Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PAPER

POTENSI NANO NABATI KULIT BATANG NANGKA


(Artocarpus heterophyllus) SEBAGAI BAHAN PENYAMAK
KULIT
Disusun untuk mata kuliah Teknologi Hasil Ikutan Ternak Dasar

Disusun oleh:
Wahyu Adi Setiawan PT/07480
Wessy Adji Gumilang PT/07481
Muchamad Aldi Rohmawan PT/07519

LABORATORIUM TEKNOLOGI KULIT HASIL IKUTAN DAN LIMBAH


PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu hasil ikutan ternak yang dapat
dimanfaatkan menjadi berbagai produk yang memiliki nilai guna dan daya
jual yang tinggi. Kulit juga merupakan salah satu hasil ikutan ternak yang
keberadaannya mudah dijumpai pada kehidupan sehari – hari, karena
banyak produk seperti tas, dompet, jaket, sepatu dan lainnya yang
menggunakan kulit sebagai bahan baku pembuatannya. Kulit yang biasa
digunakan sebagai industri ialah kulit sapi, kulit kambing, dan kulit domba.
Kulit hewan secara alami memiliki sifat – sifat yang beragam, baik secara
fisik, secara kimia, maupun secara organoleptik.
Penyamakan merupakan proses konversi protein kulit mentah
menjadi kulit tersamak yang stabil, tidak mudah membusuk, serta cocok
untuk beragam kebutuhan. Penyamakan biasanya menggunakan garam
basa krom trivalen. Saat ini hampir semua industri kulit dunia memproses
penyamakannya dengan menggunakan bahan penyamak mineral krom
sulfat. Pemilihan bahan penyamak tersebut dikarenakan proses yang
terjadi lebih mudah, keunggulan sifat yang digunakan, serta penggunaan
produk yang beragam (Valeika et al., 2010). Industri penyamakan kulit
memiliki potensi besar dalam memanfaatkan hasil ikutan ternak. Industri
penyamakan kulit terus berkembang seiring dengan ditemukannya
pembaharuan metode penyamakan kulit yang ramah lingkungan serta
pertimbangan aspek ergonomi yang dikehendaki oleh konsumen.
PEMBAHASAN
Penyamakan merupakan proses konversi protein kulit mentah
menjadi kulit tersamak yang stabil, tidak mudah membusuk, serta cocok
untuk beragam kebutuhan. Penyamakan biasanya menggunakan garam
basa krom trivalen. Saat ini hampir semua industri kulit dunia memproses
penyamakannya dengan menggunakan bahan penyamak mineral krom
sulfat. Pemilihan bahan penyamak tersebut dikarenakan proses yang
terjadi lebih mudah, keunggulan sifat yang digunakan, serta penggunaan
produk yang beragam (Valeika et al., 2010). Tetapi disisi lain penggunaan
bahan kimia krom memiliki peranan yang besar terhadap pencemaran
lingkungan. Bahan penyamakan yang digunakan oleh industri penyamakan
kulit di Indonesia dapat dikategorikan sebagai limbah B3 yang
membahayakan bagi makhluk hidup dan lingkungan. Limbah krom
merupakan limbah logam berat yang tidak dapat terdegradasi dan akan
terakumulasi di dalam tanah.
Penelitian mengenai pemakaian alternatif bahan baku yang lebih
ramah lingkungan pada saat ini terus digaungkan. Bahan penyamak nabati
secara luas digunakan untuk proses penyamakan ulang pada produksi kulit
upper leather dari kulit sapi, kambing, dan domba. Bahan penyamak nabati
yang digunakan terdiri atas tanin (bahan penyamak), non-tanin, dan
senyawa lain yang tidak larut. Oleh karena itu pemakaian bahan nabati
dengan kadar tanin yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan penyamak
nabati yang ramah lingkungan. Tanin merupakan campuran polifenol yang
dalam tumbuhan dapat membentuk glikosida yang jika terhidrolisis terurai
membentuk aglikon dan glikon. Tanin memiliki sifat sifat polar dalam bentuk
glikosidanya. Tanin juga dapat mengendap dengan protein dan logam-
logam berat. Kedua sifat ini sangat berpengaruh terhadap cara ekstraksi
dan identifikasi senyawa tanin (Soeparno et al., 2011). Bahan penyamak
(tanin) dapat dilarutkan dalam air, alkohol, aseton, tetapi tidak dapat larut
dalam benzene, kloroform, dan pelarut organik dari petroleum eter (Haron
et al., 2012). Salah satu tanaman yang memiliki potensi untuk digunakan
sebagai bahan dasar penyamakan kulit yaitu kulit kayu nangka karena
berperan sebagai sumber tanin potensial yang digunakan sebagai proteksi
protein. Hal tersebut dikarenakan pohon nangka tumbuh subur di daerah
tropis dan cukup familiar bagi para petani maupun peternak (Wahyono et
al., 2017).
Proses penyamakan nabati secara konvensional memerlukan waktu
relatif lama sehingga tidak efektif disamping juga sulit diperoleh zat
penyamak yang konsisten, padahal bahan penyamak nabati memerlukan
konsentrasi yang sesuai. Ukuran partikel bahan penyamak nabati
berbentuk puder sangat penting karena ukuran partikel yang kecil akan
memberikan kecepatan proses dan difusinya. Pendekatan nanoteknologi
memungkinkan dibuatnya bahan penyamak nabati yang mempunyai sifat
nano. Yang dimaksud partikel nano merupakan partikel yang berukuran
lebih kecil dari 100 nm. Cara pembentukan partikel nano ada dua cara, yaitu
material dibuat dengan menyusun dan mengontrol atom demi atom atau
molekul sehingga suatu bahan memenuhi fungsi tertentu. Cara kedua yaitu
dengan dihaluskan terlebih dahulu hingga berukuran nanometer, kemudian
dari partikel halus tersebut selanjutnya dibuat material baru yang
mempunyai sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan materi aslinya
(Taufiqurrahman, 2009).
Pembuatan partikel nano nabati dapat dilakukan melalui pengecilan
ukuran kulit kayu nangka dengan crusher, kemudian kulit kayu nangka
diekstraksi secara counter current. Proses ekstraksi dapat diketahui proses
yang terbaik dengan kadar tanin tertinggi. Pembuatan puder hasil ekstraksi
dapat diproses dengan menggunakan planetary ball mill sehingga
menghasilkan partikel nano. Berdasar SNI 06-0237-1989 kulit lapis untuk
kambing maupun domba, maka derajat penyamakan untuk kulit samak
nabati ditetapkan sebesar 50%. Ditinjau dari derajat penyamakan maka
bahan penyamak nano nabati menunjukkan derajat penyamakan yang lebih
baik dan memenuhi persyaratan. Makin tinggi kadar bahan penyamak nano
nabati yakni sampai kadar 25%, menunjukkan nilai yang semakin
meningkat. Bahan penyamak nano nabati dapat terdispersi dengan lebih
baik dan merata ke dalam jaringan kulit. Akibatnya kulit yang disamak
dengan bahan nano nabati lebih kuat dan padat (Herminiwati et al., 2015).
Kemuluran kulit yang disamak dengan nano nabati juga memberikan
hasil yang baik dan tidak berbeda nyata dengan bahan penyamak lainnya,
kulit tidak mengalami pengerasan. Bahan penyamak nabati yang berupa
tanin akan berikatan dengan gugus - gugus aktif seperti hidroksil, karboksil,
dan grup amino di kolagen dalam jaringan kulit. Ikatan – ikatan yang
terbentuk mengakibatkan kulit semakin kuat dan padat. Bahan penyamak
nano nabati menunjukkan nilai kuat tarik dan kemuluran yang baik bila
dibandingkan dengan bahan penyamak impor lainnya (Herminiwati et al.,
2015).
PENUTUP

1. Kesimpulan
Teknologi penyamakan kulit yang ramah lingkungan dapat
dilakukan dengan menggunakan ekstrak tanin dari beberapa jenis
tanaman salah satunya adalah dari kulit pohon nangka. Kulit pohon
nangka dapat diolah dengan perendaman, pemerasan, penyarigan,
dan pembuatan pratikel nanon dengan PBM. Partikel nano nabati
tanin dari batang nangka dapat menggantikan fungsi kromium (III)
sulfat sebagai agen penyamak kulit yang lebih ramah lingkungan dan
dapat mengurangi potensi cemaran limbah B3.
2. Saran
Teknologi nano nabati dapat dijadikan alternatif dalam industri
kulit di dalam negeri, tidak hanya terbatas pada kulit batang pohon
nangka tapi diharapkan dapat menggunakan bahan nabati yang
lainnya seperti halnya limbah pertanian atau limbah kehutanan,
misalkan dari biji nangka, akasia, ataupun biji hingga bagian
tanaman lain yang dapat diambil ekstrak taninnya.
DAFTAR PUSTAKA
Valeika, V., Sirvaityte, J., Beleska, K. 2010. Estimation of chrome free
tanning method suitability in conformity with physical and chemical
properties of leather. Material Science. 16 (4): 330-338.
Soeparno, O., Covington, A. D., Evans, C. S. 2011. Teknologi baru
penyamakan kulit ramah lingkungan: penyamakan kombinasi
menggunakan penyamak nabati, naftol, dan oksazolidin. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian. 18(2): 79-84.
Taufiqurrahman, N. 2009. Pembuatan Nanopartikel dalam Perspektif High
Energy Milling. Workshop Nanoteknologi. Puspiptek BPPT.
Tangerang.
Haron, M. A., Palmina, K., Gurashi, A. G., Anthony, C. 2012. Potential of
vegetable tanning materials and basic aluminium sulphate in
sudanese leather industry. Suranaree Journal of Science and
Technology. 19 (1): 31-41.
Wahyono, T., Wahidin, T. S., Mar’atus, S., Megga, R. 2017. Pengaruh
penambahan tanin daun nangka (Artocarpus heterophyllus) terhadap
nilai biologis daun kelor (Moringa oleifera) dan jerami kacang hijau
(Vigna radiata) secara in vitro. Buletin Peternakan. 41 (1): 15-25.
Herminiwati, Sri, W., Christiana, M. H. P., Prayitno, Dwi, N. 2015.
Pembuatan bahan penyamak nano nabati dan aplikasinya dalam
penyamakan kulit. Majalah Kulit, Karet, dan Plastik. 31 (1): 15-22.

Anda mungkin juga menyukai