Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Biokimia lanjut

HORMON
“KORTISOL PADA KONDISI STRES”

Dikutip dari Jurnal


“Depression and Cortisol Responses to Psychological Stress”

Oleh:
Selly Marlina (0402518026)

PENDIDIKAN IPA KONSENTRASI BIOLOGI


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisme multiseluler memerlukan mekanisme untuk komunikasi antar sel agar dapat
memberi respon dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal dan internal yang
selalu berubah-ubah. Sistem Endokrin dan susunan saraf merupakan alat utama dimana tubuh
mengkomunikasikan antara berbagai jaringan dan sel. Sistem saraf sering di pandang sebagai
pembawa pesan melalui sistem stuktural yang tetap. Sistem Endokrin dimana berbagai
macam “Hormon” di sekresikan oleh kelenjar spesifik, di angkut sebagai pesan yang
bergerak untuk bereaksi pada sel atau organ targetnya (definisiklasik dari hormon), (Indah,
2004).
Hormon merupakan mediator kimia yang mengatur aktivitas sel / organ tertentu.
Hormon dikeluarkan dan masuk ke aliran darah dalam konsentrasi rendah hingga menuju ke
organ atau sel target. Beberapa hormon membutuhkan substansi pembawa seperti protein
agar tetap berada di dalam darah. Hormon lainnya membutuhkan substansi yang disebut
dengan reservoir hormon supaya kadar hormon tetap konstan dan terhindar dari reaksi
penguraian kimia. Saat hormon sampai pada sel target, hormon harus dikenali oleh protein
yang terdapat di sel yang disebut reseptor. Molekul khusus dalam sel yang disebut duta kedua
(second messenger) membawa informasi dari hormon ke dalam sel, (Indah, 2004).
Tindakan yang dilakukan karena pesan hormon sangat bervariasi, termasuk
diantaranya adalah perangsangan atau penghambatan pertumbuhan serta apoptosis (kematian
sel terprogram), pengaktifan atau penonaktifan sistem kekebalan, pengaturan metabolisme
dan persiapan aktivitas baru (misalnya terbang, kawin, dan perawatan anak), atau fase
kehidupan (misalnya pubertas dan menopause). Pada banyak kasus, satu hormon dapat
mengatur produksi dan pelepasan hormon lainnya. Hormon juga mengatur siklus reproduksi
pada hampir semua organisme multiselular. Pada hewan, hormon yang paling dikenal adalah
hormon yang diproduksi oleh kelenjar endokrin vertebrata. Walaupun demikian, hormon
dihasilkan oleh hampir semua sistem organ dan jenis jaringan pada tubuh hewan. Molekul
hormon dilepaskan langsung ke aliran darah, walaupun ada juga jenis hormon yang disebut
ektohormon yang tidak langsung dialirkan ke aliran darah, melainkan melalui sirkulasi atau
difusi ke sel target.
Pada prinsipnya pengaturan produksi hormon dilakukan oleh hipotalamus (bagian dari
otak). Hipotalamus mengontrol sekresi banyak kelenjar yang lain, terutama melalui kelenjar
pituitari, yang juga mengontrol kelenjar-kelenjar lain. Hipotalamus akan memerintahkan
kelenjar pituitari untuk mensekresikan hormonnya dengan mengirim faktor regulasi ke lobus
anteriornya dan mengirim impuls saraf ke lobus posteriornya.
Hormon juga ternyata berpengaruh pada kondisi stress seseorang. Hormon yang
berpengaruh pada saat kondisi stress berlangsung yaitu hormon kortisol. Sel saraf tertentu
dari hipotalamus menyekresikan hormone, ini disebut neurosekresi. Hormon yang disintesis
dalam sel saraf tidak dilepaskan ke dalam celah sinaps seperti substansi-sustansi perantara,
tetapi langsung masuk ke dalam darah. Sel saraf neurosekresi dari hipotalamus bagian medial
menyintesis beberapa hormon. ADH atau vasopresin dan RH (Releasing Hormone). ADH
dibawa ke hipofisis lobus posterior sedangkan RH dibawa ke hipofisis lobus anterior. Salah
satu Releasing Hormone adalah CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus
menuju hipofisis anterior melalui kapiler hypophyseal portal venous plexus. CRH dari
hipotalamus menginduksi proopiomelanocortin untuk membentuk TH (Tropin Hormone)
yang sesuai dari hipofisis lobus anterior. Yang berperan dalam respon stres secara umum
yaitu ACTH (Adrenocorticotropin Hormone). ACTH kemudian menstimulasi korteks adrenal
sebagai kelenjar target untuk meningkatkan produksi glukokortikoid, (Burke, et. al., 2005).
Hormon akhir dari HPA axis ini adalah kortisol.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas maka muncul permasalahan bagaimana
regulasi hormon kortisol pada kondisi stress dan sistem imun?

C. Tujuan Penulisan
Ulasan ini bertujuan untuk memahami bagaimana regulasi hormon kortisol pada
kondisi stress dan sistem imun.
II. LANDASAN TEORI
A. Hormon
Asal kata hormon dari bahasa Yunani yakni hormaen yang berarti menggerakkan.
Hormon merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh suatu bagian dalam tubuh. Organ
yang berperan dalam sekresi hormon dinamakan kelenjar endokrin. Disebut demikian
karena hormon yang disekresikan diedarkan ke seluruh tubuh oleh darah dan tanpa
melewati saluran khusus. Di pihak lain, terdapat pula kelenjar eksokrin yang
mengedarkan hasil sekresinya melalui saluran khusus. Hormon adalah zat kimia dalam
bentuk senyawa organic yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Hormon mengatur
aktivitas seperti : metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan. Hormon
mengatur aktivitas seperti metabolisme, reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan.
Pengaruh hormon dapat terjadi dalam beberapa detik, hari, minggu, bulan, dan bahkan
beberapa tahun, (Wikipedia, 2019). Walaupun jumlah yang diperlukan sedikit, namun
keberadaan hormon dalam tubuh sangatlah penting. Ini dapat diketahui dari fungsinya
yang berperan antara lain dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh, proses
reproduksi, metabolisme zat, dan lain sebagainya.
Definisi hormon menurut Indah (2014) adalah senyawa organik yang dihasilkan
oleh kelenjar endokrin (kelenjar buntu). Semua organisme multiselular, termasuk
tumbuhan, memproduksi hormon. Hormon berfungsi untuk memberikan sinyal ke sel
target yang selanjutnya akan melakukan suatu tindakan atau aktivitas tertentu.

B. Hormon Kortisol
Hormon kortisol adalah hormon yang diproduksi pada kelenjar adrenal. Kelenjar
adrenal sendiri merupakan penghasil hormon yang berada diatas ginjal. Kortisol
kemudian akan dilepaskan ke dalam darah dan dialirkan ke seluruh tubuh. Kortisol
adalah glukokortikoid utama dihasilkan oleh zona fasikulata (ZF) dan zona reticularis
(ZR) bagian dalam yang dirangsang oleh ACTH (adenokortikotropik hormon). Sekresi
kortisol memiliki pola tertinggi ketika bangun tidur (pagi) dan terendah pada waktu tidur
(malam atau bed time). Sekresi kortisol mencapai puncaknya antara pukul 06.00 sampai
08.00 WIB. Selain itu, produksi kortisol juga meningkat pada waktu latihan fisik karena
penting untuk meningkatkan glukosa dan asam lemak bebas sebagai bahan pembentuk
energi. Jumlah kortisol normal yaitu pada jam 09.00 WIB sebesar 6-20 µg/dl, pada
tengah malam kurang dari 8 µg/dl, (Matin, 2018).
Produksi kortisol dikendalikan oleh tiga organ dalam tubuh yaitu hipotalamus
diotak, kelenjar pituitari, dan kelenjar adrenal. Normalnya, kortisol ada dalam tubuh
dengan kadar yang wajar. Bila kadar kortisol dalam darah menurun, ketiga organ
tersebut akan bekerja sama untuk memicu produksi kortisol. Faktor lainnya seperti stress
atau aktivitas fisik juga memengaruhi proses produksi kortisol. Ketika stress atau sedang
olahraga produksi hormone kortisol akan meningkat. Hal ini terjadi supaya tubuh
mampu merespon atau beradaptasi terhadap faktor-faktor pemicu yang disebabkan
karena aktivitas fisik atau stress, (Machmudah, et. al., 2018).
Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress, diperkirakan berkaitan
dengan efek metaboliknya. Kortisol mempunyai efek metabolik yaitu meningkatkan
konsentrasi glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu
anggapan yang logis adalah bahwa peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan
asam lemak tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan stress.
Fungsi kortisol berlawanan dengan insulin yaitu menghambat sekresi insulin dan
meningkatkan proses glukoneogenesis di Hepar. Sekresi kortisol juga dirangsang oleh
beberapa faktor seperti trauma, infeksi, dan berbagai jenis stres. Kortisol akan
menghambat proteksi dan efek dari berbagai mediator dari proses inflamasi dan imunitas
seperti interleukin-6 (IL-6), Lymphokines, Prostaglandins, dan histamine.

Jumlah dari kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal adalah tepat seimbang.
Seperti hormon lainnya, kortisol diatur oleh hipotalamus yang merupakan salah satu
bagian dari otak, dan kelenajr pituitari. Pertama,
hipotalamus mengeluarkan hormon pemicu yang
disebut corticotropin-releasing hormone (CRH) yang
dapat menghantarkan signal untuk membuat kelenjar
pituitari dapat mengeluarkan ACTH. ACTH
menstimulasi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan
kortisol. Kortisol lalu memberikan signal kembali
kepada kedua pihak kelenjar pituitari dan
hipotalamus untuk mengurangi hormon pemicu
(mekanisme inhibisi umpan balik).
Gambar 3. Mekanisme produksi hormon kortisol
Mekanisme pelepasan hormon kortisol atau hormon glukokortikoid lebih rincinya
ditampilkan dalam Gambar 4 berikut ini:

Gambar. Mekanisme Pelepasan Hormon Glukokortikoid (Hormon Kortisol)


Hormon kortisol berasal dari Zona Fasciculata dari medula kelenjar adrenal dan
merupakan hormon steroid, hormon ini berdifusi melalui membran dan bekerja di dalam sel.
Di hipotalamus, corticotropin-releasing hormone (CRH) dibebaskan dan menyebabkan
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang menyebabkan sekresi kortisol,
perwakilan utama dari glukokortikoid. Kortisol mengikat dua reseptor di sitosol. Reseptor
tipe I mempunyai afinitas yang tinggi terhadap kortisol, tetapi juga mengikat aldosteron.
Tetapi, konsentrasi intraseluler kortisol selalu lebih besar sehingga reseptor mengikat dapat
kortisol secara khusus. Reseptor tipe II adalah reseptor yang khusus mengikat kortisol tetapi
dengan afinitas yang rendah. Pada saat konsentrasi tinggi, reseptor berlaku sebagai pengatur
khusus dalam situasi stress.Kortisol adalah hormon stres, dan sebagian besar fungsinya
adalah mengindikasi glukoneogenesis, meningkatkan tingkat asam lemak dalam darah, dan
mengurangi metabolisme anabolik dengan menghambat sintesis protein otot.

C. Kondisi Stres
Stres merupakan reaksi tubuh terhadap berbagai situasi mengancam yang dapat
menyebabkan perubahan baik secara fisik maupun fisiologis yang akan mengganggu
homeostasis. Otak merupakan organ utama yang menginterpretasi, merespon sekaligus
merupakan target dari hormon stres karena otak menentukan stimulus mana yang
mengancam dan otak juga berperan dalam mengatur fungsi fisiologis dan tingkah laku
sebagai respon terhadap stresor.
Sebagai pusat kontrol dari sistem stres, sel-sel parvoselulardan nucleus
paraventricular hipotalamus menghasilkan corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
hormon arginine-vasopressin (AVP), sedangkan Neuron noradrenergik dari locus
coeruleus (LC) batang otak melepaskan norepinefrin (NE). Respon terhadap stres
terutama ditandai dengan adanya aktivasi dari sistem simpatoadreno-medullariyang
menghasilkan epinefrin dan norepinefrin dan sistem hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA)
yang menghasilkan hormon kortikosteroid. Sebagai permulaan dihasilkan katekolamin
yang kemudian diikuti dengan peningkatan kadar hormon kortikosteroid. Katekolamin
disekresi dan kemudian menyebabkan aktivasi second messenger di neuron pascasinaps
dalam waktu beberapa detik, sedangkan hormon kortikosteroid disekresi dalam waktu
beberapa menit dan menimbulkan efek hingga berjam-jam hingga kemudian terlibat
dalam proses transkripsi gen. Aktivasi dari sistem stres ini akan menyebabkan perubahan
pada sistem fisiologis tubuh yang memperantarai kemampuan organisme untuk
mempertahankan homeostasis dan meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup.

III. PEMBAHASAN
A. Kortisol pada Kondisi Stres
Kemampuan tubuh dalam melakukan respon dan adaptasi dapat mengalami
kerusakan, yang diakibatkan oleh dinamika baru tersebut secara terus menerus, sehingga
menyebabkan tekanan atau stres yang tidak mampu ditanggulangi oleh tubuh. Stres baik
fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatan sistem yang melibatkan sistem stres
di otak dan komponen saraf tepi, HPA axis dan sistem saraf otonomi (Mastorakos
dkk.,2005), serta melibatkan neurohormon, sehingga banyak hormon kortisol disekresi,
untuk mempertahankan keseimbangan (homeostatis) tubuh, (Hackney, 2006).
Keterlibatan system syaraf dan hormon dalam merespon stres disampikan pada Gambar
berikut:
Gambar di atas menjelaskan bahwa pusat kontrol stres terdapat di hipotalamus dan
batang otak, termasuk parvoselular kortikotropin hormone (CRH) dan
Orgininevasopressin (AVP), paraventricular nuclei (PVN) dalam hipotalamus dan juga
locus ceruleus (LS)-norepineprin (Sistem saraf simpatik/SAM). Hipotalamik-
pituitariadrenal axis (HPA axis) yang merupakan representati dari system limbic, melalui
otak mempengaruhi seluruh organ tubuh. Interaksi antara pusat stres dengan system
kontrol otak memberikan keuntungan bagi system tubuh. Interaksi tersebut berpengaruh
terhadap fenomena afeksi dan antisipasi (Sistem Mesokortikal/Mesolimbik); yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi dari sistem aktifitas stres (Amygdala/Hippocampus
kompleks) dan pembentuk sensasi rasa sakit (Arkuate Nukleus), (Sugiharto, 2012).
Respon hormonal terhadap stres dianggap sebagai mekanisme pertahanan untuk
menjaga kehidupan selama terjadi stres, yang mengancam kehidupan. HPA axis
memiliki peran dalam menjaga kehidupan (Carrasco & Van de Kar, 2003). Secara
fisiologi stres mengaktifkan HPA axis dan system saraf simpatis, corticotrophin-
releasing hormone–corticotrophin-releasing factor (CRH-CRF) dan arginine vasopressin
(AVP). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari kelenjar posterior
dan mengaktifkan neuron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/NE).
Sistem LC/NE bertanggungjawab untuk merespon langsung terhadap stresor dengan
“melawan atau lari/fight or flight), yang didorong oleh epinefrin dan norepinefrin,
sedangkan ACTH merangsang disekresinya kortisol dari kortek adrenal (lihat Gambar
3). Peningkatan sekresi kortisol memiliki efek metabolik dengan meningkatkan
glukoneogensis, meningkatkan mobilisasi lemak dan protein, serta menurunkan
sensifitas insulin, hormon pertumbuhan (GH-T3) dan menurunnya respon peradangan
(Gulliams & Edwards, 2010).
Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stres psikis
dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar
kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing
factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah,
sehingga mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di
tempat ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh
pituitary, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan
berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan
berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila stresor yang diterima
hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang yang
diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga
meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping mecahnism menjadi positif,
maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres berulang
lagi. Dalam kondisi gelisah, cemas dan depresi, sekresi kortisol meningkat. Akibat stress,
sekresi kortisol dapat meningkat sampai 20 kali, (Lisidana, 2012).

Respon stres terhadap tubuh menurut Carrasco & Van de Kar (2003) dapat
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk
mempertahankan fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ ketajaman/
kepekaan tubuh terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung,
respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke otot dan otak,
(d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat system fisiologi
reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan.

Peningkatan kortisol akibat stres dapat menurunkan uptake dan utilisasi glukosa
oleh sel saraf dan sel glia. Kortisol memicu translokasi glucose transporter3 (GLUT-3)
masuk kembali ke dalam sel, sekaligus menurunkan ekspresi mRNA GLUT-3. Hal ini
menyebabkan penurunan kadar ATP selama kondisi stres dan akan berdampak dengan
terganggunya efikasi long term potentiation (LTP) yang merupakan mekanisme dasar
pembangunan memori dan proses belajar. Inhibisi GLUT-3 oleh kortisol ini juga
menyebabkan kerentanan terhadap energi sehingga hipokampus kesulitan dalam
melakukan berbagai fungsi vital seperti reuptake glutamat, efluks Ca2+ dan memperbaiki
kerusakan oksidatif yang terjadi. Kortisol diketahui mempengaruhi elekrofisiologi dan
menurunkan eksitabilitas neuron di hipokampus yang disebabkan adanya peningkatan ion
Ca2+ di sitoplasma. Kortisol dapat meningkatkan konduktansi pompa ion Ca2+ sehingga
akan terjadi influks Ca2+ diikuti dengan ekstrusi Ca2+ dalam jumlah besar ke dalam
sitoplasma. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya supresi pompa Ca2+ ATPase
akibat aktivasi reseptor GR oleh kortisol. Peningkatan ion Ca2+ ini akan meningkatkan
after-hyperpolarization yang akan memperpanjang periode refraktori neuron di
hipokampus. Stres dapat meningkatkan kadar glutamat di ekstraseluler jaringan otak.
Kortisol melalui aktivasi GR dapat meningkatkan jumlah vesikel sinaptik glutamat di
permukaan membran sinaps sehingga makin banyak jumlah glutamat yang siap
dilepaskan. Di level presinaptik, kortisol memicu peningkatan jumlah kompleks SNARE
yang merupakan kompleks protein yang memperantarai pelepasan neurotransmitter
termasuk glutamat oleh neuron presinaps. Sebagai tambahan, stres juga mempengaruhi
fungsi sel glia, (Sugiharto, 2012).

Stres dapat menurunkan jumlah sel glia, ditandai dengan menurunnya ekspresi glial
fibrillary acid protein (GFAP), dengan cara menghambat proliferasi progenitor sel glia.
Streskronik juga dapat menghambat mekanisme “pembersihan” glutamat dari celah sinaps
oleh excitatory amino acid transporters (EAATs) sel glia. Eksotoksisitas glutamat akan
berdampak pada gangguan regulasi ion Ca2+. Glutamat dapat menginduksi peningkatan
konsentrasi ion Ca2+ di sitoplasma dengan cara mengaktifkan reseptor AMPA, NMDA
dan voltage-dependent Ca2+ channels (VDCC). Selain itu, aktivasi reseptor glutamat pada
GTP-binding protein dapat menstimulasi pelepasan inositol triphosphate (IP3) yang akan
mengaktifkan pintu Ca2+ pada retikulum endoplasma, (Sugiharto, 2012).
B. Kortisol, Stres dan Sistem Imun

Sel saraf neurosekresi dari hipotalamus bagian medial menyintesis beberapa hormon.
ADH atau vasopresin dan RH (Releasing Hormone). Salah satu Releasing Hormone adalah
CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus menuju hipofisis anterior melalui
kapiler hypophyseal portal venous plexus. CRH dari hipotalamus menginduksi
proopiomelanocortin untuk membentuk TH (Tropin Hormone) yang sesuai dari hipofisis
lobus anterior. Yang berperan dalam respon stres secara umum yaitu ACTH
(Adrenocorticotropin Hormone). ACTH kemudian menstimulasi korteks adrenal sebagai
kelenjar target untuk meningkatkan produksi glukokortikoid. Hormon akhir dari HPA axis ini
adalah kortisol.

Di dalam HPA axis ini sebenarnya juga terjadi pengaturan umpan balik hormon.
Umpan balik adalah keadaan yang merupakan respon terhadap suatu sinyal. Pada umpan
balik positif (jarang) rangsang diperkuat oleh sinyal. Hal ini menyebabkan respons yang
berikutnya menjadi lebih besar, yang menghasilkan suatu rangsangan yang tetap lebih besar.
Sedangkan pada umpan balim negatif, rangsang diturunkan oleh respon. Seperti kebanyakan
mekanisme pengaturan lainnya pada organisme. Kerja hormon kebanyakan diutamakan untuk
umpan balik negatif. Releasing Hormone dari hipotalamus (misalnya CRH) menyeabkan
pelepasan Tropic Hormone yang sesuai dari hipofisis lobus anterior (misalnya ACTH),
kemudian ACTH mempengaruhi kelenjar endokrin di perifer (korteks adrenal). Hormon akhir
ini (sebagai contoh, kortisol) tidak hanya bekerja pada sel target, tetapi juga menghambat
sekresi RH di hipotalamus, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan jumlah hormon
akhir itu sendiri. Penghambatan sekresi RH dan hormon akhir dikurangi dengan cara ini dan
seterusnya (Despopoulos, 1998).

Pada kondisi stres kronis, kinerja HPA axis akan meningkat dan sebagai dampak, kadar
glukokortikoid menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian imunologis, glukokortikoid
memberikan dampak pada keseimbangan sel-sel imun. Hal ini dikarenakan pada permukaan
sel-sel imun (sebagai contoh, limfosit) terdapat reseptor glukokortikoid. Glukokortikoid yang
berikatan dengan reseptor pada sel limfosit akan menghambat aktivasi dari gen sehingga akan
mengganggu produksi sitokin yang dihasilkan sel limfosit. Sitokin adalah protein yang dibuat
oleh sel-sel yang mempengaruhi sel-sel lain. Dapat dikatakan sitokin merupakan mediator
komunikasi pengatur imunitas. Terganggunya produksi sitokin sel limfosit mengakibatkan
kekacauan sistem imun.

C. Terapi Zikir untuk Menurunkan Kortisol


Zikir memiliki daya relaksasi yang dapat mengurangi ketegangan (stres) dan
mendatangkan ketenangan jiwa. Setiap bacaan zikir mengandung makna yang sangat dalam
yang dapat mencegah timbulnya stres. Bacaan yang pertama yaitu Laillahhailallah memiliki
arti tiada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah SWT, adanya pengakuan bertuhan
hanya kepada Allah dalam sebuah keyakinan. Individu yang memiliki kemampuan
spiritualitas yang tinggi memiliki keyakinan yang kuat akan tuhannya. Keyakinan ini
menimbulkan kontrol yang kuat, dapat memaknai dan menerima setiap peristiwa yang tidak
menyenangkan ke arah yang lebih positif dan yakin bahwa ada yang mengatur setiap
peristiwa yang terjadi di alam semesta. Dengan begitu individu dapat mengurangi
ketegangan (stres), mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan kekuatan mental dengan
cepat (Bogar & Killacky, 2006).
Bacaan yang kedua, yaitu Astagfirullahaladzim, menurut Yurisaldi (2010) bahwa
proses zikir dengan mengucapkan kalimat yang mengandung huruf jahr, seperti kalimat
tauhid dan istighfar, akan meningkatkan pembuangan CO2 dalam paru-paru. Selain itu
Yurisaldi juga menjelaskan bahwa saat seseorang berzikir terjadi pengecilan pembuluh
darah otak selama sesaat akibat respon kimiawi ketika seseorang berzikir. Suplai aliran
darah (penurunan kadar oksigen dan glukosa) ke jaringan otak mengalami penurunan.
Keadaan ini segera direspon oleh otak dengan refleks menguap yang secara besar-besaran
memasukkan oksigen melalui paru-paru menuju otak disertai pelebaran diameter pembuluh
darah. Akibatnya suplai oksigen dan glukosa ke dalam jaringan otak meningkat pesat.
Kondisi ini akan merevitalisasi semua unsur seluler dan microseluler yang berdampak pada
kekuatan dan daya hidup sel otak.
Bacaan ketiga yaitu Subhanallah maha suci Allah, di mana Allah itu maha suci dari
segala sifat yang tercela, suci dari kelemahan. Maha suci Allah ini bisa juga merasa kagum
kepada ciptaan allah. Allah itu suci dari kejam, tidak mungkin dia kejam karena dia sangat
penyayang. Allah itu maha suci dari bakhil, tidak mungkin Dia bakhil karena Dia maha
pemurah. Maka oleh sebab itu, selalu berpikiran positif karena munculnya respon emosi
positif dapat menghindarkan diri dari reaksi stres (Sholeh, 2005). Bacaan keempat, yaitu
Alhamdulillah, merupakan sikap bersyukur atas rejeki yang telah Allah berikan. Efek
kebersyukuran pada kesehatan, salah satunya telah diteliti oleh Krouse (2006), yang
membuktikan bahwa efek stres pada kesehatan dapat dikurangi dengan meningkatkan
kebersyukuran kepada Tuhan. Bacaan kelima yaitu Allahu Akbar, sungguh besarnya
kekuasaan Allah. besar kekayaan Allah, besar ciptaan Allah, sehingga menimbulkan sikap
yang optimis. Sikap optimisme, sumber energi baru dalam semangat hidup dan menghapus
rasa keputusasaan ketika seseorang menghadapi keadaan atau persoalan yang mengganggu
jiwanya, seperti sakit, kegagalan, depresi, dan gangguan psikologis lainnya, seperti stres
(Az-Zumaro, 2011).
Penelitian pengaruh zikir terhadap repons tubuh, membuktikan bahwa persepsi stres
mempengaruhi respons biologis, sebagai indikator yang digunakan adalah hormon kortisol
berada dalam kondisi fisiologis (Utami, 2016). Penjelasan tersebut berhubungan dengan cara
individu menangani stres, bahwa strategi koping yang berbeda, memberikan respon yang
berbeda pada HPA axis (kortisol). Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan
yang dihadapi atau beban yang diterima, apabila mekanisme koping berhasil, seseorang akan
dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut. Kemampuan belajar bergantung
pada kondisi eksternal dan internal sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana
lingkungan membentuk stressor tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta
kognisi terhadap stressor tersebut.
Frasa fokus tersebut (zikir) jika dikombinasikan dengan respons relaksasi dapat
menghambat kerja sistem saraf simpatis yang mengatur kecepatan denyut jantung, nadi,
pernafasan dan metabolisme (Pasiak, 2013). Zikir berfungsi sebagai obat beta blocker
(penghambat reseptor beta) dalam kerja saraf simpatis. Zikir disisi lain dapat membuat alur
gelombang otak berada pada gelombang alfa ketika seseorang menjadi sangat kreatif dan
berdaya relung tinggi. Perubahan gelombang otak ini terjadi ketika seseorang tafakur.
Metode zikir mengajarkan klien menjernihkan pikiran dan menetralkan pikiran, selanjutnya
zikir dengan penuh penghayatan akan membawa indvidu berada dalam keadaan yang tenang
dan nyaman. Fisiologis tubuh berada dalam keseimbangan. Keseimbangan akan
memperlancar aliran darah dan gerak sel tubuh relatif stabil. Respons keseimbangan
menjadikan kerja sistem tubuh berjalan normal dan menyehatkan badan, (Utami, 2017).
Intervensi zikir terbukti meningkatkan spiritual value yang mempengaruhi
peningkatan kepribadian, sehingga mengubah stres negatif (distress) menjadi positif
(eustress) diikuti perubahan respons biologis oleh potensi penurunan kortisol. Zikir
meningkatkan kepribadian seperti: perilaku optimis, pribadi yang tangguh dan mandiri,
mampu menjadi pribadi yang unggul dan performansi perawat semakin baik, sehingga
pelayanan yang diberikan lebih maksimal. Stres persepsi akan direspons dalam bentuk stress
respons (respons biologis) melalui jalur: stimulus diterima oleh lateral amigdala diproses
dan disampaikan ke inti pusat kemudian diproyeksikan ke beberapa bagian otak. Koneksi
antara amigdala, hipokampus dan hipothalamus mengaktivasi sumbu HPA (hypothalamus
pituitary adrenal). Hipotalamus, sinyal-impuls berupa (rasa takut, khawatir atau cemas) akan
mengaktifkan kedua sistem saraf simpatik dan sistem modulasi dari sumbu HPA, (Utami,
2017).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan artikel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Stres mengaktifkan HPA axis dan system saraf simpatis, CRH-CRF dan arginine
vasopressin (AVP), hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari kelenjar
posterior dan mengaktifkan neuron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine
(LC/NE) yang meningkatkan kadar kortisol.
2. Pada kondisi stres, kinerja HPA axis akan meningkat dan sebagai dampak, kadar kortisol
menjadi tinggi dan berdampak pada ketidakseimbangan sistem imun.
3. Terapi zikir terbukti efektif dalam menurunkan kadar kortisol.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zumaro. 2011. Aktivasi Energi Doa dan Dzikir Khusus untuk Kecerdasan Super.
Yogyakarta : Diva press
Bogar, C.B. & Killacky, D.H. 2006. Resiliency determinants and resiliency processes ampng
female adult survivors of childhood sexual abuse. American Counseling
Association. 84, 318-327
Burke, Heather M., et. al., 2005. Depression and Cortisol Responses to Psychological Stress:
A Meta-Analysis. Psychoneuroendocrinology 30, 846–856.
Carrasco, G.A. & Van de Kar. 2003. Neuroendocrine Pharmacology of Stress. European
Journal of Pharmacology, 463: 235-272.
Guilliams, T. & Edwards, L. 2010. Chronic Stres and The HPA Axis. The Standard Poin
Institute, 9 (2) :1-12.
Hackney, C. A. 2006. Exercise As Stressor To The Human Neuroendocrine System.
Medicina, 42 (10):788-797.
Indah, Mutiara. 2014. Mekanisme Kerja Hormon. Sumatera Utara :USU digital library
Lisdiana. 2012. Regulasi Kortisol pada Kondisi Stres dan Addiction. Biosaintifika, 4 (1). 18-
26.
Mastorakos, G. & Pavlatou, M, 2005. Exercise as a Stress Model and Interplay Between the
Hypothalamus-pituitary-adrenal and the Hypothalamus-pituitary-thyroid Axes.
Hormon Metabolism Research, 37:577-584.
Matin, Nur Sophia. 2018. Tahajjud Therapy for Stress Coping: Psychoneuroimmunological
Perspective. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 5
(231), 617-619.
Pasiak, T. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ antara Neurosains dan Al-Qur'an. Bandung: PT Mizan
Pustaka.
Sugiharto. 2012. Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga. Jurnal Sains Psikologi, 2, (2).
54-66.
Utami, T. N., & Nur'aini. 2016. Analisis Spiritual value, Stres Kerja Pekerja Muslim Sektor
Formal Kota Medan. JUMANTIK, 1-22.
Utami, Tri Niswati. 2017. Tinjauan Literatur Mekanisme Zikir Terhadap Kesehatan:
Respons Imunitas. Jurnal JUMANTIK, 2 (1), 100-112.
Wikipedia. 2019. Hormon. Tersedia [Onlide] di: https://id.wikipedia.org/
Yurisaldi. 2010. Berdzikir untuk Kesehatan Saraf. Jakarta: Zaman

Anda mungkin juga menyukai