Anda di halaman 1dari 4

MERA(H) = MER(D)EKA

Oleh: Rian Bai*

mera

Kata “mera” merupakan sebuah kata dalam bahasa Lio (Lio, Ende, Flores, NTT) yang
berarti “duduk/tinggal” dalam bahasa Indonesia, yang mendefinisikan ajakan sekaligus
keadaan menempati suatu tempat dengan posisi bertumpu pada luasan tempat tersebut;
contohnya seperti mera leka ina (duduk/tinggal di sini). Dalam budaya setempat, mera (duduk)
tak jarang juga adalah suatu sarana berkumpul untuk menemu solusi penyelesaian sebuah
masalah. Kata “mera” dalam bahasa Lio juga berarti “warna merah” dalam bahasa Indonesia.
Perbedaannya terletak pada “fonem” (bunyi) pelafalan atau penyebutan kata tersebut.
Mera (duduk) adalah bagian yang ada dan tidak terpisahkan dari rutinitas kehidupan.
Hampir pasti segenap makhluk hidup sempat mera (duduk) dan sudah pasti setiap manusia
pernah mera (duduk). Saat beranjak bangun dari peraduan, kita kadang menyempatkan diri
untuk mera (duduk) sebentar di ujung tempat tidur untuk mengucap syukur dan menimbah
kekuatan spiritual dalam bentuk doa maupun helaan nafas sebagai bekal untuk menjalani
serangkaian aktivitas di hari baru itu. Ketika sedang beraktivitas entah di sekolah atau tempat
kerja, kita pun sering mengambil posisi mera (duduk) sebagai bentuk kenyamanan dalam
belajar dan bekerja. Waktu hendak beristirahat kembali ke peraduan, mera (duduk) pun turut
ambil bagian dalam menutup hari dengan doa ataupun ungkapan lainnya. Adapun masih
banyak lagi mera ( duduk) yang tak sempat dilukiskan oleh serangkaian huruf diatas. Agaknya
mera (duduk) terlalu independen ataukah ruang tampung kita yang teramat sempit untuk ke-
maha-annya.
Kalau ditanya ke-maha-annya mera (duduk) itu seperti apa, mungkin saya akan
menjawab ke-maha-annya mera (duduk) itu seperti “duduk-duduk tanpa sajanya” Bung Karno
dulu di bawah pohon sukun waktu “tinggal” di Ende yang berbuah Pancasila sebagai hasil dari
permenungan spirit kebangsaan yang telah lama membumi di nusantara ini yang kemudian
menjadi spirit utamanya saat berjuang bersama para pejuang lainnya untuk kemerdekaan rakyat
sebelum dan sesudah proklamasi.
Namun, apa mau dikata, sekarang duduk-duduknya kaum elit berbeda jauh dengan
duduk-duduknya para pendahulu. Duduk-duduknya mereka sekarang hanya kuantitas saja
tanpa kualitas sehingga duduk-duduknya anak usia (bukan usai) sekolah di luar sekolah
dibiarkan saja karena mungkin sebagian bangku telah diduduki “rupiah”, duduk-duduknya
pencari kerja saat yang lain sementara bekerja juga dibiarkan saja walaupun sungguh mereka
pernah duduk di bangku-bangku sekolah maupun bangku tempat wawancara kerja karena bisa
jadi kaum elit takut direbut “rupiah”nya; juga duduk-duduknya orang sakit di rumah tanpa obat
pun dibiarkan saja karena tempat pengobatan sepertinya juga sedang sakit “rupiah”nya, bahkan
parahnya lagi duduk-duduk sajanya sebagian pejabat eksekutif, banyak wakil yang katanya
legislatif ataupun beberapa petugas yang timpang di meja yudikatif, juga dibiarkan saja,
sementara sebagian isi dompet borjuis masih ditandu punggung-punggung letih proletar yang
kadang ber-upah di bawah UMR; sementara penyakit human trafficking yang mematikan juga
masih bertahkta di singgasana yang kian memanen kematian para pencari suaka.

merah

Warna merah adalah warna yang sungguh menyatu dalam sejarah kehidupan manusia.
Merah adalah warna darah manusia. Merah adalah darah yang mengaliri pembuluh darah
mengantarkan zat makanan, oksigen, sisa-sisa metabolisme, dan hormon untuk kebutuhan di
dalam badan manusia, menjaga kadar asam-basa cairan tubuh dan mengontrol suhu badan
untuk keberlangsungan hidup manusia. Selain itu warna merah juga merupakan warna yang
beraura kuat, memberi arti semangat dan memberi energi untuk menyerukan terlaksananya
suatu tindakan. Warna merah merupakan simbol keberanian, kekuatan dan energi, juga
semangat untuk melakukan tindakan (action), serta melambangkan kegembiraan. Warna merah
merupakan warna yang paling mendalam di antara warna-warna yang ada, warna ini termasuk
golongan warna yang hangat bahkan makna warna merah bisa menggambarkan reaksi fisik
terkuat dari diri kita sendiri.
Merah dalam sejarah Indonesia menggambarakan perjuangan para pejuang bangsa
yang kuat dan berani, para pahlawan negara kita yang dengan semangat menguras energi dan
relah menumpahkan darah bertindak untuk memerdekakan bangsa kita dari tangan besi kaum
penjajah. Merahnya perjuangan para pejuang dan pahlawan kita adalah untuk merdekanya kita
generasi penerus. Perjuangan yang adalah bentuk kasih sayang para pendahulu haruslah
senantiasa dilanjutkan oleh segenap lapisan generasi penerus. Ingatlah itu. JAS MERAH:
jangan sekali-kali melupakan sejarah. Semangat yang serupa merahnya api perjuangan para
pendahulu telah melahirkan putih kesucian jiwanya. Mereka telah sungguh merah putih.
Kitapun harusnya juga merah putih dalam setiap langkah, setiap tindakan kita meneruskan
tindakan nyata mereka dengan sungguh menghadirkan kemerdekaan yang menyeluruh dirasa,
dan dijalani oleh seluruh bangsa Indonesia. Merah-putihkanlah seluruh wilayah negara tercinta
ini, merah-putihkanlah segenap lapisan bangsa ini secara utuh dan total hingga tak ada lagi
jurang ketimpangan, supaya sejahtera betul menyeluruh, supaya tak ada lagi konsep “hanya
mereka yang merdeka”.
Merah dalam kehidupan perjuangan juga tak lupa mengingatkan kita akan adanya
masalah baru yang muncul bila kita lupa dan bahkan tak mau untuk meneruskan perjuangan
para pendahulu. Berjuang harusnya bukan hanya agar tak bertambahnya lagi tumpukan
masalah namun supaya terselesaikannya masalah-masalah yang sudah terlebih dahulu ada.
Berjuang haruslah senantiasa supaya seluruh kita tanpa terkecuali bisa mera sama-sama leka
Indonesia ina (sama-sama duduk/tinggal di Indonesia ini). Supaya yang tetap ada
duduk/tinggal pada kehidupan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
adalah “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

merdeka bukan mereka

Cita-cita merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur merupakan cita-cita


kemerdekaan kita bersama sebagai suatu bangsa yang telah memproklamirkan kesatuan dalam
bingkai NKRI tercinta ini. Perjuangan meneruskan langkah untuk menggapai cita-cita bersama
ini pun telah terarah dengan tujuan besar kehidupan ke-Indonesia-an kita yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum / bersama, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut berperan aktif dan ikut serta
dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
kedilan sosial yang sudah tentu harus tetap dalam kerangka idelogi Pancasila, yang berpatokan
pada UUD 1945 amandemen IV dan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Kerja-kerja kita haruslah berwujud pengamalan dari sila-sila Pancasila tanpa
terkecuali, tindakan-tindakan kita dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara haruslah
tak bertentangan dengan UUD 1945 amandemen IV dan segenap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan karya-karya kita haruslah senantiasa bercirikan semangat Bhineka
Tunggal Ika agar sungguh perjuangan berbuah tergapainya cita-cita bersama kita.
Spirit Merdeka bukan mereka adalah kesimpulan dari duduk permenungan kita saat ini,
bahwa keutuhan kemerdekaan itu harus menjadi jaminan bagi keseluruhan rakyat Indonesia
tanpa terkecuali. Merdeka bukan mereka adalah bentuk penegasan bahwa tidak boleh hanya
mereka (kaum elit) yang merdeka; merdeka bukan mereka adalah bentuk penyadaran bahwa
mereka (kelompok non elit) ternyata belum sepenuhnya merdeka dan bahwa mereka itu
haruslah juga terpenuhi kemerdekaannya selayaknya kaum elit sehingga pada saatnya akan
tibalah perjalanan hidup bangsa ini yang sungguh merdeka. Itulah yang harus menjadi
kenyataan bahwa kita semua memang harus sungguh merdeka.

Merdeka…….! Merdeka……..! Merdeka………!

*Rian Bai, warga negara indonesia ber-ktp “merah-putih”.

Anda mungkin juga menyukai