Anda di halaman 1dari 83

Laporan Kepaniteraan Kedokteran Komunitas

“Community Health Analysis”


“Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis
di Kecamatan Sumpiuh”

Pembimbing:
Preseptor Fakultas: dr. Yudhi Wibowo, MPH
Preseptor Lapangan: dr. Dri Kusrini

Disusun oleh:
Evan Dionesia Gravianto G4A018018
Dyah Ayu Anastasya P G4A018023
Desti Niswatun Khamdan G4A017008

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
Halaman Pengesahan
Laporan Akhir
Community Health Analysis
“Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis di
Kecamatan Sumpiuh”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter


Kepaniteraan Klini Ilmu Kedoteran Komunitas
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Disusun oleh:
Evan Dionesia Gravianto G4A018018
Dyah Ayu Anastasya P G4A018023
Desti Niswatun Khamdan G4A017008

Telah Disetujui, Diperiksa dan Disahkan

Hari :
Tanggal :

Pembimbing Fakultas Pembimbing Lapangan

dr. Yudhi Wibowo, MPH dr. Dri Kusrini


NIP: 19701110.200.801.026 NIP: 19720112.200212.2.004
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan di bidang kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur baik
mental maupun spiritual.. Permenkes RI nomer 13 tahun 2015 menyebutkan
bahwa kesehatan lingkungan merupakan salah satu upaya kesehatan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan kualitas
lingkungan yang sehat. Kualitas lingkungan sehat yang dimaksud adalah
lingkungan yang sehat, baik secara fisik, kimia, biologi maupuan sosial.
Kualitas lingkungan yang sehat dapat terwujud dengan upaya pencegahan
penyakit dan atau gangguan kesehatan, seperti faktor-faktor risiko yang
terdapat di lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi atau fasilitas
umum.
Kondisi lingkungan yang tidak layak ataupun tempat kerja merupakan
faktor resiko yang mencetuskan timbulnya beberapa macam penyakit baik
menular maupun tidak menular. Banyak penyakit yang muncul akibat faktor
resiko yang terdapat pada lingkungan pemukiman, ataupun tempat kerja. Salah
satunya adalah leptospirosis. Leptospirosis merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia utamanya pada negara yang beriklim hangat dan
lembab seperti Indonesia, yang mana insiden tertingginya terjadi selama musim
hujan (Pujiyanti et al., 2014).
Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang
dilaporkan rendah disebagian besar negara, oleh karena kesulitan didalam
diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis, sehingga kejadian tidak
dapat diketahui, walaupun demikian di daerah tropik yang basah diperkirakan
terdapat kasus leptospirosis sebesar >10 kasus per 100.000 penduduk pertahun.
Insiden penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95,5 per 100.000
penduduk) diikuti oleh Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia Tenggara
(4,8) dan Eropa (0,5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki
manifestasi parah, yang angka kematian lebih besar dari 10% (WHO, 2010).
Kesulitan dalam diagnosis penyakit leptospirosis juga menyebabkan sulitnya
upaya dalam pemberantasanya (Kementrian Kesehatan RI dalam Profil
Kesehatan Indonesia, 2013).
Berdasarkan data penyakit di Puskesmas I Sumpiuh pada bulan Januari-
Juli 2019, penyakit leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang masuk
dalam sepuluh penyakit yang mendapat perhatian khusus di Puskesmas I
Sumpiuh. Pada tahun 2017 adanya 1 kasus leptospirosis yang meninggal dunia.
Terdapat 2 kasus baru leptospirosis sebanyak 2 orang pada bulan Januari dan
Februari di tahun 2019 ini, dan terus meningkat menjadi 10 kasus hingga bulan
Juli 2019. Hal tersebut membuat penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang
membutuhkan perhatian serius dan analisis lebih lanjut terkait penyebab dan
penanggulanganya.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas tentang faktor risiko
leptospira di wilayah kerja Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.
2. Tujuan khusus
a. Menentukan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
leptospira di wilayah kerja Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.
b. Mencari alternatif pemecahan masalah leptospira di wilayah kerja
Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.
c. Memberikan informasi mengenai faktor risiko leptospira sebagai upaya
promotif dan preventif terhadap komplikasi leptospira di wilayah kerja
Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menambah ilmu dan pengetahuan di bidang kesehatan dalam
mencegah penyakit leptospira, terutama faktor risiko terjadinya penyakit
leptospira.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi masyarakat
Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai penyakit
leptospira, faktor risiko dan cara untuk mencegah penyakit tersebut
sehingga diharapkan tidak terdapat kasus leptospira.
b. Manfaat bagi puskesmas
Membantu program enam dasar pelayanan kesehatan puskesmas
berkaitan dengan promosi kesehatan terutama masalah leptospira
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan
kebijakan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah.
c. Bagi mahasiswa
Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.
II. ANALISIS SITUASI

A. Gambaran Umum Puskesmas Sumpiuh 1


1. Keadaan Geografi
Puskesmas I Sumpiuh merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten
Banyumas yang letaknya cukup strategis karena terletak ditepi jalan raya
Provinsi dan berada di daerah perbatasan dengan Kabupaten Cilacap,
wilayah Puskesmas I Sumpiuh secara administratif mencakup 7 Desa,
seluas 20.641,6 Ha dengan rincian sebagai berikut:
a. Kelurahan Kebokura : 2.029.48 Ha
b. Desa Karanggedang : 2.024.58 Ha
c. Desa Kemiri : 2.840.00 Ha
d. Desa Kuntili : 3.275.00 Ha
e. Desa Pandak : 2.759.30 Ha
f. Desa Lebeng : 2.286.56 Ha
g. Desa Ketanda : 5.421.79 Ha

Batas Wilayah Puskesmas I Sumpiuh


 Utara : Kec. Somagede Kab Banyumas
 Selatan : Kec. Nusawungu Kab. Cilacap
 Timur : Wilayah Puskesmas II Sumpiuh
 Barat : Kec. Kemranjen Kab. Banyumas

Aksesibilitas/Kemudahan
 Jarak Puskesmas ke kabupaten : 100 % aspal 40 km
 Jarak Puskesmas ke desa : 0,5 – 6 km
 Ke 7 desa dapat dijangkau dengan kendaraan roda 2
 Komunikasi berita: Kantor Pos, Telepone, Radio, TV, Surat Kabar

Keadaan Demografi
Jumlah penduduk keseluruhan 7 Desa wilayah kerja Puskesmas I
Sumpiuh 27.688 Jiwa, dengan rincian sebagai berikut:
a. Kelurahan Kebokura : 4.608 Jiwa
b. Desa Karanggedang : 2.019 Jiwa
c. Desa Kemiri : 5.320 Jiwa
d. Desa Kuntili : 4.188 Jiwa
e. Desa Pandak : 3.253 Jiwa
f. Desa Lebeng : 2.784 Jiwa
g. Desa Ketanda : 5.519 Jiwa
Jumlah penduduk tertinggi di desa Ketanda sebanyak 5.5191 jiwa dan
terendah di Desa Karanggedang sebanyak 2.019 jiwa. Jika kita bandingkan
dengan luas wilayah, kepadatan penduduk tertinggi di Kelurahan Kebokura
sebesar 2,27 /Ha., sedangkan Karanggedang menempati urutan kepadatan
penduduk terendah sebesar 0,99/Ha.
Jumlah penduduk menurut golongan umur, dapat terisi semua sesuai
blangko profil karena data yang kami peroleh dari desa pembagian golongan
umur sesuai dengan blangko profil, sehingga dapat kami sajikan adalah data
sesuai dengan apa yang kami dapatkan dari desa. Jumlah penduduk terbesar
pada kelompok umur 20- 24 tahun sebanyak 2.299 jiwa sedangkan jumlah
terendah pada kelompok umur 70-74 tahun sebanyak 575 jiwa.
2. Keadaan Penduduk
1) Rasio Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio
jenis kelamin, yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk
perempuan per 100 penduduk perempuan. Berdasarkan penghitungan
sementara angka proyeksi penduduk tahun 2018 berdasarkan data,
didapatkan jumlah penduduk laki-laki 13.925 jiwa (50,34%) dan jumlah
penduduk perempuan 13.763 jiwa (49.66%). Sehingga didapatkan rasio
jenis kelamin paling besar sebesar 109,73.
2) Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur
Komposisi penduduk Puskesmas I Sumpiuh menurut kelompok
umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki-laki maupun
perempuan mempunyai proporsi terbesar pada kelompok umur 30-34
tahun sebanyak 2.251 jiwa (8,13%), sedang komposisi terendah pada
kelompok umur 70-74 sebanyak 575 jiwa (2,08%). Gambaran komposisi
penduduk secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran.

3. Keadaan Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat berkaitan dengan kemampuan menyerap
dan menerima informasi kesehatan serta kemampuan dalam berperan serta
dalam pembangunan kesehatan. Masyarakat yang memiliki pendidikan yang
lebih tinggi, pada umumnya mempunyai pengetahuan dan wawasan yang
lebih luas sehingga lebih mudah menyerap dan menerima informasi, serta
dapat ikut berperan serta aktif dalam mengatasi masalah kesehatan dirinya
dan keluarganya. Data pada tahun 2018 penduduk terbanyak berpendidikan
SD/MI sejumlah 7.268 jiwa. Sedangkan penduduk berpendidikan S2/S3
(Master/Doktor) sejumlah 47 jiwa.
B. Situasi Derajat Kesehatan
Untuk memberikan gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Sumpiuh I pada tahun 2018 disajikan situasi mortalitas dan
morbiditas. Dalam menilai derajat kesehatan masyarakat, terdapat beberapa
indikator yang dapat digunakan. Indikator-indikator tersebut pada umumnya
tercermin dalam kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status gizi. Pada
bagian ini, derajat kesehatan masyarakat di Puskesmas Sumpiuh I digambarkan
melalui Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian balita (AKABA),
Angka Kematian Ibu (AKI), angka morbiditas beberapa penyakit dan status
gizi.
Derajat kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut tidak hanya berasal dari sektor kesehatan seperti
pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan,
melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial,
keturunan dan faktor lainnya.
A. Angka Kematian
Angka kematian dari waktu ke waktu menggambarkan status
kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan
kesehatan, kondisi lingkungan fisik dan biologik secara tidak langsung.
Angka tersebut dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian
keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan.
Angka kematian yang disajikan pada bab ini yaitu AKB, AKABA, AKI dan
Angka Kematian Kecelakaan Lalu Lintas
1) Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (0-
11 bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB
menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan
antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan program KIA dan
KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Apabila AKB di suatu
wilayah tinggi, berarti status kesehatan di wilayah tersebut rendah.
Pada tahun 2018 kematian bayi sebanyak 2 (di Desa Karang
Gedang dan Kemiri) dan 3 kematian neonatal (di Desa Kebokura, Kemiri
dan Desa Pandak). Pada tahun 2018 terdapat 420 kelahiran hidup. AKB
di Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebesar Nol 9,2/1.000 kelahiran
hidup. Berdasarkan dengan pelayanan komprehensif pada bayi berarti
sudah bagus karena AKB di bawah 12/1.000 KH.
2) Angka Kematian Balita
Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan jumlah kematian
balita 0–5 tahun per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun.
AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan balita, tingkat
pelayanan KIA/Posyandu, tingkat keberhasilan program KIA/Posyandu
dan kondisi sanitasi lingkungan. Jumlah kematian bayi dan balita di
Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebanyak Nol bayi dan Nol balita dari
jumlah kelahiran hidup sebanyak 399. AKABA Puskesmas I Sumpiuh
tahun 2018 sebesar 4,6/1.000 kelahiran hidup. AKABA Puskesmas
Sumpiuh I tahun 2018 sudah memenuhi sesuai cakupan yang diharapkan
dalam capaian SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu 25/1.000
kelahiran hidup.
3) Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) mencerminkan risiko yang dihadapi
ibu-ibu selama kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh status
gizi ibu, keadaan sosial ekonomi, keadaan kesehatan yang kurang baik
menjelang kehamilan, kejadian berbagai komplikasi pada kehamilan dan
kelahiran, tersedianya dan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan prenatal dan obstetri. Tingginya angka kematian ibu
menunjukkan keadaan sosial ekonomi yang rendah dan fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan obstetri yang
rendah pula.
Kematian ibu biasanya terjadi karena tidak mempunyai akses ke
pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, terutama pelayanan
kegawatdaruratan tepat waktu yang dilatarbelakangi oleh terlambat
mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai
fasilitas kesehatan, serta terlambat mendapatkan pelayanan di fasilitas
kesehatan. Selain itu penyebab kematian maternal juga tidak terlepas dari
kondisii ibu itu sendiri dan merupakan salah satu dari kriteria 4 “terlalu”,
yaitu terlalu tua pada saat melahirkan (>35 tahun), terlalu muda pada saat
melahirkan (<20 tahun), terlalu banyak anak (>4 anak), terlalu rapat jarak
kelahiran/paritas (<2 tahun).
Angka kematian Ibu Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebesar
0/100.000 (nihil). Sesuai capaian SDGs (Sustainable Development
Goals) sebesar 70/100.000 kelahiran hidup, maka Puskesmas Sumpiuh I
memenuhi target SDGs AKI.
B. Angka Kesakitan
1. AFP/ Acute Flaccid Paralysis
Upaya membebaskan Indonesia dari penyakit Polio, pemerintah
telah melaksanakan Program Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari
pemberian imunisasi polio rutin, pemberian imunisasi masal pada anak
balita melalui Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan surveilans AFP.
Surveilans AFP merupakan pengamatan dan penjaringan semua
kelumpuhan yang terjadi secara mendadak dan sifatnya flaccid (layuh),
seperti sifat kelumpuhan pada poliomyelitis.
2. TB Paru
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat
menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil TB. Bersama
dengan Malaria dan HIV/AIDS, TB menjadi salah satu penyakit yang
pengendaliannya menjadi komitmen global dalam capaian SDGs
(Sustainable Development Goals).
Pada awal tahun 1995 WHO telah merekomendasikan strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sebagai strategi
dalam penanggulangan TB dan telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective),
yang terdiri dari 5 komponen kunci 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan
dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek
yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat,
termasuk pengawasan langsung pengobatan; 4) Jaminan ketersediaan
OAT yang bermutu; 5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu
memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan.
Jumlah kasus TB paru positif tahun 2017 sebanyak 23 kasus,
sementara pada tahun sebelumnya didapatkan 20 kasus TB paru positif
atau mengalami peningkatan kasus sebanyak 3 kasus.
A) Angka Penemuan Kasus TB Paru BTA (+)
Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB
adalah Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru
BTA (+) yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru
BTA (+) yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Pencapaian CDR di Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebanyak
27 kasus (15,5 %) Sedangkan Tahun 2017 sebesar 81,48 % (22 kasus)
masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100%.
B) Angka Kesembuhan Penderita TB Paru BTA(+)
Evaluasi pengobatan pada penderita TB paru BTA (+) dilakukan
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis pada akhir fase intensif satu
bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan dengan
hasil pemeriksaan negatif. Dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan
dahak pada akhir pengobatan ditambah minimal satu kali pemeriksaan
sebelumnya (sesudah fase awal atau satu bulan sebelum akhir
pengobatan) hasilnya negatif.
Bila pemeriksaan follow up tidak dilakukan, namun pasien telah
menyelesaikan pengobatan, maka evaluasi pengobatan pasien
dinyatakan sebagai pengobatan lengkap. Evaluasi jumlah pasien
dinyatakan sembuh dan pasien pengobatan lengkap dibandingkan
jumlah pasien BTA (+) yang diobati disebut keberhasilan pengobatan
(Succes Rate).
Dikatakan bahwa angka kesembuhan (Cure Rate) TB paru
Puskesmas Sumpiuh I Tahun 2018 sebesar 100% sama seperti tahun
sebelumnya yaitu Tahun 2017.
3. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru
(alveoli). Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur.
Pneumonia juga dapat terjadi akibat kecelakaan karena menghirup cairan
atau bahan kimia. Populasi yang rentan terserang Pneumonia adalah
anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun, atau
orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan
imunologi).
Pada wilayah kerja Puskesmas Sumpiuh I terdapat jumlah
perkiraan penderita Pnemonia sebanyak 102 (3.58%) dari total jumlah
balita sebesar 2.853 balita dengan perbandingan penderita balita
perempuan 34 (91.89%) dan balita laki-laki 64 (98.46%) sedankan
Penderita ditemukan dan ditangani sebanyak 98 balita (96.08%).
Jumlah perkiraan penderita dibanding dengan jumlah balita pada
masing-masing wilayah persentase tertinggi di Desa Kuntili yaitu 24
(16.67%) dan persentase terendah di Desa Karang Gedang yaitu 7
(6.86%).
4. HIV
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi virus Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi
berbagai macam penyakit lain.
Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan
sebagai HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat
diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counselling,
and Testing (VCT), sero survey dan Survei Terpadu Biologis dan
perilaku (STBP). Berdasar data puskesmas dapat dilihat kasus HIV
AIDS selama tahun 2018 terdapat 14 kasus dan meninggal dunia masih
nihil. Dan kasus Syphilis sebanyak nol kasus.
5. Penyakit IMS
Penyakit Menular Seksual (PMS) atau biasa disebut penyakit
kelamin adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. PMS
meliputi Syphilis, Gonorhoe, Bubo, Jengger ayam, Herpes, dan lain-lain.
Infeksi Menular Seksual (IMS) yang diobati adalah kasus IMS yang
ditemukan berdasarkan sindrom dan etiologi serta diobati sesuai standar.
Jumlah kasus baru IMS lainnya di Puskesmas Sumpiuh I tahun
2018 sebanyak 27 kasus, turun dari tahun 2017 sebanyak 103 kasus. Dari
kunjungan layanan IMS, ditemukan IMS sebanyak 22 kausu, hasil sifilis
positif sebanyak 1, GO positif 4 kasus dan. Meskipun demikian
kemungkinan kasus yang sebenarnya di Masyarakat masih banyak yang
belum terdeteksi. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular Seksual mempunyai target bahwa seluruh kasus IMS yang
ditemukan harus diobati sesuai standar.
6. Penyakit Diare
Diare adalah penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan
konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang
dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila
buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi
tidak berdarah dalam waktu 24 jam.
Berdasar data puskesmas tercapai kasus diare yang ditangani
sebesar 91.4 % dari jumlah target penemuan sebesar 1.160 kasus (4,22%
dari jumlah penduduk). Jumlah target penemuan kasus diare sebesar
0.04% dari jumlah penduduk masing-masing wilayah.
7. Penyakit Kusta
Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium leprae. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan
permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata.
Pada tahun 2018 diwilayah Puskesmas Sumpiuh I terdapat 0 kasus
Kusta (0 %), tahun 2017 tidak terdapat kasus baru sedang pada tahun
2016 sebanyak 2 kasus. Dengan begitu penyakit menular ini bisa
tertangani dengan baik.
8. Penyakit DBD
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus Dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypty.
Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur <15 tahun, namun
dapat juga menyerang orang dewasa.
Pada tahun ini penyakit DBD belum merupakan permasalahan di
Puskesmas Sumpiuh I, terbukti pada tahun 2018 tidak terdapat orang
terjangkit penyakit DBD. Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di
PPuskesmas Sumpiuh I pada tahun 2016 (18,2/100.000 penduduk).
Dibandingkan tahun 2015 jumlah kasus Demam Berdarah naik dengan 4
kasus (3,88/100.000 penduduk) dan sudah sesuai target nasional yaitu
<20/100.000 penduduk dan pada tahun 2018 tidak ada kasus.
Adapun kasus demam berdarah ini terdapat di desa Kemiri. Setiap
penderita DBD yang dilaporkan dilakukan tindakan Penyelidikan
Epidemiologi, penyuluhan, penggerakan PSN dan bila perlu dilakukan
fogging di lapangan sebagi upaya pengendalian. Pada tahun 2018 tidak
terdapat kasus Demam Berdarah Deungeu.
9. Penyakit Malaria
Penyakit malaria masih menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat di Puskesmas I Sumpiuh. Pada Tahun 2014 Sudah tidak
ditemukan desa Middle Case Incidence (MCI) di Desa Ketanda,
sedangkan di tahun 2018 sudah Low Case Incidence (LCI) .
Angka kesakitan malaria (Annual Parasite Incidence-API)
merupakan indikator untuk memantau perkembangan penyakit malaria.
Jumlah kasus tahun 2018 sebanyak 0 kasus, sama dengan tahun 2017
dengan 0 kasus positif.
Dapat dilihat data penyakit Malaria tahun 2018. Selama tahun 2018
di wilayah Puskesmas I Sumpiuh terdapat 0 kasus klinis malaria, dan
tidak terdapat kasus positif (0%).
10. Penyakit Filariasis
Pada tahun 2018 di Wilayah Puskesmas I Sumpiuh tidak terdapat
kasus filariasis yaitu 0 kasus, sama dibanding dengan tahun 2017 yang
tidak terdapat kasus Filariasis.
11. Penyakit PD3I
Yang termasuk dalam PD3I yaitu Polio, Pertusis, Tetanus Non
Neonatorum, Tetanus Neonatorum, Campak, Difteri dan Hepatitis B.
Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit tersebut,
diperlukan komitmen global untuk menekan turunnya angka kesakitan
dan kematian yang lebih banyak dikenal dengan Eradikasi Polio
(ERAPO), Reduksi Campak (Redcam) dan Eliminasi Tetanus
Neonatorum (ETN).
Saat ini telah dilaksanakan Program Surveilans Integrasi PD3I,
yaitu pengamatan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (Difteri, Tetanus Neonatorum, dan Campak). Penderita PD3I
tahun 2017, di wilayah Puskesmas I Sumpiuh terdapat kasus penyakit
PD3I sebagai berikut.

a) Difteri
Tahun 2018 tidak ada kasus.
b) Pertusis
Tahun 2018 tidak ada kasus.
c) Tetanus ( Non Neonatorum)
Tahun 2018 tidak ada kasus.
d) Tetanus Neonatorum
Tahun 2018 tidak ada kasus.
e) Campak
Tahun 2018 tidak ada kasus.
f) Polio
Tahun 2018 tidak ada kasus.
12. Penyakit Tidak Menular
Penyakit tidak menular (PTM) yang diintervensi meliputi jantung
koroner, dekompensasio kordis, hipertensi, stroke, diabetes mellitus,
kanker serviks, kanker payudara, kanker hati, kanker paru, penyakit paru
obstruktif kronis, asma bronkiale, dan kecelakaan lalu lintas. Penyakit
tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes mellitus,
penyakit paru obstruktif kronis dan kanker tertentu, dalam kesehatan
masyarakat sebenarnya dapat digolongkan sebagai satu kelompok PTM
utama yang mempunyai faktor risiko sama (common underlying risk
factor). Faktor risiko tersebut antara lain faktor genetik merupakan faktor
yang tidak dapat
Diubah (unchanged risk factor), dan sebagian besar berkaitan
dengan faktor risiko yang dapat diubah (change risk factor) antara lain
konsumsi rokok, pola makan yang tidak seimbang, makanan yang
mengandung zat aditif, kurang berolah raga dan adanya kondisi
lingkungan yang tidak kondusif terhadap kesehatan.
Penyakit tidak menular mempunyai dampak negatif sangat besar
karena merupakan penyakit kronis. Apabila seseorang menderita
penyakit tidak menular, berbagai tingkatan produktivitas menjadi
terganggu. Penderita ini menjadi serba terbatas aktivitasnya, karena
menyesuaikan diri dengan jenis dan gradasi dari penyakit tidak menular
yang dideritanya. Hal ini berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan
tidak diketahui kapan sembuhnya karena memang secara medis penyakit
tidak menular tidak bisa disembuhkan tetapi hanya bisa dikendalikan.
Yang harus mendapatkan perhatian lebih adalah bahwa penyakit tidak
menular merupakan penyebab kematian tertinggi dibanding dengan
penyakit menular.
Data PTM Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebanyak 2.637
Kasus tertinggi PTM adalah kelompok penyakit Hipertensi Essensial
sebesar 50.2 % (797 kasus). Prevalensi kasus Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin 19.2 % (305 kasus). Prevalensi kasus asma sebesar
179 (11,32%). Prevalensi Stroke Hemoragik tahun 2018 adalah 1 % (16
kasus). Prevalensi kasus PPOK 67 kasus (4,2%). Prevalensi Stroke Non
Hemorargik sebesar 7,8 % (124 kasus). Prevalensi Diabetes Melitus
Tergantung Insulin sebesar 0,5% (8 kasus). Prevalensi kasus
Dekompensasio Kordis tahun 2017 sebesar 0,06 % (1 kasus). Kasus
penyakit kanker yang ditemukan sebanyak 2,18 % (31 kasus),
diantaranya Ca. servik 10 kasus (0,63%), Ca. mamae 27 kasus (1,7%),
Ca. hepar 0 (0%), dan Ca. paru 3 kasus (0.69%).
C. Status Gizi
1. Presentasi Berat Bayi baru Lahir Rendah
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Penyebab terjadinya
BBLR antara lain karena ibu hamil mengalami anemia, kurang suply
gizi waktu dalam kandungan, ataupun lahir kurang bulan. Bayi yang
lahir dengan berat badan rendah perlu penanganan yang serius, karena
pada kondisi tersebut bayi mudah sekali mengalami hipotermi dan
belum sempurnanya pembentukan organ-organ tubuhnya yang
biasanya akan menjadi penyebab utama kematian bayi.
Jumlah bayi berat lahir rendah (BBLR) di Puskesmas I Sumpiuh
pada tahun 2018 sebanyak 29 bayi, meningkat apabila dibandingkan
tahun 2017 sebanyak 20 bayi dan Tahun 2016 sebanyak 17 bayi.
Dengan begitu dapat digambarkan bahwa gizi ibu hamil meningkat,
penanganan ibu hamil lebih baik.
2. Presentasi Balita dengan Gizi Kurang
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan
pencapaiannya dalam SDGs (Sustainable Development Goals) adalah
status gizi balita. Status gizi balita diukur berdasarkan umur (U), berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dab TB ini disajikan
dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting
karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan
dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi
terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses
pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian
konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam menetukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku
yang sering disebut reference. Baku antropometri yang sering
digunakan di Indonesia adalah World Health Organization–National
Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Berdasarkan baku WHO-
NCHS status gizi dibagi menjadi empat: Pertama, gizi lebih untuk
over weight, termasuk kegemukan dan obesitas. Kedua, Gizi baik
untuk well nourished. Ketiga, Gizi kurang untuk under weight yang
mencakup mild dan moderat, PCM (Protein Calori Malnutrition).
Keempat, Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus,
marasmik-kwasiorkor dan kwashiorkor.
3. Presentasi Balita dengan Gizi Buruk
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui
intensifikasi pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu,
dilanjutkan dengan penentuan status gizi oleh bidan di desa atau
petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera
ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga
penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal.
Pendataan gizi buruk di Puskesmas Sumpiuh I di dasarkan pada
2 kategori yaitu dengan indikator membandingkan berat badan dengan
umur (BB/U) dan kategori kedua adalah membandingkan berat badan
dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining pertama dilakukan di
posyandu dengan membandingkan berat badan dengan umur melalui
kegiatan penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah
garis merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan
konfirmasi status gizi dengan menggunakan indikator berat badan
menurut tinggi badan. Jika ternyata balita tersebut merupakan kasus
buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi buruk sesuai pedoman di
Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat penyakit penyerta
yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera
dirujuk ke rumah sakit.
Pada tahun 2018 di Puskesmas Sumpiuh I terdapat 1 anak dari
Desa Kemiri dengan kasus gizi buruk dan mendapat perawatan
(100%). Sama dibanding tahun 2017 di Puskesmas I Sumpiuh terdapat
1 anak dengan kasus gizi buruk mendapat perawatan (100%).
4. Situasi Upaya Kesehatan
A. Pelayanan Kesehatan Dasar
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal
yang sangat penting. Dengan memberikan pelayanan kesehatan
dasar secara tepat dan cepat, diharapkan sebagian besar masalah
kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai pelayanan
kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan sebagi berikut :
1) Pelayanan Kesehatan Ibu
Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar didalam
pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan
kesehatan yang dialami seorang ibu apalagi yang sedang hamil
bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin dalam kandungan
hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi dan anaknya.
a. Cakupan Ibu Hamil K-1
Pelayanan kesehatan ibu meliputi pelayanan kesehatan
antenatal, pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan
nifas. Cakupan pelayanan antenatal dapat dipantau melalui
pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) untuk melihat
akses dan pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar
paling sedikit empat kali (K4) dengan distribusi pemberian
pelayanan yang dianjurkan adalah minimal satu kali pada
triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali
pada triwulan ketiga umur kehamilan.
Cakupan kunjungan ibu hamil K-1 tahun 2018 jumlah
sasaran ibu hamil sebesar 455 ibu hamil dan kunjungan K-1
sebanyak 455 (100) menurun jika dibandingkan Tahun 2017
jumlah sasaran ibu hamil sebanyak 457 dan kunjungan K-1
sebanyak 457 (100%), Tahun 2016 jumlah Ibu Hamil
sebanyak 502 dengan kunjungan K-1 sebanyak 485
(96,61%).
b. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K-4
Masa kehamilan merupakan masa yang rawan
kesehatan, baik kesehatan ibu yang mengandung maupun
janin yang dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan
perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan
guna mencegah gangguan sedini mungkin dari segala sesuatu
yang membahayakan kesehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Pada tahun 2018 jumlah ibu hamil sebanyak 455
menurun jika dibandingkan tahun 2017 jumlah ibu hamil di
Puskesmas Sumpiuh I berkurang dibanding tahun lalu yaitu
sebanyak 502 ibu hamil. Adapun ibu hamil yang
mendapatkan pelayanan K-4 tahun 2018 sebanyak 414 ibu
hamil meningkat jika dibandingkan Tahun 2017 sebesar 382
ibu hamil (83,6%) Tahun 2016 dengan 502 ibu hamil, ibu
hamil yang mendapatkan pelayanan K-4 adalah sebesar 404
ibu hamil (80,5%).
Pada prinsipnya kegiatan-kegiatan dalam rangka
pelayanan K-4 sudah dilaksanakan oleh Puskesmas Sumpiuh
I, hal itu menunjukan bahwa kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pemeriksaan kesehatan pada waktu hamil belum
maksimal. Selain itu juga petugas kesehatan belum maksimal
dalam memberikan motivasi kepada ibu hamil. Standar
pelayanan minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil K-4
sebesar 95%. Dengan demikian untuk wilayah Puskesmas
Sumpiuh I masih kurang memenuhi standar pelayanan
minimal yang diharapkan.
c. Cakupan Pertolongan Persalinan Tenaga Kesehatan
(Nakes)
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru
lahir sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan.
Hal ini antara lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi kebidanan (profesional).
Jumlah ibu bersalin tahun 2018 adalah sebesar 419
orang , jumlah yang di tolong oleh Nakes 419 ibu hamil
(100%), sedangkan tahun 2017 adalah 399 orang, jumlah
yang ditolong oleh nakes sebanyak 398 (99,7%).
Mmengalami peningkatan 419 orang. Tahun 2016 jumlah ibu
bersalin 502 orang, jumlah yang ditolong oleh nakes
sebanyak 432 orang atau sebesar 90,2%.
Target Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan
persalinan oleh nakes tahun 2018 sebesar 100%. Dengan
demikian cakupan persalinan nakes Puskesmas Sumpiuh I
tahun 2018 sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan.
Kegiatan-kegiatan yang mendukung pencapaian SPM
tersebut masih tetap dilaksanakan untuk lebih meningkatkan
cakupan antara lain pengembangan Pondok Bersalin Desa
(Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) di
daerah-daerah yang terisolir, pemerataan 4penempatan tenaga
bidan di desa, penyuluhan persalinan/sosial persalinan sehat
dan aman dan peningkatan ketrampilan tenaga bidan tentang
Asuhan Persalinan Normal (APN).
d. Cakupan Pelayanan Nifas
Paska persalinan (masa nifas) berpeluang untuk
terjadinya kematian ibu maternal, sehingga perlu
mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas dengan
dikunjungi oleh tenaga kesehatan minimal 3 (tiga) kali sejak
persalinan. Pelayanan Ibu Nifas meliputi pemberian Vitamin
A dosis tinggi ibu nifas yang kedua dan pemeriksaan
kesehatan paska persalinan untuk mengetahui apakan terjadi
perdarahan paska persalinan, keluar cairan berbau dari jalan
lahir, demam lebih dari 2 (dua) hari, payudara bengkak
kemerahan disertai rasa sakit dan lain-lain. Kunjungan
terhadap ibu nifas yang dilakukan petugas kesehatan biasanya
bersamaan dengan kunjungan neonatus.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2018 sebesar
419 ibu nifas (100%) meningkat jika dibandingkan tahun
2017 yaitu 399 ibu nifas. Tahun 2016 sebanyak 432 dan
sudah memenuhi target SPM tahun 2018 (100%). Cakupan
yang telah mencapai 100% meliputi semua desa di wilayah
Puskesmas Sumpiuh I.
e. Cakupan Komplikasi Kebidanan yang Ditangani
Komplikasi kebidanan merupakan kesakitan pada ibu
hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang dapat mengancam jiwa
ibu dan/atau bayi.
Komplikasi dalam kehamilan diantaranya (a) Abortus,
(b) Hiperemesis Gravidarum, (c) Perdarahan per vaginam,
(d) Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia),
(e) Kehamilan lewat waktu, (f) ketuban pecah dini.
Komplikasi dalam persalinan diantaranya (a) Kelainan
letak/presentasi janin, (b) Partus macet/distosia, (c)
Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia) (d)
Perdarahan pasca persalinan, (e) Infeksi berat/sepsis, (f)
Kontraksi dini/persalinan premature, (g) Kehamilan ganda.
Komplikasi dalam nifas diantaranya (a) Hipertensi
dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia), (b) Infeksi nifas,
(c) Perdarahan nifas. Ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas
dengan komplikasi yang ditangani adalah ibu hamil, bersalin
dan nifas dengan komplikasi yang mendapatkan pelayanan
sesuai standar pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan
(Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah Bersalin,
RSIA/RSB, RSU, RSU PONED).
Jumlah komplikasi kebidanan Puskesmas Sumpiuh I
tahun 2018 yang di tangani sebanyak 154 orang (169,23%)
meningkat pada tahun 2017 yang ditangani sebanyak 131
(143,3%). Mengalami peningkatakn bila dibandingkan
dengan tahun 2016 cakupan komplikasi kebidanan yang
ditangani 112 (111,6%). Tetapi pencapaian jumlah
komplikasi kebidanan Puskesmas Sumpiuh I sudah
melampaui target SPM (80%).
2. Pelayanan Kesehatan Anak
a. Cakupan Kunjungan Neonatus
Kunjungan Neonatus (KN) adalah kunjungan yang
dilakukan oleh petugas kesehatan ke rumah ibu bersalin, untuk
memantau dan memberi pelayanan kesehatan untuk ibu dan
bayinya. Pada Permenkes 741/Th. 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (SPM-BK), KN dibagi
menjadi 3, yaitu: KN1 adalah kunjungan pada 0-2 hari, KN2
adalah kunjungan 2-7 hari dan KN3 adalah kunjungan setelah 7-
28 hari. Cakupan kunjungan neonatus 1 (KN1) di Puskesmas
Sumpiuh I pada tahun 2018 420 (100%) meningkat jika di
bandingkan tahun 2017 sebesar 401 dan cakupan kunjungan
neonatus 3 (KN-lengkap) sebesar 419 (99.8%). Tahun 2016
pada KN1 yaitu pada tahun 2016 sebesar 99,8% dan pada KN-
lengkap yaitu pada tahun 2016 sebesar 9586%.
Masing-masing desa untuk KN1 dan KN-lengkap telah
melampaui target SPM yaitu di atas 90%.
b. Cakupan Kunjungan Bayi
Kunjungan bayi adalah bayi yang memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling
sedikit 4 kali, di luar kunjungan neonatus. Setelah umur 28 hari.
Setiap bayi berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
memantau pertumbuhan dan perkembangannya secara teratur
setiap bulan di sarana pelayanan kesehatan. Cakupan kunjungan
bayi di Puskesmas I Sumpiuh pada tahun 2018 sebesar 410
(102.8) umlah sasaran bayi sebesar 399 Bayi mengalami
peningkatan jika dibandingkan tahun 2017 sebesar 398 dari
jumlah sasaran bayi 399, Tahun 2016 sebesar 459. Pencapaian
kunjungan Bayi sudah melebihi target SPM (90%).
c. Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang Ditangani
Neonatus dengan komplikasi merupakan neonatus dengan
penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan,
kecacatan dan kematian. Neonatus dengan komplikasi seperti
asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis,
trauma lahir, BBLR (berat badan lahir rendah < 2500 gr),
sindroma gangguan pernafasan dan kelainan congenital maupun
yang termasuk klasifikasi kuning pada Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS).
Neonatus dengan komplikasi yang ditangani merupakan
neonatus komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan
kesehatan. Perhitungan sasaran neonatus dengan komplikasi
dihitung berdasarkan 15% dari jumlah bayi baru lahir. Indikator
ini mengukur kemampuan manajemen program
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan secara profesional kepada neonatus dengan
komplikasi. Pada tahun 2018 terdapat jumlah perkiraan neonatus
komplikasi sebanyak 62 bayi sedangkan jumlah penangan
komplikasi yang di tangani sebanyak 64 bayi (104%). Sedangkan
pada Tahun 2017 jumlah perkiraan neonatus komplikasi sebanyak
64 bayi yang mendapat penanganan tenaga kesehatan di tiap
jenjang pelayanan kesehatan sebesar 49 bayi (76,4%). Cakupan
Neonatus Risiko Tinggi/ komplikasi yang ditangani Tahun 2018
tersebut sudah memenuhi target cakupan sebesar 80%.
d. Cakupan Pelayanan Anak Balita
Balita adalah anak berumur dibawah 5 tahun atau umur 12-59
bulan. Tidak hanya bayi yang harus mendapatkan perhatian
kesehatannya tetapi balita juga perlu mendapatkan perhatian baik
gizi maupun kesehatannya, karena balita adalah generasi penerus
bangsa yang harus sehat, cerdas dan kuat.
Jumlah balita di Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 sebanyak
1.705 bayi sedangkan yang mendapat pelayanan tahun 2017
sebanyak 1.757 yang mendapatkan pelayanan kesehatan minimal 8
kali sebanyak 1.860 (109.1%). Sebagian besar cakupan pelayanan
kesehatan minilal 8 kali sudah melebihi diatas 100 % dengan Desa
yang cakupannya paling rendah adalah desa Karang Gedang 153
(8.97%) sedangkan cakupan tertinggi di desa Kemiri 355 (20,82%)
e. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat
Penjaringan kesehatan siswa Sekolah Dasar (SD) dan
setingkat adalah pemeriksaan kesehatan terhadap murid baru kelas
1 SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang meliputi pengukuran
tinggi badan, berat badan, pemeriksaan ketajaman mata, ketajaman
pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan
kebugaran jasmani. Pelaksanaan penjaringan kesehatan dikoordinir
oleh puskesmas bersama dengan guru sekolah dan kader
kesehatan/konselor kesehatan. Setiap puskesmas mempunyai tugas
melakukan penjaringan kesehatan siswa SD/MI di wilayah
kerjanya dan ddilakukan satu kali pada setiap awal tahun ajaran
baru sekolah. Siswa SD dan setingkat ditargetkan 100%
mendapatkan pemantauan kesehatan melalui penjaringan
kesehatan. Melalui penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat
diharapkan dapat menapis atau menjaring anak yang sakit dan
melakukan tindakan intervensi secara dini, sehingga anak yang
sakit menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi
sakit.
f. Cakupan Pelayanan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat
Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh
tenaga kesehatan/guru UKS/ kader kesehatan sekolah tahun 2018
sebanyak 407 (100%). Tahun 2017 sebanyak 375 (100%), Cakupan
tahun 2016 sebanyak 403 (100%), dan sudah mencapai target SPM.
Sedangkan yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas
sebanyak 19 kasus (100%) dan telah ditangani sebesar 100%.
B. Perilaku Hidup Masyarakat
1. Persentase Rumah Tangga Ber-PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga
merupakan upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar
sadar, mau dan mampu melakukan PHBS dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya penyakit dan
melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat.
Yang dimaksud rumah tangga sehat adalah proporsi rumah tangga
yang memenuhi minimal 11 indikator dari 16 indikator PHBS tatanan
rumah tangga. Adapun 16 indikator PHBS tatanan Rumah tangga
tersebut meliputi:
a. Variabel KIA dan GIZI: persalinan nakes; ASI Eksklusif;
penimbangan balita; gizi seimbang
b. Variabel Kesling: air bersih; jamban; sampah; kepadatan hunian;
lantai rumah.
c. Variabel Gaya Hidup: aktifitas fisik; tidak merokok; cuci tangan;
kesehatan gigi dan mulut; miras/narkoba.
d. Variabel Upaya Kesehatan Masyarakat: Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Berdasarkan data hasil pengkajian PHBS Tatanan Rumah Tangga
di Puskesmas Sumpiuh I tahun 2018 dari 6.792 rumah tangga yang ada,
yang dipantau sebanyak 6.577 rumah (96,8%) dan jumlah rumah yng
ber-PHBS 5.522 (84,0%) menurun bila dibandingkan tahun 2017 dari
8.550 rumah tangga yang ada, diperiksa 5.445 rumah tangga (89,4%).
Jumlah rumah yang memenuhi syarat rumah sehat tahun 2018
sebanyak 5.655 (76,86%) meningkat dibandingkan pada tahun 2017
sebanyak 5.037 (68,45% dari rumah yang diperiksa) dan jumlah rumah
yang belum memenuhi syarat sebanyak 2.321 (46,07% dari rumah yang
diperiksa).
Cakupan tertinggi dicapai di desa Karang Gedang (94,89%),
sedangkan cakupan terendah adalah di desa Ketanda (58,67%).
Perubahan perilaku tidak dapat terjadi dalam waktu singkat, tetapi
memerlukan proses yang panjang termasuk didalamnya perlu upaya
pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan.
C. Keadaaan Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
derajat kesehatan, disamping perilaku dan pelayanan kesehatan. Program
Lingkungan Sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup
yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayahan
untuk menggerakkan pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan.
Adapun kegiatan pokok untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:
(1) Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar, (2)
Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas Lingkungan, (3) Pengendalian
Dampak Risiko Lingkungan, (4) Pengembangan Wilayah Sehat.
Pencapaian tujuan penyehatan lingkungan merupakan akumulasi
berbagai pelaksanaan kegiatan dari berbagai lintas sektor, peran swasta dan
masyarakat. Pengelolaan kesehatan lingkungan merupakan penanganan
yang paling kompleks, kegiatan tersebut sangat berkaitan antara satu dengan
yang lainnya, berbagai lintas sektor ikut serta berperan (Bappeda,
Bapermas, Perindustrian, Lingkungan Hidup, Pertanian, Cipta Karya dan
Dinas Kesehatan).
5. Situasi Sumber Daya Kesehatan
A. Sarana Kesehatan
1. Ketersediaan Obat menurut Jenis Obat
Pada tahun 2018 sebanyak 210 jenis obat dengan penggunaan
terbanyak adalah Paracetamol 500 mg sebanyak 78.800 tablet.
Penggunaan terendah adalah Metilergometrin amleat injeksi 0,200 mg-
1ml sebanyak nol ampul. Persentase ketersediaan tertinggi adalah
Metilergometrin maleat injeksi 74%, persentase ketersediaan terendah
adalah Natrium Bikarbonat tablet (Nol %). Tahun 2017 dari 239 jenis
obat dengan penggunaan terbanyak adalah Paracetamol 500 mg sebanyak
80.400 tablet. Penggunaan terendah adalah Metilergometrin Maleat
injeksi 0,200 mg-1ml sebanyak 5 ampul. Persentase ketersediaan
tertinggi adalah Anti Hemoroid Suppositoria (1.390%), persentase
ketersediaan terendah adalah Obat Batuk Hitam (7,45%).
2. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan menurut Kepemilikan/
Pengelola
Sarana Pelayanan Kesehatan dengan kepemilikan Pemerintah
Kabupaten/ Kota terdiri dari 1 Puskesmas Rawat Inap (21 tempat tidur)
dan 1 Puskesmas Pembantu. Sarana Pelayanan Kesehatan dengan
kepemilikan swasta terdiri dari 1 Rumah Bersalin dan 1 Balai
Pengobatan/ Klinik.
3. Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Kemampuan Labkes dan
Memiliki Empat Spesialis Dasar
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan laboratorium
kesehatan yang dapat diakses masyarakat adalah cakupan sarana
kesehatan yang telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
pelayanan laboratorium kesehatan sesuai standar dan dapat diakses oleh
masyarakat dalam waktu tertentu. Kemampuan pelayanan laboratorium
kesehatan yang dimaksud adalah upaya pelayanan penunjang medik
untuk mendukung dalam pelayanan medik, untuk menegakkan diagnosis
dokter di Puskesmas.
Sarana kesehatan di Puskesmas I Sumpiuh tahun 2018 dengan
kemampuan pelayanan 1 buah laboratorium yang dapat diakses
masyarakat.
4. Posyandu menurut Strata
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar, utamanya lima program prioritas yang
meliputi (KB; KIA; Gizi; Imunisasi dan penanggulangan diare dan ISPA)
dengan tujuan mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
III. IDENTIFIKASI MASALAH

A. Daftar Permasalahan
Masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara relitas (kenyataan)
dengan keinginan (target/standar) dan adanya keinginan untuk mengubah
kesenjangan tersebut. Masalah dapat diidentifikasi dengan melihat kriteria
sebagai berikut:
1. Berdampak pada banyak orang
2. Ada konsekuensi serius
3. Adanya kesenjangan yang nyata
4. Menunjukan trend yang meningkat
5. Bisa diselesaikann (ada intervensi yang terbukti efektif).
Kegiatan kepaniteraan ilmu kesehatan masyarakat (IKM) di wilayah
kerja Puskesmas 1 Sumpiuh mengidentifikasi permasalahjan dilihat dari angka
kesekitan penyakit di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh. Angka kesakitan
tersebut diambil dari besar penyakit di Puskesmas 1 Sumpiuh.
Tabel 3.1 Daftar Masalah di Puskesmas 1 Sumpiuh tahun 2018

Jumlah Persentase
No Masalah berdasarkan profil Jumlah Kasus / Penduduk
(27.688)
1 Diare 1160 4,18%
2 Hipertensi 797 2,87%
3 DM type 2 305 1,10%
4 Asma 179 0,64%
5 Stroke Non Hemoragik 124 0,45%
6 Pneumonia 102 0,36%
7 PPOK 67 0,24%
8 IMS 27 0,09%
9 TB 27 0,09%
10 Leptospira 10 0,02%
Sumber: Data Sekunder Puskesmas 1 Sumpiuh
IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis
1. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
Leptospira interrogans semua serotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan
nama flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya
wabah pada saat banjir. Menurut International Leptospirosis Society (ILS),
Indonesia merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta
menempati peringkat ketiga di dunia untuk tingkat mortalitas.
Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886, tetapi
pada tahun 1915 Inada menemukan penyebabnya yaitu spirochaeta dari
genus leptospira. Di antara genus leptospira, hanya spesies interogans yang
patogen untuk binatang dan manusia. Sekurangkurangnya terdapat 180
serotipe dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat menimbulkan gambaran
klinis yang berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya meningitis
aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Leptospirosis memiliki
manifestasi klinis yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan dapat
terjadi gejala seperti influenza dengan nueri kepala dan mialgia.
Leptospirosis berat ditandai oleh ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan,
dikenal sebagai sindrom Weil.
2. Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di
negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan
berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa
terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu,
babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai
dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau
selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya
yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira
(Mansjoer, 2015).
Gambar 4.1 Bakteri leptospira menggunakan mikroskop elektron tipe
scanning
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen
L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok
patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau
L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas
berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah
ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang
dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L.
javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L.
automnalis, L. australis, L. pomona, L. grippothyphosa, L. hebdomadis, L.
bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis, L. andamana, L. shermani, L.
ranarum, L. copenhageni.
Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat,
bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada
serogrup atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L.
automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa
peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae,
dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L.
pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. (Arjatmo, 2016).
3. Epidemiologi
Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh
dunia, terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Angka
kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Di
daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang
memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian
leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di
daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis
berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka
kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate
CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara <5%
- 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih banyak
daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi
dengan baik. Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan belum
didiagnosis secara tepat (WHO,2003).
Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang
pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira khususnya spesies L. Ichterro
haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus
norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan hewan peliharaan
seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan babi dapat
menjadi hospes perantara dalam penularan leptospirosis (Setiawan, 2008).
Transmisi bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak
dengan air atau tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung
leptospira. Selain itu penularan bisa juga terjadi karena manusia
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan bakteri
leptospira (WHO, 2009).

Gambar 4.2 Siklus Penularan Leptospirosis (Cook & Alimudin, 2009)


Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses penularan
leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik,
biologik, dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah mengenai
jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara
lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol
tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang tentara, pembersih
septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Agus (2008) di Kabupaten Demak
menunjukkan beberapa faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan
yang melibatkan kontak tubuh dengan air, keberadaan sampah di dalam,
keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas
kaki, kebiasaan mandi/cuci di sungai, tidak ada penyuluhan tentang
leptospirosis (Priyanto, 2008).
4. Patogenesis
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara,
yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar
bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet
atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan
penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila
kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira
bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil
masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri.
Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah
diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh ( Poerwo,
2012)
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau
2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang
tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan
menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat
disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada
permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri
leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin
bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil
pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu
hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
mengandung fosfolipid (Saroso, 2013)
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati.
Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal
dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat
sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga
menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat
dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal
ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan
perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan
yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik
tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi
dan hiperplasia sel Kupffer.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril
umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas
penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase
imun.
a. Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10
hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari atau
bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini ditandai adanya demam
yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, mialgia,
ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah.
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum
mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan
tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini mungkin
dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang umum
dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan
jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan
adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam batas
normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis.
b. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan
dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus yang
ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala
yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan
manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang
dominan.
Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang
ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan
sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai
meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara
lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer.
Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua
mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai
jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru.
Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan
ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi
dan berhubungan dengan mortalitas penderita.

6. Diagnosis
1) Diagnosis Klinik
Tabel 4.1 The Center for Disease Control of Leptospirosis Report (Faine
S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva WHO, 1982).

Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika:


Presumptive leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25
Sugestive leptospirosis, bila A+B antara 20-25
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.24 Sebelumnya klinisi
menggunakan kriteria diagnosis menurut The Center for Disease Control
of Leptospirosis Report (Faine S. Guideline for The Control of
Leptospirosis, Geneva WHO, 1982).
Kriteria diagnosis ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian
nilai pada faktor-faktor epidemiologik dalam kriteria diagnosis tersebut
sangat subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam
kriteria diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena
pemeriksaan serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka
hasilnya diperoleh setelah beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis
secara berlebihan dapat menyesatkan para klinisi (Rejeki, 2005).
2) Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat
pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit
meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara ekstrim
pada sindrom Weil (Garna, 2012).
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari:
pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi
(Muliawan & Sylvia, 2008):
a) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen
pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.9,
b) Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya
dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher
dan media Tween 80-albumin merupakan media semisolid yang
bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid,
leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah
permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi.
Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan
yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit.
Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk
mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan
sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini,
leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.
c) Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini
mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ.
d) Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening.
Pemeriksaan gold standard untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospira interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi
tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi,
kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap
selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun.
Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada
manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain
(battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping
sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu
atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik
leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160).
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah
Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule
Agglutination Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA
assay), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-
fluorescent antibody test, dan immunoblot.
Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula
uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes
leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan di
Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan
Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan
pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor
aqueous, cairan serebrospinal, dan jaringan biopsi.
7. Tatalaksana
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat
selflimited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan
harus dimulai segera pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp.
adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.
Tabel 4.2 Terapi Antibiotik pada Leptospirosis (WHO, 2009)
Indikasi Regimen dan Dosis
Leptospirosis ringan (mild illness/  Doxycycline (kapsul) 100
suspect case) mg 2x/ hari selama 7 hari;
atau
 Amoxicillin atau Ampicillin
(kapsul) 2 gr/ hari selama 7
hari
Leptospirosis berat (severe case/  Penicillin G (injeksi) 2 juta
probable case) unit IV / 6 jam selama 7
hari
 Ceftrioxine (injeksi) 1 gr
IV/ hari selama 7 hari
Kemoprofilaksis  Doxycycline (kapsul) 100
mg 2x/ hari selama 7 hari;
atau
 Amoxicillin atau Ampicillin
(kapsul) 2gr/ hari selama 7
hari
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis
adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada
disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.
8. Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis
dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1) Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2) Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin,
ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman
leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis
hewan yang terinfeksi.
3) Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan
racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan
predator ronden.
4) Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air
minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil
pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap
tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari
jangkauan tikus.
5) Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia
dengan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah,
memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya
dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi
yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
6) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
7) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sedemikian rupa sehinnga
tidak menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian
desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1) Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata,
apron, masker).
2) Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester
kedap air.
3) Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan
percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4) Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk
mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai
percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin,
plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang,
dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat
kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada
terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6) Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan
membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lainlain.
7) Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air
minum yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi
kuman leptospira.
8) Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk
aau bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman
leptospira berkurang.
9) Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam,
genagan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman
leptospira.
10) Manajemen ternak yang baik.

B. Teori H.L Bloom Mengenai Faktor Risiko Penyakit


Konsep hidup sehat H.L Bloom sampai saat ini masih relevan untuk
diterapkan. Kondisi sehat secara holistic bukan saja sehat secara fisik
melainkan juga spiritual dan social dalam bermasyarakat. Untuk menciatkan
kondisi sehat seperti ini dipelukan suatu keharmonisan dalam menjaga tubuh.
H.L Bloom menjelaskan ada empat factor utama yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyrakat. Keempat factor tersebut merupakan determinan
timbulnya masalah kesehatan (Anwar, 2002).
Keempat factor tersebut terdiri dari factor perilaku/gaya hidup, factor
lingkungan (social, ekonomi, politik, budaya), factor pelayanan kesehatan dan
factor genetic (keturunan). Keempat factor tersebut saling berinteraksi yang
mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Pada
penyakit Leptospirosis, diantara keempat factor tersebut, factor perilaku
manusia merupakan factor determinan yang paling besar dan paling sukar
ditanggulangi sehingga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
menimbulkan penyakit Leptospirosis (Anwar, 2002).
C. Kerangka Teori

D. Kerangka Konsep
V. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan studi observasional analitik dengan pendekatan
Case Control. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor resiko leptospira
di wilayah kerja Puskesmas I Sumpiuh, Banyumas.

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah warga di wilayah kerja
Puskesmas 1 Sumpiuh, Kabupaten Banyumas
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah warga yang
terdiagnosis leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh selama
tahun 2019.
c. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non
probaility sampling dengan teknik purposive sampling.
d. Besar sampel
Pengambilan sampel menggunakan perbandingan 1 : 2 dimana 1 untuk
orang yang terdiagnosis leptospirosis dan 2 untuk orang yang tidak
terdiagnosis leptospirosis.
e. Kriteria inklusi dan ekslusi
1) Kriteria inkusi kasus:
a) Subjek penelitian berdomisili di wilayah kerja Puskesmas 1
Sumpiuh
b) Sehat secara mental.
c) Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan menjadi subyek penelitian setelah membaca
lembar informed consent.
2) Kriteria ekslusi kasus:
a) Tidak kooperatif dalam melakukan tahap wawancara dan pengisian
kuesioner.

C. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor perilaku yang
mempengaruhi kejadian leptospira, diantaranya pengetahuan, sikap,
lingkungan fisik, fasilitas sarana dan prasarana, aturan dan undang-undang,
dan pengawasan.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah perilaku pencegahan
leptospirosis

D. Definisi Operasional
Tabel 5.1 Definisi Operasional
Variabel Keterangan Hasil Ukur Alat Ukur Skala
Leptospirosis Leptospirosis adalah Positif RDT Test Kategorik
penyakit zoonosis Negatif (Ordinal)
yang disebabkan
oleh infeksi
Leptospira
interrogans semua
serotipe.
Pengetahuan Segala sesuatu yang Baik: Kuesioner Kategorik
diketahui masyarakat Diatas mean (Ordinal)
mengenai leptospira, Buruk:
meliputi: pengertian, Dibawah mean
faktor risiko, tanda,
gejala, bahaya dan
pencegehan penyakit
leptospira
Sikap Reaksi atau respon Baik: Kuesioner Kategorik
masyarakat terhadap Diatas mean (Ordinal)
pencegahan penyakit Buruk:
leptospira Dibawah mean
Fasilitas Ketersediaan Baik: Kuesioner Kategorik
Sarana dan fasilitas sarana Diatas mean (Ordinal)
Prasarana maupun prasarana Buruk:
untuk mencegah Dibawah mean
penyakit leptospira
E. Instrumen Pengambilan Data
Sumber data adalah primer yang diperoleh dari wawancara terstruktur
dengan menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi
rumah warga di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh, Banyumas.

F. Rencana Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden
dengan mendeskripsikan tiap variabel hasil penelitian, dihitung frekuensi
dan presentasinya.
2. Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan
variabel terikat menggunakan uji koefisien kontingensi.

G. Tata Urutan Kerja


1. Tahap persiapan
a. Studi pendahuluan (orientasi) di Puskesmas 1 Sumpiuh.
b. Analisis situasi.
c. Identifikasi dan analisis penyebab masalah.
2. Tahap pelaksanaan
a. Mencatat dan menentukan nama responden.
b. Pengambilan data primer.
c. Tahap pengolahan dan analisis data.
d. Menyusun alternatif pemecahan masalah sesuai hasil pengolahan data.
e. Melakukan pemecahan masalah.
f. Penyusunan laporan CHA.

H. Waktu dan Tempat


Kegiatan dilaksanakan pada:
Tanggal : 19 – 30 Agustus 2019
Tempat : Wilayah Kerja Puskesmas 1 Sumpiuh, Kabupaten Banyumas.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Analisis Univariat
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh tanggal
26 – 27 Agustus 2019. Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebar
kuesioner untuk menilai tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, sarana-
prasarana. Responden yang mengikuti penelitian sejumlah 30 orang yang
berasal dari beberapa desa di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh.
Karakteristik responden penelitian adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Jenis Kelamin Responden
Tabel 6.1 Karakteristik Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
Laki – laki 18 60 %
Perempuan 12 40 %

Gambar 6.1 Karakteristik Jenis Kelamin Responden


Dari data diatas diketahui bahwa responden pada kelompok laki-
laki berjumlah 18 orang (60%) dan kelompok perempuan berjumlah 12
orang (40%).
b. Karakteristik Pekerjaan Responden
Tabel 6.2 Karakteristik Pekerjaan Responden
Pekerjaan Frekuensi Presentase
Petani 11 36.7 %
Buruh 6 20.0 %
Ibu Rumah Tangga 4 13.3 %
Bidan 1 3.3 %
Pelajar 2 6.7 %
Guru 2 6.7 %
Peternak 1 3.3 %
Wiraswasta 2 6.7 %
Pegawai Swasta 1 3.3 %

Gambar 6.2 Karakteristik Pekerjaan Responden


Dari data diatas diketahui bahwa responden kelompok petani
berjumlah 11 orang (36,7%), kelompok Buruh berjumlah 6 orang
(20,0%), kelompok ibu rumah tangga berjumlah 4 orang (13,3%),
kelompok bidan berjumlah 1 orang (3,3%), kelompok pelajar berjumlah
2 orang (6,7%), kelompok guru berjumlah 2 orang (6,7%), kelompok
peternak berjumlah 1 orang (3,3%), kelompok wiraswasta berjumlah 2
orang (6,7%), dan kelompok pegawai swasta berjumlah 1 orang (3,3%).
c. Karakteristik Usia Responden
Tabel 6.3 Karakteristik Usia Responden
Usia Frekuensi Presentase
Usia < 20 2 6.7 %
Usia 20-60 21 70.0 %
Usia > 60 7 23.3 %
Gambar 6.3 Karakteristik Usia Responden
Dari data diatas dikethaui bahwa responden pada kelompok berusia
<20 tahun sebanyak 2 orang (6,7%), kelompok berusia antara 20-60
tahun berjumlah21 orang (70,00%) dan kelompok bersuai lebih dari 60
tahun berjumlah 7 orang (23,3%).
d. Karakteristik Pendidikan Responden
Tabel 6.4 Karakteristik Pendidikan Responden
Pendidikan Frekuensi Presentase
SD 6 20.0 %
SMP 8 26.7 %
SMA 12 40.0 %
Diploma / Sarjana 4 13.3 %

Gambar 6.4 Karakteristik Pendidikan Responden


Dari data diatas diketahui bahwa responden pada kelompok
pendidikan akhir SD berjumlah 6 orang (20,0%), kelompok pendidikan
akhir SMP berjumlah 8 orang (26,7%), kelompok Pendidikan akhir SMA
berjumlah 12 orang (40,0%), dan kelompok Pendidikan akhir
Diploma/Sarjana berjumlah 4 orang (13,3%).
e. Karakteristik Pengetahuan Responden
Tabel 6.5 Karakteristik Pengetahuan Responden
Pengetahuan Frekuensi Presentase
Buruk 22 73.3 %
Baik 8 26.7 %

Gambar 6.5 Karakteristik Pengetahuan Responden


Dari data diatas diketahui bahwa responden pada kelompok
pengetahuan baik berjumlah 8 orang (26,7%) dan kelompok pengetahuan
buruk berjumlah 22 orang (73,3%).
f. Karakteristik Sikap Responden
Tabel 6.6 Karakteristik Sikap Responden
Sikap Frekuensi Presentase
Buruk 12 40 %
Baik 18 60 %

Gambar 6.6 Karakteristik Sikap Responden


Dari data diatas dikethaui bahwa responden pada kelompok
pengetahuan baik berjumlah 18 orang (60,0%) dan kelompok
pengetahuan buruk berjumlah 12 orang (40,0%).
g. Karakteristik Sarana Prasarana Responden
Tabel 6.7 Karakteristik Sarana Prasarana Responden
Sarana Prasarana Frekuensi Presentase
Buruk 29 96.7 %
Baik 1 3.3 %

Gambar 6.7 Karakteristik Sarana Prasarana Responden

2. Analisis Bivariat
Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel independent
dan dependent digunakan uji koefisien kontingensi. Penelitian ini
menggunakan CI 95% sehingga variabel dinyatakan berhubungan signifikan
apabila p-value lebih besar dari 0,05. Berdasarkan pengujian diperoleh hasil
sebagai berikut
a. Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian Leptospirosis
Pengetahuan * Hasil Crosstabulation
Count

Hasil

Positif Negatif Total

Pengetahuan Buruk 10 12 22

Baik 0 8 8
Total 10 20 30
Symmetric Measures

Asymptotic
Standardized Approximate Approximate
Value Errora Tb Significance

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .392 .020


Interval by Interval Pearson's R .426 .091 2.494 .019c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .426 .091 2.494 .019c
N of Valid Cases 30

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan adanya hubungan antara


pengetahuna dengan kejadian leptospirosis (nilai p : 0.20).
b. Hubungan antara Sikap dan Kejadian Leptospirosis

Sikap * Hasil Crosstabulation


Count

Hasil

Positif Negatif Total

Sikap Buruk 3 9 12

Baik 7 11 18
Total 10 20 30

Symmetric Measures

Asymptotic
Standardized Approximate Approximate
Value Errora Tb Significance

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .143 .429


Interval by Interval Pearson’s R -.144 .176 -.772 .447c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.144 .176 -.772 .447c
N of Valid Cases 30
Berdasarkan tabel diatas, tidak didapatkan adanya hubungan antara
sikap dengan keadian leptospirosis (nilai p : 0.42).
c. Hubungan antara Sarana Prasarana dan Kejadian Leptospirosis
Sarpras * Hasil Crosstabulation
Count
Hasil
Positif Negatif Total
Sarpras Buruk 10 19 29
Baik 0 1 1
Total 10 20 30
Symmetric Measures

Asymptotic
Standardized Approximate Approximate
Value Errora Tb Significance

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .130 .472


Interval by Interval Pearson's R .131 .068 .701 .489c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .131 .068 .701 .489c
N of Valid Cases 30
Berdasarkan tabel diatas, tidak didapatkan adanya hubungan antara
sarana prasarana dengan keadian leptospirosis (nilai p : 0.47).

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada responden, tidak
terdapat responden yang memiliki pengetahuan baik tentang leptospirosis yang
terdiagnosis leptospirosis, sedangkan sisanya terdapat 10 orang yang memiliki
pengetahuan buruk tentang leptospirosis terdiagnosis dengan leptospirosis.
Pada penelitian ini didapatkan hasil adanya hubungan antara pengetahuan
dengan kejadian leptospirosis (nilai p : 0.20). Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Laily (2011) yang meneliti hubungan
pengetahuan tentang leptospirosis dengan kejadian leptospirosis pada
masyarakat di Desa Argodadi dan Argorejo Sedayu Bantul Yogyakarta, bahwa
ditemukan hasil yang signifikan antara pengetahuan dengan keadian
Leptospirosis dengan p value 0,007.
Penelitian ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Okatini,
Purwana & Djaja (2003) yang berjudul hubungan faktor lingkungan dan
karakteristik individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di Jakarta, yang
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya penyakit leptospirosis dan terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan responden dengan kejadian Leptospirosis, dimana
Leptospirosis beresiko 17,6 kali pada responden dengan tingkat pengetahuan
rendah dibandingkan responden yang berpengetahuan tinggi.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam mengubah perilaku seseorang. Sedangkan menurut
Mubarak dkk (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah
pekerjaan, pengalaman, pendidikan dan informasi. Menurut Notoatmodjo
(2005) menyatakan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan oleh karena pengalaman yang diperoleh dapat memecahkan
permasalahan yang dihadapi pada masa lalu, hal tersebut sesuai dengan
keadaan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sumpiuh 1, bahwa sebagian
besar responden yang pernah atau sedang mengalami penyakit leptospirosis
memiliki pengetahuan sedang tentang leptospirosis, dan dari pengalaman yang
mereka alami, mereka jadi lebih memahami tentang leptospirosis dan berupaya
untuk hidup lebih baik dalam menjaga kesehatan dan meraih kesembuhan.
Faktor pengalaman bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang tentang leptospirosis, karena pengetahuan seseorang
dapat dipengaruhi oleh informasi dan pendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki sikap yang baik
terhadap pencegahan leptospirosis dengan kejadian positif leptospirosis
sebanyak 7 orang dan responden yang sikap yang baik terhadap pencegahan
leptospirosis dengan responden yang memiliki hasil tes leptospirosis negatif
sebanyak 11 orang. Sedangkan responden yang memiliki sikap yang buruk
terhadap pemcegahan leptospirosis dengan hasil positif leptospirosis sebanyak
3 orang dan responden yang memiliki sikap yang buruk terhadap pencegahan
leptospirosis dengan responden yang memiliki hasil tes leptospirosis negatif
sebanyak 3 orang.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki sarana prasarana
yang baik dengan kejadian positif leptospirosis sebanyak 0 orang dan
responden yang memiliki sarana dan prasarana baik dengan responden yang
memiliki hasil tes leptospirosis negatif sebanyak 1 orang. Sedangkan
Responden yang memiliki sarana dan prasarana yang buruk dan memiliki hasil
positif leptospirosis sebanyak 10 orang dan responden yang memiliki sarana
dan prasarana yang buruk dengan responden yang memiliki hasil tes
leptospirosis negatif sebanyak 19 orang.
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

A. Alternatif Pemecahan Masalah


Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pencegahan
Leptospirosis dan membantu menurunkan jumlah kejadian Leptospirosis di
Desa Ketanda wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh adalah:
1. Pemberian penyuluhan tentang pentingnya pengadaan sarana dan prasarana
untuk mencegah Leptospirosis
2. Pelatihan kader untuk pengadaan dan pembuatan sarana pencegahan
Leptospirosis
3. Pengadaan sarana dan prasarana untuk membantu mencegah Leptospirosis
4. Pembagian leaflet tentang pembuatan sarana untuk membantu mencegah
Leptospirosis

B. Penentuan Alternatif Terpilih


Pemilihan prioritas alternatif pemecahan masalah harus dilakukan karena
adanya keterbatasan baik dalam sarana, tenaga, dana serta waktu. Salah satu
metode yang dapat digunakan dalam pemilihan prioritas pemecahan masalah
adalah metode Rinke. Metode ini menggunakan dua keriteria yaitu efektifitas
dan efisiensi jalan keluar.
Kriteria efektifitas terdiri dari pertimbangan mengenai besarnya masalah
yang dapat diatasi (magnitude), kelanggengan selesainya masalah
(importancy), dan kecepatan penyelesaian masalah (vulnerability). Efisiensi
dikaitkan dengan jumlah biaya (cost) yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah. Penentuan skoring kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel
7.1.
Tabel 7.1. Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar
Skor M I V C
(besarnya (kelanggengan (kecepatan (jumlah biaya
masalah yang selesainya penyelesaian yang diperlukan
dapat diatasi) masalah) masalah) untuk
menyelesaikan
masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat Sangat murah
langgeng lambat
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah
4 Besar Langgeng Cepat Mahal
5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal

Prioritas pemecahan masalah kejadian pneumonia di wilayah kerja


Puskesmas 1 Sumpiuh dengan menggunakan metode Rinke adalah sebagai
berikut:
Tabel 7.2. Prioritas Pemecahan Masalah Metode Rinke

Efektivitas Urutan
Daftar Alternatif Jalan Efisiensi M.I.V
No Prioritas
Keluar M I V (C) C
Masalah
1 Penyuluhan mengenai 4 3 3 2 18 1
pembuatan sarana dan
prasarana untuk
mencegah Leptospirosis
2 Pelatihan kader untuk 3 3 3 2 13.5 2
pengadaan dan
pembuatan sarana
pencegahan
Leptospirosis.
3 Pembagian leaflet 2 3 2 3 12 3
tentang pembuatan
sarana untuk membantu
mencegah Leptospirosis
4 Pengadaan sarana dan 2 3 3 5 3.6 4
prasarana untuk
membantu mencegah
Leptospirosis
VIII. RENCANA KEGIATAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia utamanya pada negara yang beriklim hangat dan lembab seperti
Indonesia, yang mana insiden tertingginya terjadi selama musim hujan
(Pujiyanti et al., 2014). Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena
angka kejadian yang dilaporkan rendah disebagian besar negara, oleh
karena kesulitan didalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat
diagnosis, sehingga kejadian tidak dapat diketahui, walaupun demikian di
daerah tropik yang basah diperkirakan terdapat kasus leptospirosis sebesar
>10 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Insiden penyakit leptospirosis
tertinggi di wilayah Afrika (95,5 per 100.000 penduduk) diikuti oleh
Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia Tenggara (4,8) dan Eropa (0,5).
Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah, yang
angka kematian lebih besar dari 10% (WHO, 2010). Kesulitan dalam
diagnosis penyakit leptospirosis juga menyebabkan sulitnya upaya dalam
pemberantasanya (Kementrian Kesehatan RI dalam Profil Kesehatan
Indonesia, 2013).
Puskesmas 1 Sumpiuh merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten
Banyumas. Wilayah Puskesmas 1 Sumpiuh secara administratif mencakup
7 desa dengan total penduduk 27.688 jiwa (data puskesmas tahun 2018).
Berdasarkan data penyakit di Puskesmas I Sumpiuh pada bulan Januari-
Februari 2019, penyakit Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang
masuk dalam sepuluh penyakit yang mendapat perhatian khusus di
Puskesmas I Sumpiuh. Adanya 1 kasus meninggal pada tahun 2017 di
Desa Ketanda, juga 2 kasus pada 2 bulan pertama di tahun 2019 ini yang
salah satunya juga berasal dari Desa Ketanda.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sarana prasarana dan
pengetahuan yang kurang merupakan faktor utama yang mempengaruhi
prilaku masyarakat utamanya masyarakat di RT 3 RW 1 Desa Ketanda.
Prilaku terebut merupakan prilaku faktor resiko terjadinya leptospirosis.
Sarana prasarana dan pengetahuan berperan penting dalam mencegah
terjadinya leptospirosis. Edukasi tentang pembuatan perangkap tikus
sederhana dan pembagian perangkap tikus sederhana merupana salah satu
bentuk peningkatan sarana prasarana dalam mencegah penularan
leptospirosis. Edukasi tentang penyakit, cara penularan, dan pencegahan
sertai pembagian leaflet mampu meningkatkan pengetahuan warga tentang
leptospirosis. Setelah diberi edukasi-edukasi tersebut, diharapkan warga RT
3 RW 1 dapat sama-sama mencegah terjadinya kejadian leptospirosis.

B. Tujuan
1. Meningkatkan pengetahuan warga tentang leptospirosis
2. Meningkatkan pengetahuan warga tentang pengertian, penyebab, tanda-
tanda dan bahayanya leptospirosis
3. Meningkatkan pengetahuan warga tentang cara pencegahan leptospirosis
4. Meningkatkan keterampilan warga membuat alat perangkap tikus
sederhana secara mandiri untuk menunjang sarana prasarana sehingga
mencegah terjadinya leptospirosis
5. Mencegah kejadian leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh.

C. Bentuk Kegiatan
Pekan leptospirosis di awali dengan penempelan poster leptospirosis ddi
beberapa titik dan dilanjutkan dengan acara penyuluhan leptospirosis serta
tutorial pembuatan perangkap tikus sederhana. Kegiatan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan sarana prasarana secara mandiri dan sederhana juga
meningkatkan pengetahuan warga tentnag leptospirosis. Penyuluhan diberikan
dengan cara diskusi interaktif melalui powerpount, video, dan tutorial langsung
pembuatan langsung perangkap tikus. Kegiatan diawali dan diakhiri dengan
games yes or no yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan warga sebelum
dan setelah penyuluhan terkait leptospirosis.

D. Sasaran
Seluruh warga di rumah Ketua RT 3 RW 1 Desa Ketanda Kecamatan Sumpiuh.

E. Pelaksanaan
1. Personil
a. Kepala Puskesmas : dr. Dri Kusrini
b. Penanggung Jawab Kesehatan Lingkungan : Ristoyo, A. Md. KL
c. Pelaksana : Fikry Barran

Risma Orchita Agwisa F


Fatia Murni Chamida

2. Waktu dan Tempat


a. Hari : Rabu
b. Tanggal : 13 Maret 2019
c. Tempat : Masjid RT 03 RW 1 Desa Ketanda
d. Waktu : 09.00 WIB – selesai

F. Rencana Anggaran
Dorprize 1 x Rp 55.000,00 = Rp 55.000,00
Plakat Pembicara 1 x Rp 85.000,00 = Rp 15.000,00
Aqua 2 x Rp 25.000,00 = Rp 50.000,00
Snack 5 x Rp 50.000,00 = Rp 20.000,00
Nasi kotak 17 x Rp 10.000,00 = Rp 170.000,00
Total = Rp 310.000,00

G. Rencana Evaluasi Kegiatan


1. Input
a. Sasaran
Sasarannya adalah warga RT 3 RW 1 Desa Ketanda yang datang ke
Masjid RT 3 RW 1 hari Rabu, 13 Maret 2019
b. Sumber Daya
Powerpoint dan alat peraga.
2. Proses
a. Keberlangsungan kegiatan
Evaluasi keberlangsungan kegiatan meliputi tersedianya powerpoint, alat
peraga, narasumber, serta antusiasme warga RT 3 RW 1 Desa Ketanda
saat menerima materi, keaktifannya dalam bertanya disesi tanyajawab.
Materi disampaikan dalam bentuk presentasi dengan powerpoint meliputi
definisi, etiologi, gambaran klinis, pencegahan, dan cara penanggulangan
leptospirosis.
b. Jadwal pelaksanaan kegiatan
Evaluasi jadwal pelaksanaan kegiatan dinilai dari ketepatan
tanggal, waktu, serta alokasi waktu pada saat berlangsungnya kegiatan.
Kegiatan direncanakan berlangsung pada hari Rabu, 13 Maret 2019
pukul 09.00 WIB di Masjid RT 3 RW 1 Desa Ketanda. Adapun alokasi
waktu serta rincian kegiatan yang akan dilakukan dicantumkan dalam
Tabel 8.1
Tabel 8.1 Jadwal Kegiatan
Jam Alokasi Kegiatan
08.30-09.00 30 menit Persiapan pelaksana dan
penempelan poster di beberapa titik
09.00-09.05 5 menit Pembukaan
09.05-09.15 10 menit Games yes or no (berisi pertanyaan
tentang leptospirosis) sebagai pre
test.
09.15-09.45 30 menit Penyuluhan tentang leptospirosis
09.45-09.50 5 menit Tanya jawab
09.50-10.20 30 menit Penyuluhan tentang alat perangkap
tikus dan tutorial pembuatannya
10.20-10.30 10 menit Games yes or no sebagai post test
10.30-10.35 5 menit Pembagian dorprize
10.35-11.00 5 menit Penutupan

3. Output
Meningkatkan pengetahuan warga RT 3 RW 1 Desa Ketanda tentang
leptospirosis.

IX. PELAKSANAAN DAN EVALUASI PROGRAM

A. Pelaksanaan

1. Pelaksanaan Kegiatan
Penyulahan yang dilakukan diharapkan dapat mengatasi masalah-
masalah yang berhubungan dengan pengetahuan warga terkait
leptospirosis di RT 3 RW 1 Desa Ketanda, Kecamatan Sumpih
Kabupaten Banyumas. Pelaksanaan kegiatan penyuluan dilaksanakan
melalui 3 tahapan, yaitu:
a. Tahap Persiapan
1) Perizinan
Perizinan diajukan dalam bentuk lisan kepada Kepala
Puskesmas I Sumpiuh, bidan desa, Kepala Desa Ketanda, dan
Ketua RT 3 RW 1 Desa Ketanda
2) Materi
Materi yang disiapkan adalah materi penyuluhan berupa materi
mengenai pengetahuan leptospirosis seperti definisi, faktor
resiko, penyebab, gejala klinis serta pencegahannya dan
pengendalian tikus.
3) Sarana
Sarana yang digunakan yaitu media powerpoint.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Judul Kegiatan
“Pekan Leptospirosis”
2) Waktu
Penyuluhan dilaksanakan Rabu, 13 Maret 2019 pada Pukul
09.00 s.d. 11.00 WIB.
3) Tempat
Masjid RT 03 RW 01 Desa Ketanda
4) Penanggung Jawab
a) DR. dr. Nendyah Roestijawati MKK selaku Pembimbing
Fakultas
b) dr. Dri Kusrini selaku Kepala Puskesmas I Sumpiuh
sekaligus Pembimbing Lapangan

5) Pelaksana
a) Fikry Barran
b) Risma Orchita Agwisa F
c) Fatia Murni Chamida
6) Peserta
Warga RT 3 RW 1 Desa Ketanda
7) Penyampaian Materi
Penyuluhan materi pengetahuan tentang leptospirosis diberikan
pada warga RT 3 RW 1 DesaKetanda yang hadir di Masjid.
Penyuluhan diberikan oleh Nur Dhiyanmasari, SKM dan Bapak
Ristoyo selaku penanggung jawab kesehatan lingkungan
Puskesmas 1 Sumpiuh

B. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah melakukan evaluasi mengenai 3 hal, yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif merupakan evaluasi sumber daya yang meliputi
evaluasi 5M, yaitu man, money, methode, material, dan machine
terhadap masalah. Berikut rinciannya:
a. Man : Narasumber memiliki materi penyuluhan yang
komprehensif dengan menjabarkannya menggunakan
media power point serta alat peraga sehingga peserta
penyuluhan dapat menyimak dan mempraktikan materi
dengan baik.
b. Money : Sumber pembiayaan yang digunakan sudah cukup
untuk menunjang terlaksananya kegiatan. Anggaran
yang dihabiskan adalah sejumlah Rp 300.000.-
c. Method : Metode penyuluhan dilakukan secara interaktif, dengan
harapan peserta dapat aktif bertanya tentang materi
yang diberikan. Target acara ini adalah peserta paham
dengan materi yang diberikan serta dapat menerapkan
ke kehidupan sehari-hari.
d. Material : Materi penyuluhan yang diberikan mencakup definisi,
penyebab, tanda, gejala, faktor risiko, pencegahan
penyakit leptospirosis dan cara pemberantasan tikus.
Media yang digunakan berupa power point dengan alat-
alat berupa proyektor, microphone dan laptop sehingga
peserta dapat fokus. Selain itu, terdapat pula alat-alat
perangkat tikus yang digunakan sebagai simulasi dalam
pemberantasan tikus agar masyakarat dapat melihat
secara langsung cara pemberantasan tikus.
e. Machine : Kegiatan penyuluhan dilakukan di Serambi Mesjid RT
01 RW 03 dengan jumlah peserta yang datang ± 42
orang.
2. Evaluasi Promotif
a. Sasaran
Semua warga yang tinggal di RT 01 RW 03 Desa Ketanda,
Kecamatan Sumpiuh. Warga yang datang ke acara Pekan
Leptospirosis berjumlah ± 42 orang, target tersebut sudah tercapai
sesuai harapan karena kegiatan ini sudah mencakup lebih dari 80%
keluarga di RT 01 RW 03 Desa Ketanda yang total sejumlah 50
keluarga.
b. Waktu
Penyuluhan dilakukan pada Rabu, 13 Maret 2019 pada Pukul
09.00.00 s.d. selesai WIB.
c. Tempat
Tempat penyuluhan dilakukan di Serambi Mesjid RT 01 RW 03,
Desa Ketanda, Kecamatan Sumpiuh.
d. Kegiatan
Kegiatan dimulai dengan pembukaan oleh mahasiswa FK Unsoed,
sambutan dari Ketua Takmir Mesjid, sambutan dari Ketua RT 01
RW 03, sambutan dari Kepala Desa Ketanda, Pre Test mengenai
leptospirosis dan dilanjutkan dengan materi penyuluhan. Materi
penyuluhan yang diberikan tentang penyakit leptospirosis dan tata
cara pemberantasan tikus yang dibawakan oleh mahasiswa FK
Unsoed beserta ahli kesehatan lingkungan dari Puskesmas I
Sumpiuh. Kemudian, diadakan sesi tanya jawab diserta pemberian
door prize. Penyuluhan diakhir dengan post test serta pembacaan doa
oleh kyai Mesjid RT 01 RW 03.

3. Evaluasi Sumatif
Peserta penyuluhan tidak hanya aktif dalam memperhatikan materi
penyuluhan, namun juga aktif dalam bertanya sehingga tercipta suasana
diskusi yang hidup. Peserta terlihat antusias dengan adanya kegiatan ini, yang
dibuktikan dengan adanya timbal balik yang memuaskan. Diharapkan, peserta
memahami materi tentang Leptospirosis serta proaktif dalam mendeteksi
apabila menemukan tanda dan gejala Leptospirosis.
1.Input
a. Sasaran
Sebanyak 42 peserta datang ke penyuluhan Leptospirosis di RT
03 RW 01. Maka target penyuluhan terpenuhi, yaitu 42 orang (80%
dari target yang ditetapkan) dari seluruh peserta yang hadir. Sasaran
yang mengikuti kegiatan penyuluhan terlihat antusias dalam mengikuti
kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan yang diajukan oleh
peserta yang ikut berinteraksi aktif menjawab pertanyaan - pertanyaan
yang disampaikan oleh pemateri.
b.Sumber Daya
Kegiatan bertempat di serambi masjid RT 03 RW 01 yang telah
disediakan oleh takmir masjid dan ketua RT 03 RW 01. Lembar jawab
pretest dan postest serta kamera disediakan oleh pelaksana kegiatan.
Pemateri yaitu Nur Dhian dan Bapak Ristoyo menyampaikan materi
yang berisi tentang pengetahuan mengenai Leptospirosis dan
pencegahannya. Sumber pembiayaan yang digunakan cukup untuk
menunjang terlaksananya kegiatan. Anggaran total untuk penyuluhan
ini adalah Rp.435.000,00 yang terdiri dari anggaran konsumsi sebesar
Rp. 283.000,00, Anggaran untuk membungkus doorprize dan kertas
pretest posttest sebesar Rp.11.000,00, anggaran untuk membeli
perangkap tikus sebesar Rp. 43.500,00, anggaran untuk membeli plakat
narasumber sebsar Rp. 85.000,00 serta anggaran untuk fotocopy
undangan warga sebesar Rp. 12.500,00.
2.Proses
a. Keberlangsungan acara
Acara diselenggarakan di serambi masjid RT 03 RW 01 Desa
Ketanda Kecataman Sumpiuh berlangsung cukup kondusif. Semua
rangkaian kegiatan terlaksana dengan baik dan antusiasme peserta baik
dibuktikan dengan jumlah pertanyaan yang diajukan peserta ada
sebanyak lima pertanyaan mengenai Leptospirosis, selain itu peserta
juga aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh
pemateri. Materi disampaikan dengan metode diskusi yang meliputi
definisi, faktor resiko, penyebab, gejala klinis dan pecegahan
Leptospirosis.
b. Jadwal pelaksanaan kegiatan
Kegiatan berhasil dilaksanakan pada hari Rabu, 13 Maret 2019.
Acara dimulai pukul 09.00 WIB – 11.00 WIB. Acara berlangsung
selama 120 menit. Semua rangkaian acara terlaksana dan sesuai dengan
alokasi waktu yang telah direncanakan.
3.Output

Rerata nilai post-test peserta penyuluhan di RT 03 RW 01 Desa


Ketanda setelah mengikuti penyuluhan adalah 94 sedangkan rerata nilai
pre-test yaitu 83.
Data nilai pre-test dan post-test tidak terdistribusi secara normal,
sehingga uji T berpasangan tidak dapat digunakan. Oleh sebab itu, peneliti
menggunakan uji Wilcoxon dan diperoleh hasil p = 0,000 karena nilai p-
value 0,000 < 0,05 maka secara statistik terdapat perbedaan pengetahuan
yang bermakna antara sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan. Selisih
pengetahuan setelah penyuluhan dengan pengetahuan sebelum penyuluhan
adalah -4.109, karena selisih kurang dari 10 artinya secara klinis tidak
terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum penyuluhan
dan sesudah penyuluhan.

Tabel 9.1. Interpretasi hasil Uji Wilcoxon


Keterangan Jumlah
Nilai post-test lebih rendah daripada 0
sebelum penyuluhan
Nilai post-test sama dengan sebelum 18
penyuluhan
Nilai post-test lebih tinggi daripada 24
sebelum penyuluhan
Total 42

Tabel 9.2. Uji klinis dan uji statistik penyuluhan


Selisih sengetahuan setelah -4.109
penyuluhan – pengetahuan
sebelum penyuluhan
Nilai p 0,000

X. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di
wilayah kerja Puskesmas 1 Sumpiuh Kabupaten Banyumas menunjukkan
bahwa Leptospirosis merupakan masalah yang dijadikan prioritas.
2. Faktor pengetahuan dan sikap masyarakat ibu, status gizi, dan riwayat
BBLR terbukti secara statistik sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku
pencegahan leptospirosis pada warga di wilayah RT 03 RW 01 Desa
Ketanda
3. Faktor penyuluhan tidak terbukti secara statistik sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku pencegahan leptospirosis pada warga I wilayah
RT 03 RW 01 Desa Ketanda.
4. Faktor pengetahuan dan sikap masyarakat merupakan faktor risiko utama
sehingga dipilih sebagai prioritas masalah yang akan dipecahkan.
5. Alternatif pemecahan masalah yang dipilih yaitu melakukan penyuluhan
leptospirosis untuk mewaspadai penyakit ini di wilayah kerja Puskesmas 1
Sumpiuh.
6. Penyuluhan dilakukan di serambi masjid RT 03 RW 01 Desa Ketanda pad
hari Rabu, 13 Maret 2019 pukul 09.00 WIB. ibu yang memiliki balita yang
datang ke Posyandu Balita Desa Wangon RW 10. Setelah dilakukan
penyuluhan didapatkan peningkatan pengetahuan warga di RT 03 RW 01
Desa Ketanda yang signifikan secara statistik setelah penyuluhan.
B. Saran
1. Perlu keterlibatan bidan desa dan kader tiap desa untuk memberikan
edukasi Leptospirosis.
2. Dapat dilakukan penyuluhan berkala mengenai Leptospirosis untuk
mencegah terjadinya peningkatan kejadian Leptospirosis di tiap desa.
3. Meningkatkan kerja sama antar program di puskesmas seperti P2M dalam
penemuan kasus Leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA
Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. Petunjuk
praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 –
167. Available from: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf
Cook, Gordon C dan Alimuddin I. Zumla. Tropical Diseases. China: Elsevier;
2009.
D.Popa, D., Vasile, A., Ilco. Severe acute pancreatitis-a serious complication of
leptospirosis. J Med Life. 2013 September 15; 6(3): 307–309. Published
online 2013 September 25. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3786492/
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku Saku Kesehatan 2012 (Visual Data
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah) [internet]. 2012. Available
from:http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/manajemen_informasi/B
UKU_SAKU_KESEHATAN_TW2_TAHUN 2012_FINAL_PDF.pdf
Garna, H Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis.Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung;
2012.
Gasem MH, Wageenar JFP, Goris MGA, Adi MS, Isbandrio BB, Hartskeerl RA,
et al. Murine Typhus and Leptospirosis as causes of Acute. Undifferentiated
Fever, Indonesia [internet]. 2009. Available from:
http://www.cdc.gov/eid/article/15/6/08-1404_article.htm
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
Mandal, Bibhat K. Penyakit Infeksi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
Muliawan, Sylvia Y. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan
Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
Sarwani Dwi Sri Rejeki. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat. Semarang; 2005
Setiawan, I Made. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans
volume.27- No.28. Universa Medicina; 2008.
Singh, Suman P. Self Assessment and Review Microbiology Immunology.The
Arora Medical Book Publisher pvt.ltd; 2010
Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasan). Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,
surveillance, and control [internet]. 2003. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
Lampiran 1

Questioner Penelitian Community Health Analysis Leptospira


IDENTITAS RESPONDEN
NAMA :
USIA :
JENIS KELAMIN :
PEKERJAAN :
PENDIDIKAN :
ALAMAT :
1. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptospira
1) Menurut bapak/ibu, apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?
a Leptospirosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan
biasanya ditularkan lewat tikus
b Leptospirosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dan
biasanya ditularkan lewat nyamuk
c Leptospirosis adalah sautu penyakit yang disebabkan oleh cacing dan
biasanya ditularkan dari makanan

2) Apakah bapak/ibu dapat menyebutkan faktor-faktor yang dapat


menyebabkan terjadinya penyakit leptospirosis?
a Kontak dengan air yang tercemar oleh urin tikus
b Menggunakan air sungai / danau untuk aktifitas sehari-hari
(mandi/mencuci/bekerja)
c Berjalan diatas tanah tanpa menggunakan alas kaki
d Kontak dengan binatang (babi, sapi, kambing, anjing, tikus) yang
terinfeksi leptospira
e Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan (cairan infeksius)
f Tidak tahu

3)Apakah bapak/ibu dapat menyebutkan gejala-gejala penyakit


leptospirosis pada manusia ?
a. Sakit kepala mendadak
b.Demam
c.Kemerahan pada mata
d.Nyeri kepala, kaku, nyeri punggung, nyeri kuduk
e. Nyeri otot
f. Tidak tahu

4). Apakah bapak/ibu dapat menyebutkan usaha-usaha untuk pencegahan


penyakit leptospirosis ?
a. Menghindari kontak dengan air yang tercemar bakteri leptospira
b. Menggunakan alas kaki ketika keluar rumah
c. Mencuci tangan dan kaki setelah keluar dari rumah dengan sabun dan
air bersih
d. Menggunakan perangkap tikus di rumah
e. Rajin mencuci piring setelah menggunakan piring untuk makan

5) Apakah bapak/ibu mengetahui komplikasi penyakit leptospirosis?


a. Gagal ginjal
b. Sakit hati
c. Gangguan pernafasan
d. Gangguan jantung
e. Pankreatitis
2. Perilaku masyarakat untuk mencegah leptospira
No Perilaku Pencegahan Penyakit Leptospira Ya Tidak
1 Selalu mencuci tangan dan kaki dengan sabun setelah keluar
rumah
2 Selalu membersihkan genangan air di sekitar rumah
3 Selalu memasang perangkat atau racun tikus setiap hari
4 Selalu memakai alas kaki setiap menginjak tanah
5 Selalu membersihkan rumah dengan bersih setiap hari
6 Selalu mencuci piring setiap habis makan
7 Rutin membersihkan sampah makanan di rumah
8 Rutin membersihkan luka terbuka dengan benar
9 Rutin menutup makanan maupun minuman dengan rapat di
rumah
10 Memiliki hewan peliharaan di dalam rumah seperti
hamster/tikus

3. Sikap Masyarakat terhadap tindakan pencegahan leptospira


No Sikap Masyarakat Setuju Tidak
1 Mencuci tangan dan kaki dengan sabun setiap keluar rumah
2 Membersihkan genangan air di sekitar rumah setiap hari
3 Memasang perangkat atau racun tikus setiap hari sekali
4 Memakai alas kaki setiap menginjak tanah
5 Membersihkan rumah dengan rutin setiap hari
6 Mencuci piring setiap habis makan
7 Rutin membersihkan sampah makanan di rumah setiap
habis makan
8 Membersihkan luka terbuka dengan benar menggunakan
betadine dan handsaplast
9 Menutup makanan maupun minuman dengan rapat di
rumah
10 Memiliki hewan peliharaan di dalam rumah seperti hamster
maupun tikus

4. Sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencegah leptospira


No Sarana dan prasarana Ada Tidak
1 Terdapat air bersih dan sabun di rumah
2 Mempunyai peralatan pembersih genangan air
3 Mempunyai racun tikus atau perangkap tikus di rumah
4 Mempunyai alas kaki sepatu boots ataupun sandal di rumah
dan di tempat kerja
5 Mempunyai peralatan pembersih rumah seperti sabun pel,
pel, sapu dan lain sebagainya
6 Mempunyai keran cuci piring, bak cuci piring, air bersih
untuk cuci piring dan sabun cuci piring
7 Terdapat tempat pembuangan sampah sementara atapun
petugas kebersihan yang rutin mengambil sampah rumah
8 Mempunyai alat P3K seperti betadine, kassa, handsoplast,
dan lain sebagainya
9 Memiliki tudung saji ataupun tupperwear yang dapat
menutup makanan di rumah dengan rapat
10 Memiliki kendang hewan yang bersih dan alat kebersihan
hewan peliharaan

5. Penyuluhan mengenai Pencegahan Leptospirosis


No Penyuluhan mengenai Pencegahan Leptospirosis Ada Tidak
1 Terdapat penyuluhan mengenai pencegahan leptospirosis
Lampiran 2

DAFTAR PERTANYAAN PRE DAN POST TEST PENYULUHAN


1. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan di tularkan
melalu nyamuk
a. Benar b. Tidak benar

2. Gejala leptospirosis adalah sakit kepala mendadak, demam, badan terasa-pegal


pegal, dan mata kuning
a. Benar b. Tidak benar

3. Memakai sepatu atau alas kaki saat berjalan di luar rumah adalah salah satu
cara mencegah penularan leptospirosis
a. Benar b. Tidak benar

4. Mencuci kaki di kolam atau sungai tidak berpengaruh terhadap penularan


leptospirosis
a. Benar b. Tidak benar

5. Leptospirosis dapat mengakibatkan gagal ginjal akut


a. Benar b. Tidak benar
Lampiran 3

Hasil Analisis SPSS

1. Uji Bivariat
(Koefisien
Kontingensi)
a. Hubungan antara Perilaku dengan Sarana
b. Hubungan antara Perilaku dengan Sikap

c. Hubungan antara Perilaku dengan Penyuluhan


d. Hubungan antara Perilaku dengan Pengetahuan

2. Uji Normalitas Data (Saphiro Wilk)


a. Nilai Pretest
b. Nilai Posttest
3. Uji Wilcoxon
Lampiran 4
DOKUMENTASI
Lampiran 5

Daftar Hadir Acara

Anda mungkin juga menyukai