1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut
PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur
Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (Out Put Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang
sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak
Masukan (In Put Tax), yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan
langsung dengan kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus
disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih
besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau di kompensasi ke masa pajak
berikutnya.
5. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan
Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT ABADI untuk Masa Pajak September 2002 adalah:
Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT ABADI untuk Masa Pajak Oktober 2002 adalah:
Pajak Keluaran Rp 12 Milyar
Pajak Masukan Rp 14 Milyar
PPN Lebih bayar Rp 2 Milyar
10. Jumlah PPN lebih bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke Masa Pajak
Nopember 2002. Penghitungan tersebut dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa Oktober 2002 yang harus disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak dimana PT. ABADI terdaftar paling lambat tanggal 20 Nopember 2002.
A. Pengertian PKP (Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000)
- Pengusaha (Perusahaan) yang tidak termasuk Pengusaha Kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak /Jasa Kena Pajak.
- Pengusaha yang memenuhi syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum melakukan penyerahan BKP dan/atau
JKP.
- Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/JKP, dan memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha kecil diberikan pilihan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak. Artinya, hukumnya
tidak wajib.
Apa saja yang termasuk PKP menurut Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 ?
1. Termasuk PKP (Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000)
a) Pengusaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/belum
berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti
pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa Pengusaha ini berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak/Jasa Kena Pajak.
b) Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation/Joint Venture) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
Apabila Joint Operationt tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/JKP tetap dilakukan sendiri-
sendiri oleh peserta JO, maka JO tersebut tidak perlu dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Bagaimana tata cara pengusaha kecil berdasarkan 552/KMK.04/2000 Jo 571/KMK.03/2003, SE - 33/PJ.51/2003 ?
2. Pengusaha Kecil (552/KMK.04/2000 Jo 571/KMK.03/2003, SE - 33/PJ.51/2003)
a. Sejak 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha kecil adalah Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) untuk pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
b. Sebelum 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha Kecil adalah :
1. Rp 360 Juta peredaran bruto setahun untuk :
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan BKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto
dan penerimaan bruto
2. Rp 180 Juta peredaran bruto setahun untuk :
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi penyerahan JKP lebih dari 50% dari total peredaran
bruto dan penerimaan bruto.
c. Beberapa hal seputar pengukuhan PKP :
1. Pengusaha kecil yang omsetnya telah melampaui batasan omset Rp 600 juta, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan terlampauinya batasan tersebut.
Apabila batas waktu pelaporan tersebut terlampaui, maka saat pengukuhan sebagai PKP adalah awal bulan berikutnya.
Contoh :
Bapak Meidi terdaftar di KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati,
omset bulan Januari s.d. April 2004 mencapai Rp 500 juta. Sementara omset bulan Mei 2004 adalah Rp 300 Juta. Dengan
demikian, batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004, sehingga Bapak Meidi harus segera
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua selambat-lambatnya 30
Juni 2004. Namun jika Bapak Meidi baru melaporkan usahanya pada tanggal 20 Juli 2004, maka saat pengukuhan PKP
terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004.
2. Dalam hal pengukuhan dilakukan secara jabatan, maka saat pengukuhan adalah awal bulan kedua setelah bulan
terlampauinya batasan pengusaha kecil.
Jika dalam contoh diatas, Bapak Meidi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta
Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2004 diketahui bahwa batasan
Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2004. Maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak tanggal 1
Juli 2004 dan atas PPN terutang bulan Juli s.d. Nopember 2004 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terhutang.
3. Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat
pengukuhan sebagai PKP
d. Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (Pasal 3A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) :
e. Kewajiban PKP
a. Pengusaha yang telah wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak seperti
tersebut diatas berkewajiban untuk :
1) Melaporkan usahanya (mendaftarkan perusahaannya) untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
b. Pengusaha kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tidak wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi boleh
memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak. Dengan demikian, atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
c. Apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, peredaran bruto (omzet) Pengusaha telah melewati batasan Pengusaha Kecil,
Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, selambat-lambatnya akhir bulan
berikutnya.
d. Apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto Pengusaha Kena Pajak tidak melebihi batasan Pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
f. Hak PKP
a. Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP
b. Restitusi atau kompensasi atas kelebihan PPN
g. Proses Pencabutan PKP :
a. Direktur Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
b. Keputusan akan diberikan dalam jangka waktu 2 bulan sejak permohonan diterima.
c. Jika Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 bulan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan
keputusan pencabutan akan diberikan selambat-lambatnya 1 bulan setelah 2 bulan tersebut.
h. Contoh :
PT A bergerak dalam bidang perdagangan garmen. Selain itu, PT A juga melakukan penyerahan jasa pengecetan gedung. Pada Masa
September 2002, PT A melakukan pengecetan penjualan garmen s.d. September 2002 sebesar Rp 350.000.000,00 dan penyerahan jasa
pengecetan gedung s.d. bulan September 2002 Rp 50.000.000,00. Dari kasus ini dapat dihitung Peredaran usaha PT A s.d. September 2002
adalah sebesar Rp 400.000.000,00 (87,5% penyerahan BKP). Jadi dalam hal ini PT A sudah berkewajiban melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan Oktober 2002.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Contoh : PT Indo Semen (perusahaan pabrikan semen) menyerahkan semen kepada pembelinya di Dalam Negeri
2. Impor Barang Kena Pajak.
Contoh : PT Astra Internasional melakukan impor Mobil Toyota dari Jepang.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Contoh : PT JTS (perusahaan konsultan pajak) menyerahkan jasa konsultasi pajak kepada kliennya di Dalam Negeri.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Contoh : PT Coca Cola Indonesia (perusahaan pabrikan minuman ringan) menggunakan hak merek "Coca Cola" milik Coca Cola,
Corp. di Amerika.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Contoh : PT Garuda Indonesia (perusahaan maskapai penerbangan) menggunakan jasa konsultan manajemen dari perusahaan
konsultan Jerman.
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Contoh : PT Tekstil Indonesia (perusahaan eksportir tekstil yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak) melakukan
ekspor produk tekstil ke Arab Saudi.
Penyerahan Barang/Jasa tersebut akan dikenakan PPN apabila memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut :
- Barang atau jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP
- Penyerahannya dilakukan (terjadi) di Dalam Negeri
- Penyerahan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan
Barang Kena Pajak ( Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
- Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri.
- Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten,
hak cipta, dll).
- Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
- Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
1. Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi,
pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dsb).
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik
beriodium maupun tidak beriodium).
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat
maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering).
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu Perjanjian Sewa Beli dan Perjanjian Leasing (Capital Lease atau Sewa Guna Usaha
dengan Hak Opsi).Yang terutang PPN adalah penyerahan barangnya, sedangkan penyerahan jasanya (jasa pembiayaan) tidak
terutang PPN.
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara dan Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang tersisa pada saat
pembubaran perusahaan. (Khusus atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN
Masukan yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan).
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang (perwakilan/kantor pemasaran) atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak antar Kantor Cabang (dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda)
c. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang atau sebaliknya dan antar Kantor Cabang, dalam hal berada
dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak. (lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang)
Saat Pajak Terutang
( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Jo Peraturan Pemeritah Nomor 143 TAHUN 2000 Jo PP Nomor 24 TAHUN 2002)
1. Penyerahan BKP/JKP
2. Impor BKP
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
5. Ekspor BKP
6. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP
dari luar Daerah Pabean.
7. Pada saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak, dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan
yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Saat pajak terutang seperti tersebut di atas diartikan sebagai saat mulai timbulnya utang pajak kepada negara, sehingga bukan merupakan
batas akhir pembayaran pajak ke kas negara.
Undang-Undang PPN menganut prinsip bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut
dikeluarkan dari penguasaan PKP Penjual dengan maksud langsung atau tidak langsung diserahkan kepada pihak lain.
7. Terutangnya Pajak atas persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
tersisa pada saat pembubaran perusahaan :
Yaitu mana yang lebih dahulu terjadi di antara :
a. Saat ditandatanganinya Akta Pembubaran oleh Notaris;
b. Saat diketahui telah bubar secara nyata
c. Saat diketahui telah bubar berdasarkan dokumen atau data.
8. Terutangnya Pajak atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean (568/KMK.04/2000 )
Yaitu mana yang lebih dulu terjadi di antara :
a. Saat secara nyata digunakan
b. Saat harga perolehannya dicatat sebagai utang (dicatat sebagai biaya/acrual basis)
c. Saat penagihan
d. Saat pembayaran
e. Saat ditandatanganinya surat perjanjian (dalam hal kondisi pada huruf a, b, c, atau d tidak dapat diketahui)
- Apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan, Pengusaha tersebut dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Pajak
untuk melakukan pemusatan (sentralisasi) tempat pajak terutang pada satu tempat atau lebih.
- Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPn BM melalui Media Elektronik (e-filing) yang memiliki lebih dari
satu tempat untuk melakukan kegiatan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan pemusatan (sentralisasi) tempat PPN terutang pada satu
tempat atau lebih.
- Pengusaha Kena Pajak selain yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPn BM melalui Media Elektronik (e-filing) yang memiliki lebih
dari satu tempat untuk melakukan kegiatan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan pemusatan (sentralisasi) tempat PPN terutang pada
satu tempat atau lebih.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi :
a. Semua kegiatan administrasi penjualan dan pembelian hanya dilakukan di tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terhutang;
b. Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan hanya berfungsi untuk melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atas perintah tempat
pemusatan PPN terhutang;
c. Semua Faktur Pajak atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terhutang;
d. Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan tidak membuat Faktur Pajak dan atau Faktur Penjualan, kecuali Faktur Pajak dan atau Faktur
Penjualan yang dicetak berdasarkan data yang diinput secara on line dari Kantor Pusat atau tempat pemusatannya; dan
e. Kantor Cabang Unit yang dipusatkan hanya mengadministrasi persediaan dan kegiatan perolehan BKP/JKP untuk keperluan operasional
kantor atau unit bersangkutan yang dananya berasal dari kas kecil (petty cash).
Sentralisasi Tempat PPN Terhutang Bagi PKP selain Pedagang Eceran dan PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM
melalui media elektronik :
1. Menyampaikan pemberitahuan sentralisasi tempat PPN terhutang pada saat dimulainya pemusatan yaitu saat dimulainya pemasukan
SPT Masa dengan Media elektronik (e-filing);
2. Mengajukan permohonan untuk penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terhutang kepada Kepala Kanwil
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum dimulainya pemusatan;
a. Nama, alamat dan NPWP tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang;
b. Rincian nama, alamat dan NPWP tempat PPN terhutang yang akan dipusatkan;
d. Berita acara penyampaian SPT Masa PPN melalui Media Elektronik (e-filing) beserta fotokopinya untuk masa pajak dari tempat
yang akan dijadikan pemusatan PPN terhutang.
4. Keputusan penetapan sentralisasi tempat PPN terhutang harus diberikan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan
diterima.
5. Kepala Kanwil dapat memberikan keputusan penetapan sentralisasi tempat PPN terhutang tanpa melalui Pemeriksaan Sederhana
Lapangan.
6. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, kepala Kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan sentralisasi
dianggap diterima.
7. Keputusan persetujuan pemusatan tempat PPN terhutang berlaku selama 5 ( lima ) tahun sejak tanggal berlakunya pemusatan.
8. PKP dapat mengajukan permohonan perpanjangan sentralisasi tempat PPN terhutang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah habis
masa berlakunya
9. PKP dapat mengajukan dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana pabrik
terletak.
10. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM beserta lampirannya dengan menggunakan media elektronik
berupa Disket, Digital Data Storage (DDS), atau Digital Audio Type (DAT) dan Compact Disk, tidak termasuk ke dalam pengertian
PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM secara elektronik. Dengan demikian, PKP tersebut tidak dapat mengajukan
permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana pabrik terletak (SE - 25/PJ.52/2003)
Permohonan Sentralisasi tempat PPN terhutang dikabulkan apabila :
- Kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang tersebar di berbagai tempat, dipusatkan di tempat pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai dimohonkan
Sentralisasi Tempat PPN Terhutang Bagi PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM selain melalui media elektronik :
1. Permohonan sentralisasi diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum saat dimulainya
pemusatan dan paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat dan NPWP tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang;
b. Rincian nama,alamat dan NPWP tempat kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dipusatkan;
d. Pernyataan Pengusaha Kena Pajak bahwa sistem administrasinya telah sesuai dengan persyaratan pemusatan tempat PPN terutang.
2. Kepala kanwil harus memberikan keputusan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan.
3. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kepala kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan PKP dianggap diterima
dan surat keputusan persetujuan pemusatan diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan dianggap diterima.
4. Keputusan persetujuan pemusatan tempat PPN terhutang berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal berlakunya pemusatan.
5. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kepala kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan PKP dianggap diterima
dan surat keputusan persetujuan pemusatan diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan dianggap diterima.
6. PKP tidak dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana Pabrik terletak.
7. Keputusan pemusatan tempat PPN terhutang untuk Pabrikan yang telah diberikan sebelum diterbitkannya KEP - 128/PJ./2003 tetap
berlaku sampai habis masa berlakunya.
8. Fiskus akan melakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) untuk meyakinkan bahwa persyaratan di atas telah terpenuhi.
9. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal permintaan pemeriksaan, Kepala Kantor KPP tidak memberikan laporan hasil
pemeriksaan, maka keputusan pemusatan dianggap diterima.
10. Dalam hal KPP memberikan hasil laporan PSL yang berbeda-beda, maka Kepala Kanwil dapat menolak atau mengabulkan sebagian
permohonan pemusatan tempat PPN terhutang.
Apakah pengertian dari Faktur Pajak?
Pengertian Faktur Pajak ( Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
1. Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP ; atau
2. Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Faktur Pajak tidak harus dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan, artinya Faktur Penjualan dapat sekaligus berfungsi
sebagai Faktur Pajak.
Sebutkan macam-macam Pemungut PPN berdasarkan peraturan nomor 563/KMK.03/2003?
Macam Pemungut PPN
Sejak tanggal 1 Januari 2004, Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari (563/KMK.03/2003) :
Bendaharawan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari APBN/APBD.
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
Dalam hal pembeli BKP/JKP adalah Pemungut PPN tersebut di atas, PPN yang terutang tidak dipungut oleh PKP Penjualnya, melainkan
harus dipungut dan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN.
Obyek Pemungutan PPN
- Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN.
- Atas perolehan BKP/JKP oleh Pemungut PPN.
Dalam hal atas penyerahan BKP disamping terutang PPN juga terutang PPn BM, maka PPn BM tersebut juga harus dipungut oleh Pemungut
PPN.
Mekanisme Pemungutan PPN Oleh Pemungut PPN (563/KMK.03/2003, KEP - 382/PJ./2002)
Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan/atau PPnBM
Pemungutan PPN/PPn BM dilakukan pada saat dilakukannya pembayaran atas BKP/JKP oleh pemungut PPN, dengan cara memotong
langsung dari tagihan PKP Rekanan.
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan (faktur/invoice), PKP Rekanan wajib membuat :
Faktur Pajak atas PPN dan PPnBM yang terutang
SSP (dengan identitas dan NPWP PKP Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
Faktur Pajak dibuat rangkap 3 :
Lembar 1 : untuk Pemungut PPN
Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
Lembar 3 : untuk KPP melalui Pemungut PPN
Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi cap "DISETOR TANGGAL :..........." dan ditandatangani oleh Pemungut PPN
yang bersangkutan.
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak Standar wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
Untuk Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat rangkap 5 :
Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
Untuk KPKN, SSP dibuat rangkap 4 :
Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
Lembar 4 : untuk Pemungut PPN (KPKN)
Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
SSP lembar ke-1 dan ke-2 dibubuhkan cap "TELAH DIBUKUKAN"
Bilakah terjadinya Penyetoran dan Pelaporan Pemungut PPN?
Penyetoran dan Pelaporan Pemungut PPN (563/KMK.03/2003)
- 15 hari setelah bulan dilakukannya pembayaran atas tagihan, dalam hal Pemungut PPN tersebut adalah Badan-Badan
Tertentu.
- Dalam hal hari ke 7 atau hari ke 15 tersebut jatuh pada hari libur, penyetoran selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya.
- Hari ke-20 setelah bulan terjadinya pembayaran atas tagihan, dalam hal Pemungut PPN tersebut adalah Badan-Badan
Tertentu.
- Pelaporan atas pemungutan PPN tersebut dilakukan dengan SPT Masa bagi Pemungut PPN.
1. Syarat utama pengkreditan pajak masukan adalah Faktur Pajak
2. Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam masa pajak yang sama (Pajak
Masukan bulan Januari 2000 dikreditkan dengan Pajak Keluaran bulan Januari 2000 pada SPT masa PPN Januari 2000)
3. Apabila tidak dapat dikreditkan pada masa pajak yang sama (misalnya Faktur Pajak-nya diterima terlambat), Pajak Masukan tersebut
masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan,
sepanjang :
- Belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) pada harga perolehan BKP/JKP
- Belum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, kecuali dalam pemeriksaan tersebut diketahui bahwa perolehan BKP/JKP yang
bersangkutan telah dibukukan.
4. Apabila jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut telah terlewati, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan
pembetulan SPT Masa PPN. Misalnya, Faktur Pajak Masukan bulan April 2002 baru diterima oleh PKP pada bulan November 2002,
Faktur Pajak Masukan tersebut tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa April 2002.
5. Dalam hal pada suatu masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran (misalnya ; belum ada produksi/penjualan), Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.
6. Jika Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya.
7. Jika Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya
atau diminta kembali (direstitusi).
8. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, adalah Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan
usaha (produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran) dari BKP/JKP yang diserahkan/yang dijual.
Restitusi Melalui KPP ( KEP - 523/PJ./2000, KEP - 160/PJ./2001 )
1. Tata Cara Restitusi :
Permohonan restitusi kelebihan Pajak Masukan agar disampaikan kepada Kepala KPP dimana PKP yang besangkutan dikukuhkan dengan
cara :
- Mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN ; atau
- Permohonan pengembalian kelebihan pajak ditentukan satu permohonan untuk satu masa pajak.
Dokumen yang harus dilampirkan dalam permohonan :
a) Faktur Pajak Masukan dan Faktur Pajak Keluaran dalam masa pajak yang dimintakan pengembalian.
- SSP atau Bukti Pungutan Pajak dari Ditjen Bea dan Cukai
Dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan meliputi kelebihan pembayaran akibat kompensasi masa pajak sebelumnya, maka yang
dilampirkan meliputi seluruh dokumen yang berkenaan dengan kelebihan pembayaran PPN masa pajak yang bersangkutan.
2. Mekanisme Penyelesaian Restitusi PPN :
- Direktur Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan, selanjutnya menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 6 (enam) bulan sejak
saat diterimanya permohonan secara lengkap.
- Dalam hal permohonan restitusi diajukan oleh PKP Eksportir dan/atau PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut
PPN, surat ketetapan pajak harus diterbitkan oleh Dirjen Pajak paling lambat :
- 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap untuk SPT Masa dengan kompensasi lebih bayar masa
sebelumnya paling banyak 5 (lima) Masa Pajak.
- 4 (empat) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap untuk SPT Masa dengan kompensasi lebih bayar masa
sebelumnya lebih dari 5 (lima) Masa Pajak.
- 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap, sepanjang penyelesaiannya dilakukan melalui
pemeriksaan untuk semua jenis pajak.
Sejak tanggal 19 Februari 2001, surat ketetapan pajak harus diterbitkan oleh Dirjen Pajak paling lambat :
- 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap, kecuali permohonan yang penyelesaiannya dilakukan melalui
pemeriksaan untuk semua jenis pajak
- 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap sepanjang penyelesaian atas permohonannya dilakukan
melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak.(Lihat KEP - 160/PJ./2001)
- Apabila setelah lewat waktu sebagaimana tersebut di atas, Dirjen Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, maka permohonan
restitusi dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan dalam waktu paling lambat satu bulan setelah jangka waktu tersebut
berakhir.
- Dalam hal permohonan restitusi diajukan oleh PKP dengan Kriteria Tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000, Dirjen Pajak akan melakukan kegiatan penelitian, selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 7 hari sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap.
- Terhadap PKP dengan Kriteria Tertentu di atas, Dirjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak
setelah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Apabila surat ketetapan pajak tersebut adalah SKPKB, maka jumlah kekurangan
tersebut berikut sanksi administrasi berupa kenaikan 100% ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 ).
- PKP dengan kriteria tertentu, lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 544/KMK.04/2000 Jo 235/KMK.03/2003
Pengertian dan Jenis DPP ( Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ):
Dasar Pengenaan Pajak artinya nilai uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang terutang, dengan mengalikan tarif pajaknya.
Dengan demikian, Pajak yang Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Jenis DPP PPN adalah :
- Harga jual, untuk penyerahan Barang Kena Pajak
- Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas
impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
Contoh :
PT JTS Trading bergerak di bidang produksi Air Mineral. Pada Masa Oktober 2002 melakukan penyerahan ke PT Surya Mineral sebesar Rp
2.000.000.000,00 (PPN 10%, PPnBM 15%), kemudian PT Surya Mineral menjual kembali ke PT Cahaya Mineral dengan margin laba 20%.
Maka, perhitungan DPP-nya sbb :
a. Jumlah yang harus dibayarkan PT Surya Mineral ke JTS Trading sebesar Rp 2.500.000.000,00, dengan perincian :
- Harga Jual = Rp 2.000.000.000,00
- PPN = Rp 200.000.000,00
- PPnBM = Rp 300.000.000,00
- Total = Rp 2.500.000.000,00
PT Surya Mineral menghitung DPP sebesar harga jual yang telah ditambahkan margin laba termasuk PPnBM sebesar Rp
b.
2.970.000.000,00
- Harga Pokok = Rp 2.000.000.000,00
- Margin Laba = Rp 400.000.000,00
- PPnBM = Rp 300.000.000,00
- DPP = Rp 2.700.000.000,00
- PPN = Rp 270.000.000,00
- Total = Rp 2.970.000.000,00
1. Harga Jual ( Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
- Nilai berupa uang
-
Termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual Barang Kena Pajak.
- Tidak termasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.
Yang termasuk dalam pengertian biaya yang merupakan unsur harga jual, antara lain : pengangkutan, asuransi, bantuan teknik, pemeliharaan,
dan garansi.
2. Penggantian ( Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
- Nilai berupa uang
- Termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya dimintaoleh penjual Barang Kena Pajak.
- Tidak termasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.
Dengan demikian, Dasar Pengenaan Pajak adalah harga jual/penggantian netto (setelah dikurangi diskon yang diberikan), dengan syarat
diskon tersebut dicantumkan dalam faktur pajak.
3. Nilai Impor ( Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
- Nilai berupa uang yang menjadi Dasar penghitungan bea masuk
- Termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir, yaitu, nilai yang tercantum dalam dokumen PEB (Pemberitahuan
Ekspor Barang yang telah difiat muat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai).
PPN Ekspor = 0% x Nilai Ekspor
5. DPP Nilai Lain ( 567/KMK.04/2000 Jo 251/KMK.03/2002):
Jenis-jenis nilai lain :
- Harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor
- Perkiraan harga jual rata-rata
- Harga pasar wajar
- Persentase tertentu dari harga jual, tagihan atau imbalan
- Harga faktual yang dianggap wajar
a. Pemakaian Sendiri :
DPP = Harga Pokok Penjualan (Harga jual atau Penggantian dikurangi laba bruto)
PPN = 10% X Harga Pokok Penjualan
b. Pemberian Cuma-Cuma :
DPP = Harga Pokok Penjualan (Harga Jual atau Penggantian dikurangi laba bruto)
PPN = 10% X Harga Pokok Penjualan
e.
Persediaan BKP yang Tersisa Saat Pembubaran Perusahaan :
DPP = Harga Pasar Wajar
PPN = 10% X Harga Pasar Wajar
f. Aktiva yang Tujuan Semula Tidak Diperjualbelikan yang tersisa saat pembubaran perusahaan :
DPP = Harga Pasar Wajar
PPN = 10% X Harga Pasar Wajar
Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan DPP Nilai Lain tersebut di atas tetap dapat dikreditkan,
sepanjang berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya dan Faktur Pajaknya Standar.
g.
Penyerahan Jasa Biro Perjalanan/Wisata :
DPP = 10% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
PPN = 1% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
h.
Penyerahan Jasa Pengiriman Paket :
DPP = 10% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
PPN = 1% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
i.
Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas :
DPP = 10% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
PPN = 1% X Jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
k. Penyerahan BKP dan/atau JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan/atau JKP antar cabang
DPP = Harga Jual atau penggantian dikurangi laba kotor
PPN = 10% x Harga Jual atau penggantian dikurangi laba kotor
Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menghasilkan penyerahan kendaraan bermotor bekas, jasa biro
perjalanan/wisata, pengiriman paket, dan jasa anjak piutang tidak dapat dikreditkan, karena sudah diperhitungkan dalam nilai lain.
- PPN yang harus disetor ke kas negara = 10% X 20% X Jumlah seluruh peredaran /penyerahannya (meliputi ; BKP + Non BKP +
JKP + Non JKP)
Pedagang Eceran yang dalam satu tahun buku tidak memilih menggunakan DPP Nilai Lain, wajib memberitahukan kepada kepala KPP
tempat Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
Dalam hal Pedagang Eceran di samping menyerahkan Barang Kena Pajak juga menyerahkan Jasa Kena Pajak, apabila jumlah penyerahan
JKP-nya dalam satu tahun buku melebihi jumlah penyerahan barang-barangnya, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak boleh
menggunakan DPP Nilai Lain Pedagang Eceran (harus menggunakan mekanisme pengkreditan yang berlaku umum).
Rokok Buatan Dalam Negeri dan Luar Negeri
(62/KMK.03/2002 Jo KEP - 103/PJ./2002 Jo SE - 06/PJ.51/2002)
- PPN atas rokok buatan dalam negeri harus disetor oleh Pabrikan ke bank persepsi bersamaan dengan pembelian pita cukai secara tunai.
- PPN yang terutang dihitung dengan tarif efektif (yaitu = 8,4%) dikalikan harga jual eceran, yaitu harga yang tercantum pada pita cukai.
(harga bandrol).
- PPN atas rokok produksi dalam negeri yang diberikan secara cuma-cuma kepada karyawan = 8,4% x 50% x Harga Jual Eceran untuk
merek dan jenis yang sama.
- PPN atas rokok produksi dalam negeri yang diberikan cuma-cuma kepada pihak ketiga = 8,4% x 75% x Harga Jual Eceran untuk merek
dan jenis yang sama.
- Atas rokok produksi perusahaan rokok golongan K.1000 (Pengusaha Kecil) tidak dikenakan PPN.
- Karena dalam tarif efektif 8,4% di atas sudah meliputi PPN yang terutang pada tingkat pabrikan, pedagang besar maupun pedagang
eceran, maka atas penyerahan rokok oleh pedagang besar maupun pedagang eceran tidak terutang PPN, kecuali bagi pedagang eceran
yang memilih menggunakan DPP Nilai Lain Pedagang Eceran (lihat ; Nilai Lain Pedagang Eceran).
OBJEK PPN
Umum
Pada prinsipnya semua barang dan jasa merupakan objek PPN, karena PPN dikenakan atas konsumsi barang dan atau jasa di dalam Daerah
Pabean.
Namun demikian, dengan pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari
pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
Barang Kena Pajak
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan
barang tidak berwujud yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa Kena Pajak
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang
atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan
PENYERAHAN YANG DIKENAKAN PPN :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
2. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak;
5. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud.
Dalam pengertian Pengusaha tersebut meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha
Kena Pajak yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai
dijalankan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP dan atau JKP bagi yang
memenuhi ketentuan sebagai PKP.
- Yang memilih sebagai PKP, wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP;
- Yang tidak memilih sebagai PKP tetapi peredaran bruto dalam satu tahun buku telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai
Pengusaha Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
c. Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan kepada Wajib Pajak yang tidak melaksanakan
kewajiban untuk melaporkan kegiatan usahanya.
Tempat dan Tata Cara Pendaftaran Pelaporan Kegiatan Usaha
Tempat pendaftaran dan pelaporan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, Wajib Pajak
Badan, dan Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan sebagai PKP adalah pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pelaporan dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak :
a. Pengusaha yang melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP diwajibkan untuk :
- Mengisi;
- Menandatangi;
b. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diterbitkan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah pelaporan beserta persyaratannya
diterima secara lengkap.
Pemindahan dan Pencabutan Pengukuhan
a. Pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan dalam hal :
1. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain;
2. Bubar atau;
b. Peredaran Bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran bruto untuk Pengusaha Kecil
1. Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat 1 (satu)
bula setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberi keputusan paling lambat 2 (dua) bulan sejak permohonan
diterima.
3. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan maka permohonan pencabutan
dianggap diterima, dan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu)
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Pengusaha Kecil
Untuk mengurangi beban administrasi dan kewajiban pelaksanaan PPN, maka ditetapkan batasan mengenai Pengusaha Kecil yang tidak
harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, Pengusaha Kecil tetap diberi kesempatan memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
PENGECUALIAN BKP DAN JKP
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), kecuali karena pertimbangan tertentu dikecualikan dari pengenaan PPN.
Dengan pertimbangan ekonomi, sosial, dan budaya tidak semua barang dan atau jasa dikenakan PPN. Barang-barang tersebut merupakan
barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak, barang-barang yang sudah dikenakan pajak daerah, serta barang-barang yang merupakan alat tukar.
Jenis barang yang tidak dikenakan PPN :
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi :
a. minyak mentah;
B gas bumi;
c. panas bumi;
f. bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit
a. Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam atau beras ketan putih dalam bentuk :
* Digiling
* Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak;
* Beras pecah
b. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan atau popcorn (jagung brondong), dalam bentuk :
* Jagung yang telah dikupas maupun belum/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan;
* empulur sagu
d. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam dalam bentuk pecah atau utuh;
* Garam meja
* Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 Kg atu lebih, dengan kadar Na Cl minimum 94,7% (dry basis)
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, di restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik
yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa
boga.
c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi, ahli gigi;
F. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia (Persero);
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dn sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
a. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan
pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang;
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar
biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional;
7. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat
komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-Cuma.
8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi baik yang dilakukan oleh instansi
Pemerintah maupun swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, meliputi jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau maupun di sungai yang
dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta.
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
tersebut; dan
a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap;
b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
12. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian ijin Usaha Perdagangan,
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Referensi :
Secara umum Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai berupa uang yang dijadikan Dasar untuk menghitung Pajak yang terutang
adalah :
1. DPP Umum
Dasar Pengenaan Pajak yang umum digunakan adalah:
- Harga Jual
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak
- Penggantian
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
- Nilai Ekspor
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
- Nilai Impor
adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini.
- Pemakaian sendiri adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- Pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- Persediaan BKP yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan sepanjang PPN atas perolehan atas aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar;
- Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga
pasar wajar;
- Penyerahan jasa biro perjalanan/wisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
- Penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskonl.
Pajak masukan yang dibayar oleh PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain untuk menghasilkan penyerahan:
tidak dapat dikreditkan karena dalam PPN yang dibayar telah diperhitungkan dengan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP
tersebut.
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PPN DAN PPnBM
Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN & PPnBM
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)
3. Tarif PPN dan PPnBM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, yaitu: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-undang.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu;
a. Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b. Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata;
d. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
e. Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar;
f. Untuk aktifva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuandapat dikreditkan, adalah harga pasr wajar;
g. Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen)dari Harga Jual.
h. Untuk penyerahan jasa biro perjalananatau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
i. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
j. Untuk jasa anjak piutang adal 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan
diskon;
k. Untuk penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang adalah
Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
l. Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
2. PKP “B” dalam bulan Pebruari 2001 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp.
15.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B” = 10% x Rp. 15.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
PPN sebesar RP. 1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Pengusaha Kena Pajak “C” mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar RP. 35.000.000,00
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp. 35.000.000,00 = Rp. 3.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” menimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20% (dua puluh
persen).
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN
10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35% (tiga puluh lima persen).
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp.
10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp. 150.000.000,00 maka penghitungan PPN
dan PPnBM yang terutang adalah:
PKP “D” dapat mengkreditkan PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor BKP tersebut terhadap PPN sebesar Rp.
15.000.000,00
Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan baik dengan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 maupun dengan
PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PPN DAN PPnBM
Yang Wajib Membayar/Menyetor dan Melapor PPN/PPnBM
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
- Pertamina
- BUMN/ BUMD
- Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya
- Bank Pemerintah
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/PPnBM
Tempat Pembayaran/ Penyetoran Pajak
1. Kantor Pos dan Giro
4. Bank Devisa
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
1. PPn dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan
Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15 pebruari 2002.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam
SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah
pemungutan pajak dilakukan
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (D.O) ditebus
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan
Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di
dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Bagi Pemotong atau Pemungut, untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
2. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dalam penyelenggaraan Pembukuannya, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
3. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan PPN Masa beserta petunjuk pengisiannya di Kantor Pelayanan Pajak.
4. Pengisian SPT Masa PPN harus dilakukan dengan lengkap, benar dan ditandatangani oleh;
b. Wajib Pajak yang namanya tercantum dalam Kartu NPWP dan SK PKP bagi Wajib Pajak orang Pribadi;
c. Dalam hal ditanda tangani oleh pihak lain selain tersebut di atas maka harus dilampiri Surat Kuasa Khusus (per masa pajak dengan
menyebut bulan yang bersangkutan).
5. SPT Masa PPN harus disampaikan dengan lengkap, disertai lampiran yang telah ditetapkan, SPT yang tidak lengkap dianggap tidak
pernah disampaikan.
6. Bagi PKP Badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai Badan Pemungut, selain menyampaikan SPT Masa PPN sebagaimana di atas, juga
wajib menyampaikan SPT Masa Pemungut PPN.
2. Disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat dan tanggal Cap Pos dari Kantor Pos penerima SPT berfungsi sebagai tanggal
penerimaan SPT Masa PPN.
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah batas
waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo