TEORI BELAJAR
PENDEKATAN METAFORIS
PENDEKATAN FILOSOFIS
A) ONTOLOGIS
B) EPISTEMOLOGIS
C) AKSIOLOGIS
Belajar penemuan (discovery learning) merupakan salah satu model pembelajaran atau
belajar kognitif yang dikembangkan oleh Bruner
Guru harus menciptakan situasi belajar yang problematis, menstimulus siswa dengan
pertanyaanpertanyaan, mencari jawaban sendiri dan melakukan eksperimen
Salah satu model belajar penemuan yang diterapkan di Indonesia adalah konsep yang
kita kenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif atau CBSA.
PENDEKATAN SCIENTIS
PENDEKATAN SUFISTIS
Dari Teori Discovery Learning ,Guru berperan sebagai tutor, fasilitator, motivator dan evaluator.
Hal ini dapat terlihat dari peranan seorang guru dalam belajar discovery berikut:
1. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu berpusat pada masalah-
masalah yang tepat untuk diketahui oleh siswa, baik secara kelompok maupun secara individu.
2. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan
masalah. Berupa:
a) Menggunakan fakta-fakta yang belawanan.
b) Menggunakan hal yang sudah dikenali oleh siswa.
c) Siswa akan merasa sanggsi dengan jawab sehigga lahirlah hipotesis siswa.
d) Menemukan konsep atau teori dari masalah yang sesungghnya.
3. Memperhatikan tiga hal, berupa cara enaktik (berifat manupulatif), ikonik (bersifat latar
belakang kemampuan internal siswa), dan cara simbolik (berdasarkan media berpikir).
4. Jika dilakukan di Labolatorium, maka guru adalah sebagai pembimbing (tutor) atau fasilitator
siswa.
5. Menilai hasil belajar, setelah adanya proses penarikan kesimpulan dari guru secara
keseluruhan. Memberikan motivasi kepada siswa untuk terus mencari dan berpikir terhadap
materi-materi yang dipandang belum diketahui. Meberi penghargaan yang berhasil dan
memutivasi bagi yang kurang beruntung.
TEORI AL GHAZALI
PENDEKATAN METAFORIS
”Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan
seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan
tempat persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan
negeri yang abadi”.
PENDEKATAN FILOSOFIS
A) ONTOLOGIS
Kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan
sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan.
B) EPISTEMOLOGIS
Menurut Imam al-Ghazali biarpun bagaimana bapak memelihara anaknya dari azab dan
kesengsaraan dunia, tentunya lebih layak dan patut memeliharanya dari api neraka. Caranya
tentu dengan mendidik, mengasuhnya dan mengajarkannya budi pekerti yang mulia (Nasruddin
Thaha, 2005: 35).
Ilustrasi yang sering digunakan al-Ghazali untuk mengingatkan bahwa salah satu kesenangan
yang disukai saat kecil adalah pertunjukan boneka. Ia mengatakan orang yang mengaku bahwa
semua gerakannya sebagai gerakannya sendiri, adalah seperti anak yang sedang Menyaksikan
boneka tersebut. Sebab ia menyangka bahwa apa yang dapat dilihat dalam dunia nyata tidak
memiliki penyebab di dunia ghaib.
Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan, jika seorang anak dididik dengan baik, dia akan
mendapatkan jalan yang baik pula kelak. Didikan yang baik watu kanak-kanak akan
meninggalkan kesan mendalam dalam hati, ibarat ukiran di atas batu (Margareth Smith,
2000: 4-5).
Dengan demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan cenderung bersifat sufistik dan
lebih banyak bersifat rohaniah. Menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan
nilai moralitas yang dibangun dari sendi-sendi akhlak Islam.
C) AKSIOLOGIS
Dalam belajar dan pembelajaran, al-Ghazâlî mengajarkan bahwa belajar adalah proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran yang bertahap, dimana proses
pembelajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah menjadi manusia sempurna.
PENDEKATAN SCIENTIS
Berkaitan dengan belajar seorang harus memperhatikan proses perkembangan psikologis anak, yang
menurut al-Ghazâlî terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
A. Al-Janîn; yaitu tingkat perkembangan anak ketika berada dalam kandungan dan setelah
ditiupkan roh pada umur empat bulan. Pada masa ini orang tua dapat mempersiapkan
pembelajaran anak dengan sebutan pembelajaran pranatal.
B. Al-Thifl, yaitu tingkatan anak yang bisa dicapai dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan
sehingga mengetahui aktifitas dan perilaku.
C. Al-Tamyîs, yaitu tingkatan anak yang dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk, bahkan
lebih jauh dari itu, akalnya telah dapat menangkap dan memahami ilmu dharuri.
D. Al-’Âqil, yaitu tingkatan yang dicapai seseorang yang sempurna akalnya bahkan telah
berkembang akalnya sehingga dapat menguasai ilmu dharûrî.
E. Al-Awliyâ’ dan al-Anbiyâ’, yaitu tingkat tertinggi dari perkembangan manusia. Pada tingkatan ini
seseorang dapat memperoleh ilmu melalui wahyu—sebagaimana seorang nabi—dan juga
melalui ilham dan ilmu ladunnî.
PENDEKATAN SUFISTIS
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…” “.... dan
ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang
tidak berkembang” (Imam al-Ghazali, tt: 3).