Anda di halaman 1dari 11

Persona, Jurnal Psikologi Indonesia

Januari 2016, Vol. 5, No. 01, hal 28 - 38

Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

Nurul Muzakkiyah Suharnan


Fakultas Psikologi prof_suharnan@yahoo.com
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Fakultas Psikologi
Universitas Darul Ulum Jombang

Abstract. The purpose of this study to examine the relationship between religiosity and
conformity with subjective well being in jamaan Muslim Al Hidayah Surabaya. The
subjects were 70 members of the congregation Al Hidayah Surabaya at the age of 50-60
years. Data obtained from the religiosity scale, adjustment and subjective well being
tested using statistical regression. The results showed that there is a relationship between
religiosity, adjustments with subjective well being in jamaan Al Hidayah Surabaya with
the value F = 71.848 and P = 0.000 (p <0.01). The results of the partial correlation
between religiosity and subjective well being shows F = 0.808 and p = 0.000 (p <0.01)
and the partial correlation between adjustments with subjective well being shows F =
0.815 and p = 0.000 (p <0.01).

Keywords : Religiosity, Adjustment, Subjective well being

Intisari. Tujuan penelitian ini untuk menguji hubungan antara religiusitas dan
penyesuaian diri dengan subjective well being pada jamaan muslim Al Hidayah
Surabaya. Subjek penelitian adalah 70 orang anggota jamaah Al Hidayah Surabaya
dengan usia 50-60 tahun. Data yang didapatkan dari skala religiusitas, penyesuaian diri
dan subjective well being diuji dengan menggunakan statistic regresi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa ada hubungan antara religiusitas, penyesuaian diri dengan subjective
well being pada jamaan Al Hidayah Surabaya dengan nilai F=71,848 dan P = 0,000
(p<0,01). Hasil korelasi parsial antara religiusitas dan subjective well being menunjukan
F= 0,808 dan p = 0,000 (p< 0,01) dan korelasi parsial antara penyesuaian diri dengan
subjective well being menunjukan F = 0,815 dan p =0,000 (p<0,01).
Kata kunci : Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive well Being

PENDAHULUAN sangat dimungkinkan pendapatan sudah tidak


lagi diperoleh seperti saat masa muda.
Masa dewasa madya merupakan salah
Pada masa ini pula sudah bisa
satu periode dari perkembangan manusia.
dipastikan bahwa tugas perkembangan di masa
Masa dewasa madya merupakan masa
dewasa madya ada peralihan. Menurut Hurlock
perubahan dari masa dewasa ke masa dewasa
(dalam Syakdiyah, www.academia.edu/-
madya yang meliputi perubahan penampilan
6502200/masadewasa madya diakses pada
fisik yang dikarenakan penuaan, kesepian yang
tanggal 18 Desember 2014) sebagian tugas
disebabkan oleh kehilangan pasangan hidup
perkembangan pada masa dewasa madya lebih
dan anak-anak yang sudah berkeluarga. Selain
banyak berkaitan dengan: a) tugas-tugas yang
itu pekerjaan yang sudah purna jabatan yang
berkaitan dengan perubahan fisik, b) tugas-
tugas yang berkaitan dengan minat, c) tugas-

28
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

tugas yang berkaitan dengan penyesuaian adjustment (penyesuaian diri). Kondisi tersebut
keruan, d) tugas-tugas yang berkaitan dengan menurut Erikson (1992) dikenali sebagai
kehidupan keluarga. Selain itu, Sikap yang kondisi despair, atau adanya hambatan dalam
menentang pemantapan hubungan yang baik pencapaian makna hidup yang integrated,
dengan pasangan hidupnya juga akan menurut Fromm (2002), May (1999), dan
mengalami perubahan. McCullough and Willoughby (2009),
Menurut Monks, Knoers dan Heditono dipandang sebagai akibat perilaku hedonis,
(2005) dan Hurlock (2005) bahwa usia dewasa pencapaian aktualisasi yang berorientasi ke luar
madya merupakan masa yang sulit dalam diri sehingga mempengaruhi pencapaian
rentang kehidupan seseorang, dan seberapa kebermaknaan hidup (quality in life review),
besar usaha seseorang untuk menyesuaikan kepuasan (life satisfaction) dan kebahagiaan
diri, hasilnya akan tergantung pada dasar-dasar (subjective well being).
yang ditanamkan pada awal kehidupan Menurut Winkelmann (2006), Wrosch,
seseorang tersebut, terutama harapan yang Amir, and Miller (2011), serta Scherer and
sesuai dengan peran yang diterima masyarakat. Frisina (2008), kebahagiaan dapat dicapai
Dalam arti yang cukup kompleks, adjustment apabila seseorang memiliki harga diri (self
(penyesuaian diri) juga terkait dengan esteem), sense of perceived control,
penyesuaian terhadap minat-minat sosial dan kepribadian, optimisme, pemahaman tentang
keberagamaan, terutama pada fase akhir makna dan tujuan hidup, neurotisme yang
dewasa madya. Hurlock (2005) dan Papalia dan rendah, dan pengaruh masyarakat dan budaya,
Old’s (2001) menjelaskan bahwa minat dan proses kognitif. Amir, and Miller (2011),
keberagamaan memiliki fungsi menjaga menegaskan bahwa pemahaman tentang makna
stabilitas psikologis sebagai bagian dari proses dan tujuan hidup, dan neurotisme terkait
penurunan aktivitas sosial dan pencapaian dengan kehidupan keberagamaan seseorang.
prestasi, dan agama dipandang sebagai salah Salah satu kegiatan keagamaan yang dilakukan
satu coping emotional yang efektif menurunkan oleh ibu-ibu yang berusia antara 50-60 tahun
stres dan ketidakbahagiaan. Kondisi tersebut dalam lingkungan masyarakat adalah majlis
menurut Papalia dan Old’s (2001), pada usia taklim dimana didalamnya terdapat transfer
akhir dewasa madya adalah penyesuaian secara ilmu pengetahuan (agama).
radikal terhadap peran dan pola hidup yang Majlis taklim merupakan pendidikan
berubah, khususnya bila disertai dengan yang diselenggarakan untuk mengembangkan
berbagai perubahan fisik, serta sejumlah sikap dan kepribadian, maka majlis taklim
penyesuaian yang harus dilakukan di rumah, sebagai bagian pendidikan Islam yang
pekerjaan dan berbagai aspek sosial kehidupan berorintasi pada internalisasi etika/moralitas
seseorang maka fase ini sangat rentan dengan sosial yang bersifat Islami yang bermuara pada
masalah gangguan kesehatan mental. mendidik peserta didiknya untuk berperilaku
Hasil penelitian Oswald (2002); Barkan dengan nilai-nilai akhlak Islam dan mendidik
and Greenwood (2003), dan Qiang (2005), anggotanya untuk mempelajari ajaran Islam
menyimpulkan bahwa pada akhir dewasa atau pengetahuan agama Islam. Hal tersebut
madya seseorang memiliki kecenderungan menunjukkan, bahwa majlis taklim sangat
persoalan yang khas, seperti pekerjaan yang terkait dengan peran Islam sebagai agama.
muncul sangat mungkin telah terselesaikan Dalam majlis taklim terdapat upaya
oleh mereka dalam mencapai pensiun, tetapi peningkatan potensi spiritual dan membentuk
dalam situasi-situasi yang menuntut usia anggotanya agar menjadi manusia yang
dewasa madya mencapai status memadai dalam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. dan
jabatan, banyak diantara dewasa madya berakhlak mulia.Tujuan majlis taklim tersebut
(khususnya pria) merasa tidak puas dalam untuk mewujudkan manusia yang bertakwa
pekerjaanya, masalah berkaitan dengan pola kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta
keluarga ada beberapa faktor yang menyulitkan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang
seseorang dewasa madya dalam mengadakan jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling

29
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan

menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, menggunakan pendekatan yaitu digunakan


baik personal maupun sosial. korelasi langsung dan tidak langsung yaitu
Dalam majlis taklim terdapat nilai-nilai menempatkan variabel penyesuaian diri
keagamaan yang merupakan bagian terpenting (adjustment) sebagai variabel moderasi.
dari agama. Menurut Nur Cholis Madjid sehingga topik yang diajukan adalah
(dalam Saifudin, 2008) nilai-nilai keagamaan “hubungan antara religiusitas dengan subjective
dibagi menjadi dua, yaitu: nilai-nilai well being melalui kemampuan penyesuaian
keagamaan yang menyangkut aspek ketuhanan diri”. Pada penelitian ini menggunakan
dan nilai-nilai agama yang mencakup nilai pendekatan korelasional yang menghubungkan
kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan lebih langsung antara variabel bebas dengan variabel
bersifat penanaman rasa takwa kepada Allah, terikat.
sedangkan nilai kemanusiaan lebih
menekankan pada pengembangan rasa Subjektive Well Being
kemanusiaan kepada sesama (dimensi Konsep teori well-being dapat diketahui
kemanusiaan). sebagaimana beberapa kajian teori, yaitu:
Hal-hal yang dijabarkan diatas adalah Cognitive theories of well-being, yaitu gagasan
suatu nilai yang didapatkan tatkala seseorang bahwa bagaimana seorang individu melihat,
menjadi anggota majlis taklim yang mana akan mempersepsikan dan memikirkan berbagai hal
menumbuhkan rasa keagamaan yang tinggi dan tentang dunia telah menentukan tingkat SWB
menumbuhkan ketentraman dalam hati dan seseorang. Banyak hal ditawarkan untuk
kebahagiaan dalam kehidupannya. Berdasarkan menjadi panduan pengaturan suasana hati dan
Penelitian lainnya, yang dilakukan Oswald emosi individu. contohnya tradisi-tradisi
(2002) tentang subjective wellbeing yang filosofis dan religius, nasehat-nasehat untuk
mengambil subjek penghuni rumah susun di berpikir konstruktif, dan sebagainya (Diener,
Surabaya menyimpulkan bahwa faktor dalam Joshi, 2010). Dalam areasubjective well
yang berperan cukup besar dalam membangun being, individu dapat menepiskan atau
SWB selain crowd adalah masalah ketakutan memperkuat emosinya melalui apa yang
(kecemasan) menghadapi kematian karena dipikirkannya. Hal tersebut menuntun pada
masalah prosesi dan pemakaman, serta pengalaman merasakan intensitas emosi yang
kesehatan yang berkaitan dengan kecepatan lebih kuat atau sebaliknya lebih lemah,
mobilisasi pada penghuni rumah susun. Selain tergantung kehendak individu tersebut dalam
itu, tesis dari Syaiful Hida (2013)yang berpikir
membahas Hubungan antara religisitas dengan Context theories of well-being,
subjective well being melalui kemampuan dikemukakan oleh Winkelmann (2006),
penyesuaian diridari kalangan perguruan tinggi. menyatakan bahwa SWB lahir disebabkan atas
Hasil penelitian ini menerangkan bahwa orang timbulnya rasa kepuasan atas kebutuhan
yang memiliki subjective well being yang lebih kebutuhan universal manusia. Sebaliknya,
tinggi berada dalam kondisi keuangan yang context theories menurut Qiang, Li (2005),
baik dan cenderung berada dalam kesehatan menekankan bahwa faktor yang mempengaruhi
yang baik pula. Sedangkan variabel agama SWB sangat bervariasi tergantung waktu dan
perlu dimoderasi oleh faktor-faktor seperti karakteristik kejadian hidup yang dialami.
harga diri dan optimism untuk mencapai Context theories yang dikemukakan Diener,
kondisi subjective well being Suh & Oishi, (1997) juga menekankan bahwa
Berkaitan dengan permasalahan beserta baik buruknya label suatu pengamat hidup
beberapa penelitian sebelumnya tentang didasarkan pemikiran atas keadaan hidup
religiusitas dan subjective well being, ataupun tersebut. Beberapa hal lain yang dapat
adjustment dengan subjective well being, yang mempengaruhi SWB antara lain cita-cita
membedakan penelitian ini dengan penelitian individu, situasi alternatif imajinatif, tujuan
tersebut adalah pendekatan analisis pada hidup dan sebagainya.
metode penelitian. Penelitian sebelumnya

30
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

Schwartz & Strack (dalam Diener, Penyesuaian Diri


Oishi & Lucas, 2003), mendefinisikan, Grasha & Kirschenbaum (1980),
subjective well-being can be simply defined as menjelaskan “adjustment is concerned with
the individual’s current evaluation of her making our current abilities to the demands of
happiness. Such an evaluation is often living” atau penyesuaian diri berkaitan dengan
expressed in affective terms; when asked about kemampuan memenuhi tuntutan hidup atau
subjective well-being, participants will often lingkungan sosial. Menurut Lazarus (1976),
say, “I feel good”. Subjective well-being is bahwa adjustment consists of the psychological
thus, at least in part, a proxy for a global processes by means of which the individual
affective evaluation atau dapat dikatakan manages or copes with various demands or
bahwa Subjective Well-being adalah suatu pressures, artinya Penyesuaian diri adalah
keadaan seorang individu mempersepsi dan proses psikologis dimana individu mengatur
mengevaluasi segala hal yang terjadi didalam atau mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan
kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif dari lingkungan sekitarnya.
maupun evaluasi afektif (Diener, 2000). Schneiders (dalam Semiun, 2005),
Berdasarkan beberapa definisi tentang menyatakan bahwa penyesuaian diri di sini
subjective well being maka dapat disimpulkan akan mengungkapkan seluruh kemampuan
bahwa subjective well-beingmerupakan suatu individu untuk mengatasi lingkungan secara
keadaan dimana seorang mempersepsi dan efektif, di dalam lingkungan masyarakat yang
mengevaluasi segala hal yang terjadi di dalam penuh dengan aturan, individu harus bisa
kehidupan mereka, baik evaluasi secara memelihara individualitas, pada saat yang sama
kognitif maupun afektif dengan orang lain dan harus pula bisa mencocokkan diri dengan
menyesuaikan diri dengan lingkungan lingkungan masyarakat. Berdasarkan deskripsi
sekitarnya. teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
Kemudian dalam penelitian ini penyesuaian diri adalah kemampuan seseorang
indikator yang akan dijadikan pengukuran untuk mengenali diri dan melakukan evaluasi
SWB mengacu pada konsep Diener, Suh & diri berkaitan dengan aktivitas di
Oishi (1997), menyatakan bahwa subjective lingkungannya secara objektif dan mampu
well-being terdiri atas tiga buah komponen mengembangkan potensi diri berdasarkan
umum. Ketiga komponen tersebut merupakan evaluasi diri yang dilakukan serta mampu
faktor global dari variabel-variabel yang saling membina hubungan dengan lingkungan.
berinterelasi, yaitu: (a) afek positif (pleasant Berdasarkan penjabaran di atas maka
affect). Afek positif merupakan afek yang yang akan dijadikan acuan dalam skala
meliputi emosi positif yang dialami oleh setiap penyesuaian diri adalah yang dikemukakan
individu dalam menjalani kehidupannya. Afek oleh Schneiders (1964) bahwa kriteria
ini dapat terdiri alas emosi-emosi spesifik penyesuaian diri meliputi: (a) self knowledge –
seperti sukacita, kasih sayang, harga diri dan self insight, yaitu usaha mengatasi konflik dan
sebagainya; (b) afek negatif (unpleasant frustrasi, dan berusaha secara efektif mengatasi
affect). Sementara afek negatif merupakan afek masalah dalam berbagai situasi dengan
yang meliputi emosi negatif yang dialami oleh memahami kemampuan dan keterbatasan diri
setiap individu dalam menjalani kehidupannya. sendiri. Self insight, berarti sebuah kesadaran
Afek ini terdiri atas emosi-emosi spesifik dan perspektif mengenai salah satu dasar
seperti rasa malu, rasa bersalah, kesedihan, motivasi, pengaruh motivasi ke dalam pikiran
kemarahan, kecemasan, dan sebagainya; dan dan tingkah laku, keadaan diri, dan fungsi
(c) kepuasan hidup (life satisfaction). Kepuasan pribadi yang aneh, mekanisme dan kebiasaan,
hidup merupakan kepuasan atas berbagai area (b) self objectivity – self acceptance. Self
kehidupan. Area kehidupan antara lain area objectivity, yakni kemampuan untuk
rekreasi, cinta, pernikahan, persahabatan, berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas
kekeluargaan dan sebagainya. pengetahuan obyektif dan self acceptance
didasarkan atas pengetahuan yang objektif atau

31
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan

menerima diri secara positif serta dapat Berdasarkan beberapa pendapat yang
menghargai diri sendiri secara lebih positif, (c) telah dikemukakan, maka dapat ditarik
self control – self development adalah kesimpulan bahwa religusitas merupakan suatu
kemampuan untuk mengarahkan dan motivasi yang mengarah pada keterikatan
meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, (internalisasi) individu terhadap sesuatu
emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi aktivitas keyakinan melalui norma-norma atau
ketegangan dan masalah yang dihadapinya agama yang dipercayainya secara konsisten
serta pengembangan kepribadiannya pada antara pikiran, perasaan dan perilakunya.
tujuan yang matang. Self-control adalah dasar Berdasarkan uraian diatas, dijelaskan bahwa
dari self-development, yang berarti setahap religiusitas merupakan satu kesatuan yang utuh
demi setahap dan berkelanjutan tumbuh dari dari seluruh aspek kehidupan, bukanlah sesuatu
kepribadian terhadap tujuan dari kematangan yang tunggal. Dalam religiusitas terkandung
dan prestasi pribadi, dan (d) good interpersonal unsur-unsur praktik peribadatan, keyakinan,
relationship, yaitu kemampuan untuk pengetahuan tentang agama, pengalaman
menunjukkan hubungan interpersonal yang individual. Dimensi religiusitas menekankan
baik dengan kasih sayang, altruisme, ramah, pada bagaimana agama dihayati dan
menghargai hak, pendapat dan perbedaan dipraktikan oleh penganutnya.
dengan orang lain yang pada dasarnya berbeda Di dalam penelitian ini dimensi
dengan dirinya sendiri. religiusitas yang digunakan lebih menekankan
pada teori menurut Glock dan Stark (dalam
Religiusitas Robertson, 1988, h. 295-297), yaitu Ritual
Woodwoorth (2000), menyebutkan Involvement (dimensi praktik peribadatan atau
bahwa religi adalah sistem keagamaan dan agama) Ideological Involvement (dimensi
kepercayaan seseorang. Religi diikuti dengan keyakinan), Intellectual Involvement (dimensi
ritualitas secara kontinyu mengikuti aturan- pengetahuan agama), Experience Involvement
aturan yang sudah di tetapkan melalui kitab (dimensi pengalaman), dan Consequential
atau ajaran yang diyakini. Lebih lanjut Involvement (dimensi pengalaman ajaran
dijelaskan bahwa religiusitas merupakan meta agama dalam tindakan nyata). Hal ini
kebutuhan yang menjadi dorongan (drive) yang dikarenakan dimensi-dimensi tersebut dinilai
diperlukan manusia demi timbulnya suatu dapat mewakili dimensi-dimensi religiusitas
keseimbangan prilaku yang bersifat imaterial, yang telah dikemukakan oleh fidelis.
yaitu keagamaan. Selanjutnya dimensi-dimensi religiusitas
Menurut Djarir (2004) religiusitas tersebut akan digunakan oleh peneliti sebagai
adalah suatu kesatuan unsur yang dasar teoritik.
komprehensif, yang menjadikan individu
disebut sebagai individu beragama (being HIPOTESIS
religious), dan bukan sekedar mengaku Berdasarkan kerangka berpikir dan
memiliki agama (having religion). kajian pustaka yang telah dikemukakan, serta
Mangunwijaya (1991) yang berlatar permasalahan yang dipaparkan, maka hipotesis
belakangkan seorang sastrawan mengistilahkan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
bahwa religi (agama) berbeda dengan
religiusitas, agama menunjuk pada aspek a) Ada hubungan antara religiusitas dan
formal, yang berkaitan dengan aturan dan adjustment dengan subjectivewellbeing
kewajiban sedangkan religiusitas menunjuk pada anggota majlis taklim Al Hidayah
pada aspek religi yang telah dihayati oleh yang berusia antara 50-60 tahun.
individu di dalam hati dan diamalkan dalam b) Ada hubungan religiusitas dengan
perbuatannya. Sejalan dengan hal itu, Dister subjective well being pada anggota
(1998) mengartikan religiusitas sebagai
majlis taklim Al Hidayah yang berusia
keberagamaan berarti adanya unsur
internalisasi agama di dalam diri individu. antara 50-60 tahun.

32
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

c) Ada hubungan adjustment dengan HASIL


subjective well being pada anggota Hasil uji korelasi secara simultan untuk
majlis taklim Al Hidayah yang berusia menjawab hipotesis yang menyatakan ada
antara 50-60 tahun. korelasi antara religiusitas dan adjustment
dengan subjective well being diperoleh nilai F
METODE = 71,848 dengan nilai probabilitas sebesar
Pada penelitian ini masalah populasi 0,000 (p<0,01). Hal ini berarti ada hubungan
merupakan hal yang perlu diperhatikan yang signifikan antara religiusitas dan
terutama dalam menentukan sifat-sifat yang adjustment dengan subjective well being.
ada di dalam populasi. Populasi yang Hasil uji korelasi parsial yang
digunakan dalam penelitian ini adalah semua menyatakan bahwa ada korelasi antara
anggota Majlis Taklim Al Hidayah yang religiusitas dengan subjective well being
berusia antara 50-60 tahun. diperoleh nilai F = 0,808 dengan nilai
Teknik pengambilan sampel yang probabilitas kurang dari 0,000 (p<0,01). Hal ini
digunakan dalam penelitian ini adalah berarti bahwa ada hubungan positif yang
incidental sampling, teknik incidental sampling signifikan religiusitas dengan subjective well
adalah teknik pengambilan subyek yang being yang berarti semakin tinggi religiusitas
ditemui oleh peneliti di lokasi penelitian secara maka semakin tinggi subjective well being pada
kebetulan dan diberi skala untuk diisi (Hadi, anggota majlis taklim Al-Hidayah sehingga
1996). Jumlah sampel dalam penelitian ini hipotesis ini diterima.
mengambil sebanyak 110 subyek. Kemudian Hasil uji korelasi bahwa pada variabel
dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adjustment dengan subjective well being
pengambilan 40 subyek untuk diambil uji coba. diperoleh nilai F = 0,815 dengan nilai
Tahap kedua pengambilan 70 subyek untuk probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,01) . Hal ini
diambil datanya dengan teknik pemilihan berarti ada hubungan positif yang signifikan
sampel menggunakan quota incidental antara adjustment dengan subjective well being
sampling. Instrumen adalah alat ukur yang yang berarti bahwa semakin tinggi adjustment
digunakan untuk mengungkap aspek yang ingin maka semakin tinggi subjective well being pada
diteliti dalam suatu penelitian. Penelitian ini anggota majlis taklim Al-Hidayah sehingga
menggunakan skala religiusitas, skala hipotesis ini diterima.
penyesuaian diri, dan skala subjective well Hasil koefisien determinasi parsial pada
being. Hasil uji reliabilitas pada skala variabel religiusitas dan adjustment diperoleh
religiusitas diperoleh nilai sebesar 0,960 alat nilai sebesar 0,682 yang berarti religiusitas dan
ukur dinyatakan reliabel (andal), hasil uji adjustment berpengaruh sebesar 68,2% dengan
reliabilitas pada skala penyesuaian diri subjective well being pada anggota majlis
diperoleh nilai 0,891, dan hasil uji reliabilitas taklim Al-Hidayah, yang kemudian berarti
pada skala subjective well being diperoleh nilai sisanya (31,8%) subjective well being pada
sebesar 0,874. anggota majlis taklim Al-Hidayah dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain yang tidak menjadi
fokus dalam penelitian ini.

33
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan

PEMBAHASAN
Hasil uji korelasi secara uji simultan terdapat keselarasan antara tuntutan atau
yang menyatakan ada korelasi antara harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.
religiusitas dan adjustment (penyesuaian diri) Di samping itu, hasil korelasi antara
dengan subjective well being diperoleh nilai F adjustment (penyesuaian diri) dengan
= 71,848 dengan nilai probabilitas sebesar subjective well being diperoleh nilai r = 0,815
0,000 (p<0,01), yang berarti bahwa hipotesis menunjukkan bahwa adjustment (kemampuan
yang diajukan terbukti. Diterimanya hipotesis penyesuaian diri) seseorang mampu
ini sesuai dengan hasil penelitian Diener, Oishi, memberikan kontribusi terhadap pencapaian
and Lucas (2003), dan Schmidt and Welsh subjective well being sebesar 8,15%, sehingga
(2010), yang menyebutkan bahwa religiusitas dapat dikatakan bahwa selain faktor adjustment
dengan segala aspek di dalamnya secara (penyesuaian diri) masih terdapat faktor lain
konsisten mampu membantu seseorang yang mempengaruhi subjective well being.
meningkatkan adjustment (penyesuaian diri) Menurut Diener, et.al, (1997); Diener, Oishi,
sehingga mencapai kondisi subjective well dan Lucas (2003), Joshi dan Bindu (2009),
being. Hasil penelitian Mc.Culbugh dan menyebutkan beberapa faktor yang relatif
Willoughby (2009) menyimpulkan bahwa memiliki pengaruh kuat terhadap subjective
religiusitas secara tidak langsung well being, yaitu (a) tempramen yang
mempengaruhi subjective well being, yang didalamnya memiliki sifat-sifat kepribadian
artinya terdapat variabel lain yang memediasi khusus dan faktor ini dapat dijadikan sebagai
religiusitas dengan subjective well being, salah unit predikator tingkat subjective well being
satunya adalah adjustment (penyesuaian diri). seseorang, kemudian, (b) faktor biososial atau
Diterimanya hipotesis dalam penelitian demografik, (c) faktor psikososial, dan (d)
ini dan kesesuaian dengan penelitian faktor budaya, bahwa konstruksi budaya
sebelumnya dapat menegaskan bahwa semakin tempat tinggal individu mempengaruhi cukup
tinggi adjustment (penyesuaian diri) seseorang signifikan dalam membentuk pola pikir (mind
dalam menyesuaikan dirinya maka akan set).
semakin tinggi pula subjective well being yang Hasil pengajuan hipotesis minor yang
dialaminya, terutama adjustment (penyesuaian menunjukkan adanya korelasi antara
diri) yang terkait dengan kehidupan religiusitas religiusitas dengan subjective well being selain
seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai sebagai variable yang harus dimediasi oleh
koefisien determinasi sebesar 0,808 yang variabel adjustment (penyesuaian diri). Adanya
berarti bahwa religiusitas dengan subjective korelasi tersebut tidak bertentangan dengan
well being mampu memberikan kontribusi banyak penelitian, seperti penelitian Barkan
terhadap subjective well being sebesar 80,8% . dan Green Wood (2003); Chang (2009); serta
Hasil uji korelasi hipotesis minor antara Wrosch, Ammer, and Miller (2011), yang
adjustment(penyesuaian diri) dengan subjective menyimpulkan bahwa religiusitas memiliki
wellbeing memiliki nilai r = 0,815 dengan nilai keterkaitan erat dengan subjectivewell being.
probabilitas sebesar 0,000 (p<0,01) yang Namun demikian, hasil penelitian Colon-Boco
berarti bahwa hipotesis yang menyatakan (2010), justru menjelaskan bahwa religiusitas
adjusment(penyesuaian diri) memiliki korelasi tidak dapat berdirisendiri sepenuhnya sebagai
dengan subjective well being terbukti. prediktor untuk mengukur subjective well
Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; being, karena memerlukan variabel demografis
Schmidt dan Welsh, 2010; serta Wrosch dan dan intensitas religius yang terukur sebagai
Miller, 2011) menjelaskan bahwa adjustment moderasinya. Penelitian tersebut mengacu pada
(penyesuaian diri) merupakan proses yang penelitian Barkan dan Greenwood (dalam
meliputi respon mental dan perilaku yang Colón-Bacó,2010), menjelaskan bahwa
merupakan usaha individu untuk mengatasi dan intensitas religius akan terukur melalui enam
menguasai kebutuhan dalam dirinya, indikator, yaitu frekuensi doa, kehadiran dalam
ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar layanan keagamaan, interaksisosial dengan

34
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

teman, keluarga, dan tetangga, dan peristiwa religi seseorang akan mengarahkan seseorang
kehidupan traumatis. Selain indikator tersebut pada pengembangan kemampuan penyesuaian
variabel religiusitas dikendalikan oleh beberapa dirinya, sehingga dapat tercapai kondisi
faktor sosio-demografis yang telah terbukti
subjective well being.
untuk mempengaruhi subjective well being.
Penelitian Graham et.al., (dalam Chang, 2009) Religiusitas dengan subjective wellbeing
juga menilai hubungan terbalik antara memiliki korelasi positif, atau dapat dikatakan
subjective well being dan pendapatan serta kuat, yang berarti semakin tinggi religiusitas
kesehatan dengan menguji efek kebahagiaan maka semakin tinggi subjective wellbeing pada
pada pendapatan, kesehatan, dan faktor anggota majlis taklim Al-Hidayah dengan
lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa orang disertai adjustment (penyesuaian diri)
memiliki subjective well being yang lebih
seseorang dapat meningkatkan subjective
tinggi berada dalam kondisi ekonomi keuangan
yang baik, dan cenderung berada dalam wellbeing.
kesehatan yang lebih baik, sedangkan variabel Adjustment (penyesuaian diri) dengan
agama perlu dimoderasi oleh faktor-faktor subjective wellbeing memiliki korelasi yang
seperti harga diri dan optimisme untuk positif, artinya semakin tinggi adjustment
menghubungkan dengan pencapaian kondisi (penyesuaian diri) seseorang maka akan
subjective well being. semakin tinggi pula subjective well being yang
dapat dicapai di akhir usia dewasa madya.
KESIMPULAN
Namun demikian sumbangan adjustment
Berdasarkan tujuan penelitian, melalui
(kemampuan penyesuaian diri) dalam
analisis data dan pembahasan yang telah
penelitian yang mengambil subjek dari anggota
dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa
majlis taklim Al-Hidayah ini masih tergolong
religiusitas dan adjustment (penyesuaian diri)
rendah meskipun sebagian subjek ada yang
memiliki keterkaitan dengan subjective well
memiliki subjective well being tergolong
being pada usia akhir dewasa madya.
tinggi.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa kehidupan

DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, I. (2005). Analisis Multivariate Chapter II pdf.object. diambil dari
dengan Program SPSS. Semarang: http://repository.usu.ac.id/bitstream/
Penerbit Universitas Diponegoro. 123456789/30274/4/
Barkan, Steven E., and Greenwood, Susan F. Chapter%20II.pdf) diakses pada
(2003). Religious Attendance and tanggal 18 Desember 2014.
Subjective Well-Being among Older Colón-Bacó, E (2010). The Strength of
Americans: Evidence from the General Religious Beliefs is Important for
Social Survey. Review of Religious Subjective Well-Being. Undergraduate
Research. Vol. 45., p: 116-29 Economic Review. Vol. 6: Iss. 1,
Chang, When Chun (2009). Religious Article 11.
Attendance and subjective Well-being David, Fontana. (2003). Psychology,
in an Eastern-Culture Country: Religion, and Spirituality.Oxford: The
Empirical Evidence from Taiwan. British Psychological Society and
Marburg Journal of Religion: Volume Blackwell Publishing Ltd.
14, No. 1 Diener E, Scollon CN, Oishi S, Dzokoto V,
and Suh, M. (1997). Recent Findings

35
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan

on Subjective Well-Being. Indian Hida, Syaiful. 2013. Hubungan antara


Journal of Clinical Psychology, Vol. Perilaku Keagamaan dengan
1., p:159–76 Subjective Well Being Melalui
Diener, E and Chan, M (2010). Happy Kemampuan Penyesuaian Diri. Tesis.
People Live Longer: Subjective Well- Untag. Surabaya.
Being Contributes to Health and Hoorn, AV (2007). A Short Introduction to
Longevity. Health Benefits of Subjective Well-Being: Its
Happiness Journal of Personality, Vol. Measurement, Correlates and Policy
71, pg: 1-50 Uses. Organized by the Bank of Italy,
Diener, ED, and Clifton. Don., (2002). Life the Centre for Economic &
Satisfaction and Religiosity in Broad International Studies (CEIS), the Joint
Probability Samples. Journal of Research Centre of the European
Psychological Inquiry, Vol. 13, p: 206- Commission and the Organization for
09. Economic Cooperation and
Diener, ED., Oishi, S., and Lucas, RE. Development (OECD). University of
(2003). Personality, Culture, and Rome ‘or Vergata.
Subjective Well-Being: Emotional and Hurlock, B.E (2005). Psikologi
Cognitive Evaluations of Life. Annual Perkembangan: Suatu Pendekatan
Revision Psychological Journal. Vol. Sepanjang Rentang Kehidupan.
54; page: 403–25 (Istiwidayanti dan Soejarwo, Pengalih
Djarir, I. (2005). Erosi Moral dan bhs.). Jakarta: Erlangga.
Pemahaman Kembali Agama. Diambil Joshi, U (2010). Subjective Well-Being by
pada tanggal 14 Februari 2013. Gender. Journal of Economics and
http://www.suara_merdeka.com/harian Behavioral Studies. Vol. 1, No. 1, pp.
/0406/18/ op14.htm. 20-26, Dec 2010.
Ellison, Christopher G. (1991). Religious Joshi. LH., Singh, R and Bindu (2009).
Involvement and Subjective Well- Psychological Distress, Coping and
Being. Journal of Health and Social Subjective Wellbeing among Infertile
Behavior. Vol. 32; page: 80-99. Women. Journal of the Indian
Erikson. H,E. (1992). Siklus Hidup Manusia Academy of Applied Psychology. July
dan Krisis Identitas. Cetakan kedua. 2009, Vol. 35, No. 2, 329-336.
(Alih bahasa : Suparmanto, T ).Jakarta Kahneman, D and Krueger, AB (2006).
: Penerbit PT. Gramedia. Developments in the Measurement of
Grasha, A.F & Kirschenbaum, D.S. (1980). Subjective Well-Being. Journal of
Psychology of Adjustment and Economic Perspectives—Volume 20,
Competence. Cambridge, Number 1—Winter 2006—Pages 3–24
Massachucetts : Winthrop publisher, Kashdan, TB (2004). The Assessment of
Inc Subjective Well-Being (Issues Raised
Heaven, P. C. L., & Ciarrochi, J. (2007). by the Oxford Happiness
Personality and religious values among Questionnaire). University at Bualo,
adolescents: A three-wave longitudinal Department of Psychology, State
analysis. British Journal of Psychology, University of New York: Park Hill
Vol. 98, p:681–694.

36
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being

Mangunwijaya, Y.B. (1991). Menumbuhkan Tarbiyah. Institut Agama Islam Negeri


Sikap Religius Anak-Anak. Jakarta: PT. Walisongo Semarang.
Gramedia Pustaka Utama. Santrock, J.W. (2001). Life Span
Markides, Kyriakos S. (1983). Aging, Development: Perkembangan Masa
Religiosity, and Adjustment: A Hidup. Edisi 5, Jilid 1, alih bahasa,
Longitudinal Analysis. Journal of Juda Damanik & Ahmad Chusairi.
Gerontology. Vol. 38., p: 621-25. Jakarta: Penerbit Erlangga.
McCullough, Michael E., and Willoughby, Scherer, MJ and Frisina, DR (2008).
Brian L. B. (2009). Religion, Self- Characteristics Associated with
Regulation, and Self-Control: Marginal Hearing Loss and Subjective
Associations, Explanations, and Well-Being among a Sample of Older
Implications. Psychological Bulletin. Adults. Journal of Rehabilitation
Vol. 135, No. 1, 69–93 Research and Development. Vol. 35
Mönks, E. J, Knoers, AMP, Haditono, S.R, No. 4, Pages 420-426
(2001). Psikologi Perkembangan: Schmidt, Christa K. and Welsh, Anne C.
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya (2010). College Adjustment and
(eds). Yogyakarta: Gadjah Mada Subjective Well-Being When Coping
University Press. with a Family Member's Illness.
Oswald (2002). How Much do External Journal of Counseling and
Factors Affect Wellbeing? A Way to Development. Vol. 88, No. 4
Use ‘Happiness Economics’ to Decide. Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment
Artikel (Online) diakses dari and Mental Health. New York: Holt,
www.warwick.ac.uk. Diterbitkan oleh Rinehart and Winston.
London: Department of Economics, Semiun, Y. (2003). Kesehatan Mental 1.
University of Warwick, Coventry, CV4 Cetakan Kedua. Yogyakarta: Penerbit
7AL. Kanisius.
Qiang, Li (2005). Subjective Well-Being and Syakdiyah, Chalimatus. Peranan Majelis
Mortality in Chinese Oldest Old. Taklim dalam Pembentukan Sikap
Working Paper. WP.2005-11. April Keadaan. Diambil dari
2005. Rostock, Germany: Max Planck http://www.academia.edu/6502200/mas
Institute for Demographic Research. a dewasa madya. Diakses pada tanggal
Rinasti, Fernika. 2010. Hubungan antara 18 Desember 2014.
Tingkat Religiusitas dengan Widyasari. 2007. Hubungan antara
SubjectiveWellBeing pada Wanita Subjective Well Being dengan
Dewasa Madya. Jurnal Psikologi Religiusitas Individu Dewasa Madya.
Fakultas Psikologi Universitas Jurnal Psikologi. Vol. 20, No. 2.
Gunadarma Jakarta. Winkelmann, R (2006). Unemployment,
Saifudin. 2008. Pendidikan Majlis Ta’lim Social Capital, and Subjective Well-
sebagai Upaya Mempertahankan Nilai- Being. University of Zurich,
Nilai Keagamaan; (Studi di Majlis Socioeconomic Institute Working
Ta’lim Raudhatut Thalibin Dusun Paper 0503. {Online} diakses dari pada
Tempuran Kecamatan Singorojo tanggal 3 Februari 2007 melalui
Kabupaten Kendal). Skripsi. Fakultas www.iza.org

37
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan

Woodwoorth, M.R (2000). Islam Jawa: Case of Caregiving for a Family


Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Member with Mental Illness. Journal
(Pengalih Bahasa : Salim, of Personality and Social Psychology.
HS).Yogyakarta: LKiS 2011 May;100(5):934-46.
Wrosch C, Amir E, Miller GE. (2011). Goal
Adjustment Capacities, Coping, and
Subjective Well-Being: the Sample

38

Anda mungkin juga menyukai