakar pengembang
kurikulum membuat suatu pemikiran agar anak dapat belajar dengan baik,
memperoleh ilmu pengetahuan, merubah sikap, dan memperoleh pengalaman,

4
dengan cara mengembangkan kurikulum yang berdasarkan asas psikologi peserta
didik.
B. Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Landasan Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam pada hakikatnya
adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para
pengembang kurikulum ketika hendak mengembangkan atau merencanakan suatu
kurikulum lembaga pendidikan. Landasan-landasan tersebut antara lain :
1. Landasan Agama
Dalam mengembangkan kurikulum sebaiknya berlandaskan pada Pancasila
terutama sila ke satu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di Indonesia menyatakan
bahwa kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing individu. Dalam kehidupan,
dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-
pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga
dapat terbina kehidupan yang rukun dan damai.
2. Landasan Filsafat
Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok, yaitu cita-cita
masyarakat dan kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat. Filsafat adalah
cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom). Agar seseorang dapat berbuat bijak,
maka harus berpengetahuan, pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
berpikir secara sistematis, logis dan mendalam. Filsafat dipandang sebagai induk
segala ilmu karena filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia yaitu
meliputi metafisika, epistimologi, aksiologi, etika, estetika, dan logika.
3. Landasan Psikologi Belajar
Kurikulum belajar mengetengahkan beberapa teori belajar yang masing-masing
menelaah proses mental dan intelektual perbuatan belajar tersebut. Kurikulum yang
dikembangkan sebaiknya selaras dengan proses belajar yang dilakukan oleh siswa
sehingga proses belajarnya terarah dengan baik dan tepat.
4. Landasan Sosio-budaya
Nilai social-budaya dalam masyarakat bersumber dari hasil karya akal budi
manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, dan melestarikannya
manusia menggunakan akalnya. Setiap masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-
aturan, dan cita-cita yang ingin dicapai dan dikembangkan. Dengan adanya

5
kurikulum di madrasah diharapkan pendidikan dapat memperhatikan dan merespon
hal-hal tersebut.
5. Landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pendidikan merupakan suatu usaha penyiapan peserta didik untuk menghadapi
lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat dan terus
berkembang. Sehingga dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi,setelah siswa
lulus diharapkan dapat menyesuaikan diri di lingkungannya dengan baik.
Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam berdasarkan pada prinsp-
prinsip yang antara lain :
1. Prinsip Peningkatan Keimanan dan Ketakwaan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-
nilai Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berpengaruh pada
sikap dan arti kehidupannnya. Keimanan dan ketakwaan, budi pekerti luhur dan
nilai-nilai budaya perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan dan kepentingan Peserta Didik
serta Tuntutan Lingkungan
Hal ini dimaksudkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan tanggung jawab.
3. Prinsip Keseimbangan antara Etika, Logika, Estetika dan Kinestetika
Kurikulum hendaknya menaruh perhatian terhadap siswa agar mampu menjaga
keseimbangan dalam proses dan pengalaman belajar yang meliputi etika, logika,
estetika, dan kinestetika, sehingga siswa akan menjadi seseorang yang terhormat,
cerdas, rasional, dan unggul.
4. Prinsip Penguatan Integritas Nasional
Prinsip ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran bahwa Indonesia adalah
Negara yang majemuk, tetapi keanekaragaman itu tidak boleh membuat
perpecahan, karena walaupun berbeda tetap satu jua (Bhineka Tunggal Ika).
5. Prinsip Pengetahuan dan Teknologi Informasi
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi terus berkembang, sehingga kurikulum mendorong siswa untuk mampu
mengikuti dan memanfaatkan secara tepat ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir dan belajar dengan baik.

6
6. Prinsip Pengembangan Keterampilan Hidup
Prinsip ini mengembangkan 4 keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap
peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan di lingkungan sekitarnya yaitu
keterampilan diri (personal skill), keterampilan berfikir rasional (thinking skills),
keterampilan akademik (academic skills), keterampilan vocasional (vocational
skills). Dengan keterampilan tersebut, setelah siwa tersebut lulus sekolah dapat
mempertahankan hidupnya sesuai dengan pilihan masing-masing individu.
7. Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan)
Kurikulum disusun secara berkesinambungan artinya bagian-bagian, aspek-aspek,
materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan. Oleh karena itu, pengalaman
belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan (antar
kelas, antar jenjang pendidikan, antara jenjang pendidikan dengan jenis
pekerjaan).
8. Prinsip Belajar Sepanjang Hayat
Kurikulum di madrasah diarahkan kepada pengembangan, pembudayaan,dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan unsure-unsur pendidikan formal, informal dan
nonformal dengan memperhatikan kondisi dan tuntut lingkungan yang selalu
berkembang.
C. Peran Kepala Sekolah dan Guru dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam
Pada pembahasan ini, pemakalah mengacu kepada uraian Murray Print (1993),
sebagai mana dikutip oleh Wina Sanjaya, dalam konteks hubungan guru dan
kurikulum, pengembangan kurikulum menjadi tugas penting yang harus dilaksanakan
oleh semua pengembang kurikulum, termasuk guru, di setiap tingkat pendidikan.
Setidaknya ada empat peran yang harus dijalankan oleh guru dalam mengembangkan
kurikulum, yaitu:
1. Sebagai implementer (pelaksana) kurikulum
Sebagai implementer atau pelaksana kurikulum, guru berperan untuk
menjalankan kurikulum yang telah disusun. Kurikulum ini harus diaplikasikan
oleh guru dalam setiap proses pembelajaran di sekolah, khususnya di kelas.
Dengan demikian, ruang peran guru sebagai implementer kurikulum tidak
sampai kepada penentuan isi dan target kurikulum, tetapi hanya terbatas pada
penentuan kegiatan‐kegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaannya sampai
7
kepada pelaksanaannya. Dalam peran ini, kedudukan guru adalah sebagai tenaga
teknis yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai
ketentuan yang ada.
Adapun peran dan tanggung jawab guru dalam pelaksanaan
kurikulum PAI adalah seperti berikut:
a. Melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran.
b. Menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran
dan lingkungan sekolah.
c. Memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai dengan materi dan kondisi
sekolah.
d. Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
e. Mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode dan tehnik yang
tepat).
f. Mengelola kelas dengan baik dan sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
g. Merefleksikan pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan.
h. Berkonsultasi dengan kepala Madrasah/ Pengawas untuk mengatasi kendala.
i. Membantu kesulitan siswa dalam proses belajar.
Proses implementasi kurikulum untuk semua bidang studi atau mata
pelajaran, khususnya PAI selalu menggambarkan keterkaiatan proses dengan
tujuan dan konten, kejelasan teori belajar, keterkaitan dengan sosial, budaya,
teknologi, ketersediaan fasilitas alat, alokasi waktu, fleksibilitas, peran guru dan
peserta didik, peran evalusi dan perlunya feedback.
2. Sebagai developer (pengembang) kurikulum
Sebagai developer (pengembang) kurikulum, guru diberi kewenangan
untuk mendesain kurikulum madrasah. Peran pengembangan kurikulum ini terkait
erat dengan karakteristik, visi dan misi sekolah atau madrasah, serta pengalaman
belajar yang dibutuhkan oleh siswa. Pelaksanaan peran ini dapat dilihat dalam
pembuatan dokumen kurikulum, pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran, dan muatan lokal (Mulok) sebagai bagian dari struktur Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pembuatan dan pengembangan kurikulum muatan lokal sepenuhnya
diserahkan kepada tiap‐tiap satuan pendidikan. Kurikulum ini dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan tiap‐tiap sekolah sesuai dengan character distingtif-nya

8
karena setiap sekolah memiliki kurikulum mulok tersendiri, maka ada
kemungkinan terjadi perbedaan kurikulum mulok antar sekolah atau madrasah.
Dalam kaitannya posisi guru sebagai developer atau pengembang
kurikulum. Guru dituntut aktif, kreatif, dan komitmen tinggi dalam penyusunan
dokumen kurikulum PAI, seperti:
a. Mengikuti in house training tentang konsep dasar dan pengembangan
kurikulum.
b. Berperan aktif dalam tim perekayasa dan pengembang
kurikulum sesuai dengan kelompok bidang studi.
c. Berperan aktif dalam penyusunan standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL).
d. Berperan aktif dalam menyusun Standar Kompetensi (SK) dan Kopetensi
Dasar (KD) serta pemetaannya.
e. Mengembangkan silabus pembelajaran.
f. Menyusun RPP dan perangkat operasional yang mendukung RPP, seperti
Lembar Kerja Siswa dan bahan ajar (seperti modul pembelajaran).
3. Sebagai adapter (penyelaras) kurikulum
Sebagai adapter, guru memiliki kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum
dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal (kebutuhan siswa dan daerah).
Dalam fase ini,tugas pertama seorang guru adalah memahami dengan baik
karakteristik sekolahnya, tugas kedua adalah mengakomodir kebutuhan‐kebutuhan
masyarakat dan daerahnya, dan tugas ketiga adalah membuat desain kurikulum
sekolah sesuai kebutuhan madrasah dan masyarakat lokal.
Berikut ini adalah langkah-langkah memahami karakteristik dan
kebutuhan masyarakat di sekitar madrasah atau sekolah, yaitu:
a. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap madrasah
atau sekolah.
Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai keadaan
dan kebutuhan sekitar madrasah yang bersangkutan. Data tersebut dapat
diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah sekitar madrasah yang
bersangkutan seperti masyarakat sekitar madrasah, Pemda/ Bappeda, Instansi
vertikal terkait, PerguruanTinggi, dunia usaha/ industri, dan potensi daerah
yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan

9
kekayaan alam. Keadaan daerah seperti telah disebutkan dapat diketahui antara
lain dari:
1) Rencana pembangunan daerah bersangkutan termasuk prioritas
pembangunan daerah baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2) Pengembangan ketenagakerjaan termasuk jenis kemampuan dan
keterampilan yang diperlukan.
3) Aspirasi masyarakat mengenai pelestarian alam dan pengembangan
daerahnya.
b. Menentukan fungsi dan susunan atau komponen muatan yang sesaui
dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan kajian dari beberapa sumber seperti di atas dapat
diperoleh berbagai jenis kebutuhan. Berbagai jenis kebutuhan ini dapat
mencerminkan fungsi muatan kurikulum lembaga, antara lain untuk:
1) Melestarikan dan mengembangkan kajian kitab kuning.
2) Meningkatan amaliah salafiah.
3) Meningkatkan kemampuan berwirausaha.
c. Berdasarkan fungsi muatan dan kebutuhan lembaga tersebut dapat
ditentukan kajian kebutuhan lokal
Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji berbagai
kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai
dengan dengan keadaan dan kebutuhan madrasah. Penentuan bahan kajian
kebutuhan lokal didasarkan pada kriteria berikut:
1) Kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik.
2) Kemampuan guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan.
3) Tersedianya sarana dan prasarana.
4) Tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan.
5) Kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan di madrasah.
6) Lain-lain yang dapat dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan
situasi daerah.
d. Menentukan Mata Pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan madrasah
dan masyarakat.
Berdasarkan bahan kajian kebutuhan lembaga tersebut dapat
ditentukan mata pelajaran dan kegiatan pembelajarannya. Kegiatan
pembelajaran ini pada dasarnya dirancang agar bahan kajian kebutuhan lokal

10
dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada
peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
perilaku yang sesuai dengan harapan lembaga dan masyarakat sekitar sesuai
dengan nilai-nilai atau aturan yang berlaku di lingkungan madrasah
dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan
nasional.
e. Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus.
Korelasinya dengan pendidik atau guru sebagai adapter atau penyelaras
kurikulum PAI, seorang guru dituntut untuk memahami situasi, kondisi dan
momentum karakteristik miilieu yang ada di sekolahnya, sehingga dapat
melaksanakan tugas guru sebagai adapter dalam penerapan kurikulum PAI di
institusinya sendiri.
4. Sebagai researcher (peneliti) kurikulum.
Pada fase ini guru mempunyai peranan sebagai peneliti kurikulum (curriculum
researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru
yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru.
Dalam melaksanakan perannya sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab
untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan
kurikulum, menguji efektifitas program, menguji strategi dan model pembelajaran
dan lain sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa
mencapai target kurikulum. Metode yang digunakan oleh guru dalam meneliti
kurikulum adalah PTK dan Lesson Study.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah metode penelitian yang berangkat
dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK,
guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja
dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, akan
tetapi secara terus menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.
Sedangkan lesson study adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang
guru/sekelompok guru yang bekerja sama dengan orang lain (dosen, guru mata
pelajaran yang sama/ guru satu tingkat kelas yang sama, atau guru lainya),
merancang kegiatan untuk meningkatkan mutu belajar siswa dari pembelajaran
yang dilakukan oleh salah seorang guru dari perencanaan pembelajaran yang
dirancang bersama/sendiri, kemudian di observasi oleh teman guru yang lain dan

11
setelah itu mereka melakukan refleksi bersama atas hasil pengamatan yang baru
saja dilakukan.
Dunia pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan
kurikulum. Hal ini bukan berarti ganti menteri pendidikan ganti kurikulum, seperti
pendapat sebagian guru, melainkan kurikulum harus selalu berubah sesuai dengan
tuntutan jaman.
Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum, dan standar
kompetensi, dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan setempat. Dengan
adanya otonomi sekolah memotivasi guru untuk mengubah paradigma sebagai
“curriculum user” menjadi “curriculum developer”. Guru mampu keluar dari
kultur kerja konvensional menjadi kultur kerja kontemporer yang dinamis, dan
guru mampu memainkan peran sebagai “agent of change”. Hendaknya guru
mengajar anak-anak kita sesuai dengan zamannya.
Pada era globalisasi seperti ini, madrasah dengan melibatkan guru, harus
melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar dan kurikulum
secara terus menerus. Untuk dapat melakukan reformasi dan inovasi pendidikan,
diperlukan dukungan empirik yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian. Jika
tidak, guru akan terisolasi dari pengetahuan dan informasi mutakhir. Tanpa ada
dukungan penelitian, proses pendidikan akan mandek dan reformasi serta inovasi
mustahil dapat dilakukan. Hasil penelitian dapat membantu guru untuk mengambil
keputusan yang tepat dan akurat untuk kepentingan proses belajar mengajar dan
pembenahan kurikulum. Jika keputusan tersebut dibantu dengan hasil penelitian,
proses belajar mengajar dan kurikulum dapat dicapai dengan optimal dan
efektif. Pembelajaran yang efektif merupakan hal yang kompleks dan rumit untuk
dapat dikonsepsikan dan dibentuk paradigmanya secara tunggal dan universal.
D. Perbandingan Model Pengembangan Kurikulum 2013 (K-13) dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat
mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi
tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang zaman.

12
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah
satu unsur yang memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses
berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa
kurikulum yang dikembangkan dengan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan
sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas
yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2)
manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 1 Ayat (19) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004
dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilansecara terpadu.
1. Rasional Pengembangan Kurikulum 2013
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang
dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal.
a. Tantangan Internal
Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan
dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan)Standar Nasional
Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana
prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar
proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan. Tantangan internal
lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari
pertumbuhan penduduk usia produktif.
b. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan antara lain berkaitan
dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa depan,
persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai
fenomena negatif yang mengemuka.
c. Penyempurnaan Pola Pikir

13
Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat
terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola pikir. Pergeseran itu
meliputi proses pembelajaran sebagai berikut:
1) Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa.
2) Dari satu arah menuju interaktif.
3) Dari isolasi menuju lingkungan jejaring.
4) Dari pasif menuju aktif-menyelidiki.
5) Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata
6) Dari pembelajaran pribadi menuju pembelajaran berbasis tim.
7) Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan.
8) Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru.
9) Dari alat tunggal menuju alat multimedia.
10) Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif.
11) Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan.
12) Dari usaha sadar tunggal menuju jamak.
13) Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak.
14) Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan.
15) Dari pemikiran faktual menuju kritis.
d. Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan.
Sejalan dengan itu, perlu dilakukan penyempurnaan pola pikir dan penggunaan
pendekatan baru dalam perumusan Standar Kompetensi Lulusan. Perumusan
SKL di dalam KBK 2004 dan KTSP 2006 yang diturunkan dari SI harus diubah
menjadi perumusan yang diturunkan dari kebutuhan. Pendekatan dalam
penyusunan SKL pada KBK 2004 dan KTSP 2006 dapat dilihat di tabel:
No KBK 2004 KTSP 2006 Kurikulum 2013
1 Standar kompetensi lulusan diturunkan Standar kompetensi
dari standar isi lulusan diturunkan dari
kebutuhan
2 Standar isi dirumuskan berdasarkan Standar isi diturunkan dari
tujuan mata pelajaran (Standar standar kompetensi lulusan
Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran) melalui kompetensi inti
yang dirinci menjadi standar yang bebas mata pelajaran
kompetensi dan kompetensi dasar mata

14
pelajaran.
3 Pemisahan antara mata pelajaran Semua mata pelajaran
membentuk sikap, pembentuk harus berkontribusi
ketrampilan, dan pembentuk terhadap pembentukan
pengetahuan sikap, keterampilan, dan
pengetauan
4 Kompetensi diturunkan dari mata Mata pelajaran diturunkan
pelajaran dari kompetensi yang
ingin dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu dengan yang Semu mata pelajaran
lain, seperti sekumpulan mata pelajaran diikat oleh kompetensi inti
terpisah (tiap kelas)

e. Penguatan Tata Kelola Kurikulum


Pada Kurikulum 2013, penyusunan kurikulum dimulai dengan menetapkan
standar kompetensi lulusan berdasarkan kesiapan peserta didik, tujuan
pendidikan nasional, dan kebutuhan. Setelah kompetensi ditetapkan kemudian
ditentukan kurikulumnya yang terdiri dari kerangka dasar kurikulum dan
struktur kurikulum. Satuan pendidikan dan guru tidak diberikan kewenangan
menyusun silabus, tapi disusun pada tingkat nasional. Guru lebih diberikan
kesempatan mengembangkan proses pembelajaran tanpa harus dibebani dengan
tugas-tugas penyusunan silabus yang memakan waktu yang banyak dan
memerlukan penguasaan teknis penyusunan yang sangat memberatkan guru.
f. Pendalaman dan Perluasan Materi
Berdasarkan analisis hasil PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 (enam) level
kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA, hampir semua peserta didik
Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga) saja,
sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai
level 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam). Dengan keyakinan bahwa semua
manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi
ini, hanya satu, yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman Analisis
hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011 di bidang matematika dan IPA untuk peserta
didik kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk

15
bidang matematika, lebih dari 95% peserta didik Indonesia hanya mampu
mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% peserta
didiknya mampu mencapai level tinggi dan advance. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang
diujikan atau yang distandarkan di tingkat internasional.
E. Model Pengembangan Religious Culture sebagai Basis Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam
Apa itu religius? Dalam kamus besar bahasa indonesia (1996) dinyatakan bahwa
religius berarti: bersifat religi atau keagamaan atau yang bersangkut paut dengan
religi (keagamaan). Penciptaan suasan religius berarti menciptakan suasana atau iklim
kehidupan keagamaan. Dalam konteks pendidikn gama Islam di
sekolah/madrasah/perguruan tinggi berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan
keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang
bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan
dalam sikap hidup serta ketrampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah atau
sivitas akademika.
Penciptaan suasana religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk
kegiatan shalat berjamaah, puasa senin dan kamis, do’a bersama ketika akan dan/atau
telah meraih sukses tertentu, menegakkan komitmen dan loyalitas terhadap moral
farce di sekolah/madrasah/perguruan tinggi dan lain-lain. Penciptaan suasana religius
yang bersifat horizontal lebih mendudukan sekolah/madrasah/perguruan tinggi
sebagai institusi sosial, yang jika dilihat dari struktur hubungaan antr manusianya,
dapat diklasifikasikan kedalam tiga hubungan, yaitu: (1) hubungan atasan-bawahan,
(2) hubungan profesional, dan (3) hubungan sederajat atau sukarela.
Penciptaan suasana religius di sekolah/madrasah/perguruan tinggi memiliki
landasan yang kuat. Setidak-tidaknya dapat dipahami dari landasan filosofis bangsa
Indonesia, yaitu pancasila. Menurut Tafsir (2004) yang menyatakan bahwabila
dianalisis menggunakan pendektan filsafat, maka pancasila bukan yang mengandung
lima ide dasar melainkan empat, yaitu: (1) kemanusiaan yang berdasarkan keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, (3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, (4) keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Pengertian ini tersurat dalam simbol (Gambar) yang ada di dada garuda yang di
jadikan lambang pancasila. Di situ bintang atau simbol keimanan mengambil daerah

16
empat sila lainnya. hal ini mengandung makna bahwa inti pancasila adalah keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlaq mulia ternyata tidak bisa hanya
mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran atau 2 sks,
tetapi perlu pembinaan serta terus mnerus dan brkelanjutan di luar jam pelajaran
pendidikan agama, baik di dalam kela maupun di luar kelas, atau di luar sekolah.
Bahkan, diperlukan pula kerja sama yang harmonis dan interaktif di antara para warga
sekolah dan para tenaga kependidikan yang ada di dalamnya.
Sedangkan penciptaan suasana religius yang menyangkut hubungan mereka engan
lingkungan atau alam sekitarnya dapat diwujudkan dalam bentuk membangun suasana
atau iklim yang komitmen dalam menjaga dan memelihara berbagai fasilitas atau
sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah/madrasah, serta menjaga dan
memelihara kelestarian, kebersihan dan keindahan lingkungan hidup di sekolah,
sehingga tanggung jawab dan masalah tersebut bukan hanya erbatas atau diserahkan
kepada petugas cleaning service, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh warga
sekolah.
Adapun untuk mewujudkan penciptaan suasana religius di sekolah dapat
dilakukan melalui pendektan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau
mengajak kepada warganya dengan cara yanng halus, dengan memberikan alasan dan
prospek baik yang bisa meyakini mereka. Sifa kegiatannya berupa aksi positif Dan
reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri,
jenis dan arah ditentuan sendiri tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapata ikut
memberi warna dan arah pada perkembangannya. Bisa pula berupa antisiasi, yakni
tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
Aspek-aspek yang perlu diperhatiakan dalam pengambangan religious culture
adalah:
1. Nilai yang dianut, seperti semangat berkorban, semangat persaudaraan dan
semangat saling menolong.
2. Praktik keseharian, pada tataran ini nilai-nilai yang telah disepakati tersebut
diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga
sekolah.

17
3. Simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakuka ialah mengganti
simbol-simbol budaya yang kerang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama
dengan simbol budaya yang agamis.
Setrategi pengembangan religious culture dalam bukunya Muhaimin ada tiga
macam, yaitu:
1. Power setrategi dengan pendekatan struktural.
Power setrategi adalah setrategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara
menggunakan kekuasaan atau melalui poeple’s power.
2. Persuative setrategi dengan pendekatan mekanik.
Persuative setrategi merupakan setrategi yang digunakan melalui pembentuka
opini dan pandangan masyarakat dan warga sekolah.
3. Normative re-educative.
Normative dikaitkan dengan re-educative (pendidikan ulang/kembali) untuk
menanamkan dan mengganti paradigma berfikir lama masyarakat dekolah
menjadi paradigma baru.
Model adalah sesuatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional. Oleh karena
itu, model pengembangan religious culture dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
dimana model itu diterapkan. Pada bagian, akan dipaparkan model pengembangan
religious culture yang didasarkan pada strategi dan pendekatan yang digunakan
masing-masing sekolah dalam mewujidkan religious culture.

18
KESIMPULAN

1. kurikulum yang perlu dikembangkan, diantaranya; Konsevatif Kurikulum,Sentralisasi


dan desentralisasi kurikulum, Tingkat kematangan siswa. kegaalan ini disebabkan
karena praktik pendidikannya hanya memperhatiakan aspek kongnitif semata dari
pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama) dan mengabaikan peembinaan aspek
afektif dan konatif-volitif yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-niali
ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjanagan antara pengetahuan dan pengalaman
antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama.
2. Landasan-landasan pengembangan kurikulum pendidikan agama islam diantaranya: 1.
Landasan Agama, 2. Landasan Filsafat, 3. Landasan Psikologi Belajar, 4. Landasan
Sosio-budaya, 5. Landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Sedangkan prinsp-prinsip Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam antara
lain :a. Prinsip Peningkatan Keimanan dan Ketakwaan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-
nilai Budaya, b. Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan dan kepentingan
Peserta Didik serta Tuntutan Lingkungan, c. Prinsip Keseimbangan antara Etika,
Logika, Estetika dan Kinestetika, d. Prinsip Penguatan Integritas Nasional, e. Prinsip
Pengetahuan dan Teknologi Informasi, f. Prinsip Pengembangan
Keterampilan Hidup, g. Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan), h. Prinsip Belajar
Sepanjang Haya
3. Empat peran yang harus dijalankan oleh guru dalam mengembangkan kurikulum,
yaitu:Sebagai implementer (pelaksana) kurikulum, Sebagai developer (pengembang)
kurikulum, Sebagai adapter (penyelaras) kurikulum, ebagai researcher (peneliti)
kurikulum. Sedangkan lesson study adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang
guru/sekelompok guru yang bekerja sama dengan orang lain (dosen, guru mata
pelajaran yang sama/ guru satu tingkat kelas yang sama, atau guru lainya),
4. Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Pengembangan
Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilansecara terpadu.

19
5. religius berarti: bersifat religi atau keagamaan atau yang bersangkut paut dengan
religi (keagamaan). Penciptaan suasan religius berarti menciptakan suasana atau iklim
kehidupan keagamaan. Dalam konteks pendidikn gama Islam di
sekolah/madrasah/perguruan tinggi berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan
keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang
bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan
dalam sikap hidup serta ketrampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah atau
sivitas akademika

20
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di


Sekolah,Madrasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada)
Rohmad, Ali. 2004. Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Pt. Bina Ilmu)
Zaini, Muhammad. . 2009. Pengmbangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi
dan Inovasi, (Yogyakarta: Teras)
Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung: Remaja
Rosdakarya)
Muhaimin dkk, 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan
Tinggi Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,)
Muhaimin dkk, 2008. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. (Jakarta: Rajawali Pers,)
Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. (Bandung: Bumi Aksara,)
Mulyasa, 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: Remaja
Rosdakarya,)
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada,)
Sagala, Syaiful, 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga
Kependidikan (Bandung: Alfabeta,)
Tim MEDP, 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,)
Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium
III, (Jakarta: Adicita Karya Nusa,)
Kemendikbud, modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 (Jakarta: badan
pengembang SDM pendidikan dan kebudayaan dan penjaminan mutu pendidikan)
Muhaimin, et. Al., 2008. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya)

21

Anda mungkin juga menyukai