Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Intrakranial terdiri dari otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) yang
mempresentasikan volume yang tetap ditentukan oleh kendala invarian kubah
kranial. Volume relatif ini akan berubah untuk mengakomodasi massa yang
menempati ruang yang berkembang pesat; Namun, kompensasi ini hilang
menyebabkan perubahan volume kritis, seperti yang ditunjukkan dari hubungan
tekanan-volume. Hipertensi intrakranial dan herni serebral adalah "kode otak" iaitu
kedaruratan neurologis yang mengancam jiwa. Meskipun sering dikaitkan,
peningkatan tekanan intrakranial (ICP) dan herniasi otak dapat terjadi secara
independen. Hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan ICP yang
berkelanjutan (> 5 menit) di atas 20 mmHg. Deteksi memerlukan pemantauan
invasif, tetapi tanda-tanda klinis dan fisiologis tertentu mungkin menyarankan
peningkatan ICP sebelum instrumentasi. Sindrom Herniasi merupakan hasil dari
gradien tekanan kompartemen intrakranial yang mengarah ke pergeseran jaringan
parenkim yang menekan atau menggeser batang otak, saraf kranial, atau pembuluh
darah otak. Iskemia atau infark dari kompresi vaskular dapat menyebabkan edema
dan penurunan kepatuhan lebih lanjut. Etiologi kode otak diklasifikasikan secara
anatomis sebagai proses intraparenchymal ekstra-aksial, fokus, atau difus. Dalam
pengaturan yang muncul dari kode otak, langkah-langkah resusitasi dikejar bahkan
jika mekanisme etiologis belum sepenuhnya ditandai.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi intrakranial dan herniasi serebral adalah kedaruratan neurologis


yang mengancam jiwa. Meskipun sering dikaitkan, peningkatan tekanan
intrakranial (ICP) dan herniasi otak dapat terjadi secara independen.1

2.2 Peningkatan intrakranial


Tekanan intrakranial adalah merupakan keadaan dimana jumlah total dari
tekanan yang diberikan oleh otak, darah, dan cairan serebrospinal di dalam ruang
kranium yang kaku.2 Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak,
keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab
volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan
serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume
darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter.
Kisaran nilai tekanan intrakranial (intracranial pressure/ ICP) normal bervariasi
sesuai dengan usia. Nilai normal adalah kurang dari 10 sampai 15 mmHg untuk
orang dewasa dan tua, anak yang lebih besar, 3 sampai 7 mmHg untuk anak-anak
yang lebih muda, dan 1,5-6 mmHg untuk bayi.3 Definisi hipertensi intracranial
tergantung pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya
abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal, akan tetapi penanganan
diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg
memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera
kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi
pada anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai
selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada
anak.4 Peningkatan TIK dapat disebabkan oleh beberapa kondisi meliputi tumor
serebri, infark yang luas, perdarahan, abses, hematoma ekstraserebral, dan acute
brain swelling3.

2
Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK4:

1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala terjadi
karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan gejala
yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.

2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.

3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang
berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan indikator
klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.

4. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran;


gelisah, iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik.

5. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan penggeseran


jaringan otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum Cushing’s
triad (hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat
membantu melokalisasi level cedera.

Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang cepat biasanya karena
perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma; onset yang bertahap karena tumor,
hidrosefalus yang sudah lama, atau abses. Riwayat kanker sebelumnya,
berkurangnya berat badan, merokok, penggunaan obat-obatan, koagulopati, trauma,
atau penyakit iskemik dapat berguna dalam mencari etiologi.4

2.3 Herniasi Serebral


Herniasi terjadi akibat gradien tekanan kompartemen intrakranial yang
menyebabkan pergeseran jaringan parenkim sehingga menekan atau menggeser
1
batang otak, saraf kranial, atau pembuluh darah otak. Herniasi merupakan
komplikasi yang paling umum dari tumor otak, baik tumor otak primer maupun
tumor otak metastasis. Herniasi juga dapat disebabkan oleh abses, perdarahan,
hidrosefalus, stroke yang menyebabkan pembengkakan otak. Sebuah herniasi otak
dapat terjadi antara daerah-daerah di dalam tengkorak, seperti yang dipisahkan oleh
sebuah membrane kaku yang disebut tentorium, melalui pembukaan alami di dasar

3
tengkorak yang disebut foramen magnum dan melalui bukaan yang dibuat selama
operasi otak.6
Ada 2 kelompok utama herniasi: supratentorial dan infratentorial. Herniasi
supratentorial meliputi herniasi uncal, central (transtentorial), cingulated
(subfalcine) dan trancalvarial. Sedangkan herniasi infratentorial meliuti herniasi
upward dan downward (tonsilar).6

Herniasi otak dapat menimbulkan penuruan kesadaran, dengan Glasgow


Coma Score 3-5, muntah dapat juga terjadi bila terjadi kompresi pusat muntah di
medulla oblongata. Dapat juga dijumpai tanda henti jantung, pernapasan ireguler,
hilangnya semua reflex batang otak (berkedip, tersedak, respom pupil terhadap
cahaya tidak ada), henti napas.6

2.4 CT Scan

Dalam keadaan emergensi, pemeriksaan CT scan harus dilakukan untuk


mengidentifikasi suatu kondisi yang mungkin memerlukan intervensi bedah.
Resusitasi awal dan stabilisasi, termasuk intervensi jalan napas, sirkulasi, ventilasi,
dan terapi hiperosmolar awal harus dilakukan sebelum dibawa ke radiologi. CT

4
kranial lebih disukai daripada pencitraan resonansi magnetik (MRI) karena
ketersediaan dan kecepatannya.1
CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada tulang
tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedangkan pada parenkim
dapat merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat menyebabkan serebral
edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensitas. Setelah pemberian kontrast,
akan terlihat contrast enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah
hiperdensitas.3
Abnormalitas CT scan jarang ditemukan pada pasien dengan cedera kepala
ringan (GCS = 15) dan penurunan kesadaran (6-9%). Namun, pada pasien dengan
GCS ≤ 8 sebanyak 68-94% ditemukan abnormalitas pada CT scan. Tidak adanya
kelainan pada CT scan tidak menghalangi terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dan lesi baru yang signifikan dapat berkembang pada 40% pasien.
Kehadiran pada CT scan satu atau lebih dari yang berikut ini telah dikaitkan dengan
peluang 84-100% untuk memiliki prognosis yang buruk: midline shift > 5mm,
kontusio unilateral atau bilateral, dan
hematoma extracerebral dengan pembengkakan.5

2.5 Monitor Tekanan Intrakranial


Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK harus
dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah
resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio,
pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis), TIK juga sebaiknya
dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti
dua atau lebih 7 kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan tekanan darah
sistolik <90mmHg4.

Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa
kontraindikasi relatif yaitu4:
a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangab
pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai

5
International Normalized Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus
emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin K.

b. Trombosit < 100.000/mm³

c. Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan sekantong platelet
dan fungsi platelet dengan menghitung waktu perdarahan.

d. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga merupaka kontraindikasi


relatif pemasangan pemantauan TIK

Berdasarkan prosedur yang harus dilakukan, terdapat dua metode


pengukuran ICP yaitu metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan
pemantauan status klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD) dan metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di
beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu intraventrikular, intraparenkimal,
subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum dipakai yaitu
intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor) 4.
Komplikasi yang paling umum terjadi berhubungan dengan pemasangan
monitor TIK antara lain perdarahan, infeksi, dan kerusakan peralatan monitor.
Insiden komplikasi ini bervariasi, tergantung pada perangkat yang digunakan,
durasi pemantauan, dan teknik pemasangan, tetapi secara umum, risiko tetap
rendah, kurang dari 1% dari pasien mengalami klinis perdarahan yang signifikan
dan 0,3-1,8% mengalami infeksi. Tingkat infeksi dan risiko perdarahan lebih tinggi
dengan pemasangan kateter ventrikel dibandingkan dengan intraparenkimal, namun
masih cukup rendah.4

2.6 Protokol Brain Code Resuscitation


Sebuah Brain code membutuhkan suatu penanganan yang terorganisir
melalui suatu alogirtma dengan tahapan-tahapan penanganannya.1 Prinsip
penanganan adalah menurunkan Tekanan Intra Kranial (TIK) < 20 mmHg dan
mempertahankan Tekanan Perfusi Serebral (TPS) > 60 mmHg agar tidak berlanjut
menjadi sindrom herniasi dan tetap mencegah iskemia jaringan yang memiliki

6
prognosis buruk.7,9 ENSL merekomendasikan suatu algoritme penanganan brain
code yang terbagi dalam beberapa tier, bergantung kepada respon pasien pada terapi
awal.1

Hipertensi
Intrakranial atau
Herniasi

Tier 0:
Penanganan
Standar

Tier 1: PaCO2, Pertimbangkan


Mannitol, Monitoring
drainase LCS Tambahan

CT Kepala Tier 2: NaCl, Tinjau kembali


Propofol target ICP/MAP

Dekompresi Tier 3
Penobarbital,
Hipotermia

a. Tier 0: Penanganan Standar


Penanganan Brain code dimulai dari Tier 0, yaitu penanganan standar pada
pasien emergensi dalam setting Unit Gawat Darurat yang menggunakan prinsip
ABC; yaitu Airway (Memastikan patensi jalan nafas dan penanganan tulang
servikal), Breathing (Penanganan masalah nafas dan ventilasi mekanik), serta
Circulation (Penanganan masalah sirkulasi dan penghentian perdarahan aktif).1
Pasien Brain code karena trauma sangat mungkin juga mengalami cedera tulang
servikal, karena itu harus dilakukan investigasi secara tepat karena akan
mempengaruhi penanganan airway. Kepala pasien dinaikan dalam posisi miring 30
derajat untuk melancarkan aliran balik vena. Jika pasien dalam kondisi hipertermia,

7
maka penurunan suhu tubuh harus segera dilakukan karena peningkatan suhu tubuh
dapat menyebabkan vasodilatasi yang akan semakin meningkatkan TIK. Cairan
yang digunakan via intravena haruslah cairan yang bersifat hiperosmolar atau
isoosmolar. Jika pasien berhasil distabilkan, maka pasien dapat segera dikirim
untuk dilakukan CT Scan kepala tanpa kontras.1,8

b. Tier 1
Penanganan selanjutnya bertujuan untuk mulai menurunkan Tekanan
Intrakranial (TIK) secara non-operatif. TIK lebih dari 20 mmHg dalam durasi yang
lama berhubungan dengan prognosis yang buruk. Jika pencitraan CT Scan kepala
menunjukan adanya hidrosefalus, maka dilakukan pemasangan drainase ventrikel
eksternal/ External Ventricular Drainage (EVD). Jika EVD sudah terpasang, maka
lakukan drainase Likuor Cerebro Spinal (LCS) sebanyak 5-10 ml.1
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Mannitol 0,5-1 g/kg berat badan
bolus Intra Vena yang dapat diulang setiap 4-6 jam dengan syarat osmolaritas serum
dimonitor secara ketat. Manitol bekerja dengan cara meningkatkan volume
intravaskular dan menyebabkan vasokonstriksi yang dapat menurunkan TIK. Selain
itu, manitol juga menarik cairan ekstravaskular ke dalam intravaskular. Penggunaan
manitol dihindari pada pasien dengan gagal jantung dan edema paru karena dapat
menyebabkan gagal ginjal prerenal, selain hipotensi dan dehidrasi.7,8 Jika TIK
berhasil diturunkan, maka CT Scan kepala dapat diulang untuk memastikan ada
tidaknya suatu proses patologis lainnya. Jika TIK tidak berhasil dilakukan atau
secara klinis tetap ada tanda-tanda herniasi, maka dekompresi secara pembedahan
adalah pilihan terapi. Jika pasien tidak memenuhi untuk dilakukan tindak
pembedahan, maka dilanjutkan dengan Tier 2.1,8
Penanganan dengan hiperventilasi dapat dilakukan jika penurunan TIK
harus segera dilakukan dimana hal ini dapat menurunkan PaCO2 yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi serebrals sehingga menurunkan TIK. Namun hal ini
tidak terlalu direkomendasikan pada 24 jam pertama terutama pada kasus trauma
dimana dapat pula menurunkan pula perfusi otak yang dapat menyebabkan iskemia,
sehingga durasi pemberiannya singkat (<2 jam).8

8
c. Tier 2
Tier 2 dilakukan jika penurunan TIK tidak berhasil pada Tier 1, yaitu
dengan menggunakan medikasi hiperosmolar dan obat sedatif-anestetik. Medikasi
hiperosmolar dapat menggunakan larutan salin hipertonis via bolus intravena
dengan konsentrasi berkisar 2%-23%. Larutan Saline dengan konsentrasi diatas 3%
dimasukan melalui akses vena sentral. Memasukan dengan akses perifer dapat
dilakukan pada pembuluh darah besar dengan catatan lokasi injeksi dimonitor
secara hati-hati. Target natrium darah harus diidentifikasi dan dan diperiksa setiap
4-6 jam, karena konsentrasi di atas 160 mEq/L tidak terbukti bermanfaat.
Pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan Propofol 1-3 mg/kg berat
badan secara bolus intavena, dapat dilanjutkan dengan infus (dititrasi maksimal 200
ug/kg/menit). Pemberian propofol harus dilakukan secara hati-hati terutama jika
laju infus diatas 100 ug/kg/menit karna dapat meningkatkan risiko Sindrom
Propofol (respon bervariasi pada setiap pasien) yang berakibat fatal.
Jika tier 2 masih tidak berhasil, maka pilihan terapi adalah dekompresi
pembedahan atau dilanjutkan ke Tier 3 jika pasien tidak bisa dilakukan tindakan
pembedahan.1

d. Dekompresi
Pembedahan dilakukan pada pasien yang tidak merespon pada terapi
farmakologis. Pilihan terapi pembedahan dapat berupa pemasangan drainase
ventrikel, evakuasi lesi ekstraaksial, reseksi lesi intraserebral, mengangkat segmen
dari parenkim otak, serta kraniektomi unilateral/bilateral. Jika ada tanda-tanda
herniasi tanpa lateralisasi, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi pembedahan
bilateral. Penggunaan imaging otak intraoperative dapat membantu identifikasi dan
manajemen hematoma intrakranial.1,7,8
Penanganan ini dapat sangat menguntungkan pada pasien yang mengalami
penurunan status neurologis secara cepat, dengan literature menyebutkan TIK dapat
menurun 15% pada kraniotomi dan sampai 70% pada pembukaan dura. Hal ini
terutama pada pasien dengan tumor otak, abses otak, perdarahan di parenkim, stroke
dengan edema otak masif, serta pembengkakan otak difus pada kasus cedera kepala.

9
Namun pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, monitoring TIK lebih
diutamakan dibanding burr-hole eksplorasi, karena kemungkinan etiologi massa
intrakranial lebih rendah.8

e. Tier 3
Tahap ini mencakup penanganan agresif yang memiliki risiko efek samping
yang tinggi, sehingga harus menjadi pilihan terakhir jika terapi lainnya tidak
berhasil dilakukan untuk menangani peningkatan TIK dan herniasi. Pentobarbital
10 mg/kg berat badan bolus intravena diberikan dalam 30 menit, kemudian 5 mg/kg
berat badan/jam x 3 jam, kemudian infus dosis pemeliharaan 1-4 mg/kg berat badan
per jam. Selama pemberian Elektroensefalogram dimonitor secara kontinyu dan
pentobarbital dititrasi ke burst suppression ICP atau EEG 5-20 detik. Infus
pentobarbital dilanjutkan selama 24-96 jam sembari menangani proses yang
mendasari peningkatan TIK.1,8
Pentobarbital dapat menyebabkan depresi pernafasan, ketidakstabilan
sirkulasi, supresi imunitas, dan ileus paralitik, serta membutuhkan beberapa hari
untuk dibersihkan dari sirkulasi setelah penghentian obat. Selain itu, pemeriksaan
neurologis yang terbatas hanya pada reaktivitas pupil menyebabkan pemberian obat
ini harus sangat hati-hati.
Penanganan lainnya dapat dilakukan dengan mencipatkan kondisi
hiperventilasi sampai PaCO2 berkisar 25-35 mmHg, dilakukan dengan tambahan
pemasangan monitor oksigenasi serebral untuk mengurangi risiko iskemi serebral
pada hiperventilasi.

f. Monitoring Tambahan
Pemantauan TIK didasarkan pada proses yang mendasari kondisi pasien dan
kecenderungan progresivitas dari proses tersebut. Peamantauan TIK dapat berupa
Kateter Intraventrikular (Gold Standard), alat pemantau intraparenkimal, epidural,
maupun subdural. Pada kasus cedera kepala traumatik, indikasi dari dilakukannya
pemasangan alat pemantau TIK adalah jika GCS pasien di bawah 8 setelah
resusitasi, CT Scan kepala yang abnormal, dan salah satu dari: Umur < 40 tahun,

10
SBP < 90 mmHg, ataupun abnormalitas posturasi. Indikasi pemantauan TIK pada
kasus brain code non traumatic tidak memiliki batasan yang jelas, namun
dianjurkan pada setiap kasus yang secara klinis mengarah pada adanya peningkatan
TIK.1,8
Pada pasien yang refrakter terhadap terapi rutin dan memerlukan terapi
hiperventilasi secara kontinyu, alat monitor tambahan seperti oksimetri jugular
untuk memantau dan mencegah iskemia perlu dilakukan.8
Tanda-tanda vital (Tekanan Darah, Laju Nafas, Laju Jantung, Suhu), saturasi
oksigen arterial dimonitor secara kontinyu dan level kesadaran (GCS) dipantau
setidaknya tiap jam. Setiap pemberian mannitol, urine output dipantau setiap jam.
Gula darah acak diperiksa setiap 6 jam, dan setiap 1-2 jam jika pasien dalam kondisi
hipoglikemia atau hiperglikemia. EKG dilakukan secara rutin terutama pada
penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi sistem kardiorespirasi. Jika
menggunakan normal saline, serum natrium di pantau setiap 4-6 jam. Penggunaan
obat anestetik seperti pentobarbital memerlukan pemantauan EEG secara rutin.1,9

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Stevens RD, Shoykhet M, Cadena R. Emergency Neurological Life


Support: Intracranial Hypertension and Herniation. Neurocrit Care. 2016;
23(2): 1-13.
2. Widiyanthi R. Intracranial Pressure Monitoring. Medical Faculty of
Udayana University. 2012; 1-14.
3. Japardi I. High Intracranial Pressure. Medical Faculty of Sumatera Utara
University. 2012; 1-8.
4. Kayana IBA, Maliawan S, Kawiyana IKS. Intracranial Pressure Monitoring
Technique. 2011; 1-22.
5. Lobato RD, Sarabia R, Rivas JJ, et.al. Normal CT scans in severe head
injury. J Neurosurg. 2006; 65:784-9.
6. Marshall LF, Gautille T, Klauber MR, et.al. The outcome of severe closed
head injury. J Neurosurg. 2011; 75:S28-S36.
7. Kumar R, Singhi S, Singhi P. Raised Intracranial Pressure (ICP):
Management in Emergency Department. The Indian Journal of Pediatrics.
2015;79(4):518-524.
8. Jain G, Yadav G, Varshney R. Brain Herniation. In: Jain G, Yadav G,
Varshney R, ed. by. Neurological Disorders: Clinical Methods. India:
iConcept Press; 2014.
9. Tan T, Cheng M, Sim E. Options for managing raised intracranial pressure.
Proceedings of Singapore Healthcare. 2015;24(3):156-164.

12
1

Anda mungkin juga menyukai