HORMON
“KORTISOL PADA KONDISI STRES”
Oleh:
Selly Marlina (0402518026)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas maka muncul permasalahan bagaimana
regulasi hormon kortisol pada kondisi stress dan sistem imun?
C. Tujuan Penulisan
Ulasan ini bertujuan untuk memahami bagaimana regulasi hormon kortisol pada
kondisi stress dan sistem imun.
II. LANDASAN TEORI
A. Hormon
Asal kata hormon dari bahasa Yunani yakni hormaen yang berarti menggerakkan.
Hormon merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh suatu bagian dalam tubuh. Organ
yang berperan dalam sekresi hormon dinamakan kelenjar endokrin. Disebut demikian
karena hormon yang disekresikan diedarkan ke seluruh tubuh oleh darah dan tanpa
melewati saluran khusus. Di pihak lain, terdapat pula kelenjar eksokrin yang
mengedarkan hasil sekresinya melalui saluran khusus. Hormon adalah zat kimia dalam
bentuk senyawa organic yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Hormon mengatur
aktivitas seperti : metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan. Hormon
mengatur aktivitas seperti metabolisme, reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan.
Pengaruh hormon dapat terjadi dalam beberapa detik, hari, minggu, bulan, dan bahkan
beberapa tahun, (Wikipedia, 2019). Walaupun jumlah yang diperlukan sedikit, namun
keberadaan hormon dalam tubuh sangatlah penting. Ini dapat diketahui dari fungsinya
yang berperan antara lain dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh, proses
reproduksi, metabolisme zat, dan lain sebagainya.
Definisi hormon menurut Indah (2014) adalah senyawa organik yang dihasilkan
oleh kelenjar endokrin (kelenjar buntu). Semua organisme multiselular, termasuk
tumbuhan, memproduksi hormon. Hormon berfungsi untuk memberikan sinyal ke sel
target yang selanjutnya akan melakukan suatu tindakan atau aktivitas tertentu.
B. Hormon Kortisol
Hormon kortisol adalah hormon yang diproduksi pada kelenjar adrenal. Kelenjar
adrenal sendiri merupakan penghasil hormon yang berada diatas ginjal. Kortisol
kemudian akan dilepaskan ke dalam darah dan dialirkan ke seluruh tubuh. Kortisol
adalah glukokortikoid utama dihasilkan oleh zona fasikulata (ZF) dan zona reticularis
(ZR) bagian dalam yang dirangsang oleh ACTH (adenokortikotropik hormon). Sekresi
kortisol memiliki pola tertinggi ketika bangun tidur (pagi) dan terendah pada waktu tidur
(malam atau bed time). Sekresi kortisol mencapai puncaknya antara pukul 06.00 sampai
08.00 WIB. Selain itu, produksi kortisol juga meningkat pada waktu latihan fisik karena
penting untuk meningkatkan glukosa dan asam lemak bebas sebagai bahan pembentuk
energi. Jumlah kortisol normal yaitu pada jam 09.00 WIB sebesar 6-20 µg/dl, pada
tengah malam kurang dari 8 µg/dl, (Matin, 2018).
Produksi kortisol dikendalikan oleh tiga organ dalam tubuh yaitu hipotalamus
diotak, kelenjar pituitari, dan kelenjar adrenal. Normalnya, kortisol ada dalam tubuh
dengan kadar yang wajar. Bila kadar kortisol dalam darah menurun, ketiga organ
tersebut akan bekerja sama untuk memicu produksi kortisol. Faktor lainnya seperti stress
atau aktivitas fisik juga memengaruhi proses produksi kortisol. Ketika stress atau sedang
olahraga produksi hormone kortisol akan meningkat. Hal ini terjadi supaya tubuh
mampu merespon atau beradaptasi terhadap faktor-faktor pemicu yang disebabkan
karena aktivitas fisik atau stress, (Machmudah, et. al., 2018).
Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress, diperkirakan berkaitan
dengan efek metaboliknya. Kortisol mempunyai efek metabolik yaitu meningkatkan
konsentrasi glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu
anggapan yang logis adalah bahwa peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan
asam lemak tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan stress.
Fungsi kortisol berlawanan dengan insulin yaitu menghambat sekresi insulin dan
meningkatkan proses glukoneogenesis di Hepar. Sekresi kortisol juga dirangsang oleh
beberapa faktor seperti trauma, infeksi, dan berbagai jenis stres. Kortisol akan
menghambat proteksi dan efek dari berbagai mediator dari proses inflamasi dan imunitas
seperti interleukin-6 (IL-6), Lymphokines, Prostaglandins, dan histamine.
Jumlah dari kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal adalah tepat seimbang.
Seperti hormon lainnya, kortisol diatur oleh hipotalamus yang merupakan salah satu
bagian dari otak, dan kelenajr pituitari. Pertama,
hipotalamus mengeluarkan hormon pemicu yang
disebut corticotropin-releasing hormone (CRH) yang
dapat menghantarkan signal untuk membuat kelenjar
pituitari dapat mengeluarkan ACTH. ACTH
menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan
kortisol. Kortisol lalu memberikan signal kembali
kepada kedua pihak kelenjar pituitari dan
hipotalamus untuk mengurangi hormon pemicu
(mekanisme inhibisi umpan balik).
Gambar 3. Mekanisme produksi hormon kortisol
Mekanisme pelepasan hormon kortisol atau hormon glukokortikoid lebih rincinya
ditampilkan dalam Gambar 4 berikut ini:
C. Kondisi Stres
Stres merupakan reaksi tubuh terhadap berbagai situasi mengancam yang dapat
menyebabkan perubahan baik secara fisik maupun fisiologis yang akan mengganggu
homeostasis. Otak merupakan organ utama yang menginterpretasi, merespon sekaligus
merupakan target dari hormon stres karena otak menentukan stimulus mana yang
mengancam dan otak juga berperan dalam mengatur fungsi fisiologis dan tingkah laku
sebagai respon terhadap stresor.
Sebagai pusat kontrol dari sistem stres, sel-sel parvoselulardan nucleus
paraventricular hipotalamus menghasilkan corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
hormon arginine-vasopressin (AVP), sedangkan Neuron noradrenergik dari locus
coeruleus (LC) batang otak melepaskan norepinefrin (NE). Respon terhadap stres
terutama ditandai dengan adanya aktivasi dari sistem simpatoadreno-medullariyang
menghasilkan epinefrin dan norepinefrin dan sistem hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)
yang menghasilkan hormon kortikosteroid. Sebagai permulaan dihasilkan katekolamin
yang kemudian diikuti dengan peningkatan kadar hormon kortikosteroid. Katekolamin
disekresi dan kemudian menyebabkan aktivasi second messenger di neuron pascasinaps
dalam waktu beberapa detik, sedangkan hormon kortikosteroid disekresi dalam waktu
beberapa menit dan menimbulkan efek hingga berjam-jam hingga kemudian terlibat
dalam proses transkripsi gen. Aktivasi dari sistem stres ini akan menyebabkan perubahan
pada sistem fisiologis tubuh yang memperantarai kemampuan organisme untuk
mempertahankan homeostasis dan meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup.
III. PEMBAHASAN
A. Kortisol pada Kondisi Stres
Kemampuan tubuh dalam melakukan respon dan adaptasi dapat mengalami
kerusakan, yang diakibatkan oleh dinamika baru tersebut secara terus menerus, sehingga
menyebabkan tekanan atau stres yang tidak mampu ditanggulangi oleh tubuh. Stres baik
fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatan sistem yang melibatkan sistem stres
di otak dan komponen saraf tepi, HPA axis dan sistem saraf otonomi (Mastorakos
dkk.,2005), serta melibatkan neurohormon, sehingga banyak hormon kortisol disekresi,
untuk mempertahankan keseimbangan (homeostatis) tubuh, (Hackney, 2006).
Keterlibatan system syaraf dan hormon dalam merespon stres disampikan pada Gambar
berikut:
Gambar di atas menjelaskan bahwa pusat kontrol stres terdapat di hipotalamus dan
batang otak, termasuk parvoselular kortikotropin hormone (CRH) dan
Orgininevasopressin (AVP), paraventricular nuclei (PVN) dalam hipotalamus dan juga
locus ceruleus (LS)-norepineprin (Sistem saraf simpatik/SAM). Hipotalamik-
pituitariadrenal axis (HPA axis) yang merupakan representati dari system limbic, melalui
otak mempengaruhi seluruh organ tubuh. Interaksi antara pusat stres dengan system
kontrol otak memberikan keuntungan bagi system tubuh. Interaksi tersebut berpengaruh
terhadap fenomena afeksi dan antisipasi (Sistem Mesokortikal/Mesolimbik); yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi dari sistem aktifitas stres (Amygdala/Hippocampus
kompleks) dan pembentuk sensasi rasa sakit (Arkuate Nukleus), (Sugiharto, 2012).
Respon hormonal terhadap stres dianggap sebagai mekanisme pertahanan untuk
menjaga kehidupan selama terjadi stres, yang mengancam kehidupan. HPA axis
memiliki peran dalam menjaga kehidupan (Carrasco & Van de Kar, 2003). Secara
fisiologi stres mengaktifkan HPA axis dan system saraf simpatis, corticotrophin-
releasing hormone–corticotrophin-releasing factor (CRH-CRF) dan arginine vasopressin
(AVP). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari kelenjar posterior
dan mengaktifkan neuron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/NE).
Sistem LC/NE bertanggungjawab untuk merespon langsung terhadap stresor dengan
“melawan atau lari/fight or flight), yang didorong oleh epinefrin dan norepinefrin,
sedangkan ACTH merangsang disekresinya kortisol dari kortek adrenal (lihat Gambar
3). Peningkatan sekresi kortisol memiliki efek metabolik dengan meningkatkan
glukoneogensis, meningkatkan mobilisasi lemak dan protein, serta menurunkan
sensifitas insulin, hormon pertumbuhan (GH-T3) dan menurunnya respon peradangan
(Gulliams & Edwards, 2010).
Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stres psikis
dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar
kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing
factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah,
sehingga mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di
tempat ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh
pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan
berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan
berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila stresor yang diterima
hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang yang
diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga
meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping mecahnism menjadi positif,
maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres berulang
lagi. Dalam kondisi gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol meningkat. Akibat stress,
sekresi kortisol dapat meningkat sampai 20 kali, (Lisidana, 2012).
Respon stres terhadap tubuh menurut Carrasco & Van de Kar (2003) dapat
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk
mempertahankan fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ ketajaman/
kepekaan tubuh terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung,
respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke otot dan otak,
(d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat system fisiologi
reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan.
Peningkatan kortisol akibat stres dapat menurunkan uptake dan utilisasi glukosa
oleh sel saraf dan sel glia. Kortisol memicu translokasi glucose transporter3 (GLUT-3)
masuk kembali ke dalam sel, sekaligus menurunkan ekspresi mRNA GLUT-3. Hal ini
menyebabkan penurunan kadar ATP selama kondisi stres dan akan berdampak dengan
terganggunya efikasi long term potentiation (LTP) yang merupakan mekanisme dasar
pembangunan memori dan proses belajar. Inhibisi GLUT-3 oleh kortisol ini juga
menyebabkan kerentanan terhadap energi sehingga hipokampus kesulitan dalam
melakukan berbagai fungsi vital seperti reuptake glutamat, efluks Ca2+ dan memperbaiki
kerusakan oksidatif yang terjadi. Kortisol diketahui mempengaruhi elekrofisiologi dan
menurunkan eksitabilitas neuron di hipokampus yang disebabkan adanya peningkatan ion
Ca2+ di sitoplasma. Kortisol dapat meningkatkan konduktansi pompa ion Ca2+ sehingga
akan terjadi influks Ca2+ diikuti dengan ekstrusi Ca2+ dalam jumlah besar ke dalam
sitoplasma. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya supresi pompa Ca2+ ATPase
akibat aktivasi reseptor GR oleh kortisol. Peningkatan ion Ca2+ ini akan meningkatkan
after-hyperpolarization yang akan memperpanjang periode refraktori neuron di
hipokampus. Stres dapat meningkatkan kadar glutamat di ekstraseluler jaringan otak.
Kortisol melalui aktivasi GR dapat meningkatkan jumlah vesikel sinaptik glutamat di
permukaan membran sinaps sehingga makin banyak jumlah glutamat yang siap
dilepaskan. Di level presinaptik, kortisol memicu peningkatan jumlah kompleks SNARE
yang merupakan kompleks protein yang memperantarai pelepasan neurotransmitter
termasuk glutamat oleh neuron presinaps. Sebagai tambahan, stres juga mempengaruhi
fungsi sel glia, (Sugiharto, 2012).
Stres dapat menurunkan jumlah sel glia, ditandai dengan menurunnya ekspresi glial
fibrillary acid protein (GFAP), dengan cara menghambat proliferasi progenitor sel glia.
Streskronik juga dapat menghambat mekanisme “pembersihan” glutamat dari celah sinaps
oleh excitatory amino acid transporters (EAATs) sel glia. Eksotoksisitas glutamat akan
berdampak pada gangguan regulasi ion Ca2+. Glutamat dapat menginduksi peningkatan
konsentrasi ion Ca2+ di sitoplasma dengan cara mengaktifkan reseptor AMPA, NMDA
dan voltage-dependent Ca2+ channels (VDCC). Selain itu, aktivasi reseptor glutamat pada
GTP-binding protein dapat menstimulasi pelepasan inositol triphosphate (IP3) yang akan
mengaktifkan pintu Ca2+ pada retikulum endoplasma, (Sugiharto, 2012).
B. Kortisol, Stres dan Sistem Imun
Sel saraf neurosekresi dari hipotalamus bagian medial menyintesis beberapa hormon.
ADH atau vasopresin dan RH (Releasing Hormone). Salah satu Releasing Hormone adalah
CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus menuju hipofisis anterior melalui
kapiler hypophyseal portal venous plexus. CRH dari hipotalamus menginduksi
proopiomelanocortin untuk membentuk TH (Tropin Hormone) yang sesuai dari hipofisis
lobus anterior. Yang berperan dalam respon stres secara umum yaitu ACTH
(Adrenocorticotropin Hormone). ACTH kemudian menstimulasi korteks adrenal sebagai
kelenjar target untuk meningkatkan produksi glukokortikoid. Hormon akhir dari HPA axis ini
adalah kortisol.
Di dalam HPA axis ini sebenarnya juga terjadi pengaturan umpan balik hormon.
Umpan balik adalah keadaan yang merupakan respon terhadap suatu sinyal. Pada umpan
balik positif (jarang) rangsang diperkuat oleh sinyal. Hal ini menyebabkan respons yang
berikutnya menjadi lebih besar, yang menghasilkan suatu rangsangan yang tetap lebih besar.
Sedangkan pada umpan balim negatif, rangsang diturunkan oleh respon. Seperti kebanyakan
mekanisme pengaturan lainnya pada organisme. Kerja hormon kebanyakan diutamakan untuk
umpan balik negatif. Releasing Hormone dari hipotalamus (misalnya CRH) menyeabkan
pelepasan Tropic Hormone yang sesuai dari hipofisis lobus anterior (misalnya ACTH),
kemudian ACTH mempengaruhi kelenjar endokrin di perifer (korteks adrenal). Hormon akhir
ini (sebagai contoh, kortisol) tidak hanya bekerja pada sel target, tetapi juga menghambat
sekresi RH di hipotalamus, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan jumlah hormon
akhir itu sendiri. Penghambatan sekresi RH dan hormon akhir dikurangi dengan cara ini dan
seterusnya (Despopoulos, 1998).
Pada kondisi stres kronis, kinerja HPA axis akan meningkat dan sebagai dampak, kadar
glukokortikoid menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian imunologis, glukokortikoid
memberikan dampak pada keseimbangan sel-sel imun. Hal ini dikarenakan pada permukaan
sel-sel imun (sebagai contoh, limfosit) terdapat reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid yang
berikatan dengan reseptor pada sel limfosit akan menghambat aktivasi dari gen sehingga akan
mengganggu produksi sitokin yang dihasilkan sel limfosit. Sitokin adalah protein yang dibuat
oleh sel-sel yang mempengaruhi sel-sel lain. Dapat dikatakan sitokin merupakan mediator
komunikasi pengatur imunitas. Terganggunya produksi sitokin sel limfosit mengakibatkan
kekacauan sistem imun.