Anda di halaman 1dari 14

TEORI KONSUMSI

(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekonomi Syari’ah)

Disusun oleh:
Hani Handini (24023116489)
Nisa Wulansari (24023116411)
Reynaldi Dwinanda (24023116416)

Kelompok 5

Manajemen D/5

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GARUT
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke-hadirat Allah swt atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Teori Konsumsi” yang mana laporan ini ditujukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekonomi Syari’ah.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai Ekonomi Syariah khususnya berkenaan
dengan Teori Konsumsi pada Islam. Penulis menyadari bahwa di dalam laporan
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan terhadap tulisan yang telah dibuat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Besar harapan agar sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi penulis maupun para pembaca. Sebelumnya penulis memohon maaf apabila
terdapat kesalahan didalam penyusunan makalah ini berkaitan dengan aspek
manapun.

Garut , Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................... 1
BAB 2 LANDASAN TEORI ....................................................................... 2
2.1 Arti dan Tujuan Konsumsi Islam .................................................... 2
2.2 Batasan Konsumsi dalam Syari’ah .................................................. 5
2.3 Perilaku Konsumsi dalam Islam ....................................................... 6
2.4 Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan ............................... 8
BAB 3 PENUTUP......................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe
pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe
pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah
pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan
duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah
pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap
paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi,
distribusi. Seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling
dahulu antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab
memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan yang lainnya.
Maka sebagai khalifah bagi dirinya sendiri manusia mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan untuk mengarungi kehidupan
didunia. Demikian pula dalam masalah konsumsi, islam mengatur bagaimana
manusia dapat melakukan kegiatan – kegiatan konsumsi yang membawa manusia
berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan islam mengenai aktivitas
konsumsi terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan tentang Arti dan Tujuan Konsumsi Islam.
2. Menjelaskan Batasan Konsumsi dalam Islam.
3. Menjelaskan Perilaku Konsumsi Islam.
Menjelaskan Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arti dan Tujuan Konsumsi Islam


Nilai ekonomi tertinggi dalam islam adalah falah atau kebahagian umat di
dunia dan di akhirat yang meliputi material, spritual, indvidual, dan sosial.
Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali adalah mashlaha ( kebaikan). Karena itu,
falah adalah manfaat yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan ditambah
dengan berkah (falah = manfaat + berkah). Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi
islam adalah tercapainya atau didapatkannya ekonomi islam adalah terpercanya
atau didapatlannya falah oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Ini artinya
dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada seorangpun yang hidupnya dalam
keadaan miskin.
Dalam upanya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia
menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk
mendapatkan atau upanya mencapai falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi
islam. Mendapatkan falah dapat dilakukan melalui konsumsi, produksi, dan
distribusi berdasarkan syariat islam. Hal itu berarti bahwa seriap aktivitas yang
berhubungan dengan konsumsi, produksi, dan distribusi harus mengacu pada fiqih
islam, mana yang boleh, mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan.
Eksistensi keimanan dalam prilaku ekonomi islam manusia menjadi titik krusial
termasuk dalam konsumsi, produksi maupun distribusi.
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik
jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya
sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di
dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen
terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku
konsumsi itu antara lain:
1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meng-haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”
2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 28 yang artinya “Sesungguh-nya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk
memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang pantas”. (al-Isra’ :27-28)
3. Hadist yang menyatakan “Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum
kenyang” Hadist ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan pada manusia
untuk menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan secukupnya (hemat)
tidak rakus atau serakah sebab keserakahanlah yang menghancurkan bumi ini.
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang
dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan
tidak berlebih-lebihan (secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam adalah
untuk memaksimalkan maslahah, (kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan
(maximum utility) (P3EI UII. 2008) seperti di dalam ekonomi konvensional.
Utility merupakan kepuasan yang dirasakan seseorang yang bisa jadi kontradiktif
dengan kepentingan orang lain. Sedang-kan maslahah adalah kebaikan yang
dirasakan seseorang bersama pihak lain. Dalam memenuhi kebutuhan, baik itu
berupa barang maupun dalam bentuk jasa atau konsumsi, dalam ekonomi Islam
harus menurut syariat Islam. Konsumsi dalam Islam bukan berarti “memenuhi”
keinginan libido saja, tetapi harus disertai dengan “niat” supaya bernilai ibadah.
Dalam Islam, manusia bukan homo economicus tapi homo Islamicus. Homo
Islamicus yaitu manusia ciptaan Allah SWT yang harus melakukan segala sesuatu
sesuai dengan syariat Islam, termasuk prilaku konsum-sinya. Dalam ekonomi
Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan merupakan ibadah,
termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam
melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang
halal dan baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta men-
jauhi judi, khamar, gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang
dilakukan manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan,
kemubadziran dan menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi
terhadap barang yang halal, dengan proses yang halal dan cara yang halal,
sehingga akan diperoleh man-faat dan berkah.
Parameter kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu
saja parameter dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang
tinggi, yaitu memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini
merupakan amal shaleh. Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain
mendapat manfaat dan berkah untuk pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan
baik bukan sebaliknya. Lingkungan disini menyangkut masyarakat dan alam.
Menyangkut masya-rakat, maka setiap Muslim dalam mengkonsumsi tidak hanya
memperhatikan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain tetangga,
anak yatim dan lain sebagainya.
Mengkonsumsi barang dan jasa merupakan asumsi yang given karena sekedar
ditujukan untuk dapat hidup dan beraktifitas. Maksudnya bahwa konsumsi
dilakukan agar manusia tetap hidup, bukan hidup untuk meng-konsumsi. Dalam
memenuhi tuntutan konsumsi, setiap orang diminta untuk tetap menjaga adab-
adab Islam dan melihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan masa depan.
Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab
konsumsi diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah
perbuatan yang sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali.
Sebagai contoh, apabila prilaku konsumsi seseorang bersifat boros, misalnya saja
pada saat makan seseorang masih menyisakan makanannya sekitar 15% dari yang
dikonsumsinya. Sisa tersebut dianggap setara dengan 5 gram beras dan jika dari
6,5 milyar penduduk dunia ternyata 5% saja melakukan hal yang demikian, maka
sisa makanan yang terbuang sia-sia per hari nya yaitu sekitar 5 gram x 2 kali
makan sehari x (0,05 x 3,25 milyar) = 16.250 ton beras. Artinya makanan yang
terbuang sia-sia per hari adalah 16.250 ton dan dalam setahun sebanyak 5,850 juta
ton setara beras. Selain itu berapa banyak tenaga yang terbuang sia-sia, termasuk
energi lain yang dibutuhkan untuk memproduksi makan yang terbuang tadi.
Dengan demikian jelas bahwa pemborosan akan mempercepat kehancuran bumi
ini. Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan
memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta
diwajib-kan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat
yang membutuhkan (miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat,
Infak, Sedekah dan Wakaf (ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau
miskin berhak untuk menerima ZISWA tersebut sebagai bentuk distribusi
kekayaan. Intinya bahwa tingkat konsumsi seseorang itu (terutama Muslim)
didasarkan pada tingkat pendaapatan dan keimanan. Semakin tinggi pendapatan
dan keimanan sesorang maka semakin tinggi pengeluarannya untuk hal-hal yang
bernilai ibadah sedangkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak
akan banyak pertambahannya bahkan cenderung turun. Karena itu, konsumsi
dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah
Dengan mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Manfaat material, seperti murah, kaya, dan lainnya.
2. Manfaat fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.
3. Manfaat intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.
4. Manfaat lingkungan, eksternalitas positif.
5. Manfaat secara inter-generational dan antar-generationnal, yaitu adanya
kelestarian, bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.
Sedangkan berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu:
1. Kehalalan barang dan jasa yang dikonsumsi.
2. ‘Idak Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya
maupun bagi yang lainnya
3. Mendapat Ridho Allah.

2.2 Batasan Konsumsi Dalam Syari’ah


Dalam islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan.
Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara
pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam
bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia,
sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan
kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Dalam
konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram,
pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewah dan bermegah
– megahan, konsumsi dalam islam sebagaimana diurai dalam Alquar;an surah Al-
Baqarah [2]; 168-169.
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan.
Kebutuhan konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya
merupakan insentif pokok bagi kegiatan – kegiatan ekonominya sendiri. Mereka
mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk
meningakatnnya. Hal ini berarti pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting
dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampunnya untuk
memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Perbedaan antara
ekonomi modern dan ekonomi islam dalam hal konsumsi terleak pada cara
pendekataan dalam memenuhi kebuthan seseorang. Islam tidak mengakui
kegemaran materialistis semata – mata dan pola konsumsi modern. Islam
berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.

2.3 Perilaku Konsumsi dalam Islam


Dalam melakukan kegiatan konsumsi, Islam telah mengaturnya secara baik.
Prilaku konsumsi Islami membedakan konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang
dalam Islam disebut kebutuhan hajat dengan konsumsi yang dinginkan (wants)
atau disebut syahwat. Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat adalah
konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk hidup
secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat
merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.
Dalam melakukan konsumsi yang bersifat me-menuhi keinginan (wants) atau
syahwat adalah konsumsi yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan;
1. Apakah yang dikonsumsi tersebut ada maslahanya atau tidak
2. Tidak mempertimbangkan norma-norma yang disyariat-kan dalam Islam.
3. Kurang atau tidak mempertimbangkan akal sehat.
Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yang disebut hajat
merupakan konsumsi yang betul-betul dibutuhkan untuk hidup secara wajar dan
memperhatikan maslahatnya. Artinya konsumsi tersebut dilakukan karena barang
dan jasa yang dikonsumsi mempunyai maslahat dan dibutuhkan secara riil serta
memperhatiakan normanya. Mempunyai mashlahat itu artinya bahwa barang dan
jasa yang dikonsumsi mem-berikan manfaat untuk kehidupan dan berkah untuk
hari akhirat. Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yaang
bersifat hajat ini dapat pula dibagi dalam 3 (tiga) sifat (Mustafa Edwin dkk. 2006)
yaitu:
1. Kebutuhan (hajat) yang bersifat dhoruriyat yaitu kebutuhan dasar dimana
apabila tidak dipenuhi maka kehidupan termasuk dalam kelompok fakir
seperti sandang, pangan, papan, nikah, kendaraan dan lain lain.
2. Kebutuhan (hajat) yang bersifat hajiyaat yaitu pemenuhan kebutuhan
(konsumsi) hanya untuk mempermudah atau menambah kenikmatan seperti
makan dengan sendok. Kebutuhan ini bukan merupakan kebutuhan primer.
3. Kebutuhan (hajat) yang bersifat tahsiniyat yaitu kebutuhan di atas hajiyat dan
di bawah tabzir atau kemewahan
Selain hal-hal di atas yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam aktivitas
konsumsi, ada hal-hal lain yang juga perlu menjadi perhatian. Hal-hal lain yang
perlu diperhatikan dalm konsumsi yaitu;
1. Memenuhi kebutuhan diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat baru orang
yang memerlukan bantuan.
2. Penuhi dulu dhoruriyat, hajiyat kemudian baru tahsi-niyat.
3. Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga dan mereka yang
memerlukan bantuan sebatas kemampuan finansialnya.
4. Tidak boleh mengkonsumsi yang haram.
5. Melakukan konsumsi yang ideal yaitu antara bathil dan mengumbar
(berlebih-lebihan).
2.4 Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan
Perbedaan yang terjadi dalam fungsi konsumsi seorang muslim dengan non
muslim akan berpengaruh pada fungsi lain seperti fungsi Tabungan dan Investasi.
Hal ini disebabkan karena dalam fungsi konsumsi perilaku konsumen muslim
dipengaruhi adanya keharusan pembayaran zakat dalam konsep pendapatan
optimum serta adanya larangan pengambilan riba dalam transaksi apapun
termasuk konsumsi, investasi dan tabungan.
Pendapatan yang siap dibelanjakan seorang muslim akan berbeda dengan
bukan muslim, sebab terdapat zakat. Pendapatan seseorang telah memenuhi syarat
akan dikenakan zakat sebesar 2,5%. Seseorang biasanya akan menabung sebagian
dari pendapatannya dengan beragam motif, antara lain: (1) untuk berjaga-jaga
terhadap ketidakpastian masa depan, (2) untuk persiapan pembelian suatu barang
konsumsi dimasa depan, (3) untuk mengakumulasikan kekayaan. Ajaran islam
sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi.
1. Konsumsi dan Tabungan
Alokasi anggaran (pendapatan) untuk konsumsi total berbanding terbalik
(negatif) dengan tabungan. Semakin tinggi konsumsi berarti semakin kecil
tabungan dan sebaliknya semakin besar tabungan akan menguragi tingkat
konsumsi. Untuk mencapai tingkat kepuasan yang optimal sesuai dengan tujuan
maslahah, maka seorang muslim akan mencari kombinasi yang tepat antara
tingkat konsumsi dan tingkat tabungan.
Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada
konsumsi dan tabungan antara lain:
1. Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle
capacity) yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini
berdampak pada peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.
2. Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak
pada berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya
bersifat sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.
3. Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan
pendapatan dari perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan
mempengruhi pula pada peningkatan konsumsi mereka, dan bahkan dapat
dikatakan meningkatkan tabungan mereka.
Dari gambaran diatas, diasumsikan bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk menghindar dari zakat. Sehingga ada beberapa pilihan bagi
seseorang yang mempunyai tingkat pendapatan tertentu untuk mengambil
tindakan.
3. Konsumsi dan Investasi
Berpijak pada asumsi bahwa harta yang digunakan untuk transaksi tabungan
dianggap sebagai harta yang menganggur. Keadaan yang mungkin terjadi dengan
penerapan zakat dan larangan riba terhadap fungsi konsumsi dan investai adalah
sebagai berikut:
1. Penerapan zakat atas aset yang kurang atau bahkan tidak produktif
berpengaruh pada peningkatan konsumsi dan investasi.
2. Pelarangan atas riba akan berdampak bagi seorang pelaku pekonomi untuk
mengalokasikan anggarannya lebih kepada bentuk investasi dan bukan
tabungan yang mengandung bunga.
3. Dengan peningkatan konsumsi masing-masing individu akan menimbulkan
kenaikan konsumsi secara nasional.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Nilai ekonomi tertinggi dalam islam adalah falah atau kebahagian umat di
dunia dan di akhirat yang meliputi material, spritual, indvidual, dan sosial.
Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali adalah mashlaha (kebaikan). Karena itu,
falah adalah manfaat yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan ditambah
dengan berkah. Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi islam adalah tercapainya
atau didapatkannya ekonomi islam dengan terpercanya atau didapatkannya falah
oleh setiap individu dalam suatu masyarakat.
Falah tersebut lahir lah teori konsumsi menurut islam dan menurut syari’ah.
Adanya konsumsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Dalam
memenuhi kebutuhan, baik berupa barang maupun dalam bentuk jasa atau
konsumsi harus menurut syariat islam. Dalam melakukan kegiatan konsumsi
islam telah mengaturnya secara baik. Maka dengan melihat tujuan utama
berkonsumsi bahwa pergerak awal kegiatan konsumsi dalam ekonomi
konvensional adalah adanya keinginan. Seseorang berkonsumsi karena ingin
memenuhi keinginannya sehingga dapat mencapai kepuasan yang maksimal. Hal
ini merupakan dasar dan tujuan dari syaria’ah islam yaitu maslahat al ibad
(kesejahteraan hakiki bagi manusia) dan sekaligus sebagai cara untuk mendaptkan
falah yang maksimum.
DAFTAR PUSTAKA

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3E1) UII. 2008. Ekonomi
Islam. Pt Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Qardahawi, Syeikh Yusuf. 1997. Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian
Islam, Jakarta. Robbani Press.

Ikhwan Basri. 2009. Tazkia Cendekia – Jakarta, Indonesia. All rights reserved.
Situs ini dikelola dan dikembangkan oleh Tazkia Group.

Mustafa Edwin Nasution dkk. 2010. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam.


Jakarta Kencana. 2010.

Anda mungkin juga menyukai