Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh Varicella zoster virus (VZV) yang
menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi sebagai
reaktivasi VZV setelah infeksi primer.(1) Varicella-zoster virus adalah anggota keluarga
virus herpes. Spesies lainnya patogen bagi manusia termasuk Hepes simpleks virus-1
(HSV-l) dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, Human herpes virus-6 (HHV-6) dan
HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma kaposi yang terkait virus herpes yang
disebut HHV-8. VZV ini mengandung kapsid yang berbentuk isokahedral dikelilingi
dengan amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom ini mengandung molekul
linear dari double-stranded DNA (Deoxyribonucleic acid). Diameternya 150-200 nm dan
memiliki berat molekul sekitar 80 million. Meskipun virus ini memiliki kesamaan
struktural dan fungsional dengan virus herpes simpleks, namun keduanya memiliki
perbedaan dalam representasi, ekspresi, dan pengaturan gen sehingga keduanya dapat
dibedakan melalui pemeriksaan gen.(2,3)

Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis.
Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat degan daerah persarafan
ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian
motorik kranialis sehinnga memberikan gejala-gejala gangguan motorik. Penyebaran virus
ini sama seperti varisela. Penyakit ini, sama seperti yang dijelaskan dalam definisi,
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita mendapatai varisela. Kadang-
kadang varisela ini berlangsung subklinis. Tetapi ada pendapat yang menyatakan
kemungkinan transmisi virus secara aerogen dan pasien yang sedang menderita varisela
atau herpes zoster. (1)

Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lei baru yang tetap
timbul berlagsung kira-kira semingu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2
minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening
regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatom sesuai dengan
daerah persarafan.(1)

1
Bagian sering terkena adalah dada (53%), kranial (20%) , N.Trigeminal (15%),
lumbosakral (11%). Erupsi yang sedikit dapat mencapai keseluruhan dermatom.(4)
Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering
pada orang dewasa. Insidens dan tingkat keparahan pada herpes zoster mengalami
peningkatan pada umur yang lebih tua, lebih dari umur 60 tahun. Komplikasi sering terjadi
hamper 50% pada penderita herpes zoster. Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia
postherpetik (5)

2
DIAGNOSIS

I. MANIFESTASI KLINIS

Sebelum timbul gejala kulit terdapat gejala prodromal baik sistemik (demam,
pusing,malaise) maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan
sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang
berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan
yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) dapat menjadi pustule dan
krusta. Kadang-kadang pustule mengandung darah dan disebut herpes zoster hemoragik.
Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan
berupa sikatriks.(1)
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lei baru yang tetap
timbul berlagsung kira-kira semingu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2
minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening
regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatom sesuai dengan
daerah persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada
susunan saraf pusat kelainan ini lebih serig karena struktur ganglion kranialis
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberikan gejala
yang khas(1)
Herpes zoster merupakan virus yang dorman di dalam ganglion dorsalis,
bermigrasi sepanjang saraf spinalis dan hanya mempengaruhi daerah kulit yang
dipersarafi oleh saraf temapt virus tersebut menetap. Gejalanya biasanya unilateral
tetapi dalam keadaan kekebalan tubuh menurun, mereka lebih cenderung menjadi
bilateral dan simetris, yang berarti virus berada pada kedua ganglia dari ganglion
dorsalis. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom
torakal. (1)
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Dermatom torakalis
terdiri dari T1-T12 dimana masing-masing dari pembagian ini mempersarafi beberapa
daerah yakni, T1 sisi medial lengan bawah, T2 sisi medial, lengan atas dan daerah

3
axilla, T3 berjalan di sepanjang lempeng ke 3 dan ke 4, T4 daerah Nipple line, T6 pada
tingkat prosesesus xiphoideus, T10 setingkat umbilicus, T12 tepat diatas pinggul, dan
sisa saraf torakal relatif merata diantara yang disebutkan diatas pada daerah dermatom
torakal.

Gambar 1. Papuleritematosa(6) Gambar 2 .Vesikel(6)

Gambar 3. Jaringan Nekrotik (6)

Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan intensitasnya
tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan anterior horn cells. Nyeri
abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi yang disebabkan keterlibatan viseral.
Beberapa sindrom yang disebabkan oleh Herpes Zoster, yaitu: Keterlibatan motorik, Onset
terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan melibatkan nervus spinalis.
Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan motorik. Biasanya mengikuti dermatom yang
disebabkan oleh virus dan bisa juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda.(7)

4
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes Smear Tzank
Tes Tzank merupakan pemeriksaan cairan dari bulla untuk mencari sel Tzank
karakteristik dari varicella, herpes zoster, herpes simpleks. Hapusan lesi ditempatkan
pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa. Jika hapusan positif akan menunjukan
sel keratinosit yang berinti balon dan sel multinuklear raksasa. Tes ini cepat dan
murah.Metode ini dapat mendeteksi VZV lebih cepat dibandingkan dengan kultur
virus serta lebih sensitif untuk mendeteksi antigen(4)
Prosedur dari pemeriksaan tzank smear adalalah:
1. Pilihlah bula yang utuh dan terinfeksi. Bila tidak dijumpai bulla yang utuh
gunakan daerah yang erosi yang bersih atau membuat lesi baru dengan
menggosok-gosokkan epidermis
2. Dengan scalpel atau gunting angkatlah dinding bulla
3. Isaplah air/serum yang terdapat didalamnya dengan kaca spon
4. Kerok dasar erosi bulla dengan scalpel
5. Buatlah hapusan kecil keroka tersebut diatas kaca gelas objek
6. Lakukan pengecatan dengan giemsa
7. Periksalah dibawah mikroskop dengan pembesaran 100,400 dan 1000 kali

Gambar 6. Sel datia berinti banyak (4)

5
b. Biopsi
Biopsi dari lesi herpes zoster menunjukkan gambaran patognomonik, tetapi biasanya
dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi lesi atipikal. Biopsi tidak
dapat membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2 juga terhadap lesi secara diagnosis
klinis.(4)
Secara histopatologis terlihat peradangan nekrosis ganglion, terutama intraepidermal
dan berisi banyak virus sel raksasa (giant cell). Dalam dermis atas penuh dengan
eritrosit dan extravasasi sel darah merah, tetapi terlihat sejumlah limfosit yang jarang.
Pada masa vesikulasi dapat ditemukan virus di vesikel epidermis dan vaskulitis di
lapisan dermis.
Lima tanda spesifik secara histopatologis yaitu vesikel di intraepidermal,
degenarasi balon, degenerasi retikuler, sel raksasa berinti banyak dan badan inklusi
eosinofil intranukleus yang sering disebut Lipschutz bodies.(4)

Gambar 7. Gambaran Biopsi. (4)

6
c. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes PCR merupakan metode sensitif yang terbaik, spesifitas sangat tinggi dan
waktu yang digunakan lebih cepat. Tes PCR dilakukan dari spesimen yang
menunjukkan sensitivitas 97% dimana tes ini lebih baik daripada kultur. PCR
memberikan hasil yang cepat dan dapat membedakan HZV dan HSV-1 dan HSV-2.
Dengan PCR, HZV dan HSV dapat dibedakan dalam waktu 6 jam.(4)
d. Kultur virus
Kultur virus merupakan pemeriksaan yang dapat membedakan VZV dan HSV yang
dilakukan dengan biakan dari cairan vesikel, darah, cairan serebrospinalis, jaringan
yang terinfeksi atau melalui identifikasi langsung antigen VZV atau asam nukleat pada
spesimen. Akan tetapi VZV sangat labil sehingga hanya 30-60% kultur dari kasus yang
terbukti positif. Pengambilan virus yang infeksius dapat juga merupakan cara yang
dipakai untuk analisa berikutnya misalnya uji sensitivitas obat antivirus. Kultur harus
dilakukan pada saat lesi berupa vesikel agar didapatkan sel hidup dan virus akan segera
rusak jika lesi telah menjadi pustular. Pada keadaan imun rendah, VZV dapat bertahan
sampai seminggu. Meskipun kultur sangat spesifik tetapi masih memiliki sensitivitas
yang rendah dan pada gejala klinis yang khas kultur dapat dilakukan dan biasanya Tes
Tzank sudah boleh mengkonfirmasi Herpes zoster.(4)
e. Tes serologik
Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisela dan herpes zoster dan untuk
membandingkan stadium akut dan konvalesen (fase penyembuhan). Tes ini juga dapat
mengidentifikasi dan mengisolasi individu yang diduga mengalami herpes zoster
sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan. Teknik yang paling sering digunakan
adalah solid-phase enzyme-linked immunoabsorbent assay. Kekurangan dari tes ini
adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas terhadap orang yang memiliki antibodi
herpes zoster dan menunujukkan hasil positif palsu pada orang tersebut.(4)
III. DIAGNOSIS BANDING
a. Dermatitis kontak
Herpes zoster juga bisa di diagnosa dengan dermatitis kontak alergi. Pada
dermatitis kontak alergi, penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, kemudian diikuiti oleh edema,

7
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan
erosi atau eksudasi.
Pada yang kronik terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin
juga fisur, dan batasnya tidak jelas.(4)

Gambar 9 .Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi pada tangan yang memberikan
gambaran adanya vesikel, erosi dan krusta (4)

b. Gigitan serangga

Herpes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai contoh,
penyakit kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki oleh herpes zoster.
Lesi dermatitis marin ini sering didapatkan sesudah mandi di laut. Lesi mula timbul
dalam waktu 4 hingga 24 jam selepas terpapar dengan air laut dengan gejala seperti
eritema, papula, macula dan urtikaria yang disertai dengan rasa nyeri dan sensasi
panas. Lesi akan berlanjutan menjadi vesikulopapul yang akan pecah menjadi krusta,
seterusnya akan sembuh dalam jangka waktu 7 smpai 10 hari

8
Gambar 10 .Lesi pada penderita gigitan serangga pada punggung yang
memberikan gambaran adanya vesikel.

IV. KOMPLIKASI

Pada herpes zoster terdapat fase kronis atau fase neuralgia post herpetic. Fase ini
ditandai dengan adanya nyeri menetap setelah semua lesi menjadi krusta atau setelah
infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung selama sebulan. Keterlibatan
N.Trigeminal sering terjadi pada penderita berumur diatas 40 tahun. Nyerinya dapat di bagi
menjadi 2 tipe yaitu rasa terbakar terus menerus dengan hiperaestesia dan tipe shooting
spasmodic. Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan disebabkan
oleh simptom stress.(7)

V. PROGNOSIS

Prognosa bagi penyakit herpes zoster umumnya baik. Pada herpes zoster
oftalmikus, prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara dini. (1)

9
PENATALAKSANAAN

1. TERAPI TOPIKAL
Pada herpes zoster fase akut, aplikasi kompresi dingin, losen calamine atau soda
bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan mempercepat pengeringan pada lesi
vesikuler. Salep yang oklusif, krem, atau losen yang mengadungi glukokortikoid tidak
boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster. Terapi topikal pada lesi herpes zoster dengan
antiviral tidak efektif. (2)
Terapi topikal yang dapat diberikan berupa Lidocaine-Containing Patch 5% dan
capsaicin cream. Pada studi yang pernah dilakukan, Lidocaine-Containing Patch 5%
diberikan pada area yang sangat sakit dan sangat efektif sebagai obat terapi topikal pada
pasien herpes zoster yang mampu mengurangi rasa nyeri.(8)
Pasien usia lebih dari 18 tahun dengan gejala PHN lebih dari 6 bulan
direkomendasikan untuk menggunakan capsaicin cream 0,075% pada area yang nyeri 4
kali sehari selama 6 minggu. Efek samping dari obat ini berupa rasa terbakar, menyengat
dan timbul lesi eritem pada area kulit.(8)
2. ANTIVIRUS
Tujuan utama terapi herpes zoster adalah (1) mengurangi ekstensi, durasi, dan
severitas nyeri dan ruam pada dermatom primer; (2) mencegah terjadinya penyakit di
bagian tubuh yang lain; (3) mencegah dari terjadinya post-herpetic neuralgia.(2)
Obat antivirus yang biasa digunakan berupa asiklovir, famsiklovir dan valaksilovir.
Mekanisme kerja ketiga obat tersebut adalah ketiga obat tersebut dimetabolisme menjadu
gugus trifosfat yang akan menghambat DNA polimerase virus.
Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (800 mg 5 kali sehari selama 7
hari), famsiklovir (500 mg setiap per 8 jam untuk 7 hari), dan valasiklovir (1 g 3 kali sehari
selama 7 hari) mampu mempercepat proses penyembuhan lesi dan durasi serta severitas
nyeri akut yang dialami oleh pasien herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50
tahun) yang dirawat dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit.
Pasien dengan umur lebih dari 50 tahun dan disertai dengan lesi herpes zoster pada bagian
oftalmikus pula diberikan pengobatan seperti berikut, asiklovir (800mg peroral sebanyak 5

10
kali sehari selama 7 hari), atau valasiklovir (1g peroral setiap per 8 jam selama 7 hari) atau
famsiklovir (500mg peroral setiap per 8 jam selama 7 hari). Pengobatan ini diberikan pada
pasien yang dirawat dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit.(2)
Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang ringan atau pasien HIV,
diberikan asiklovir (800 mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7-10 hari) atau
valasiklovir atau famsiklovir. Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang berat,
diberikan asiklovir (10 mg/kg secara intravena setiap per 8 jam selama 7-10 hari).(2)
Tabel Terapi Antivirus Herpes Zoster(4,9)

KETERANGAN REGIMEN
Normal
Usia <50 tahun Terapi simptomatik atau
Famciclovir 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
Valacyclovir 1 g tiap 8 jam selama 7 hari
Acyclovir 5 x 800 mg selama 7 hari

Usia >50 tahun dan disertai dengan lesi Famciclovir 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
herpes zoster pada bagian oftalmikus Valacyclovir 1 g tiap 8 jam selama 7 hari
Acyclovir 5 x 800 mg selama 7 hari
Immunocompromised
Mild compromised denganinfeksi HIV-1 Famciclovir 500 mg tiap 8 jam selama 7-10 hari
Valacyclovir 1 g tiap 8 jam selama 7-10 hari
Acyclovir 5 x 800 mg selama 7-10 hari

Severe compromise Acyclovir 10 mg/kgBB IV tiap 8 jam selama 8-


10 hari

Acyclovir resistance Foscarnet 40 mg/kgBB IV tiap 8 jam

3. KORTIKOSTEROD
Prednison memiliki manfaat dalam mereduksi nyeri dalam waktu jangka pendek
tetapi menghilang dalam waktu jangka panjang. Prednison menigkatkan jumlah pasien
yang sembuh dari nyeri herpes pada bulan pertama dan tidak didasari dengan pemberian
asiklovir atau tidak. Asiklovir dan prednison memberikan efek yang signifikan terhadap
pasien agar kembali beraktifitas seperti biasa. Kortikosteroid dapat segera diberikan pada
pasien dengan nyeri sedang hingga berat setelah diagnosa ditegakkan. Mekanisme kerja
dari kortikosteroid menghambat proliferasi limfosit T, imunitas seluler dan ekspresi gen.
Pasien dengan kontraindikasi pemberian kortikosteroid seperti hipertensi, diabetes,

11
gastritis, osteoporosis, dan psikosis harus dievaluasi dengan teliti.Terapi kortikosteroid
hanya diberikan dengan kombinasi obat antiviral(8,9)
Terapi dengan kortikosteroid oral (prednison 40 mg tiap hari selama 7 hari, kemudian
di turunkan 5 mg 2 minggu kedepan) dapat mengurangi gejala akut (fase inflamasi) pada
herpes zoster. Tetapi terapi ini dilakukan dengan kombinasi terapi antivirus.(9)
4. ANALGESIK
Tingkat nyeri hebat yang tinggi merupakan faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya PHN dan nyeri akut juga menyebabkan sensitisasi sentral serta genesis untuk
terjadinya nyeri yang kronik. Oleh sebab itu nyeri pada herpes zoster harus dikontrol
secara agresif. Tingkat nyeri hebat ditentukan dengan menggunakan skala nyeri yang
standar dan mudah. Analgetik yang diberikan adalah analgetik yang opioid dan non-opioid
dengan tujuan untuk membatasi nyeri di bawah skala 3 atau 4 dari skala 0 smpai 10 serta
tidak mengganggu siklus tidur pasien. Pilihan pengobatan, dosis, dan waktu pemberian
analgetik adalah berdasarkan tingkatan nyeri, penyakit yang menyertai dan respon terhadap
obat. Apabila nyeri masih tidak berkurang, anastesi regional atau lokal bisa dilakukan
untuk mengontrol nyeri akut.(4)
Herpes zoster yang disertai nyeri harus diterapi secara dini dan agresif. Pengobatan
ini harus menggunakan prinsip “analgesic ladder”, dari paracetamol/NSAID kemudian
kodein, morfin atau oxycodone. Kebutuhan terapi analgesik meningkat seiring dengan
masa perdiode akut, sehingga harus di pantau secara teratur (setiap 2-3 hari) sampai
keluhan nyeri dapat dikontrol.(9)
5. Tricyclic Antidepressants (TCA)

Antidepressan Trisiklik (TCA) diindikasikan pada penanganan PHN. Mekanisme

kerja TCA dalah menghambat uptake norepinefrin dan serotonin. Antidepressantrisiklik

yang biasa digunakan adalah nortriptilin, amitriptilin, dan desipramin dengan dosis 10 -

20 mg/hari. Walaupun terbukti efektif dalam terapi PHN, obat ini memiliki efek

samping berupa mulut kering, fatigue, dizziness, sedasi, konstipasi, retensi urin,

palpitasi, hipotensi ortostatik, kenaikan berat badan, penglihatan kabur dan

pemanjangan QT. Penggunaan obat golongan ini harus lebih hati-hati pada orang tua

12
dan pasien dengan riwayat aritmia kordis atau penyakit jantung. Dosis awal 10 mg

setiap malam (2 jam sebelum tidur) dengan titrasi ditingkatkan 20 mg setiap 7 hari

menjadi 50 mg kemudian menjadi 100 mg dan 150 mg tiap malam(9)

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP. Penyakit virus herpes zoster, In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S editors.

Ilmu Penyakit Kulit Kelamin , 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2007. p. 110-3

2. Straus SE.Oxman MN.Schmader KE. Varicella and Herpes Zoster. In : Wolff KG,LA.
Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ. Fitzpatrick’s Deramatology In General
Medicine. 7thed: McGraw Hill; 2008. P. 1886-98
3. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Alternative Medicine Review;2006. 11;102-11
4. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa,
New Jersey: Human Press; 2006. P. 335-44
5. Oxman, MN. Levin, MJ. Johnson, GR. & et.al.A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia in Older Adults. The New England Journal of Medicine June
2,2005;Vol.352:2271-84
6. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology.
9th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. P.91,103
7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed.
Australia: Blackshell Publishing Company; 2005. P. 22.25-4
8. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. USA:
mosby; 2003. P.394-406
9. Priya Sampathkumar. Herpes Zoster (Shingles) and Postherpetic Neuralgia.Mayo Clin
Proc. March 2009:84:274-280

14

Anda mungkin juga menyukai