PERENIALISME
1. Latar Belakang
Watak umum Perenialisme terkandung dalam makna asal katanya “perenis”
(bahasa Latin) atau “perenial” (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui
waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi. Perenialist percaya mengenai
adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas
dasar itu perenialist memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang
zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang pernah ada sebelumnya.
Perenialisme muncul atau berkembang sebagai reaksi dan solusi yang
diajukan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai krisis
kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Seperti dikutip Mohammad Noor
Syam (1984), Brameld menyatakan: “... kaum Perenialisme mereaksi dan
melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan
mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah
teruji tangguh, baik mengenai hakikat realitas, pengetahuan maupun nilai, yang
telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya”.
Perenialisme mempunyai kesamaan dengan Essensialisme dalam hal
menentang Progresivisme, tetapi Perenialisme berbeda dengan Essensialisme
antara lai n dalam hal prinsip perenialist yang religius (Theologis), yang agama
oriented. Dikatakan demikian, sebab sekalipun ada perenialist yang sekuler,
namun mereka merupakan minoritas dalam Perenialisme
2. Filsafat Pendukung atau yang Melandasi
Gagasan-gagasan Perenialisme meruoakan integritas antara asas-asas
filosofis Yunani Klasik dengan asas-asas religius Kristen yang berkembang pada
abad pertengahan. Perenialisme dilandasi atau didukung oleh filsuf Yunani Klasik,
yaitu Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Adapun pada abad kedua
puluh Perenialisme dipengaruhi dan didukung oleh Filsafat Humanisme Rasional
dan Supernaturalisme Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh seperti Robert M. Hutchins,
Mortimer J. Adler, mempunyai reputasi internasional sebagai perenialsit.
3. Pandangan Ontologis
Menurut Perenialisme manusia teutama membutuhkan jaminan bahwa
“realitas bersifat universal – realitas itu ada di mana pun dan sama di setiap waktu.
Realitas bersumber dan bertujuan akhir kepada realita Supernatural/ Tuhan (asas
supernatural). Realitas mempunyai watak bertujuan (asas teologis). Substansi
realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphism). Dalam pengalaman, kita
menemukan individual thing. Contohnya, batu, rumput, orang, sapi dalam bentuk
ukuran, warna, dan aktivitas tertentu. Di dalam individual thing tersebut, kita
menemukan hal-hal ynag kebetulan (accident). Contohnya, batu yang kasar atau
halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga,. Akan tetapi, di dalam realitas
tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud hakiki suatu
realita yang membedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau
Ahmad adalah makhluk berpikir. Esensi tersebut membedakan Ahmad sebagai
manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal – di mana
pun ada dan sama setiap waktu.
4. Pandangan Epistemologi
5. Pandangan Aksiologi
6. Pandangan Pendidikan
a. Pendidikan
b. Tujuan Pendidikan
c. Sekolah
d. Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu
materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia,
sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status
tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih
besar. Karena itu, titik berat isi kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra,
matematika, bahasa, dan humaniora termasuk sejarah (liberal arts). Adapun
sumber dan cara mempelajari liberal arts tersebut adalah dengan cara
mempelajari The Great Books.
e. Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh
perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan
karya-karya besar yang tertuang dalam The Great Books dalam rangka
mendisipinkan pikiran.
f. Peranan Guru dan Peserta Didik
Peranan guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar sementara
mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery; dan ia melakukan
moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia serorang
profesional yang qualified da superior dibandingkan muridnya. Guru harus
mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowledge (Mohammad Nor Syam.
1984).