Abstract. The purpose of this study to examine the relationship between religiosity and
conformity with subjective well being in jamaan Muslim Al Hidayah Surabaya. The
subjects were 70 members of the congregation Al Hidayah Surabaya at the age of 50-60
years. Data obtained from the religiosity scale, adjustment and subjective well being
tested using statistical regression. The results showed that there is a relationship between
religiosity, adjustments with subjective well being in jamaan Al Hidayah Surabaya with
the value F = 71.848 and P = 0.000 (p <0.01). The results of the partial correlation
between religiosity and subjective well being shows F = 0.808 and p = 0.000 (p <0.01)
and the partial correlation between adjustments with subjective well being shows F =
0.815 and p = 0.000 (p <0.01).
Intisari. Tujuan penelitian ini untuk menguji hubungan antara religiusitas dan
penyesuaian diri dengan subjective well being pada jamaan muslim Al Hidayah
Surabaya. Subjek penelitian adalah 70 orang anggota jamaah Al Hidayah Surabaya
dengan usia 50-60 tahun. Data yang didapatkan dari skala religiusitas, penyesuaian diri
dan subjective well being diuji dengan menggunakan statistic regresi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa ada hubungan antara religiusitas, penyesuaian diri dengan subjective
well being pada jamaan Al Hidayah Surabaya dengan nilai F=71,848 dan P = 0,000
(p<0,01). Hasil korelasi parsial antara religiusitas dan subjective well being menunjukan
F= 0,808 dan p = 0,000 (p< 0,01) dan korelasi parsial antara penyesuaian diri dengan
subjective well being menunjukan F = 0,815 dan p =0,000 (p<0,01).
Kata kunci : Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive well Being
28
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being
tugas yang berkaitan dengan penyesuaian adjustment (penyesuaian diri). Kondisi tersebut
keruan, d) tugas-tugas yang berkaitan dengan menurut Erikson (1992) dikenali sebagai
kehidupan keluarga. Selain itu, Sikap yang kondisi despair, atau adanya hambatan dalam
menentang pemantapan hubungan yang baik pencapaian makna hidup yang integrated,
dengan pasangan hidupnya juga akan menurut Fromm (2002), May (1999), dan
mengalami perubahan. McCullough and Willoughby (2009),
Menurut Monks, Knoers dan Heditono dipandang sebagai akibat perilaku hedonis,
(2005) dan Hurlock (2005) bahwa usia dewasa pencapaian aktualisasi yang berorientasi ke luar
madya merupakan masa yang sulit dalam diri sehingga mempengaruhi pencapaian
rentang kehidupan seseorang, dan seberapa kebermaknaan hidup (quality in life review),
besar usaha seseorang untuk menyesuaikan kepuasan (life satisfaction) dan kebahagiaan
diri, hasilnya akan tergantung pada dasar-dasar (subjective well being).
yang ditanamkan pada awal kehidupan Menurut Winkelmann (2006), Wrosch,
seseorang tersebut, terutama harapan yang Amir, and Miller (2011), serta Scherer and
sesuai dengan peran yang diterima masyarakat. Frisina (2008), kebahagiaan dapat dicapai
Dalam arti yang cukup kompleks, adjustment apabila seseorang memiliki harga diri (self
(penyesuaian diri) juga terkait dengan esteem), sense of perceived control,
penyesuaian terhadap minat-minat sosial dan kepribadian, optimisme, pemahaman tentang
keberagamaan, terutama pada fase akhir makna dan tujuan hidup, neurotisme yang
dewasa madya. Hurlock (2005) dan Papalia dan rendah, dan pengaruh masyarakat dan budaya,
Old’s (2001) menjelaskan bahwa minat dan proses kognitif. Amir, and Miller (2011),
keberagamaan memiliki fungsi menjaga menegaskan bahwa pemahaman tentang makna
stabilitas psikologis sebagai bagian dari proses dan tujuan hidup, dan neurotisme terkait
penurunan aktivitas sosial dan pencapaian dengan kehidupan keberagamaan seseorang.
prestasi, dan agama dipandang sebagai salah Salah satu kegiatan keagamaan yang dilakukan
satu coping emotional yang efektif menurunkan oleh ibu-ibu yang berusia antara 50-60 tahun
stres dan ketidakbahagiaan. Kondisi tersebut dalam lingkungan masyarakat adalah majlis
menurut Papalia dan Old’s (2001), pada usia taklim dimana didalamnya terdapat transfer
akhir dewasa madya adalah penyesuaian secara ilmu pengetahuan (agama).
radikal terhadap peran dan pola hidup yang Majlis taklim merupakan pendidikan
berubah, khususnya bila disertai dengan yang diselenggarakan untuk mengembangkan
berbagai perubahan fisik, serta sejumlah sikap dan kepribadian, maka majlis taklim
penyesuaian yang harus dilakukan di rumah, sebagai bagian pendidikan Islam yang
pekerjaan dan berbagai aspek sosial kehidupan berorintasi pada internalisasi etika/moralitas
seseorang maka fase ini sangat rentan dengan sosial yang bersifat Islami yang bermuara pada
masalah gangguan kesehatan mental. mendidik peserta didiknya untuk berperilaku
Hasil penelitian Oswald (2002); Barkan dengan nilai-nilai akhlak Islam dan mendidik
and Greenwood (2003), dan Qiang (2005), anggotanya untuk mempelajari ajaran Islam
menyimpulkan bahwa pada akhir dewasa atau pengetahuan agama Islam. Hal tersebut
madya seseorang memiliki kecenderungan menunjukkan, bahwa majlis taklim sangat
persoalan yang khas, seperti pekerjaan yang terkait dengan peran Islam sebagai agama.
muncul sangat mungkin telah terselesaikan Dalam majlis taklim terdapat upaya
oleh mereka dalam mencapai pensiun, tetapi peningkatan potensi spiritual dan membentuk
dalam situasi-situasi yang menuntut usia anggotanya agar menjadi manusia yang
dewasa madya mencapai status memadai dalam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. dan
jabatan, banyak diantara dewasa madya berakhlak mulia.Tujuan majlis taklim tersebut
(khususnya pria) merasa tidak puas dalam untuk mewujudkan manusia yang bertakwa
pekerjaanya, masalah berkaitan dengan pola kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta
keluarga ada beberapa faktor yang menyulitkan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang
seseorang dewasa madya dalam mengadakan jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling
29
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan
30
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being
31
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan
menerima diri secara positif serta dapat Berdasarkan beberapa pendapat yang
menghargai diri sendiri secara lebih positif, (c) telah dikemukakan, maka dapat ditarik
self control – self development adalah kesimpulan bahwa religusitas merupakan suatu
kemampuan untuk mengarahkan dan motivasi yang mengarah pada keterikatan
meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, (internalisasi) individu terhadap sesuatu
emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi aktivitas keyakinan melalui norma-norma atau
ketegangan dan masalah yang dihadapinya agama yang dipercayainya secara konsisten
serta pengembangan kepribadiannya pada antara pikiran, perasaan dan perilakunya.
tujuan yang matang. Self-control adalah dasar Berdasarkan uraian diatas, dijelaskan bahwa
dari self-development, yang berarti setahap religiusitas merupakan satu kesatuan yang utuh
demi setahap dan berkelanjutan tumbuh dari dari seluruh aspek kehidupan, bukanlah sesuatu
kepribadian terhadap tujuan dari kematangan yang tunggal. Dalam religiusitas terkandung
dan prestasi pribadi, dan (d) good interpersonal unsur-unsur praktik peribadatan, keyakinan,
relationship, yaitu kemampuan untuk pengetahuan tentang agama, pengalaman
menunjukkan hubungan interpersonal yang individual. Dimensi religiusitas menekankan
baik dengan kasih sayang, altruisme, ramah, pada bagaimana agama dihayati dan
menghargai hak, pendapat dan perbedaan dipraktikan oleh penganutnya.
dengan orang lain yang pada dasarnya berbeda Di dalam penelitian ini dimensi
dengan dirinya sendiri. religiusitas yang digunakan lebih menekankan
pada teori menurut Glock dan Stark (dalam
Religiusitas Robertson, 1988, h. 295-297), yaitu Ritual
Woodwoorth (2000), menyebutkan Involvement (dimensi praktik peribadatan atau
bahwa religi adalah sistem keagamaan dan agama) Ideological Involvement (dimensi
kepercayaan seseorang. Religi diikuti dengan keyakinan), Intellectual Involvement (dimensi
ritualitas secara kontinyu mengikuti aturan- pengetahuan agama), Experience Involvement
aturan yang sudah di tetapkan melalui kitab (dimensi pengalaman), dan Consequential
atau ajaran yang diyakini. Lebih lanjut Involvement (dimensi pengalaman ajaran
dijelaskan bahwa religiusitas merupakan meta agama dalam tindakan nyata). Hal ini
kebutuhan yang menjadi dorongan (drive) yang dikarenakan dimensi-dimensi tersebut dinilai
diperlukan manusia demi timbulnya suatu dapat mewakili dimensi-dimensi religiusitas
keseimbangan prilaku yang bersifat imaterial, yang telah dikemukakan oleh fidelis.
yaitu keagamaan. Selanjutnya dimensi-dimensi religiusitas
Menurut Djarir (2004) religiusitas tersebut akan digunakan oleh peneliti sebagai
adalah suatu kesatuan unsur yang dasar teoritik.
komprehensif, yang menjadikan individu
disebut sebagai individu beragama (being HIPOTESIS
religious), dan bukan sekedar mengaku Berdasarkan kerangka berpikir dan
memiliki agama (having religion). kajian pustaka yang telah dikemukakan, serta
Mangunwijaya (1991) yang berlatar permasalahan yang dipaparkan, maka hipotesis
belakangkan seorang sastrawan mengistilahkan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
bahwa religi (agama) berbeda dengan
religiusitas, agama menunjuk pada aspek a) Ada hubungan antara religiusitas dan
formal, yang berkaitan dengan aturan dan adjustment dengan subjectivewellbeing
kewajiban sedangkan religiusitas menunjuk pada anggota majlis taklim Al Hidayah
pada aspek religi yang telah dihayati oleh yang berusia antara 50-60 tahun.
individu di dalam hati dan diamalkan dalam b) Ada hubungan religiusitas dengan
perbuatannya. Sejalan dengan hal itu, Dister subjective well being pada anggota
(1998) mengartikan religiusitas sebagai
majlis taklim Al Hidayah yang berusia
keberagamaan berarti adanya unsur
internalisasi agama di dalam diri individu. antara 50-60 tahun.
32
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being
33
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan
PEMBAHASAN
Hasil uji korelasi secara uji simultan terdapat keselarasan antara tuntutan atau
yang menyatakan ada korelasi antara harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.
religiusitas dan adjustment (penyesuaian diri) Di samping itu, hasil korelasi antara
dengan subjective well being diperoleh nilai F adjustment (penyesuaian diri) dengan
= 71,848 dengan nilai probabilitas sebesar subjective well being diperoleh nilai r = 0,815
0,000 (p<0,01), yang berarti bahwa hipotesis menunjukkan bahwa adjustment (kemampuan
yang diajukan terbukti. Diterimanya hipotesis penyesuaian diri) seseorang mampu
ini sesuai dengan hasil penelitian Diener, Oishi, memberikan kontribusi terhadap pencapaian
and Lucas (2003), dan Schmidt and Welsh subjective well being sebesar 8,15%, sehingga
(2010), yang menyebutkan bahwa religiusitas dapat dikatakan bahwa selain faktor adjustment
dengan segala aspek di dalamnya secara (penyesuaian diri) masih terdapat faktor lain
konsisten mampu membantu seseorang yang mempengaruhi subjective well being.
meningkatkan adjustment (penyesuaian diri) Menurut Diener, et.al, (1997); Diener, Oishi,
sehingga mencapai kondisi subjective well dan Lucas (2003), Joshi dan Bindu (2009),
being. Hasil penelitian Mc.Culbugh dan menyebutkan beberapa faktor yang relatif
Willoughby (2009) menyimpulkan bahwa memiliki pengaruh kuat terhadap subjective
religiusitas secara tidak langsung well being, yaitu (a) tempramen yang
mempengaruhi subjective well being, yang didalamnya memiliki sifat-sifat kepribadian
artinya terdapat variabel lain yang memediasi khusus dan faktor ini dapat dijadikan sebagai
religiusitas dengan subjective well being, salah unit predikator tingkat subjective well being
satunya adalah adjustment (penyesuaian diri). seseorang, kemudian, (b) faktor biososial atau
Diterimanya hipotesis dalam penelitian demografik, (c) faktor psikososial, dan (d)
ini dan kesesuaian dengan penelitian faktor budaya, bahwa konstruksi budaya
sebelumnya dapat menegaskan bahwa semakin tempat tinggal individu mempengaruhi cukup
tinggi adjustment (penyesuaian diri) seseorang signifikan dalam membentuk pola pikir (mind
dalam menyesuaikan dirinya maka akan set).
semakin tinggi pula subjective well being yang Hasil pengajuan hipotesis minor yang
dialaminya, terutama adjustment (penyesuaian menunjukkan adanya korelasi antara
diri) yang terkait dengan kehidupan religiusitas religiusitas dengan subjective well being selain
seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai sebagai variable yang harus dimediasi oleh
koefisien determinasi sebesar 0,808 yang variabel adjustment (penyesuaian diri). Adanya
berarti bahwa religiusitas dengan subjective korelasi tersebut tidak bertentangan dengan
well being mampu memberikan kontribusi banyak penelitian, seperti penelitian Barkan
terhadap subjective well being sebesar 80,8% . dan Green Wood (2003); Chang (2009); serta
Hasil uji korelasi hipotesis minor antara Wrosch, Ammer, and Miller (2011), yang
adjustment(penyesuaian diri) dengan subjective menyimpulkan bahwa religiusitas memiliki
wellbeing memiliki nilai r = 0,815 dengan nilai keterkaitan erat dengan subjectivewell being.
probabilitas sebesar 0,000 (p<0,01) yang Namun demikian, hasil penelitian Colon-Boco
berarti bahwa hipotesis yang menyatakan (2010), justru menjelaskan bahwa religiusitas
adjusment(penyesuaian diri) memiliki korelasi tidak dapat berdirisendiri sepenuhnya sebagai
dengan subjective well being terbukti. prediktor untuk mengukur subjective well
Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; being, karena memerlukan variabel demografis
Schmidt dan Welsh, 2010; serta Wrosch dan dan intensitas religius yang terukur sebagai
Miller, 2011) menjelaskan bahwa adjustment moderasinya. Penelitian tersebut mengacu pada
(penyesuaian diri) merupakan proses yang penelitian Barkan dan Greenwood (dalam
meliputi respon mental dan perilaku yang Colón-Bacó,2010), menjelaskan bahwa
merupakan usaha individu untuk mengatasi dan intensitas religius akan terukur melalui enam
menguasai kebutuhan dalam dirinya, indikator, yaitu frekuensi doa, kehadiran dalam
ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar layanan keagamaan, interaksisosial dengan
34
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being
teman, keluarga, dan tetangga, dan peristiwa religi seseorang akan mengarahkan seseorang
kehidupan traumatis. Selain indikator tersebut pada pengembangan kemampuan penyesuaian
variabel religiusitas dikendalikan oleh beberapa dirinya, sehingga dapat tercapai kondisi
faktor sosio-demografis yang telah terbukti
subjective well being.
untuk mempengaruhi subjective well being.
Penelitian Graham et.al., (dalam Chang, 2009) Religiusitas dengan subjective wellbeing
juga menilai hubungan terbalik antara memiliki korelasi positif, atau dapat dikatakan
subjective well being dan pendapatan serta kuat, yang berarti semakin tinggi religiusitas
kesehatan dengan menguji efek kebahagiaan maka semakin tinggi subjective wellbeing pada
pada pendapatan, kesehatan, dan faktor anggota majlis taklim Al-Hidayah dengan
lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa orang disertai adjustment (penyesuaian diri)
memiliki subjective well being yang lebih
seseorang dapat meningkatkan subjective
tinggi berada dalam kondisi ekonomi keuangan
yang baik, dan cenderung berada dalam wellbeing.
kesehatan yang lebih baik, sedangkan variabel Adjustment (penyesuaian diri) dengan
agama perlu dimoderasi oleh faktor-faktor subjective wellbeing memiliki korelasi yang
seperti harga diri dan optimisme untuk positif, artinya semakin tinggi adjustment
menghubungkan dengan pencapaian kondisi (penyesuaian diri) seseorang maka akan
subjective well being. semakin tinggi pula subjective well being yang
dapat dicapai di akhir usia dewasa madya.
KESIMPULAN
Namun demikian sumbangan adjustment
Berdasarkan tujuan penelitian, melalui
(kemampuan penyesuaian diri) dalam
analisis data dan pembahasan yang telah
penelitian yang mengambil subjek dari anggota
dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa
majlis taklim Al-Hidayah ini masih tergolong
religiusitas dan adjustment (penyesuaian diri)
rendah meskipun sebagian subjek ada yang
memiliki keterkaitan dengan subjective well
memiliki subjective well being tergolong
being pada usia akhir dewasa madya.
tinggi.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa kehidupan
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, I. (2005). Analisis Multivariate Chapter II pdf.object. diambil dari
dengan Program SPSS. Semarang: http://repository.usu.ac.id/bitstream/
Penerbit Universitas Diponegoro. 123456789/30274/4/
Barkan, Steven E., and Greenwood, Susan F. Chapter%20II.pdf) diakses pada
(2003). Religious Attendance and tanggal 18 Desember 2014.
Subjective Well-Being among Older Colón-Bacó, E (2010). The Strength of
Americans: Evidence from the General Religious Beliefs is Important for
Social Survey. Review of Religious Subjective Well-Being. Undergraduate
Research. Vol. 45., p: 116-29 Economic Review. Vol. 6: Iss. 1,
Chang, When Chun (2009). Religious Article 11.
Attendance and subjective Well-being David, Fontana. (2003). Psychology,
in an Eastern-Culture Country: Religion, and Spirituality.Oxford: The
Empirical Evidence from Taiwan. British Psychological Society and
Marburg Journal of Religion: Volume Blackwell Publishing Ltd.
14, No. 1 Diener E, Scollon CN, Oishi S, Dzokoto V,
and Suh, M. (1997). Recent Findings
35
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan
36
Religiusitas, Penyesuaian Diri dan Subjektive Well Being
37
Nurul Muzakkiyah dan Suharnan
38