Anda di halaman 1dari 2

Rasulullah Rindu Kepada Saudaranya

Pada saat tanda-tanda sakit mulai terlihat pada diri Rasulullah saw, beliau bersabda, "Aku ingin
mengunjungi syuhada perang Uhud." Beliau berangkat dan berdiri di atas kubur mereka dan berkata,
“Assalamu'alaikum wahai syuhada Uhud, kalian adalah orang-orang yang mendahului, kami, insya
Allah, akan menyusul kalian dan aku pun insya Allah akan menyusul kalian."

Pulang dari sana Rasulullah saw menangis, mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis ya
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku rindu kepada saudara-saudaraku." Mereka berkata, "Bukankah
kami adalah saudara-saudaramu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bukan, kalian adalah sahabat-
sahabatku. Adapun saudara-saudaraku, maka mereka adalah kaum yang datang sesudahku, mereka
beriman kepadaku dan tidak melihatku."

Rasulullah Merindukan Umat Akhir Zaman


Suasana di majelis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti
sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Sayyidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar
orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan sedemikian.

Seulas senyuman yang sedia terukir di bibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah
warna.

“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-
saudaramu?” Sayyidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut
pikiran.

“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku
(ikhwan),” suara Rasulullah bernada rendah.

“Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.

Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda


bersuara,

“Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai
Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta
mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka.”

**

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ Baginda:

“Siapakah yang paling ajaib imannya?” tanya Rasulullah.

“Malaikat,” jawab sahabat.

“Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa dekat dengan
Allah,” jelas Rasulullah.

Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, “Para nabi.”

“Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka.”

“Mungkin kami,” celah seorang sahabat.


“Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian,” pintas Rasulullah
menyangkal hujjah sahabatnya itu.

“Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui,” jawab seorang sahabat lagi,
mengakui kelemahan mereka.

“Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca
Al Qur’an dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman
denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah
berjumpa denganku,” jelas Rasulullah.

“Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka,” ucap Rasulullah lagi setelah seketika
membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.

Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat
untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri
menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan
beramal dengan sunnahnya.

Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah kita. Pada kita yang bersungguh-sungguh mau menjadi
kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang
dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah saw.

Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma’in

Anda mungkin juga menyukai