Anda di halaman 1dari 2

Ekonom Desak Pemerintah Terbitkan Perppu UU KPK

CNN Indonesia Senin, 30/09/2019 18:46

Jakarta, CNN Indonesia-- EkonomFaisal Basri mendesak pemerintah untuk menerbitkan


peraturan pemerintah pengganti undang-undang(perppu) terkait revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(UU KPK).
Hal ini dilakukan agar persepsi investasiIndonesia tidak memburuk.Menurut dia, jika
persepsi investasi di Indonesia kian negatif, maka keinginanpemerintah untuk
memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang mogok di kisaran 5 persen tidak akan pernah
terwujud.Ia menjelaskan revisi UU KPK yang disahkan DPR hanya berisi poin-poin yang
justru melemahkan ruang gerak KPK. Artinya, pemberantasan korupsi akan lebih sulit
dibandingkan sebelumnya.Hal itu, lanjut dia, akan dibaca investor bahwa ongkos investasi
di Indonesia akan menjadi mahal. Sebab, celah rasuah di sisi birokrasi kian terbuka,
sehingga investor sudah punya anggapan bahwa berinvestasi di Indonesia perlu merogoh
kocek yang dalam.Lihat juga:Demo Rusuh, Jalan Tol di Depan DPR Ditutup"Jika kondisi
sama seperti sekarang, maka legitimasi terhadap pemerintah ini akan terkikis. Makanya,
salah satu agenda yang mendesak ialah bagaimana pemerintah menerbitkan perppu UU
KPK," jelas Faisal, Senin (30/9).Dalam hal ini, ia kembali berkaca kala dirinya menjabat
sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Hulu Migas limatahun silam. Saat tim itu
dibentuk, ia banyak menerima keluhan dari berbagai perusahaan hulu migas internasional
terkait praktik mafia migas.Dari situ, ia menyadari bahwa pelaku usaha justru ingin
melaksanakan usaha dengan tata cara yang benar.Kalau pun ada investor yang masuk
keIndonesia, ia yakin investasi itu tidak akan berkualitas dan hanya berorientasi untuk
pasar domestik. Sebab, ongkos investasi yang mahal tak akan membuat output investasi
tersebut bersaing di pasar internasional.

Walhasil, secara tidak langsung, kondisi tersebut akan memperparah neraca perdagangan Indonesia yang
sudah defisit US$1,81 miliar sepanjangtahun ini."Pasti investasi yang masuk ke sini ya nanti investasi
yang juga doyan menyogok dan berorientasi domestik saja. Ongkos yang mahal tidak akan membuat
mereka bisa bersaing dengan luar negeri," terang Faisal.Jika tak ada perubahan, maka kondisi tersebut
bisa melemahkan dua indikator ekonomi Indonesia. Pertama, adalah skor Incremental Capital-Output
Ratio (ICOR). ICOR adalah parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan
untuk menghasilkan satu unit output.Dengan kata lain, semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi
semakin tak efisien. Saat ini, skor ICOR Indonesia berada di angka 6,3 atau lebih besar dibanding negara-
negara Asia Tenggara lain yang di kisaran 3. Jika celah korupsi terbuka, maka biaya investasi meningkat,
dan skor ICOR Indonesia akan lebih tinggi lagi.Lihat juga:Ramai Politisi di Kursi BPK, Rawan Konflik
Kepentingan"Padahal secara umumnya, negara-negara yang punya skor ICOR rendah ini bisa punya
pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik," imbuh dia.Kedua, lanjut Faisal, adalah indeks kemudahan
berusaha (Ease of Doing Business/EoDB). Ia menilai ruang korupsi di birokrasi akan memperlambat
realisasi investasi, sehingga skor EoDB Indonesia bisa terjun. Bertolak belakang dengan keinginan
Presiden Joko Widodo yang berharap peringkat EoDB Indonesia bisa tembus 40 besar dunia.Menurutnya,
sejauh ini pemberantasan korupsi selalu berkorelasi dengan perbaikan skor EODB Indonesia. Skor Indeks
Persepsi Korupsi pada 2015, misalnya, berada diangka 34. Namun, empat tahun kemudian, skornya ada di
angka 38.Hal ini senada dengan peringkat EoDB Indonesia yang naik dari peringkat 114pada 2015
menjadi 72 pada 2018. "Jadikalau ada yang bilang KPK ini menghambat investasi, hal itu justru keliru,"
katanya.Revisi UU KPK disahkan oleh DPR pada Selasa (16/9) lalu. Namun, pengesahan ini
mengundang protes dari masyarakat hingga berujung demonstrasi karena dianggap melemahkan KPK.

Anda mungkin juga menyukai