Anda di halaman 1dari 10

117

Jumal Akuakultur Indonesia, 8(2): 117-126 (2009)

Teknologi Biotlok: Teori dan Aplikasi dalam


Perikanan Budidaya Sistem Intensif

Bioflocs Technology: Theory and Application


in Intensive Aquaculture System

J. Ekasari

Dapartemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan


Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

Bioflocs technology (BFT) is one of the developing technology in aquaculture which aimed to improve water
quality and to enhance nutrient utilization efficiency. This technology is mainly based on the conversion of
inorganic nitrogen in particular ammonia by heterotrophic bacteria into microbial biomass which further can
be consumed by aquaculture organisms. The objective of this review is to discuss various aspect of BFT
application in aquaculture including bioflocs formation process, technical requirement, bioflocs nutritional
content and characterization techniques.

Keywords: bioflocs, nitrogen, heterotrophic bacteria, ammonia, C/N ratio.

ABSTRAK

Teknologi bioflok (BFT) merupakan salah satu teknologi yang saat ini sedang dikembangkan dalam
akuakultur yang bertujuan untuk memperbaiki kualilas air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient.
Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama ammonia oleh bakteri heterotrof menjadi
biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya. Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk memaparkan berbagai aspek dalam BFT termasuk proses pembentukan biotlok, persyaratan
teknis, kandungan nutrisi bioflok dan teknik karakterisasinya.

Kata kunci: bioflok, nitrogen, bakteri heterotrof, ammonia, rasio C/N.

PENDAHULUAN Menghadapi peluang ini akuakultur


dihadapkan pada beberapa tantangan terutama
Dalam The State of Fisheries and Aquaculture yang berkaitan dengan sumber daya alam.
2008, FAO melaporkan bahwa akuakultur Terbatasnya sumber daya alam seperti air dan
merupakan salah satu sektor produksi pangan yang lahan, menjadikan intensifikasi sebagai pilihan
memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia, yang paling memungkinkan dalam meningkatkan
mencapai 8,7% per tahun sejak tahun 1970. produksi budidaya. Berbagai upaya untuk
Kontribusi akuakultur terhadap produksi mengembangkan pcrikanan budidaya terutama
perikanan dunia juga terus menunjukkan sistem intensif hingga kini masih terus dilakukan
peningkatan, pada tahun 2006 sektor ini telah mengingal sistem ini masih terkendala oleh
memberikan kontribusi mencapai 47% berbagai masalah diantaranya buangan limbah
dibandingkan tahun 1950 yang hanya 3%. Seiring akuakultur, penggunaan tepung ikan sebagai
dengan menurunnya produksi perikanan tangkap bahan baku pakan buatan scrta penyebaran
maka tidaklah mengherankan jika sektor penyakit (FAO, 2007). Permasalahan utama dalam
akuakultur kemudian diharapkan dapat menjadi akuakultur sistem intensif telah menarik perhatian
suplier utama produk-produk perikanan dunia. tidak hanya para pelaku kegiatan akuakultur
tetapi juga para stakeholder lainnya Nitrogen dalam sistem akuakultur
seperti para pemerhati lingkungan (Allsopp et Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama
al., 2008). Lebih jauh lagi, penerapan best berasal dari pakan buatan yang biasanya
aquaculture practices dalam sertifikasi mengandung protein dengan kisaran 13 - 60%
produk akuakultur yang diekspor, (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan
mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh
lingkungan. Sehingga perkembangan & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney,
teknologi akuakultur saat ini difokuskan pada 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam
pemecahan masalah tersebut di atas. sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi
Intensifikasi tentunya membutuhkan lebih oleh organisme budidaya dan sisanya
banyak input produksi terutama benih dan terbuang ke dalam air. Proses metabolisme
pakan serta sistem manajemen yang lebih pakan yang dikonsumsi dalam tubuh
baik. Pada sistem budidaya intensif, organisme budidaya kemudian akan
keberadaan dan ketergantungan terhadap menghasilkan biomasa dan sisa metabolisme
pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan berupa urine dan feses. Protein dalam pakan
buatan menjadi satu-satunya sumber makanan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total
bagi organisme yang dipelihara (Tacon, nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi
1987), Organisme akuatik umumnya biomasa ikan (Brune et al., 2003).
membutuhkan protein yang cukup tinggi Katabolisme protein dalam tubuh organisme
dalam pakannya. Namun demikian organism akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil
akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar akhir dan diekskresikan dalam bentuk
20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui
dalam air (Stickney, 2005). Metabolisme insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves,
protein oleh organisme akuatik umumnya 1998). Pada saat yang sama, bakteri
menghasilkan ammonia sebagai hasil memineralisasi nitrogen organik dalam pakan
ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam yang tidak termakan dan feses menjadi
feses dan pakan yang tidak termakan akan ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai
diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang akibat dari berlangsungnya kedua proses ini,
sama. Dengan demikian semakin intensif aplikasi pakan berprotein tinggi dalam sistem
suatu kegiatan budidaya akan diikuti dengan budidaya akan menghasilkan akumulasi
semakin tingginya konsentrasi senyawa ammonia baik sebagai hasil ekskresi dari
nitrogen terutama ammonia dalam air organisme yang dikultur maupun hasil
(Avnimelech, 2007). mineralisasi bakteri. Dalam air, ammonia
Agar tidak membahayakan organisme yang berada dalam dua bentuk yaitu ammonia tidak
dibudidayakan, maka konsentrasi ammonia terionisasi (NH3) dan ammonia terionisasi
dalam media budidaya harus dibatasi. (NH4+). Jumlah total kedua bentuk ammonia
Pergantian air merupakan metoda yang paling ini disebut juga dengan total ammonia
umum dalam membatasi konsentrasi ammonia nitrogen atau TAN (Ebeling et al., 2006).
dalam air. Namun demikian metoda ini Konsentrasi relatif dari kedua bentuk
membutuhkan air dalam jumlah besar serta ammonia terutama tergantung pada pH,
dapat mencemari lingkungan pcrairan sekitar temperatur dan salinitas. Keberadaan
jika air yang dibuang tidak diberi perlakuan ammonia tidak terionisasi di dalam media
lebih lanjut. Seiiring dengan berkembangnya budidaya sangat dihindari karena bersifat
akuakultur sistem intensif berbagai teknik toksik bagi organisme akuatik bahkan pada
pengolahan air untuk mengurangi konsentrasi konsentrasi yang rendah. Stickney (2005)
ammonia dalam media budidaya telah menyatakan bahwa konsentrasi ammonia
dikembangkan salah satunya adalah teknologi dalam media budidaya harus lebih rendah dari
bioflok. Artikel ini bertujuan untuk mengulas 0,8 mg/L.
berbagai aspek dalam teknologi bioflok mulai Dalam sistem akuakultur, secara alami
dari teori hingga aplikasinya dalam kegiatan terjadi siklus nitrogen dalam air (Gambar 1)
akuakultur. dengan input nitrogen paling utama berasal
dari pakan buaian (Crab et al., 2007). Dari Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang
sejumlah pakan yang dimasukkan kc kolam, diterapkan dalam teknologi ini adalah
sebagian tidak termakan oleh ikan, sementara manajemen kualitas air yang didasarkan pada
pakan yang dikonsumsi sebagian dikonversi kemampuan bakteri heterotrof untuk
mcnjadi biomasa ikan dan sebagian lagi memanfaatkan N organik dan anorganik yang
diekskresikan sebagai ammonia atau terdapat di dalam air.
dikeluarkan sebagai feses. Pakan yang tidak Pada kondisi C dan N yang seimbang
termakan dan feses akan tcrdckomposisi oleh dalam air, bakteri heterotrof yang merupakan
bakteri yang diikuti dengan pelepasan akan memanfaatkan N, baik dalam bentuk
ammonia yang kemudian terakumulasi dalam organik maupun anorganik, yang terdapat
air bersaraa dengan hasil ekskresi ikan. dalam air untuk pembentukan biomasa
Melalui peranan bakteri nitrifikasi dan sehingga konsentrasi N dalam air menjadi
denitrifikasi yang terdapat dalam air dan berkurang (de Schryver et al., 2008). Secara
sedimcn, TAN dalam air kemudian dapat teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof
ditransformasi menjadi nitrit, nitrat dan gas dalam sistem akuakultur disajikan dalam
nitrogen (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006):
1998). Selain itu TAN dan nitrat dapat
diasimilasi oleh fitoplankton atau tanaman NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- +
yang terdapat dalam air yang kemudian dapat 2.06O2  C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2
dimanfaatkan oleh organisme budidaya yang
memang dapat memanfaatkannya. Secara Dari persamaan tersebut maka dapat
garis besar ketiga proses alami konversi N diketahui bahwa secara teoritis untuk
tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu mengkonversi setiap gram N dalam bentuk
konversi secara fotoautotrofik oleh alga dan ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik
tanaman air, secara kemoautotrofik melalui dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon
oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g
immobilisasi secara heterotrofik oleh bakteri oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga
heterotrof (Ebeling et al., 2006). diperoleh bahwa rasio C/N yang diperlukan
Crab et at. (2007) menyatakan bahwa oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
eliminasi kelebihan N terutama ammonia, Goldman (1987) menyatakan bahwa pada
nitrit dan nitrat dalam sistem budidaya dapat substrat dengan rasio C/N sama dengan atau
dikelompokkan menjadi dua, yaitu eliminasi lebih dari 10, bakteri heterotrof tidak akan
N di luar wadah budidaya dan di dalam wadah meregenerasi ammonia dari hasil kalabolisme
budidaya. Eliminasi N di luar wadah budidaya bahan organik (asam amino) dan sebaliknya
dibedakan menjadi beberapa jenis seperti akan memanfaatkannya untuk membentuk sel
kolam perlakuan (atau reservoir) dan baru. Sebaliknya, pada rasio C/N yang rendah
kombinasi bak sedimentasi dan bak nitrifikasi (<1,5) maka bakteri heterotrof akan
(biofilter). Sementara eliminasi N dalam melepaskan ammonia ke lingkungannya
wadah budidaya dilakukan dengan prinsip (Hargreaves, 2006). Avnimelech (1999)
utama konversi N oleh bakteri heterotrof dan menyatakan bahwa untuk aplikasi teknologi
fitoplankton. Dua metoda eliminasi N dalam bioflok, rasio C/N diupayakan mencapai 10
media budidaya yang sedang berkembang atau lebih.
adalah sistem perifiton dan teknologi bioflok Teknologi bioflok, sering disebut juga dengan
(Biofloc Technology, teknik suspensi aktif (activated suspension
BFT). technique, AST), menggunakan aerasi
konstan untuk memungkinkan terjadinya
Teknologi Bioflok proses dekomposisi secara aerobik dan
Teknologi bioflok merupakan salah satu menjaga flok bakteri berada dalam suspensi
alternatif baru dalam mengalasi masalah (Azim et al., 2007). Dalam sistem ini, bakteri
kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi heterotrof yang tumbuh dengan kepadatan
dari teknik pcngolahan limbah domestik yang tinggi berfungsi sebagai bioreaktor
secara konvensional (Avnimelech, 2006; de
yang mengontrol kualitas air terutama Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
konsentrasi N serta sebagai sumber protein aplikasi teknologi bioflok berperan dalam
bagi organisme yang dipelihara. perbaikan kualitas air, peningkatan
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama biosekuriti, peningkatan produktivitas.
bakteri heterotrof secara umum bertujuan peningkatan efisiensi pakan serta penurunan
untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien. biaya produksi melalui penurunan biaya
menghindari stress lingkungan dan predasi pakan (Avnimelech, 2007; Crab et al., 2008,
(Bossier & Verstraete, 1996; de Schryver et 2009; Ekasari, 2008; Hari et al., 2006, Kuhn
al., 2008). Flok bakteri tersusun atas et al., 2009; Taw, 2005).
campuran berbagai jenis mikro-organisme Kemampuan bioflok dalam mengontrol
(bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur
fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti
koloid dan polimer organik, berbagai kation sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al.
dan sel-sel mati (Jorand et al., 1995, (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa
Verstraete, et al., 2007; de Schryver et al., immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof
2008) dengan ukuran bervariasi dengan 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri
kisaran 100 - 1000 µm (Azim et al., 2007; de nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al.
Schryver et al., 2008). Selain flok bakteri, (2009) menemukan bahwa bioflok yang
berbagai jenis organisme lain juga ditemukan ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat
dalam bioflok scperti protozoa, rotifer dan mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg
oligochaeta (Azim et al., 2007; Ekasari, 2008). NH4/L hingga 98% dalam sehari. Penelitian
Komposisi organisme dalam flok akan ini menunjukkan bahwa bioflok memiliki
mempengaruhi struktur bioflok dan kapasitas yang besar dalam mengkonversi
kandungan nutrisi bioflok (Izquierdo, et al., nitrogen anorganik dalam air, sehingga dapat
2006; Ju et al., 2008). Ju et al. (2008) memperbaiki kualitas air dengan lebih cepat.
melaporkan bahwa bioflok yang didominasi Hasil-hasil penelitian mengenai aplikasi
oleh bakteri dan mikroalga hijau mengandung bioflok dalam kegiatan akuakultur secara
protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) langsung juga menunjukkan bahwa kualitas
daripada bioflok yang didominasi oleh diatom media pemcliharaan, pertumbuhan dan
(26%). efisiensi pakan udang windu yang dipelihara
Kondisi lingkungan abiotik juga dengan peningkatan rasio C/N secara
berpengaruh terhadap pembentukan bioflok signifikan lebih baik daripada kontrol (Hari et
seperti rasio C/N, pH, temperatur dan al. 2004,2006; Samocha et al., 2007).
kecepatan pcngadukan (de Scryver et al., Peningkatan efisiensi pakan juga ditunjukkan
2008; Van Wyk & Avnimeleeh, 2007). oleh beberapa penelitian aplikasi bioflok
Sementara menurut de Schryver et al. (2008), (Azim & Little, 2008; Hari et al., 2004, 2006).
mekanisme pembentukan flok oleh komunitas Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
bakteri merupakan proses yang kompleks bioflok sebagai suplemen pakan telah
yang merupakan kombinasi berbagai meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien
fenomena fisika, kimia dan biologis seperti pakan secara keseluruhan, Beberapa
interaksi permukaan bakteri secara fisik dan penelitian menunjukkan bahwa bioflok dapat
kimiawi, dan quorum sensing sebagai kontrol dimanfaatkan, baik secara langsung maupun
biologis. sebagai tepung untuk bahan baku pakan
(Azim & Little, 2008; Ekasari, 2008; Kuhn et
Aplikasi teknologi bioflok dalam al., 2008; 2009). Adapun kandungan nutrisi
akuakultur bioflok umumnya beragam pada setiap
Hingga saat ini teknologi bioflok telah penelitian (Tabel 1) namun dapat mememuhi
diaplikasikan pada budidaya ikan dan udang kebutuhan organisme akuatik pada umumnya,
seperti nila, sturgeon, snook, udang putih dan Craig & Helfrich (2002) menyatakan bahwa
udang windu (Arnold et al., 2009; pakan ikan sebaiknya mengandung 18 - 50%
Avnimeleeh, 2005, 2007; Burford et al., 2003,
2004; Hari et al., 2004; Serfling, 2006).
protein, 10 - 25% lemak, 15 - 20% bioflok yang akan menyebabkan bioflok
karbohidrat, <8,5% abu, dan sejumlah vitamin cenderung terapung.
dan mineral. Penelitian pemanfaatan nitrogen Pakan buatan yang digunakan dalam
bioflok oleh ikan nila dengan menggunakan kegiatan akuakultur umumnya mengandung
isotop N oleh Avnimelech & Kochba (2009) protein yang cukup tinggi dengan kisaran 18 -
menunjukkan bahwa ikan nila dapat 50% (Craig & Helfrich, 2002) dengan rasio
memanfaatkan 240 mg N bioflok/kg ikan atau C/N kurang dari 10 (Azim et al., 2007). Hal
setara dengan 25% dari protein yang ini tentunya berdampak pada keseimbangan
ditambahkan dalam pakan. Dari teknologi rasio C/N dalam media budidaya, sehingga
bioflok juga telah dikembangkan pembuatan untuk penerapan teknologi bioflok, rasio C/N
tepung bioflok yang telah diujicobakan pada perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan rasio C/N
udang putih (Kuhn et al., 2009). Penelitian ini dalam air untuk menstimulasi pertumbuhan
melaporkan bahwa udang yang diberi bakteri heterotrof dapat dilakukan dengan
substitusi bioflok menunjukkan pertumbuhan mengurangi kandungan protein dan
yang lebih baik dari kontrol. Taw et al. (2008) meningkatkan kandungan karbohidrat dalam
melaporkan bahwa aplikasi teknologi bioflok pakan (Azim et al., 2007; Tacon et al., 2004)
di tambak udang di Indonesia yang atau dengan menambahkan sumber
dikombinasikan dengan panen secara parsial karbohidrat secara langsung ke dalam air
dapat menurunkan biaya produksi hingga 20% (Avnimelech, 2007: Samocha et al., 2007).
dengan FCR kurang dari 1,1. Dalam penelitian Sumber karbohidrat dapat berupa gula
ini diperoleh data bahwa biaya yang sederhana seperti gula pasir atau molase
diperlukan untuk energi yang digunakan untuk (Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008, 2009;
aerasi pada budidaya udang dengan kepadatan Samocha et al., 2007), atau bahan-bahan pati
yang tinggi dengan sistem bioflok dapat seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung
dikurangi dengan dilakukannya pemanenan terigu dan sorgum (Avnimelech, 1999; Hari et
parsial. al., 2004; Van Wyk & Avnimelech, 2007).
Pertumbuhan bioflok dalam sistem Penambahan kandungan karbohidrat dalam
akuakultur dipcngaruhi oleh fakior kimia, pakan tentunya akan merubah komposisi
fisika dan biologis dalam air. Beberapa faktor pakan secara keseluruhan sehingga diperlukan
yang perlu diperhatikan untuk mendorong adanya penyesuaian bahan-bahan tertentu
pembentukan bioflok dalam sistem budidaya dalam pakan seperti peningkatan kadar
diantaranya adalah pcrgantian air seminimal vitamin dan mineral. Menurut Avnimelech
mungkin hingga mendekati nol, aerasi kuat (1999) jumlah karbohidrat yang ditambahkan
serta peningkatan rasio C/N (Van Wyk & untuk mendorong pembentukan bioflok dapat
Avnimelech, 2007). Menurut Van Wyk & dihitung dengan menggunakan rumus
Avnimelech (2007) karakteristik sistem berikut:
bioflok adalah kebutuhan oksigen yang tinggi Karbohidrat (kg)= Pakan (kg) x % N dalam
dan laju produksi biomas bakteri yang tinggi. pakan x % ekskresi N/0,05
Oleh karena itu dalam sistem ini diperlukan
aerasi dan pengadukan yang kuat untuk Penggunaan sumber karbon juga perlu
menjamin kebutuhan oksigen baik dari memperhatikan beberapa faktor diantaranya
organisme budidaya maupun biomas bakteri kecepatan pemanfaatan karbohidrat oleh
serta untuk memastikan bahwa bioflok tetap bakteri, kandungan protein dalam sumber
tersuspensi dalam air dan tidak mengendap. karbohidrat itu sendiri, kecernaan karbohidrat
intensitas pengadukan dan kandungan oksigen oleh organisme budidaya, serta harga per unit
juga mempengaruhi struktur dan komposisi karbohidrat. Sumber karbon juga dapat
bioflok (de Schryver et al., 2008). Intensitas mempengaruhi kandungan nutrisi bioflok
pengadukan yang terlalu tinggi dapat seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 (Crab
mempengaruhi ukuran bioflok sedangkan et al., 2009; de Schryver et al., 2008; Ekasari,
kandungan oksigen yang terlalu rendah dapat 2008). Selain aerasi dan pengadukan, dan
menyebabkan dominasi bakteri filamen pada penambahan karbon, pembentukan dan
struktur bioflok juga dipengaruhi oleh faktor oksigen dalam penerapan teknologi bioflok
kimia, fisika dan biologis lain scpcrti laju merupakan salah satu kunci keberhasilan.
akumulasi bahan organik, temperatur dan pH Selain berperan dalam penyediaan oksigen,
(de Schryver et a/., 2008). aerasi juga berfungsi untuk mengaduk
Selain melalui pengamatan visual dan (mixing) air agar bioflok yang tersuspensi
mikroskopik (Gambar 2), pembentukan dan dalam kolom air tidak mengendap.
keberadaan bioflok dalam sistem akuakultur Pengendapan bioflok di dasar wadah harus
dapat diketahui melalui pengukuran beberapa dihindari selain untuk mencegah terjadinya
parameter kimia dan fisika air. Parameter kondisi anaerobik di dasar wadah akibat
kimia yang sering digunakan sebagai indikator akumulasi bioflok, juga untuk memastikan
utama keberadaan bioflok meliputi chemical bahwa bioflok tetap dapat dikonsumsi oleh
oxygen demand (COD), atau jumlah oksigen organisme budidaya. Untuk tercapainya
yang diperlukan untuk mengoksidasi seluruh tujuan aerasi ini, maka metoda aerasi yang
bahan organik dalam sampel secara kimiawi, paling tepat untuk sistem bioflok perlu dikaji
dan biological oxygen demand (BOD) atau lebih dalam lagi baik dari segi teknis maupun
jumlah oksigen yang diperlukan oleh ekonomis.
mikroorganisme untuk mengkonversi bahan Seperti yang dijelaskan pada uraian di atas
organik melalui proses biokimia. Pada bahwa pembentukan bioflok merupakan
akuakutur dengan sistem bioflok, kebutuhan mekanisme yang kompleks yang melibatkan
akan oksigen akan meningkat terutama berbagai aspek fisika, kimia dan biologis,
disebabkan oleh tingginya kepadatan bakteri sehingga pembahan pada salah satu parameter
heterotrof di dalam air dan tentunya akan mempengaruhi parameter lain. Azim &
berpengaruh pada nilai COD maupun BOD. Little (2008) menemukan bahwa kualitas air
Parameter fisika yang dapat digunakan untuk di wadah pemeliharaan dengan perlakuan
mendetcksi keberadaan bioflok adalah teknologi bioflok pada pemeliharaan ikan nila
suspended solids (SS)f volatile suspended cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas
solids (VSS), floc volume index (FVI). Salah respirasi mikroba dalam sistem bioflok juga
satu karakter utama sistem bioflok adalah menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH
tingginya padatan tersuspensi terutama VSS dan alkalinitas (Azim et al., 2007).
yang merupakan indikator tingginya bahan Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya
organik tersuspensi dalam air. padatan tersuspensi juga dapat berpengaruh
pada kemampuan melihat beberapa jenis ikan
Teknologi bioflok di masa depan sehingga berpengaruh pada jumlah pakan
Dengan berbagai kelebihan yang telah yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik,
dijelaskan di atas maka jelaslah bahwa laju konsumsi bioflok oleh organisme
teknologi bioflok merupakan salah satu budidaya serta laju peningkatan biomas
alteraatif teknologi untuk kegiatan akuakultur bakteri merupakan faktor-faktor yang harus
yang ramah lingkungan dan diketahui untuk mengontrol konsentrasi flok
berkesinambungan. Namun demikian dalam yang optimum dalam air. Jika laju akumulasi
aplikasi langsung pada akuakultur sistem bahan organik tinggi maka laju peningkatan
intensif masih ditemukan beberapa biomas bakteri akan tinggi pula. Jika hal ini
permasalahan dan aspek kajian yang tidak diikuti dengan laju konsumsi bioflok
membutuhkan penelitian lebih lanjut seperti oleh organisme budidaya maka akan terjadi
kebutuhan energi untuk aerasi dan akumulasi bioflok yang berlebihan yang
pengadukan, kestabilan sistem, kandungan akhirnya justru akan membuat sistem
nutrisi bioflok serta pengaruh bioflok terhadap budidaya menjadi tidak stabil.
transmisi dan infeksi penyakit. Salah satu solusi alternatif dari dua
Kepadatan bakteri yang tinggi dalam air permasalahan di atas adalah dengan
akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang memisahkan reaktor bioflok dengan wadah
lebih tinggi sehingga aerasi untuk penyediaan pemeliharaan (Azim & Little, 2008). Dengan
cara tersebut, bioflok dapat berfungsi sebagai Dengan demikian penelitian lanjutan aspck
biofilter scperti halnya dalam sistem nutrisi bioflok masih perlu dilakukan.
resirkulasi. Bioflok yang dihasilkan dari Penelitian oleh de Schryver et al. (2009)
reaktor ini kemudian dapat dimanfaatkan menunjukkan bahwa bioflok mengandung
langsung sebagai pakan untuk organisme poly-b-hydroxybutyrate (PHB) berkisar antara
budidaya atau dibuat menjadi tepung untuk 0,9 hingga 16% yang cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan ikan akan PHB yang tidak
bahan baku pakan (Kuhn et at., 2008,2009).
lebih dari 1%. PHB merupakan produk polimer
Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi intraselular yang dihasilkan oleh berbagai jenis
bioflok cenderung tidak stabil dan dipengaruhi mikroorganisme sebagai bentuk simpanan energi
oleh berbagai faktor seperti sumber karbon dan dan karbon (Defoirdt et al., 2007). Polimer ini
komposisi biologisnya. Informasi mengenai diduga mempunyai efek pencegahan dan
kandungan nutrisi bioflok juga masih terbatas pengobatan terhadap infeksi Vibrio serta
pada kandungan nutrisi ulama seperti protein manfaat prebiotik dalam akuakultur (Defoirdt
kasar, lemak kasar, kadar abu dan karbohidrat. et at., 2007; de Schryver et al., 2008).
KESIMPULAN Avnimelech, Y., Kocba, M, 2009. Evaluation
of nitrogen uptake and excretion by
Secara teoritis maupun aplikasi, penerapan tilapia in bio floc tanks, using 15N
teknologi bioflok dapat meningkatkan kualitas tracing. Aquaculture, 287; 163-168.
air melalui pengontrolan konsentrasi ammonia Arnold, S.J., Coman, F.F., Jackson, C.J.,
dalam air dan meningkatkan efisiensi Groves, S. 2009. High-intensity, zero
pemanfaatan nutrien melalui pemanfaatan water exchange production of juvenile
bioflok scbagai sumber pakan bagi organisme tiger shrimp. Penaeus monodon An
yang dibudidayakan. evaluation of artificial substrates and
stocking density. Aquaculture 293, 42
DAFTAR PUSTAKA -48.
Azim, M.E., Little, D.C., Bron, .I.E., 2007.
Ailsopp, M., Johnston, P., Santillo, D. 2008. Microbial protein production in activated
Challenging the aquaculture industry on suspension tanks manipulating C/N ratio
suslainabilily. Greenpeace International. in feed and implications for fish culture.
The Netherlands. 22p. Bioresource Technology 99, 3590-3599.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio Azim, M.E., Little, D.C. 2008. The biofloc
as a kontrol element in aquaculture technology (BFT) in indoor tanks: Water
sistems. Aquaculture 176,227-235. quality, biofloc composition, and growth
Avnimelech, Y., 2005. Tilapia harvest and welfare of Nile tilapia (Oreochromis
microbial floes in active suspension niloticus). Aquaculture 283,29-35.
research pond. Glob. Aquac. Advocate, Bossier, P., Verstraete, W., 1996. Triggers for
October 2005. microbial aggregation in activated
Avnimcleeh,Y., 2007, Feeding with microbial sludge? Appl Microbiol Biotechnol 45,
flocs by tilapia in minimal discharge 1-6.
bio-flocs technology ponds. Aquaculture
264,140-147-
Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh, batch reaktors. Bioresource Technology
R.P., Bauman, R.H., Pearson, 100, 1162-1167.
D.C., Ebeling, J.M., Timmons, M,B,, Bisogni, J.J.,
2003. Nutrien and microbial dynamics 2006. Engineering analysis of the
in high-intensity, zero exchange shrimp stoichiometry of photoautotrophic,
ponds in Belize. Aquaculture 219, 393- autotrophic and heterotrophic removal of
411. ammonia-nitrogen in aquaculture
Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh, sistems. Aquaculture 257, 346—358.
R.P., Bauman, R.H., Pearson, Ekasari, J. 2008. Bioflocs technology: the
D.C., effect of different carbon source, salinity
2004. The contribution of flocculated and the addition of probiotics on the
material to shrimp (Litopenaeus primary nutritional value of the bioflocs.
vannamei) nutrition in a high-intensity, Thesis. Faculty of Bioscience
zeroexchange sistem. Aquaculture 232, Engineering. Ghent University. Belgium.
525-537. FAO, 2007. The state of world fisheries and
Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., aquaculture 2006. FAO, Rome.
Bossier, P., Verstraete, W., 2007. FAO, 2009. The state of world fisheries and
Nitrogen removal in aquaculture towards aquaculture 2008. FAO, Rome.
sustainable production. Aquaculture Hargreaves, J.A., 1998. Nitrogen
270,1-14. biogeochemistry of aquaculture ponds.
Crab, R., Kochva, M., Verstraete, W., Aquaculture, 166, 181-212.
Avnimelech, Y. 2008. Bio-flocs Hargreaves, J.A., 2006. Photosynthetic
technology application in over-wintering suspended-growth sistems in
of tilapia. Aquaculture Engineering 40, aquaculture. Aquae. Eng. 34,344-363.
105-112. Hari, B., Madhusoodana, K.., Varghese, J.T.,
Crab, R., Chielens, B., Wille, M., Bossier, P., Schrama, J.W., Verdegem, M.C.J., 2004.
Verstraete, W. 2009. The effect of Effects of carbohydrate addition on
different carbon sources on the production in extensive shrimp culture
nutritional value of bioflocs, a feed for sistems. Aquaculture 241, 179-194.
Macrobrachium rosenbergii post larvae. Hari, B., Kurup, B.M.,Varghese, J.T.,
Aquaculture Research, in press. Schrama, J.W., Verdegem,M.C.J., 2006.
Craig, S., Helfrich, L. A., 2002. The effect of carbohydrate addition on
Understanding fish nutrition, feeds, and water quality and the nitrogen budget in
feeding. Virginia Cooperative Extension, extensive shrimp culture sistems.
Virginia Polytechnic Institute and State Aquaculture 252, 248-263.
University, Publication number. Izquierdo, M., Forster, L, Divakaran, S.,
420-256. Conquest, L., Decamp, O., Tacon, A.,
Defoirdt, T., Halet, D., Vervaeren, H., Boon, 2006. Effect of green and clear water and
N., Van de Wiele, T., Sorgeloos, P., lipid source on survival, growth and
Bossier, P., Verstraete, W., 2007. The biochemical composition of Pacific
bacterial storage compound of white shrimp Litopenaeus vannamei.
poly-b-hydrobutyrate protects Artemia Aquaculture Nutrition 12,192 - 202.
fransiseana from pathogenic Vibrio Ju, Z.Y., Forster, 1., Conquest, L., Dominy,
campbellii. Environ. Microbiol. 9 (2), W., Kuo, W.C., Horgen, F.D., 2008.
445-452. de Schryver, P., Crab, R., Determination of microbial community
Defoirdt, T., Boon, N., Verstraete, W., structures of shrimp floe cultures by
2008. The basics of bio-flocs technology: biomarkers and analysis of floe amino
The added value lor aquaculture. acid profiles. Aquaculture Research 39,
Aquaculture 277,125 -137. 118-133.
de Schryver, P. and Verstraete, W. 2009.
Nitrogen removal from aquaculture pond
water by heterotrophic nitrogen
assimilation in lab-scale sequencing
Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Craig, S.R., Flick Tacon, A.G.J., Cody, J.J., Conquest, L.D.,
Jr., G.J., McLean, E. 2008. Use of Divakaran, S., Forster, LP., Decamp,
microbial flocs generated from tilapia O.E., 2002. Effect of culture sistem on
effluent as a nutritional supplement for the nutrition and growth performance of
shrimp, Litopenaeus vannamei, in Pacific white shrimp Litopenaeus
recirculating aquaculture systems- vannamei (Boone) fed different diets.
Journal of the World Aquaculture Aquaculture Nutrition 8,121 -137.
Society 39,72-82. Taw, N., 2005. Shrimp farming in Indonesia:
Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Lawrence, Evolving industry responds to varied
A.L., Marsh, L., Flick Jr., G.J. 2009. issue. Global Aquaculture Advocate
Microbial floc meal as a replacement Magazine. August 2005, 65 - 67.
ingredient for fish meal and soybean Taw, N., Fuat, J., Tarigan, N. and Sidabutar, K.
protein in shrimp feed. Aquaculture 296, 2008. Partial harvest/biofloc sistem
51-57. promising for Pacific white shrimp.
Mara, D., 2004. Domestic waste water Global Aquaculture Advocate Magazine.
treatment in developing countries. September/October 2008, 84 - 86
Earthscan. UK. 293p. Van Wyk, P. and Avnimelech, Y. 2007.
Samocha, T.M., Patnaik, S., Speed, M., Ali, Management of nitrogen cycling and
A.M., Burger, J.M., Almeida, R.V., microbial populations in biofloc-based
Ayub, Z., Harisanto, M., Horowitz, A., aquaculture sistems. Presented in World
Brock, D.L., 2007. Use of molasses as Aquaculture Society Meeting, San
carbon source in limited discharge Antonio, Texas, USA. February 26 to
nursery and grow out sistems for March 2,2007.
Litopenaeus vannamei. Aquac. Eng. 36, Verstraete, W., De Schryver, P., Deroirdt, T.,
184-191. Crab, R. 2007. Added value of microbial
Serfling, S.A., 2006. Microbial flocs: Natural life in flocs. Presented in World
treatment method supports freshwater, Aquaculture Society Meeting, San
marine species in recirculating sistems. Antonio, Texas, USA. February 26 to
Global Aquaculture Advocate March 2. 2007.
June 2006, 34 - 36. Wasielesky Jr., W., Atwood, H., Stokes, A.,
Stickney, R.R., 2005. Aquaculture: An Browdy, C.L., 2006. Effect of natural
introductory text. CABI Publishing. production in a zero exchange
USA.256p. suspended microbial floc based
Tacon, A.G.J. 1987. The Nutrition and super-intensive culture sistem for white
Feeding of Farmed Fish and Shrimp—A shrimp Litopenaeus vannamei.
Training Manual. 1. The Essential Aquaculture 258,396-403.
Nutriens. Food and Agriculture
Organization of the United Nations,
GCP/RLA/075/ITA, Brazil, 117 pp.

Anda mungkin juga menyukai