Anda di halaman 1dari 36

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM

A. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut consensus statment on febrile seizures kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu.1 Definisi kejang demam menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1
bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi
susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus
dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya karena
keseimbangan elektrolit akut.5,6
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului dengan demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
susunan saraf pusat atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 1,2
Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang
demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk
dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup
untuk diagnosis kejang demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya
saat kejang berlangsung sering tidak diketahui.1,2
Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam)
sedangkan kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal, kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam sederhana yaitu 80%
di antara seluruh kejang demam. 1,2
Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik
satu kali atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka
diklasifikasikan sebagai status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian
ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang yang disertai demam.6

B. Epidemiologi
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit
yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau
setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak
kejang demam lagi/ namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang
demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun.1
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna.
Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang
demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi
sebanyak 2-7%. Kejang demam juga dapat mengakibatkan gangguan
tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat
akademik.4

C. Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum
diketahui, akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat
mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran
yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai orang tua
dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang
paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan
atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut(cairan telinga yang
tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan
menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan
infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak
(morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.2,3

D. Faktor Resiko Kejang Demam


Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam,
yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil,
riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan
toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan,
partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).3,4
1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau
di atas 38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
tetapi yang tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang. 4
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan
suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme
karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa
dan oksigen. 4,9
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi
sehingga menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran
sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang
kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 4,9
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam
terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC. 4

2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 4:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai
migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi
pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.4
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor
untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,
sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak
belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. 4,9
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang
kadar CRH di hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan
kejang apabila terpicu oleh demam. 4,9
Anak pada masa developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2
tahun. Pada masa ini, apabila anak mengalami stimulasi berupa
demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. 4,9
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus
terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan
kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.4

3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka
anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka resikonya meningkat
menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai
riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu
27% berbanding 7%.4

4. Faktor Prenatal dan Perinatal


Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan
gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga
berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan
BBLR. Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia
dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus,
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai
seperti demam.4
5. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf
pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi
lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya
kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus
Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis.4
Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian
kejang demam pada anak sebesar 20,6%.

E. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada
neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.Sel saraf,
seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.Potensial
membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.Potensial intrasel
lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial
membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan 5
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu :
1. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
3. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat
akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen
akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang
memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan
sel saraf meningkat 5.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak 2.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 4:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan aliran ion-ion keluar masuk sel.

F. Klasifikasi kejang demam :5,6


Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi
dua:
a. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)
 Berlangsung singkat
 Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
 Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
 Tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)
 Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
dengan kejang parsial
 Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang.
Menurut Livingstone, membagi kejang demam menjadi dua :5
a. Kejang demam sederhana
• Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun
• Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit
• Kejang bersifat umum, frekuensi kejang bangkitan dalam 1 th tidak >
4 kali
• Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
• Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu
normal tidak menunjukkan kelainan
b. Epilepsi yang diprovokasi demam
• Kejang lama dan bersifat lokal
• Umur lebih dari 6 tahun
• Frekuensi serangan lebih dari 4 kali / tahun
• EEG setelah tidak demam abnormal
Menurut sub bagian syaraf anak FK-UI membagi tiga jenis kejang
demam, yaitu :
a. Kejang demam kompleks
 Umur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
 Kejang berlangsung lebih dari 15 menit
 Kejang bersifat fokal/multipel
 Didapatkan kelainan neurologis
 EEG abnormal
 Frekuensi kejang lebih dari 3 kali / tahun
 Temperatur kurang dari 39℃

b. Kejang demam sederhana


 Kejadiannya antara umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun
 Serangan kejang kurang dari 15 menit atau singkat
 Kejang bersifat umum (tonik/klonik)
 Tidak didapatkan kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang
 Frekuensi kejang kurang dari 3 kali / tahun
 Temperatur lebih dari 39℃
c. Kejang demam berulang
Kejang demam timbul pada lebih dari satu episode demam
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam
berulang antara lain:
 Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu
sudah relatif normal
 Riwayat demam yang sering
 Kejang pertama adalah kejang demam kompleks

G. Diagnosis
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejangg itu di dalam atau di luar susunan
saraf pusat (otak).Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis.Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan
meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotic, maka perlu
pertimbangan pungsi lumbal.Penegakan diagnosa kejang demam dapat
diperoleh melalui beberapa langkah yakni anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang terdiri dari laboratorium dan pencitraan jika
diperlukan.2
1. Anamnesa
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau
sumber lain (aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar. Dalam
anamnesa khususnya pada penyakit anak dapat digali data – data yang
berhubungan dengan kejang demam meliputi:
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua,
alamat, umur penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku
bangsa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang
demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan
sampai dengan 5 tahun.
b. Riwayat Penyakit
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat
perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang
menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan penyakit
disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan
kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa
berobat. Bila pasien mendapat pengobatan sebelumnya, perlu
ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat yang sudah diberikan,
hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat adanya reaksi alergi
terhadap obat.
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam
dan kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan
berapa lama demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul
mendadak, remitten, intermitten, kontinou, apakah terutama saat malam
hari, dsb. Hal lain yang menyertai demam juga perlu ditanyakan
misalnya menggigil, kejang, kesadaran menurun, merancau, mengigau,
mencret, muntah, sesak nafas, adanya manifestasi perdarahan, dsb.
Demam didapatkan pada penyakit infeksi dan non infeksi. Dari
anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan terhadap
penyebab demam itu sendiri.
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan
kejang terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara
demam dengan onset kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya
atau sudah pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali (frekuensi
per tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang pertama);
apakah terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa lama waktu sekali
kejang. Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti apakah kejang
bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula lamanya
serangan kejang, interval antara dua serangan, kesadaran pada saat
kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai juga penting
termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran,
dan apakah ada kemunduran kepandaian anak. Pada kejang demam juga
perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana atau kejang
suatu epilepsi yang dibangkitkan serangannya oleh demam
(berdasarkan kriteria Livingstone).
c. Riwayat Kehamilan Ibu
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya
penyakit, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit.
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman
keras, konsumsi makanan ibu selama hamil.
d. Riwayat Persalinan
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran,
siapa yang menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat
badan dan panjang badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah
lahir. Perlu juga ditanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau
kurang bulan atau lewat bulan. Dengan mengetahui informasi yang
lengkap tentang keadaan ibu saat hamil dan riwayat persalinan anak
dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk terdapatnya asfiksia,
trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb yang mungkin berhubungan
dengan riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang.

e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat
ditelaah dari kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan
terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari KMS atau kartu
pemeriksaan kesehatan lainnya. Status perkembangan pasien perlu
ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan.
Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, sosial-personal, dan bahasa.
f. Riwayat Imunisasi
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai
jadwal yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan
pasca imunisasi.
g. Riwayat Makanan
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah
mengalami penyakit saraf sebelumnya.
i. Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya
(ayah,ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan
riwayat familial penderita.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain
meliputi kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau
berat); tanda – tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah,
pernafasan, dan suhu tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik
(panjang badan, berat badan, lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari
ujung rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis.
Pada pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang
berkaitan dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam
merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada
anak dengan penyebab bias infeksi maupun non infeksi, namun paling
sering disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, pasien diukur
suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari adanya sumber terjadinya
demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada infeksi baik virus,
bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non
infeksi seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai dengan
dengan pucat, panas, atau perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan
apakah kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita
mendapatkan pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah
kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran
pada waktu kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda
lateralisasi; rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I,
II); adanya paresis, paralisa; adanya spastisitas; pemeriksaan reflek
patologis dan fisiologis.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan dapat meliputi: darah perifer lengkap, gula darah,
elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium, ureum, kreatinin,
urinalisis, biakan darah, urin, feses.
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pada bayi kecil seringkali
sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas.
Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
3) Bayi >18 bulan tidak rutin (jika dicurigai menderita meningitis)
c. Pencitraan
Pemeriksaan imaging (CT scan atau MRI) dapat diindikasikan pada
keadaan :
1) Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
2) Kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastik).
3) Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis nervus VI,
papiledema) atau kelainan neurologik fokal yang menetap
(hemiparesis).
d. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Pemeriksaan EEG dipertimbangkan pada kejang demam tidak
khas /atipikal, misalkan kejang demam kompleks.pada anak usia lebih
dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

H. Diagnosa Banding
Biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak atau
otitis media. Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan
kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di
luar susunan saraf pusat (otak). Oleh sebab itu, perlu waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu
dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam.5,6

I. Tatalaksana dan Pengobatan Kejang3,7,9


Dalam Penanggulangan Kejang demam ada 4 faktor yang perlu
dikerjakan yaitu :
1. Memberantas kejang secepat mungkin
2. Pengobatan penunjang
3. Memberikan pengobatan rumatan
4. Mencari dan mengobati penyebab
1. Memberantas kejang secepat mungkin3,6,9
Tatalaksana Penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut :
 Dirumah/prehospital
Penanganan kejang dirumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5mg/kgBB atau
secara sederhana bila berat badan < 10kg : 5mg sedangkan berat
badan >10kg : 10 mg. Pemberian dirumah maksimum 2kali dengan
interval 5 menit. Bila kejang masih berlanjut bawalah pasien ke
klinik/rumah sakit terdekat.
 Dirumah sakit
Saat tiba diklinik/rumah sakit,bila belum terpasang cairan
intravena,dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali
sebelum mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena
sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah tepi,elektrolit dan gula
darah sesuai indikasi. Bila terpasang cairan intravena, berikasn
fenitoin IV dengan dosis 20mg/kgBB dilarutkan dalam NaCl 0,9%
diperikan perlahan-lahan dengan kecepatan pemberian
50mg/menit. Bila kejang belum teratasi,dapat diberikan tambahan
fenitoin IV 10mg/kg. Bila kejang teratasi,lanjutkan pemberian
fenitoin IV setelah 12 jam kemudian dengan rumatan 5-
7mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila kejang belum
teratasi,berikan fenobarbital IV dengan dosis maksimum 15-
20mg/kg dengan kecepatan pemberian 100mg/menit. Awasi dan
atasi kelainan metabolik yang ada. Jika kejang berhenti,lanjutkan
dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5 mg/kg/hari dalam 2
dosis 12 jam kemudian.
 Perawatan intensif-rumah sakit
Bila kejang belum berhenti,dilakukan intubasi dan perawatan
diruang intensif. Dapat diberikan salah satu dibawah ini :
o Midazolam 0,2mg/kg diberikan perlahan-lahan,diikuti infus
midazolam 0,001-0,002 mg/kg/menit selama 12-24 jam
o Propofol 1mg/kg selama 5 menit,dilanjutkan dengan 1-
5mg/kg/jam diturunkan setelah 12-24 jam
o Pentobarbital 5-15mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan
0,5-5mg/kg/jam
ALGORITME PENANGANAN KEJANG AKUT & STATUS KONVULSI 6,7,8

KEJANG

Diazepam 5-10mg/rektal 0-10 mnt


prehospital
Maks 2x jarak 5 menit

Airway, Diazepam0,25-0,5mg/kg/iv/io
Hospital
Breathing, (Kecepatan 2mg/menit),max dosis 20mg 10-20
O2 menit
circulation
monitor
atau
Note: jika DIAZ recktal 1x Midazolam o,2mg/kg/iv bolus Tanda vital, EKG,gula
Prehospital boleh rektal 1x darah,elektrolit
atau
serum
Lorazepam 0,05-0,1 (Na,K,Ca,Mg,cl),
mgkkg/iv(rate<2mg/menit) analisa gas
Kejang (-) 5-7
darah,koreksi
mg/kg/hari 12 jam
kemudian

Fenitoin 20mg/kg/iv
20-30menit
Note : aditional 5- (20menit/50ml NS),maks 1000mg
10mg/kg/iv

Kejang (-) 4-5 Phenobarbitone 20mg/kg/iv


mg/kg/hari 12 jam 30-60 menit
kemudian (rate >5-10min; max 1g)

IC
refrakter
U

Midazolam 0,2mg/kg/iv bolus Pentotal-tiopental 5-8 Propofol 1-


dilanjut infus 0,02- mg/kg/iv 5mg/kg/infusion
0,4mg/kg/jam

Gambar 3.1. alogaritma penatalaksanaan kejang akut & status konvulsi


Cara Pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang
Diazepam
 Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg,dapat
diberikan 2 kali dengan interval 5-10 menit.
 Sediaan IV tidak perlu diencerkan,maksimum sekali pemberian 10
mg dengan kecepatan makasimum 2mg/menit,dapat diberikan 2-3
kali dengan interval 5 menit.
Fenitoin
 Dosis inisial maksimum adalah 1000mg (30mg/kgbb)
 Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9% 10mg/1cc NaCl 0,9%
 Kecepatan pemberian IV : 1 mg/kg/menit, maksimum 50mg/menit
 Jangan encerkan dengan cairan yang mengandung dextrose,karena
akan menggumpal
 Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian
 Dosis rumatan : 12-24 jam setelah dosis inisial
 Efek samping : aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskular pada
pemberian IV yang terlalu cepat.
Fenobarbital
 Sudah ada sediaan IV,sediaan IM tidak boleh diberikan IV
 Dosis inisial maksimum 600mg (20mg/kgbb)
 Kecepatan pemberian 1mg/kg/menit,maksimum 100mg/menit
 Dosis rumat : 12-24 jam setelah dosis inisial
 Efek samping : hipotensi dan depresi napas, terutama jika
diberikan setelah obat golongan benzodiazepin

2. Pengobatan Penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan
nafas, pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai.
Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk
mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas
yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan
ditambah dengan pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan
dan dimonitor sekiranya terdapat kelainan metabolik atau elektrolit.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi
jantung diawasi secara ketat.
Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi,
manakala pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi.
Kompres es dan alkohol tidak lagi digunakan karena pembuluh darah
perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga
menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih
terganggu. Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang
waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa karena dirasakan tubuh
menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah. Menurut
penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres
air biasa. Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan
menurun perlahan-lahan.
Bila penderita dalam keadaan kejang obat pilihan utama adalah
diazepam yang diberikan secara per rektal, disamping cara pemberian
yang mudah, sederhana dan efektif telah dibuktikan keampuhannya. Hal
ini dapat dilakukan oleh orang tua atau tenaga lain yang mengetahui
dosisnya. Dosis tergantung dari berat badan, yaitu berat badan kurang dari
10 kg diberikan 5 mg dan berat badan lebih dari 10 kg rata-rata
pemakaiannya 0,4-0,6 mg/KgBB. Kemasan terdiri atas 5 mg dan 10 mg
dalam rectiol. Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama, dapat
diberikan lagi setelah 15 menit dengan dosis yang sama.
Untuk mencegah terjadinya udem otak diberikan kortikosteroid
yaitu dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Golongan
glukokortikoid seperti deksametason diberikan 0,5-1 ampul setiap 6 jam
sampai keadaan membaik.
3. Pengobatan Rumatan
Pengobatan rumatan diberikan jika kejang demam menunjukan ciri
sebagai berikut (salah satu) :
 Kejang lama > 15 menit
 Kelainan neurologis yang nyata sebelum/sesudah kejang :
hemiparesis, peresis Todd,palsi serebral, retradasi
mental,hidrosefalus.
 Kejang fokal
Atau pengobatan rumatan dipertimbangkan jika :
 Kejang berulang 2kali/lebih dalam 24 jam
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
 Kejang demam >/= 4 kali per tahun.

Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:


1. Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita
kejang demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika
yang harus diberikan kepada anak selama episode demam. Antipiretik
yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10- 15mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4
kali sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk
mencegah terulangnya kejang demam ialah diazepam, baik diberikan
secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak dengan berat di bawah 10kg
dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral dengan
dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam. Profilaksis intermitten ini sebaiknya
diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam
sedehana sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital,
karbamazepin dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya
dosis teurapetik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk
mencegah terulangnya kejang di kemudian hari. Obat yang dipakai
untuk profilaksis jangka panjang ialah:
a) Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian
fenobarbital jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi
hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang gangguan
kognitif atau fungsi luhur.
b) Sodium valproat / asam valproat
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Namun,
obat ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan
fenobarbital dan gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar,
pankreatitis.
c) Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan
gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital.
Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan
pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan
pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan
mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
Obat rumatan yang diberikan selama perawatan adalah fenitoin dan
fenobarbital. Jika pada tatalaksana kejang,kejang berhenti dengan
fenitoin,lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7mg/kgBB/hari dibagi dalam
2 dosis. Jika pada tatalaksana kejang, kejang berhenti dengan
feobarbital, lanjutkan rumatan dengan dosis 4-5mg/kgBB/hari dalam 2
dosis.
Jika pada tatalaksana kejang,kejang berhenti dengan
diazepam,tergantung dengan etiologi yang dapat dikoreksi secara cepat
(hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia) mungkin tidak memerlukan
terapi rumatan.
Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis dan meningitis), perdarahan
intrakranial,mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat
diberikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10mg/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5mg/kgBB/hari
sampai resiko berulangnya kejang tidak ada. Jika etiologinya epilepsi,
lanjutkan obat antiepilepsi dengan menaikan dosis. Lanjutan
pengobatan ini tergantung daripada kondisi pasien.
Tabel 3.1. Obat – obat anti epilepsi7
Obat Bentuk Kejang Dosis (mg/kgbb/hari)

Fenobarbital Semua bentuk kejang 3-8

Dilantin Semua bentuk kejang 5-10


kecuali petit
mal,mioklonik,akinetik

Mysoline Semua bentuk kejang 12-25


(pirimidone) kecuali petit mal

Zarontin Petit mal 20-60


(etosuksimid)

Diazepam Semua bentuk kejang 0,2-0,5

Diamox Semua bentuk kejang 10-90


(asetasolamid
)

Prednison Spasme infantil 2-3


Dexametason Spasme infantil 0,2-0,3

Adrenokorti Spasme infantil 2-4


kotropin

4. Mencari dan mengobati penyebab


Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks
biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi
tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang
untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal
ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya
meningitis. Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama,
pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi
lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium,
natrium, nitrogen, dan faal hati.

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.Pada
saat kejang sebagian orang tua menganggap bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis yang
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
Rujukan
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan
berikut:
1. Kejang demam kompleks.
2. Hiperpireksia (suhu rektal > 39°C).
3. Usia dibawah 6 bulan.
4. Kejang demam pertama.
5. Dijumpai kelainan neurologis.

J. Prognosis 3,9
1. Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya
baik, tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka
kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 %
pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari
kejang demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi
oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak
menderita
c. kejang demam sederhana
d. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka
kemungkinan mengalamiserangan kejang tanpa demam adalah 13 %,
dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.
4. Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum
maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan
kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu
timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami
hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami
kelainan IQ, sedangkejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami
gangguan perkembangan ataukelainan neurologik ditemukan IQ yang
lebih rendah. Apabila kejang demam diikutidengan terulangnya kejang
tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mentaladalah 5x lebih
besar.

DIARE
A. Definisi
Diare merupakan buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja
menjadi lebih encer dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya. Pada
neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besarnya sudah lebih dari
4 kali dan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, bila frekuensinya
lebih dari 3 kali. Pada bayi yang mengkonsumsi ASI eksklusif sering
frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali dalam sehari. Hal ini tidak
dikatakan diare jika berat badan bayi meningkat normal. Pada bayi yang
mengkonsumsi ASI eksklusif dikatakan diare jika menurut ibunya,
konsistensi tinja lebih cair dari biasanya dan frekuensi buang air besar lebih
sering dari biasanya. 7
B. Klasifikasi Diare
Secara klinik diare dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Diare cair akut
Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja
lunak ataupun cair yang lebih sering dan tanpa darah. Penyebab diare akut
pada anak-anak di negara berkembang adalah rotavirus, Escherichia coli
enterotoksigenik dan Shigella.
b. Disentri
Merupakan diare yang disertai darah dalam tinja.. merupakan radang
usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air besar
dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar
dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar
(tenesmus). Penyebab utama disentri akut adalah Shigella
c. Diare Persisten
Merupakan diare yang mula-mula bersifat akut kemudian berlangsung
lebih dari 14 hari. Episod ini dapat dimulai dari diare cair ataupun disentri.
Diare persisten jangna dikacaukan dengan diare kronik, yaitu diare hilang-
timbul atau yang berlangsung lama dengan penyebab non infeksi, seperti
gangguan metabolisme yang menurun.

C. Cara Penularan dan Faktor Resiko


Diare pada umunya ditularkan melalui fekal-oral yaitu melalui makanan
atau minuman yang telah tercemar enteropatogen, atau kontak langsung
dengan tangan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja
penderita atau secara tidak langsung melalui lalat.
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen:
a. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan
bayi.
b. Penggunaan botol susu
c. Tidak memadainya penyediaan air bersih.
d. Pencemaran air oleh tinja.
e. Kurangnya sarana kebersihan.
f. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.
g. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis.
h. Cara penyapihan yang tidak baik.
Faktor pada penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk
terjangkit diare:
a. Gizi buruk
b. Imunodefisiensi
c. Berkurangnya keasaman lambung
d. Menurunnya motilitas usus
e. Menderita campak dalam 4 minggu terakhir
f. Faktor genetik

D. Etiologi
a. Faktor Infeksi
Diawali dari mikroorganisme yang masuk ke dalam saluran
pencernaan, yang kemudian berkembang di dalam usus dan merusak sel
mukosa intestinal yang dapat menurunkan daerah permukaan intestinal
sehingga terjadinya perubahan kapasitas dari intestinal yang akhirnya
mengakibatkan gangguan fungsi intestinal dalam absorpsi cairan dan
elektrolit. Adanya toksin bakteri juga akan menyebabkan sistem transpor
menjadi aktif dalam usus, sehingga sel mukosa mengalami iritasi dan
akhirnya sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
b. Faktor Malabsorbsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang
mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi
rongga usus sehingga terjadi diare.
c. Faktor Makanan
Terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik
dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang akhirnya menyebabkan
penurunan kesempatan untuk menyerap makanan.
d. Faktor Psikologi
Dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang
dapat mempengaruhi proses penyerapan makanan. 8

E. Patofisiologi
Diare dapat terjadi akibat beberapa faktor, yaitu faktor infeksi, faktor
malabsorpsi, faktor makanan dan faktor psikologis.
Faktor

Infeksi Kuman masuk dan Toksin dalam Hipersekresi air


berkembang dalam dinding usus elektrolit (isi
usus halus rongga) usus
meningkat

Malabsorpsi Tekanan
osmotik Pergeseran air Isi rongga usus
meningkat dan elektrolit ke meningkat
rongga usus

Makanan Toksik tidak dapat


Kemampuan
diabsorpsi absorpsi
Hiperperistaltik
menurun

Psikologis Hiperperistaltik Kemampuan absorpsi


menurun

Diare

Gambar 3.2. Skema Patofisiologi Diare 8


F. Gejala Klinis
Gejala yang timbul saat bayi atau balita mengalami diare adalah bayi
cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang namun bisa
saja nafsu makan tidak mengalami perubahan, tinja cair dan mungkin dapat
disertai lendir atau darah, warna tinja semakin lama berubah menjadi
kehujau-hijauan, anus san daerah sekitarnya lecet, bayi muntah dan timbul
gejala dehidrasi.
- Gejala Klinis disentri :
 Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata
7 hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut
bawah, diare disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare
berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan
nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang
sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa
melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi
cekung. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh
S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat,
berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu
badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat
meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit
kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi
berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa
seperti gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria
dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan
darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat
membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan
yang lama.
 Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi ke dinding usus.
Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita
biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang
bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja
berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat
sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium.
Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien
biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang
dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri
ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja
biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam
dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami
diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi
(400C-40,50C) disertai mual dan anemia.

G. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada penderita diare akut pada
umunya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu saja pemeriksaan
laboratorium dilakukan, seperti pada diare yang penyebab dasarnya tidak
diketahui atau pada penderita dengan dehidrasi berat.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang dilakukan pada diare akut
adalah:
1. Darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur
dantes kepekaan terhadap antibiotika.
2. Urine lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
3. Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis tinja
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan
tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang
mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat
trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan
pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba
dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat
sediaan dengan larutan eosin. 9

H. Tatalaksana
Pada penderita diare, diberikan terapi untuk memperbaiki kondisi usus dan
menghentikan diare. Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar
penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare cair akut yang diderita anak
balita baik yang dirawat dirumah maupun sedang dirawat di rumah
sakit,yaitu:
a. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
b. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
c. ASI dan makanan tetap diteruskan
d. Antibiotik selektif
e. Nasihat kepada orang tua 9
Tabel 3.2. Klasifikasi Dehidrasi
Rencana Terapi A

Gambar 3.3. Rencana Terapi Diare tanpa dehidrasi


Rencana Terapi B

Gambar 3.4. Rencana Terapi Diare dengan dehidrasi sedang


Rencana Terapi C

Gambar 3.5. Rencana Terapi Diare dehidrasi berat


a. Pengobatan spesifik Disentri
 Disentri Basiler
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien
diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan,
antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih peka,
maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari.
Begitu pula dengan trimetoprim-sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x
960 mg/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam
pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon
seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik
untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai
adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1
gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita
hamil.
 Disentri amuba
o Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga
kali perhari selama 20 hari.
o Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat
kali selama 5 hari.
o Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750
mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
o Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750
mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari
selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari. (6)

Anda mungkin juga menyukai