Anda di halaman 1dari 16

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Drug-induced hepatitis (DIH) / Drug-induced liver injury (DILI) dapat

diartikan sebagai kerusakan hepatik yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal

yang menyebabkan disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi hati

(peningkatan ALT/AST >3x batas normal dan/atau kenaikan bilirubin >2x batas

normal) dengan ekslusi dari penyebab-penyebab lainnya (hepatitis viral, alkohol,

tumor, dll). Drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi tipe intrinsik dan

idiosinkratik. Tipe intrinsik biasanya tergantung dosis dan dapat diprediksi (mis.

keracunan paracetamol), sementara tipe idiosinkratik tidak tergantung langsung ke

dosis obatnya dan lebih sulit diprediksi.1

Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe


kerusakan yang terjadi pada hati

3.2 Epidemiologi

Drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik merupakan kasus yang tidak

terduga dan dapat tidak teridentifikasi pada pemeriksaan preklinis maupun klinis.

13
14

Untuk sebagian besar obat yang beredar, drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik

ini diperkirakan terjadi pada 1 diantara 10.000 hingga 100.000 orang yang

terpapar obat-obatan tersebut.1 Untuk pasien anak sendiri, sekitar 5% dari kasus

gagal hati akut pada anak disebabkan oleh obat-obatan selain acetaminophen.

Obat-obatan yang diduga sebagai penyebabnya beragam, mulai dari anti biotik,

antikonvulsan, psikoaktif, dan lainya.2

Di Amerika serikat, dari sebuah studi prospektif yang dilakukan antara

tahun 2004-2009 pada 30 orang pasien anak berumur 2-18 tahun dengan dugaan

Drug-induced hepatitis, didapat agen penyebab terbanyak yaitu antimikroba

(minosiklin, isoniazid, dan azithromycin) dan obat SSP (atomoxetine dan

lamotrigine). Dari seluruh pasien, 2 orang tetap menunjukkan abnormalitas pada

follow-up test fungsi heparnya hingga 6 bulan kemudian, menandakan terjadinya

penyakit hati kronis.3

Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,

antikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan bahwa

Asetaminofen merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7 Di

Amerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin dan florokuinolons

adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan diantara penelitian di AS dan

Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat yang

diterima di masing-masing negara dan kebiasaan di dalam meresepkan obat. Di

negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI.

Herbal dan suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus

DILI di negara-negara barat.


15

3.3 Etiologi

Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral

dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis

obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan

pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini

merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Injury.

Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan


Drug-Induced Liver Injury7
16

3.4 Patogenesis
3.4.1 Metabolisme Obat di Hati
Metabolisme obat merupakan proses dimana molekul obat diubah secara

kimiawi, biasanya menjadi metabolit polar dengan tingkat solubilitas air yang

meningkat untuk memudahkan eliminasi di urin atau empedu. Metabolisme obat

di hati dibagi menjadi 2 fase : fase 1 dan fase 2.5

Pada fase 1, molekul obat akan mengalami perubahan struktur. Enzim

sitokrom P450 merupakan katalis yang paling dominan pada fase ini. Enzim ini

akan mengonversi molekul obat menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofilik)

melalui proses oksidasi, reduksi, atau hidrolisis. Di hepatosit, enzim ini berada di

retikulum endoplasma halus. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini bisa cukup

larut air untuk langsung dieliminasi atau membentuk substrat untuk enzim fase 2. 5

fase 2 meliputi konjugasi dari grup ion (seperti glutathion, glucoronosil,

asetil, dll) yang disebut transferase dengan molekul obat. Hasil dari konjugasi

yaitu metabolit yang inaktif secara farmakologik dan hidrofilik sehingga bisa

dieksresi sekaligus mengurangi efek toksik dari metabolit reaktif yang dihasilkan

di fase 1. 5

3.4.2 Mekanisme Drug-Induced Hepatitis di Hati6,7

Patogenesis dari drug-induced hepatitis dapat terjadi melalui 3 fase. Pada

fase pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan

kerusakan awal melalui 3 cara:

1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan

protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran mitokondria.

2. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian proses beta

oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak diubah menjadi asetil KoA,
17

NADH, dan FADH2. Hal ini akan menimbulkan penumpukan lipid dalam sel

yang menghambat fungsi respirasi sel dan menurunkan produksi ATP.

3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang

immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan

menimbulkan reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan

mengaktifkan death-inducing signalling complex, kompleks protein yang akan

menginisiasi terjadinya apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari

TNF-alfa sebagai pemicunya.

Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan

permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul kecil

masuk ke mitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat mitokondria

membengkak. Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada membran dan

keluarnya protein sitokrom C dari mitokondria.

Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.

Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C

yang keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi

kaskade apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan

mengalami nekrosis melalui proses autolisis.


18

Gambar 2. Model 3 langkah dari terjadinya drug-induced hepatitis.


19

3.5 Faktor Risiko

Faktor risiko dari drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi 2 yaitu genetik dan

non-genetik.

 Non-Genetik
1. Umur
Umur merupakan faktor resiko untuk terjadinya drug-induced hepatitis

bagi beberapa jenis obat. Usia muda merupakan faktor risiko bagi obat

seperti asam valproate ataupun sindrom reye akibat pemakaian aspirin.

Risiko hepatotoksisitas akibat isoniazid juga bertambah seiring dengan

usia.8,9

2. Jenis Kelamin
Wanita dipercaya memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena drug-induced

hepatitis tipe idiosinkratik, berdasarkan prevalensinya yang lebih tinggi

pada studi yang telah dilakukan mengenai penyakit ini.8

3. Malnutrisi

Sebuah studi oleh Singla et al dan Sharma et al menunjukkan bahwa

hipoalbuminemia dapat menjadi marker dari malnutrisi serta faktor risiko

untuk terjadinya drug-induced hepatitis, dimana pasien dengan

hipoalbuminemia (<3,5 mg/dl) dalam pengobatan TB memiliki

risiko 3x lebih tinggi menderita drug-induced hepatitis.9

4. Gangguan Penyerta Lain


Adanya penyakit hati sebelumnya seperti penyakit hati kronis atau

perlemakan hati non-alkoholik dapat meningkatkan resiko terjadinya

hepatotoksisitas akibat obat. Pasien dengan HIV yang juga terinfeksi


20

dengan hepatitis B atau C juga memiliki peningkatan risiko terjadinya

drug-induced hepatitis dari terapi antiretroviral atau obat TB. 8,9

5. Dosis Harian

Meskipun drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik dipercaya tidak bisa

diprediksi berdasarkan dosis, namun dari beberapa studi dan laporan kasus

ditemukan bahwa pasien yang mendapat dosis obat >50 mg/hari untuk

memiliki resiko lebih tinggi terkena drug-induced hepatitis untuk

beberapa jenis obat.8

6. Interaksi Obat
Beberapa obat dapat meningkatkan potensi hepatotoksik obat lainnya

dengan cara menginduksi sitokrom P450 dan meningkatkan produksi

metabolit reaktif yang bersifat hepatotoksik, misalnya pada penggunaan

bersamaan asam valproate dan antikonvulsan lainnya.8

 Genetik
1. Variasi Pada Fase 1
Fase 1 merupakan fase dimana metabolit reaktif yang toksik dibentuk

oleh enzim sitokrom p450. Beberapa famili dari enzim sitokrom p450

ditemukan memiliki variasi pada kerjanya pada tiap individual, dimana

penurunan kerja enzim tertentu berisiko mengakibatkan drug-induced

hepatitis akibat penumpukan dari metabolit toksik di hati. CYP2D6

merupakan enzim yang memetabolisme opiat, antidepressan, beta-bloker,

dan agen anti-aritmia. Polimorfisme dari enzim ini telah dikatikan dengan

hepatotoksisitas dari obat perhexiline dan chlopromazine.7,8


21

2. Variasi Pada Fase 2


Pada fase 2, metabolit reaktif akan dikonjugasi dan didetoksifikasi oleh

grup transferase sehingga variasi kerja dari transferase ini berisiko

meningkatkan timbulnya drug-induced hepatitis. NAT2 (N-acetyl

transferase 2) merupakan enzim polimorfik yang bekerja untuk

mendetoksifikasi obat-obat seperti isoniazid dan sulfonamid. NAT2*4

memiliki kecepatan detoksifikasi paling tinggi, sedangkan NAT2*5, *6,

*7 memiliki kecepatan detoksifikasi yang rendah sehingga beresiko

menimbulkan hepatotoksisitas dari obat isoniazid atau sulfonamid.8,10,11

3. Human Leukocyte Antigen (HLA)


Sistem HLA memiliki peran penting dalam memediasi reaksi imun,

sehingga variasi pada gen ini dapat meningkatkan efek kerusakan pada

drug-induced hepatitis yang disebabkan oleh jalur ekstrinsik. Salah satu

variasi genotipe HLA, HLA-B*5701, telah diketahui sebagai faktor risiko

pada kejadian drug-induced hepatitis akibat fluoxacilin. Hubungan antara

gen HLA kelas II dengan drug-induced hepatitis akibat obat TB juga telah

dilaporkan yaitu HLA-DRB1*03 untuk isoniazid, HLA-DQA1*0102

untuk rifampicin, dan HLA-DQB1*0201 untuk etambutol.7,8

3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi dari drug-induced hepatitis sangat bervariasi, mulai dari

peningkatan enzim hati yang asimtomatik hingga gagal hati fulminan. Gejala

klinis yang tampak biasanya tergantung dari obat penyebabnya. Gejala ini dapat

menyerupai gangguan hati lain seperti hepatitis akut, hepatitis kronis, cholestasis

akut, fatty liver disease, dll.1,12


22

Tabel 2. Gejala klinis dari drug-induced hepatitis dan obat penyebabnya

Pola kerusakan akibat drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi 3 jenis :

hepatoselular, cholestasis, dan campuran. Pola ini dapat dilihat dengan memeriksa

nilai R, yaitu (nilai ALT/batas atas normal) : (nilai alkali fosfatase/batas atas

normal).12

1. Nilai R>= 5 menandakan kerusakan hepatoselular. Pasien dengan

kerusakan jenis ini tidak memiliki gejala khas dan tidak selalu tampak

ikterik. Biasanya pasien ini juga menampakkan gejala alergi obat, seperti

demam, ruam kulit, atau eosinofilia. Pemeriksaan fungsi hati akan

menampakkan peningkatan ALT/AST, sedangkan pemeriksaan histologi

hati akn menunjukkan inflamasi dan nekrosis hepatosit dengan inflitrasi

eosinofil. 12

2. Nilai R=< 2 menandakan adanya kerusakan bilier. Tipe ini dibagi lagi

menjadi 2 subtipe : kanalikular dan hepatokanalikular. Tipe kanalikular

ditandai dengan gejala ikterik dan pruritus dengan peningkatan bilirubin

direk, alkali fosfatase, dan gamma glutamyl transferase, dengan gambaran


23

histologi berupa kolestasis hepatosit dan pelebaran kanal bilier. Tipe

hepatokanalikuler memiliki gejala demam dan nyeri perut, mirip dengan

obstruksi bilier akut. Histologi hati menunjukkan inflamasi portal dan

nekrosis hepatosit, dengan kolestasis pada centrilobular. 12

3. Nilai 2<R<5 menandakan kerusakan campuran dengan gambaran klinis

dan biologi antara tipe hepatoselular dan kolestasis. Reaksi alergi juga

sering tampak, dengan reaksi granulomatosa terlihat pada pemeriksaan

biopsi hati. 12

3.7 Diagnosis
Diagnosis dari drug-induced hepatitis ditegakkan dengan mengeksklusi

kemungkinan gangguan hati lainnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang detil, pemeriksaan lab, pencitraan hepatobilier, biopsi hati (bila

diindikasikan), dan penilaian kausalitas.13

1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik

Pada anamnesis, perlu dicari riwayat paparan obat-obatan yang

akurat serta onset awal dan perjalanan dari kelainan yang tampak.

Biasanya, onset dari drug-induced hepatitis terjadi dalam 6 bulan pertama

setelah memulai obat baru, kecuali pada obat-obatan tertentu yang

memerlukan paparan yang lebih lama sebelum menampakkan gejala (mis.

nitrofurantoin, minosiklin, statin). Selain itu, perlu dicari juga riwayat

reaksi obat sebelumnya, riwayat gangguan hati sebelumnya, serta riwayat

konsumsi alkohol. 13
24

Pemeriksaan fisik biasanya menampakkan gambaran mirip

gangguan hati lain (ikterik, demam, hepatomegali, nyeri tekan hati, atau

gambaran penyakit hati kronis). 13

2. Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan


Pemeriksaan fungsi hati diperlukan untuk melihat perjalanan

abnormalitas enzim hati, terutama bila obat yang diduga sebagai penyebab

telah dihentikan, dan untuk menentukan nilai R sehingga dapat diketahui

pola kerusakan hatinya. Untuk kerusakan tipe hepatoselular, Hepatitis

marker dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan hepatitis akut,

sedangkan autoantibodi serum dan IgG dapat diperiksa bila ada gejala

hipersensitivitas (demam, ruam kulit, urtikaria, dan eosinofilia) atau tanda-

tanda autoimunitas lain (anemia hemolitik, glomerulonefritis, dll). 12,13

Untuk kerusakan tipe kolestatik, diagnosis bandingnya yaitu

kelainan pankreatikobilier yang bisa ekstrahepatik atau intrahepatik.

Kelainan ekstrahepatik seperti choledocolithiasis atau malignansi bisa

diekslusikan dengan pemeriksaan pencitraan abdominal seperti USG, CT-

scan, atau MRI. Kelainan intrahepatik yang menyerupai drug-induced

hepatitis perlu diekslusi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

(sepsis, gagal jantung), tes serologis (anti-mitochondrial antibody untuk

sirosis bilier primer), atau pencitraan (sclerosing cholangitis). 12,13


25

3. Biopsi Hati
Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik

dilakukan pada kasus drug-induced hepatitis, namun dapat

dipertimbangkan untuk dilakukan pada kejadian seperti : 13

 Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding yang

tersisa dan pasien dipertimbangkan mendapat terapi imunosupresif.

 Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin

memburuk meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah

dihentikan.

 Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP tidak

menurun >50% setelah 180 hari meskipun agen yang diduga sebagai

penyebab sudah dihentikan.

 Pada kasus drug-induced hepatitis dimana penggunaan obat penyebab

perlu diteruskan.

 Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari untuk

mengevaluasi adanya penyakit hati kronis.

4. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah

alat penilaian standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai

penyebab dari drug-induced hepatitis. Sistem ini tidak bisa dipakai sebagai

alat diagnosis satu-satunya, namun sebagai bimbingan untuk mengevaluasi

pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis. Sistem skoring ini dibagi

menjadi tipe hepatoselular dan tipe kolestatik dengan campuran. Poin-poin

lalu ditambah atau dikurangi berdasarkan onset gejala, waktu hingga nilai
26

enzim hati kembali normal, faktor risiko, obat penyerta, diagnosis banding,

dan hasil re-challenge. Skor akhirnya kemudian dibagi menjadi 5 hasil

yaitu

"disingkirkan" (skor <=0), "kurang mungkin" (1-2), "mungkin" (3-5),

"berpotensi" (5-8), "pasti" (>8).12,13,14

Tabel 3. Roussel Uclaf Causality Assessment Method untuk penilaian drug-


induced hepatitis
27

3.8 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis, terutama dengan

kenaikan nilai enzim hati atau terdapat tanda-tanda disfungsi hati, agen yang

diduga sebagai penyebab harus dihentikan. Terapi lainnya biasanya bersifat

suportif dan tergantung dari gejala yang tampak.13,14

N-Acetylcystein bisa diberikan pada pasien dengan drug-induced hepatitis

akibat acetaminofen. Dari beberapa penelitian, penggunaanya pada drug-induced

hepatitis akibat obat lain memberikan tingkat survival yang lebih tinggi dibanding

dengan pasien yang tidak mendapat NAC. Namun, penelitian mengenai

pemberian NAC pada pasien anak justru memberikan tingkat survival yang lebih

rendah dan tidak direkomendasikan diberikan NAC IV pada pasien anak dengan

drug-induced hepatitis. 13,14

Pengunaan steroid pada pasien dengan drug-induced hepatitis biasanya

bila ditemukan gejala hipersensitivitas. Namun, belum ada uji terkontrol untuk

penggunaan steroid pada pasien dengan drug-induced hepatitis. 13,14

Terapi khusus lain yang dapat diberikan pada pasien dengan drug-induced

hepatitis yaitu L-carnitine untuk drug-induced hepatitis akibat valproate, dan

asam ursodeoxycholic untuk gejala kolestasis, namun, data mengenai efikasinya

masih terbatas. 13,14

3.9 Prognosis
Sebagian besar pasien drug-induced hepatitis akut yang simptomatik dapat

sembuh dengan terapi suportif setelah obat penyebabnya dihentikan. Prognosis

dari tiap pasien tergantung dari tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali.

Sebagai contoh, pasien dengan drug-induced hepatitis dan koagulopati

(INR>1,5) dan encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa mendapat


28

transplantasi hati. Selain itu, lama pemakaian obat penyebab sebelum dihentikan

serta kerusakan hati tipe kolestatik juga berpengaruh pada risiko perkembangan

penyakit menjadi kronis.12,13,14

Sebuah observasi dari dr. Hyman Zimmerman pada tahun 1978

menemukan bahwa pasien dengan ikterik yang disebabkan oleh obat (bilirubin

total >2x batas normal / nilai ALT/AST >3x normal) memiliki tingkat mortalitas

sebesar 10%. 12,13,14

Anda mungkin juga menyukai