Anda di halaman 1dari 8

Emile Durkheim :

Menurut Emile Durkheim dengan teori solidaritas nya adalah perasaan saling percaya antara para
anggota dalam suatu kelompok atau komunitas dalam teori ini terdapat 2 (dua) arti kata
solidaritas yang pertama adalah solidartias mekanik yaitu masyarakat atau kelompok yang
didasarkan pada kesadaran kolektif, kebersamaan, dan hukum yang bersifat menekan dan yang
kedua ada solidaritas organik masyarakat yang digantungkan oleh individu dan adanya
spesialisasi pekerjaan. Pada intinya ke dua solidaritas tersebut membahas rasa saling percaya
ketika seseorang saling percaya dan tidak ada kebohongan pada kelompok atau komunitas
tersebut maka perasaan persahabatan dan saling menghormati akan muncul dengan sendirinya
dan akan menjadi dorongan untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan bersama.
Menurut pengalaman pribadi saya untuk pendapat Emile Durkheim sangat benar sekali
dikarenakan kelompok atau komunitas harus didasari rasa saling percaya jika tidak ada
kepercayaan tersebut maka rasa saling memiliki menghormati dan bertanggung jawab bersama
tidak ada, maka dari itu kelompok atau komunitas yang saya pernah ikuti yaitu vanshad yang
bergerak pada bidang pengoleksi sepatu dalam hal ini anggota vanshad sangat solid sekali
sampai sekarang ini dikarenakan ada rasa saling percaya jika rasa saling percaya terbangun maka
semuanya menigkuti sehingga adanya hubungan keharmonisan satu sama lain jika keharmonisan
terbangun maka ada rasa saling menghormati satu sama lain. Oleh sebab itu teori dari Emile
Durkheim dipakai sampai saat sekarang ini. Pernyataan dari orang yang terlibat dalam hal ini
adalah ketua dari komunitas vanshad ini sendiri yaitu bernama fikry al irsyad kata dari ketua ini
membentuk komunitas seperti vanshad ini harus memiliki kegemaran yang sama dalam bidang
pengoleksi sepatu yang lagi trend di jaman sekarang ini dalam hal ini ketua komunitas dalam hal
memperkenalkanya yaitu dengan cara membagikan di sosial media yang ramai akan anak-anak
muda sehingaa terbentuklah komunitas kecil yang menyukai sesama sepatu.
Agust Comte :

Menurut Agust Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu social dynamic merupakan
teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Dan teori yang ke dua social static
memiliki fungsi untuk mencari hukum-hukum tentang aksi dan reaksi, sebab, akibat, dan berbagi
bagian didalam sistem sosial. Menurut pengalaman saya yang terjadi dalam fenomena sosial saat
ini sungguh sangat jelas sekali seperti contohnya dulu banyak pangkalan ojek-ojek dijalanan dan
hanya pada tempat-tempat tertentu saja seiring perkembangan jaman ojek online telah muncul
dan mematikan pangkalan ojek-ojek offline dalam hal ini teori tentang social dynamic memang
benar susai fenomena yang terjadi saat ini, dalam hal ini menyebabkan aksi, reaksi, sebab, dan
akibat apa aksi yang dilakukan aski yang dilakukan yaitu munculnya ojek online yang sangat
tenar sekarang ini apa reaksi yang di dapat reaksi yang didapat yaitu dengan gejolaknya pada
pangkalan ojek offline dan sebabnya yaitu banyak yang beralih ke pangkalan ojek online dan
mengakibatkan tidak adanya atau hilangnya pangkalan ojek offline. Pada waktu ketika saya
pulang dari probolinggo saya di terminal bungur asih pada di terminal tersebut banyak
panggkalan ojek online dan offline berkonflik salah satunya tidak boleh masuk ke terminal
karena jika masuk kedalam terminal dapat merusak harga pasaran ojek offline dan menurut saya
pangkalan ojek offline memiliki harga yang sangat mahal dibanding pangkalan ojek online
ketika saya di bungur asih menuju rumah waktu menggunakan ojek online hanya di kenakan tarif
Rp 4.000,- (empat ribu rupiah) saja tetapi ketika saya menggunakan ojek offline tarif yang saya
dapat ketika sampai rumah yaitu Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) justru tarif ini lah yang juga
banyak mempengaruhi alasan mengapa seseorang sekarang menggunakan ojek online.
Eugen Erlich :

Teori living law dari Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan
hukum yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum sosial, dalam arti bahwa
semua hubungan hukum ditandai oleh factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan hukum social
yang melahirkan hukum,termasuk dunia pengalaman manusia, dan dengan demikian ditanggapi
sebagai ide normatif. Terdapat empat jalan agar kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi
normatif yaitu kebiasaan, kekuasaan efektif, milik efektif, pernyataan kehendak pribadi. Dalam
teori tersebut sejalan dengan hukum yang ada di indonesia sekarang ini menurutku jadi
kebanyakan daerah yang masih menggunakan hukum adat atau living law dikarenakan hukum
adat masih sangat kental di Indonesia saya pernah menemui di suatu daerah ketika berkonflik
bukan aparat penegak hukumnya yang di cari akan tetapi kepala adatnya yang di cari karena
semua masyarakat desa masih percaya kepada kepala adat dan di surabaya sendiri ada juga adat
yang tidak bisa ditinggal kan oleh arek-arek suroboyo atau anak-anak surabaya yaitu ada berkata
jancok dalam kata itu tidak memiliki makna yang tetap akan tetapi di dalam kata itu banyak
sekali makna dalam hal ini ketika senang, sedih,emosi, susah, beruntung, bertemu kawan lama
selalu kata-kata jancok yang keluar. Suatu hari saya tanya ke teman saya apa arti kata tersebut
semua pun menjawab tidak ada yang mengerti.
John Galtung :

Menurut John Galtung terdapat teori tentang segita konflik yaitu :

1. Peacekeeping Adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi
militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.

2. Peacemaking Adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik
dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit
atau pimpinan.

3. Peacebuilding Adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan
ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan
negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat
merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.

Dalam teori tersebut pengalaman saya yang paling banyak digunakan adalah teori nomer dua (2)
yaitu peacemaking karena distiap pertikaian tidak usah langsung di bawa di jalur hukum
dikarenakan banyak yang harus diurus maka dari itu harus melewati jalur mediasi terlebih dahulu
agar semua masalah dapat di selesaikan secara kekeluargaan. Disini banyak pengalaman teman
saya tentang kasus yang dapat di selesaikan secara kekeluargaan contohnya kehamilan diluar
nikah ini banyak sekali yang ditemukan di kalangan remaja saat ini.
Antonio Gramschi :

perspektif hegemoni Gramsci.

Pertama titik tolak analisa Gramsci lahirnya hegemoni adalah adanya konsensus. Konsensus
dapat terjadi karena tiga faktor yaitu faktor rasa takut, karena terbiasa, karena kesadaran dan
persetujuan. Menurut Gramsci, faktor persetujuan adalah hipotesa lahirnya sebuah kondisi
hegemoni. Hal ini disimpulkan oleh Joseph V. Femia di mana Gramsci mengatakan: “bahwa
dalam tatanan sosial yang teratur harus ada dasar persetujuan (substratum agreement) yang kuat
yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan yang muncul dari perbedaan-
perbedaan kepentingan. Konsensus dalam arti ini berada dalam hubungan dengan objek-objek
tertentu, pribadi, kepercayaan nilai-nilai, lembaga-lembaga maupun yang lain”. Sementara itu
dilihat dari derajat konsensus massa, terdapat tiga tingkatan hegemoni yang diungkap Gramsci,
yakni hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent hegemony) dan hegemoni
yang minimum. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Rakyat tampak sangat patuh pada pemerintah. dukungan moral dan intelektual mewujud. Relasi
antara yang diperintah dan yang memerintah tidak bertentangan baik secara etis atau sosial.
Contohnya menurut Gramsci adalah sesudah revolusi Prancis (1879). Hegemoni merosot
ditandai adanya tantangan berat atas dominasi dari kaum kapitalis modern. Terdapat potensi
disintegrasi yang tersembunyi (laten). Meskipun tatanan politik berjalan normal, namun
psikologi massa sudah tidak selaras dengan wacana yang dibangun oleh subjek hegemoni.
Sehingga hegemoni budaya maupun politik mudah runtuh. Sementara hegemoni minimum
(minimal hegemony) terjadi di Italia pada periode unifikasi. Hegemoni tingkat ketiga ini
bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung
bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.
Pada tingkat ini kelompok hegemonik tidak sudi bersama dengan kepentingan dan aspirasi dari
kelompok atau kelas lain masyarakat. Sehingga terjadi benturan atau pertentangan antara para
pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi dengan kelompok hegemonik. Kedua
Gramsci membuat tiga konsep mendasar dalam membicarakan hegemoni, yakni konsep
ekonomi, negara (political society) dan masyarakat sipil (civil society). Ekonomi bagi Gramsci
adalah istilah untuk menunjukkan mode of production yang paling dominan dalam sebuah
masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari tehnik produksi dan hubungan sosial produksi
yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan kelas-kelas sosial dalam arti kepemilikan
produksi. Sementara negara merupakan tempat hadirnya praktek-praktek kekerasan (polisi dan
aparat kekerasan lainnya) dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Gramsci
mengindentikkan birokrasi negara sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi
pendidikan. Sedangkan konsep masyarakat sipil (civil society) merupakan organisasi di luar
negara dalam sebuah formasi sosial di luar bagian sistem produksi material dan ekonomi, yang
didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen di luar batasan di atas. Gramsci
menunjukkan satu konsep baru dari hubungan ketiga konsep di atas, yakni apa yang oleh Perry
Anderson sebutkan dengan negara integral. Negara integral merupakan hasil perpaduan antara
sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral yakni
hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan koersi, sekalipun bekerja di tingkat
kesadaran namun selalu diikuti oleh langkah koersi. Jadi sederhananya negara integral adalah
gabungan antara masyarakat politik ditambah masyarakat sipil. Dari batasan tersebut dapat kita
pahami bahwa konsep negara integral Gramsci mensyaratkan dua hal, pertama alat-alat
kekerasan (means of coercion); kedua alat penegakan kepemimpinan hegemonik (means of
establishing hegemonic leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan, olahraga,
budaya, perkumpulan pemuda, dan lain-lain. Dari konsep negara integral ini, jelas sekali bahwa
aparatus hegemoni Gramsci tidak semerta-merta hanya bermain di level kesadaran,ideologi atau
suprastuktur, melainkan selalu mengikut dibelakangnya alat koersi atau basis struktur seperti
kapasitas ekonomi, polisi, dan militer, dan begitu pula sebaliknya. Dari penjabaran tiga konsep
tersebut, ketika terjadi keselarasan penerapan antara level basis dan supersturktur, maka
terjadilah apa yang Gramci sebut sebagai Blok Historis. Ketiga menurut Gramsci situasi
hegemoni dapat terwujud menjadi sebuah blok historik karena ada peran intelektual. Pemaknaan
intelektual yang dipahami Gramsci berbeda dengan pemahaman tradisi idealis yang disemai oleh
Plato dan Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles, intelektual adalah kumpulan orang-orang yang
memiliki intuisi khusus seperti hanya merekalah yang dapat melihat kebenaran, keadilan, dan
kebaikan. Mereka dikenal dengan istilah aristokrat. Kelompok ini kemudian yang layak
memimpin suatu negara. Sehingga negara yang mereka pimpin disebut sebagai negara aristokrat.
Menurut Gramsci, kategorisasi kaum idealis ini menempatkan intelektual muncul dari atas
realitas sosial. Mereka berjarak dari hubungan-hubungan produksi sosial. Menurut Gramsci
kaum intelektual tidaklah diambil dari hakikat intrinsik dari kegiatan mereka sendiri,tetapi dilihat
dari posisi kegiatan itu yang menempati dalam suatu sistem hubungan di mana kegiatan-kegiatan
itu mengambil tempatnya dalam sebuah hubungan-hubungan sosial yang kompleks. Adanya
pendefinisian tentang seorang buruh misalnya, bukan karena ia berada dalam sebuah status kerja
manual. Apapun yang dikerjakan seorang buruh, tetap selalu menyertai dimensi kerja mental di
dalam kondisi dan hubungan sosial tertentu. Dengan demikian, Gramsci menurut batasan
tersebut menekankan bahwa semua orang adalah intelektual namun tidak semua orang punya
fungsi intelektual dalam masyarakat. Pada posisi itu, maka Gramsci berlawanan dengan tradisi
intelektual idealis yang tampak pada tafsir Plato dan Aristoteles dan juga berbeda dengan kaum
intelektual ekonomistik seperti pada tafsir Marxisme klasik. Dalam hal ini teori john galtung
menurut saya sangat membantu para buruh.
Satjpto Rahardjo :

menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan
merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif
menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat. Dalam logika
itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak
lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum
dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukumprogresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
perubahanperaturan (changing the law. Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi
para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan,
karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif
menterjemahkan hukum itu dalam for a kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus
dilayaninya. Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses
logis – formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis
formal “dicari” asesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis – formal
keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karma itu konsep hukum progresif, hukum tidak
mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan tang berada di luar dirinya.

Anda mungkin juga menyukai