Anda di halaman 1dari 33

9

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang

bersifat persisten dan irreversible. Proses kerusakan pada ginjal ini terjadi dalam

rentang waktu lebih dari 3 bulan.1 Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak

dapat pulih, yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan

mengarah pada penyakit ginjal tahap akhir dan kematian.2

PGK merupakan suatu problem kesehatan yang serius pada 2 abad

terakhir dan merupakan suatu masalah yang berakibat fatal (USRDS, 2010).

Secara global, insidensi PGK pada anak-anak dilaporkan sekitar 12,1 kasus per

satu juta anak-anak. 3 Data tersebut jauh lebih rendah dari pada prevalensi pada

orang dewasa. PGK telah menyebabkan angka kesakitan yaitu sekitar 5-10 %

dari populasi dewasa penduduk Amerika dan 1,9-2,3 juta penduduk Kanada.

Pada tahun 2000 estimasi kematian yang diakibatkan oleh PGK adalah sekitar

19,5 % dari jumlah kesakitan.4

Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Kejadian PGK di

Indonesia diduga masih sangat tinggi. Namun data nasional mengenai PGK

masih belum ada. Studi mengenai prevalensi PGK di Indonesia pada tahun 2003

dan 2004 mendapatkan hasil bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menderita

PGK berjumlah 3640 penduduk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah

penderita PGK tertinggi yaitu di Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

dan Bali. Banyak penderita PGK meninggal lebih awal. Namun, seringkali

penyebab kematian itu tidak terkait langsung dengan masalah ginjal. Studi yang

pernah dilakukan menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah kematian

pada penderita PGK diakibatkan oleh PGK yang telah berkomplikasi pada

penyakit arteri koroner. Namun, studi lain yang pernah dilakukan menunjukkan
hanya terdapat perbedaan yang sedikit atau tidak berbeda secara signifikan pada

semua penyebab kematian termasuk penyakit kardiovaskuler dalam pengaturan


5.
ringan sampai sedang PGK. Komplikasi PGK terjadi dimungkinkan karena

penanganan penderita PGK yang lambat. Studi yang pernah dilakukan

menunjukkan bahwa sekitar 64 % penderita PGK memiliki resiko kematian yang

tinggi karena penanganan yang lambat. Lebih jelasnya, penanganan penderita

PGK secara cepat di Rumah Sakit dapat memperbaiki keadaan penderita dan

mencegah terjadinya komplikasi PGK.6 Hal ini juga didukung oleh studi lain

yang pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa penggunaan sistem rujukan

yang cepat dan segera melakukan rawat inap pada penderita PGK dapat

menurunkan resiko kematiano. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan ditinjau

mengenai PGK dengan tujuan didapatkan pemahaman yang baik mengenai PGK

termasuk penanganan PGK. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat

mencegah terjadinya komplikasi PGK termasuk kematian penderita PGK.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi dimana terjadi
kerusakan permanen pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan
fungsinya untuk membuang sampah sisa metabolisme dalam tubuh,
mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa dalam
tubuh. PGK dapat berkembang cepat yaitu dalam kurun waktu 2-3 bulan
dan dapat pula berkembang dalam waktu yang sangat lama yaitu dalam
kurun waktu 30-40 tahun. 1

2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dibagi menjadi dua dasar, yaitu


berdasarkan derajat kemapuan melakukan filtrasi glomerulus atau derajat
penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Pada tabel 1 terihat
klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit, dan pada
tabel 2 tampak klasifikasi penyakit ktonik atas dasar diagnosis etiologi.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Ginjal Kronik

GFR
Stage Deskripsi
(ml/min/1.73 m2)

Keusakan Ginjal dengan GFR


1 ≥ 90
normal-meningkat
Kerusakan Ginjal dengan 60 – 89
2
GFR menurun ringan

Kerusakan Ginjal dengan 30 – 59


3
GFR menurun sedang

Kerusakan Ginjal dengan 15 – 29


4
GFR menurun berat

5 Gagal Ginjal < 15 (dialisis)

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor (Contoh)

Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,


obat, neoplasma)

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,


Penyakit Ginjal
hipertensi, mikroangiopathi)
Non Diabetes
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)


Penyakit Pada Transplantasi
Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

3. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik


Dasar patogenesis PGK adalah penurunan fungsi ginjal. Hal ini
akan mengakibatkan produk akhir metabolisme protein yang normalnya
dieksresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah, terjadi uremia dan
menyebabkan efek sistemik dalam tubuh. Sebagai akibatnya, banyak
masalah akan muncul sebagai akibat dari penurunan fungsi glomerulus.
Hal ini akan menyebabkan penurunan klirens dan substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal 5.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus
diakibatkan tidak berfungsinya glomerulus. Hal ini akan mengakibatkan
penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.
Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak
hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi dipengaruhi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan, dan medikasi seperti
steroid. Retensi cairan dan natrium terjadi akibat ginjal tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi. Hal ini akan meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga
dapat terjadi akibat aktivitas aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya serta peningkatan eksresi aldosteron. Pasien dengan PGK
memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan risiko
hipertensi dan hipovolemi, episode muntah dan diare. Hal ini akan
menyebabkan penipisan jumlah air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik 5.
Asidosis metabolik merupakan akibat dari penurunan fungsi
ginjal. Hal ini karena ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan
asam (H+) yang belebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan amonia dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat. Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Amonia terjadi sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah,
defisiensi nutrisi dan kecendrungan untuk mengalami perdarahan akibat
status anemia pasien, terutama dari saluran gastrointestinal, eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi distensi, keletihan, angina, dan sesak
nafas. Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan kalsium dan fosfat.
Abnormalitas utama yang lain pada PGK adalah gangguan metabolisme
kalsium dan posfat. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan
timbal balik. Jika salah satunya meningkat maka yang lainnya akan
menurun. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus ginjal terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum
kalsium akan mengakibatkan sekresi parat hormon dari kelenjar
paratiroid. Namun demikian pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parat hormon. Sebagai
akibatnya kalsium di tulang menurun dan menyebabkan perubahan pada
tulang (penyakit tulang uremik atau osteo distropi renal). Selain itu
metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsitriol) pada ginjal menurun
seiring dengan berkembangnya gagal ginjal 5.

Gambar 3.1. Proses regulasi keseimbangan fosfat pada PGK. Adanya suatu hubungan
yang erat antara absorbsi kalsium dan PO4. Penurunan absorbsi kalsium dan
hipokalsemia merangsang sekresi hormon paratiroid. Absorbsi PO4 disimpan dalam
tulang melalui pembentukan tulang atau diekskresikan oleh ginjal. Adanya peran dari
osteosit dalam pembentukan tulang, dan ketika PO4 melebihi jumlah yang diperlukan
dalam pembentukan tulang, maka akan dikeluarkan FGF23 yang akan menstimulasi
ginjal untuk mengekskresikan kelebihan PO4. Pada PGK, ekskresi PO4 pada ginjal
gagal untuk menjaga keseimbangan PO4, meskipun adanya stimulasi dari PTH dan
FGF23 untuk mengekskresikan PO4 (panah kuning). Hal ini mengakibatkan
peningkatan PO4 dalam serum. Ini adalah proses mineralisasi heterotopik (panah
merah dan kalsifikasi vaskular sebagai bentuk mineralisasi heterotopik) (Hruska et
al., 2009).

Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara sindrom metabolik


dengan kejadian PGK. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
kejadian PGK lebih besar pada sindrom metabolik dibandingkan dengan
diabetes mellitus.6 Mikroalbuminuria merupakan manifestasi awal pada
sindroma metabolik yang dikaitkan dengan PGK. Selanjutnya
mikroalbuminuria ini akan menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus.
Sindroma metabolik sering dikaitkan dengan peningkatan aktivitas renin
plasma, angiotensin converting enzyme, angiotensin II, dan
angiotensinogen. Keadaan ini bersama dengan hiperinsulinemia pada
resistensi insulin merupakan aktivator terhadap faktor β1. Faktor β1
merupakan sitokin fibrogenik yang berperan dalam proses injuri
glomerulus. Hiperinsulinemia pada resistensi insulin dimediasi oleh TNF-
α 6. Selain itu, pada sindroma metabolik juga terjadi peningkatan jaringan
adipose dan penurunan adinopektin. Jaringan adipose akan mensekresi
sitokin yang berlebihan yaitu adipokin seperti TNF-α, IL-6, dan resistin
dimana sitokin ini akan meningkatkan terjadinya inflamasi. Adinopektin
merupakan agen protektif pada kardiorenaL. Penurunan adinopektin
mengindikasikan terjadinya kerusakan kardiorenal dikarenakan disfungsi
vaskuler. Lebih jelasnya, proses kerusakan kardiorenal pada PGK dapat
dilihat pada gambar 1.2. Sementara peningkatan aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron akan meningkatkan volume ekstraseluler. Hal ini
mengindikasikan terjadinya edema. Peningkatan sistem renin angiotensin
aldosteron diduga karena perubahan hemodinamik (aliran darah renal),
stimulus simpatetik (hiperleptinemia dan hiperinsulinemia), dan sintesis
protein pada sistem renin angiotensin aldosteron oleh jaringan lemak.6
Gambar 3.2. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya
terhadap sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat
hubungan yang erat antara merokok, obesitas, hipertensi, dislipidemia,
homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati
primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi
kronik pada sistem kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah
terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan interstisial disebut dengan
PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik,
abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal
ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler.
Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini
dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan
resistensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi
monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut, menurunkan appetite,
remodeling tulang, dan disfungsi endotel 6.

Selain itu, hipertensi juga merupakan faktor yang sangat penting


dalam terjadinya PGK. Hipertensi memalui angiotensin II akan
menyebabkan peningkatan tekanan glomerulus, proteinuria, dan
menginduksi sitokin inflamasi intrarenal. Hal ini akan meningkatkan
terjadinya kerusakan pada ginjal 6.

4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinia penykit ginjal kronik yang berat dapat disertai
dengan sindrom azotemia kompleks – meliputi kelainan multiorgan
seperti kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput
serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.

 Kelainan Hemopoeisis

Anemia normokrom normositer sering ditemukan akibat defisiensi


eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 % ; meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar
besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron
binding Capacity (TIBC), ferMAitin serum), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
dan sebagainya. Penatalaksanaan anemia terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11-12 g/dL.

 Kelainan Saluran Cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.

 Kelainan Mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian


kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang
setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik
yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

 Kelainan Kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum


jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme
sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan
urea frost
 Kelainan Neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,


insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak
jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien
GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada
pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

 Kelainan Kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal


kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia,
hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

5. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease7


Pada PGK stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya
pemerikasaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat
mendeteksi adanya masalah tersebut. Adapun pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mengetahui perkembangan PGK adalah
sebagai berikut:
1. Urine test: protein urin, sel darah merah, easts dan kristal, dan CCT
2. Blood test: kreatinin, ureum, BUN, elektrolit (K, P, Ca), asam basa, dan
Hb
3. Ultrasound: untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu
ginjal, dan mengkaji aliran urin dalam ginjal
4. Biopsi.

6. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik 6,7


Penatalaksanaan pada PGK bersifat konservatif. Penatalaksanaan
ini lebih bermanfaat bila penurunan fungsi ginjal masih ringan.
Pengobatan konservatif ini terdiri dari 4 strategi, yaitu:
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang
dianjurkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus dengan demikian diharapkan progresifitas
akan diperlambat.
c. Restriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme
sekunder.
d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan
penurunan fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik
dan diabetes. Dalam hal ini ACE inhibitor biasanya digunakan.
Jika terdapat intolensi terhadap ACE inhibitor maka dapat
digunakan angiotensin receptor blocker.
e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa
hiperlipidemia yang tidak terkendali dapat mempercepat
progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi diet dan olahraga.
Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat penurun
lemak darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada
menyarankan hemoglobin A1c < 7,0% dan fasting plasma glucose
4–7 mmol/L.

2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut


a. Pencegahan kekurangan cairan
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan
gangguan prarenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu
perlu ditanyakan mengenai keseimbangnan cairan (muntah,
keringat, diare, asupan cairan sehari- hari), penggunaan obat
(diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit lain (DM, kelainan
gastrointestinal, dan ginjal polikistik)
b. Sepsis
Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama
infeksi saluran kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk
mengkoreksi kelainan urologi dan antibiotik yg telah terpilih
untuk mengobati infeksi.
c. Hipertensi yang tidak terkendali
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan
fungsi ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan
fungsi ginjal. Akan tetapi penurunan tekanan darah yang
berlebihan juga akan menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat
yang dapat diberikan adalah furosemid, beta blocker, vasodilator,
kalsium antagonis dan alfa blocker. Golongan tiazid kurang
bermanfaat. Spironolakton tidak dapat digunakan karena
meningkatkan kalium.
d. Obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, OAINS, kontras radiologi, dan obat-
obat yang dapat menyebabkan nefritis interstitialis harus
dihindari.
3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan PGKsering mengalami peningkatan jumlah cairan
ekstrasel karenan retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan
intravaskular menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan
ke interstitial menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga
dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi asupan
cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan
dibatasi < 1 liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium
diberikan <2-4 gr/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis
diuretik yang menjadi pilihan adalah furosemid karena efek
furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di tubulus proksimal.
Pasien dengan PGK umumnya membutuhkan dosis yang tinggi
(300-500 mg), namun hati-hati terhadap efek sampinya. Apabila
tindakan ini tidak membantu harus dilakukan dialisis.
b. Asidosis metabolik
Penurunan kemampuan sekresi acid load pada PGK
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Hal ini umumnya
bila GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein 0.6 gr/hr dapat
membantu mengurangi asidosis. Bila bikarbonat turun sampai <
15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali.
c. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal.
Untuk mengatasi ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% 10
ml dalam 10 menit IV, bikarbonas natrikus 50-150 IV dalam 15-
30 menit, insulin dan glukosa 6U, insulin dan glukosa 50g dalam
waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 gr oral
atau rektal. Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka sudah
merupakan indikasi untuk dialisis
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil
akhir metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya.
Selain itu, telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan
mempercepat timbulnya glomerulosklerosis sebagai akibat
meningkatnya beban kerja glomerulus dan fibrosis interstitial.
Kebutuhan kalori harus dipenuhi supaya tidak terjadi pemecahan
protein dan merangsang pengeluaran insulin. Kalori yang
diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6gr/ kgBB/ hari
dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial).
e. Anemia
Penyebab utama anemia pada PGK adalah terjadinya defisiensi
eritropoeitin. Penyebab lainya adalah perdarahan gastrointestinal,
umur eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang menghambat
eritropoiesis (toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi besi.
Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila trasnfusi
tersebut dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata.Terapi
terbaik apabila Hb <8 g% adalah pemberian eritropoietin, tetapi
pengobatan ini masih terbatas karena mahal. Target pemberian
eritropoietin adalah Hb > 11 g%. Jika tidak diberikan eritropoietin
maka bisa diberikan terapi iron.
f. Kalsium dan fosfor
Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu
hipokalsemia dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh
ginjal, dan gangguan pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol
metabolit aktif vitamin D. Pada keadaan ini dengan GFR < 30
mL/mnt diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat
atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pemberian
vitamin D juga perlu diberikan untuk meningkatkan absorbsi
kalsium di usus. Diet rendah fosfat dilakukan untuk menjaga
hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat diberikan
calcium-containing phosphate binders. Namun jika terdapat
hiperkalemia maka dosis calcium-containing phosphate binders
atau vitamin D harus dikurangi. Hipokalsemia harus dikoreksi
jika pasien menunjukkan gejala atau tanda peningkatan level parat
hormon.
g. Hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam
urat > 10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout.

4. Inisiasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah
memerlukan dialisi tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR
sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila:
a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran
e. Efusi perikardial
f. Sindrom uremia (mual, muntah, anoreksia, dan neuropati) yang
memburuk.
7. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik
Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi
menunjukkan bahwa PGK sering menyebabkan kematian. Tingkat
kematian secara keseluruhan meningkat oleh karena penurunan fungsi
ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan PGK adalah
penyakit jantung. Hal ini lebih sering karena perkembangan PGK ke tahap
5 6,7.
Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan
kondisi pasien dan memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup.
Transplantasi ginjal dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien
dengan PGK stadium 5 secara signifikan bila dibandingkan dengan terapi
pilihan lain. Namun, hal ini dapat meningkatkan mortalitas jangka pendek.
Hal ini lebih sering terjadi akibat komplikasi dari operasi transplantasi
ginjal tersebut Pilihan terapi lain seperti home hemodialysis menunjukkan
peningkatan kehidupan dan kualitas hidup dibandingkan dengan
hemodialisis secara konvensional (3 kali dalam seminggu) dan peritoneal
dialysis.6,7

2.1. Hipertensi

2.1.1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah


tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik
dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII, seorang
dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau
lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih). Hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140
mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg.8

2.1.2. Etiologi Hipertensi 8.9

1. Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa


kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan
hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain.

2. Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder


dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering
berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung
koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat.

2.1.3. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa


berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua
atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS)
<120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg.
Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus
diterapi obat 8

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII8

Kategori Tekanan Darah Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik


(mmHg) (mmHg)

Normal ≤120 ≤ 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi stadium 2 ≥160 ≥100

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh


darah terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf


simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf
pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh
darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.8

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang


pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks
adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat
memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi ntrium dan air oleh tubulus ginjal
sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. 8,9

Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh


darah perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang
terjadi pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar
mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer.8,9

2.1.5. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain


tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan
pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus
optikus). Gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku
kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas,
sesak nafas, berkeringat dan pusing, kadang kadang disertai mual dan
muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial.10

2.1.6. Faktor- Faktor Risiko8,9

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis
kelamin dan genetik.

a. Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,


risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi
hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan
kematian sekitar di atas us ia 65 tahun.

b. Jenis kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih


banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio
sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga
memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki manopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun,
terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan
pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia
prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita .

c. Keturunan (genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor


keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada
hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga
dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan
seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan
metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.

2. Faktor risiko yang dapat diubah8,9

Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku


tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah
serat, kurang aktifitas gerak, berat badan berlebihan/kegemukan,
komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau hiperkolestrolemia, stress dan
komsumsi garam berlebih sangat berhubungan erat dengan hipertensi.
2.1.7. Komplikasi Hipertensi 10

Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari


stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan
pregnancy- included hypertension (PIH).

1. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global


akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan
bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah.

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat


disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi,fokal pembuluh darah yang menyebabkan
turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi. Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau
akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri
yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga
aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri
otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.

2. Infark miokardium

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang


arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau
apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui
pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel,
maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan
dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.

3. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal


yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya
pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme terjadinya
hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan
air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) .

4. Ensefalopati (kerusakan otak)

Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada


hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan
saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat
menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta
kematian mendadak. .

2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi

1. Pengendalian faktor risiko

A. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi


hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi.11

B. Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan


makan penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit
dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per
hari pada saat memasak.11

2.2. Terapi Farmakologis11

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan


angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara
seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup
penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa
kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya
mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi.
Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan
penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa
prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan


penyebab hipertensi.

2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk


menurunkan tekanan darah dengan harapan
memperpanjang umur dan mengurang timbulnya
komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan


menggunakan obat antihipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang,


bahkan pengobatan seumur hidup.

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim
digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat
reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-
converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
(Angiotensin Receptor Blocker, ARB) dan antagonis kalsium. Pada JNC
VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam
kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini
pertama. Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua
yaitu: penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator 12

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida


sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya
terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme
tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium
di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang
selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada
diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek
hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada
pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek
hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi
perifer. Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga
diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan
sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih
antihipertensi, maka salah satunya dianjurkan diuretik.12

a. Golongan Tiazid

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara


lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal
ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.12 Tiazid seringkali
dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat
meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja
yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah
resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut
dapat bertahan 12.

b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal


dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya
lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang
digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau gagal jantung 12.

c. Diuretik Hemat Kalium


Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia 12.

2. Penghambat Adrenergik

a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)

Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini


diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik. Reseptor
beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 dapat
12
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak .
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf
simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan
miocardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi
reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan
meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. Efek
akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer
dan peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air 12.

b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)

Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α


1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif
kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (α
2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan
norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis 12.

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan


venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena
dosis pertama) yang menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan
aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka penjang refleks
kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya akan
bertahan 12.

3. Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi


otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena
itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi
refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard
yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat
menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada
orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga
meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air.
Efek samping yang tidak diharapkan ini dapat dihambat oleh
13
penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β . Terdapat beberapa
obat yang termasuk golongan vasodilator antara lain hidralazin,
minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping yang
sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala 12.

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor)


menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah,
ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin
juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya
11,12
aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium . Beberapa
perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACE- Inhibitor.
Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek,
sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan
berespon baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama ACE-
Inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan
darah mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien
mempunyai kadar sodium rendah 13.

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor


Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1


(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat
terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu
terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1
memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan
dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas
12
. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas
renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu
diturunkan Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak
menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah 12. Terdapat beberapa obat yang
termasuk golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan,
eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan dan valsartan 13.

6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion


kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan
sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan
kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi
dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
12
proses yang bergantung pada ion kalsium Terdapat tiga kelas CCB :
dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin
(diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem
mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate
dan mencegah angina.13

7. Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf


simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang
termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa,
klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia
hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah
merah), gangguan fungsi hati dan terkadang menyebabkan penyakit hati
kronis. Obat ini jarang digunakan 13.

Tatalaksana hipertensi dengan obat antihipertensi yang dianjurkan :

Tabel 2. Obat-Obat Antihipertensi Utama.12

Kelas Nama Obat Dosis Lazim Frekuensi


(mg/hari) Pemberian
Diuretik
Tiazid Klortalidon 6,25–25 1
Hidroklorotiazid 12,5–50 1
Indapamide 1,25-2,5 1
Metolazone 0,5 1
Loop
Bumetanide 0,5–4 2
Furosemide 20- 80 2
Torsemide 5 1
Penahan kalium
Triamteren 50-100 1
Triamteren 37,5–75 2
Betaxolol 5-20 1
HCT 25-50 1
Bisoprolol 2,5-10 1
Antagonis aldosteron
Metoprolol 50-200 1
Eplerenone 50-100 1-2
Non-selektif
Spironolakton 25-50 1
Nadolol 40-120 1
Spironolakton/HCT 25-50/25-50
Propanolol 160-480 2
ACE-Inhibitor
Propanolol LA 80-320 1
Benazepril 10-40 1-2
Timolol
Captopril 12,5-150 2-3
Sotalol
Enalapril 5-40 1-2
Aktifitas
Fosinopril 10-40 1
simpatomimeti
k
Lisinoril 10-40 1
Acebutolol
Moexipril 200-800
7,5-30 2
1-2
Carteolol
Perindopril 2,5-10
4-16 11
Pentobutolol
Quinapril 10-40
10-80 1
1-2
Pindolol
Ramipril 10-60
2,5-10 2
1-2
Trandolapril
Campuran 1-4
penyekat
Tanapres
α dan β
Penyekat reseptor
angiotensin Karvedilol 12,5-50 2
Labetolol
Kandesartan 200-800
8-32 2
1-2
Antagonis kalsium Dihidropiridin
Eprosartan 600-800 1-2
Amlodipin
Irbesartan 2,5-10
150-300 11
Felodipin
Losartan 5-20
50-100 1
1-2
Isradipin
Olmesartan 5-10
20-40 12
Isradipin SR
Telmisartan 5-20
20-80 11
Lekamidipin
Valsartan 60-120
80-320 12
Penyekat beta (β Bloker) Nicardipin SR
Kardioselaktif 30-90 1
Nicardipin LA
Atenolol 10-40
25-100 11
Nisoldipin
Non-
dihidropiridin
Diltiazem SR 180-360 1
Verapamil SR 1
Tabel 3. Obat-Obat Antihipertensi Alternatif.12

Kelas Nama Obat Dosis Lazim Frekuensi


(mg/hari) Pemberian
Penyekat α-1 Doxazosin 1-8 1
Prazosin 2-20 2-3
Terazosin 1-20 1-2
Agonis sentral α-2 Klonidin 0,1-0,8 2
Metildopa 250-1000 2
Antagonis Adrenergik Reserpin 0,05-0,2,5
Perifer
Minoxidil 10-40 1-2
Hidralazin 20-100 2-4

Terapi kombinasi antara lain :

1. Penghambat ACE dengan diuretik

2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik

3. Diuretik dan agen penahan kalium

4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium

5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik

6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik

7. Penyekat α-1 dengan diuretik


DAFTAR PUSTAKA
1. Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007.
Outcomes in patients with chronic kidney disease referred late to
nephrologists: a meta-analysis. Am J Med. 120(12):1063-70.

2. Coresh J, Selvin E, Stevens LA, Manzi J, Kusek JW, Eggers P, Van


Lente F, Levey AS. 2007. Prevalence of chronic kidney disease in the
United States. JAMA. 298: 2038-2047.

3.Johnson, D. 2011. Chapter 4: CKD Screening and Management:


Overview. In Daugirdas, J. Handbook of Chronic Kidney Disease
Management. Lippincott Williams and Wilkins. pp. 32-43.

4. Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F.,


Feldman, H.I., Kusek, J.W., Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan
Coresh, J. 2009. A New Equation to Estimate Glomerular Filtration Rate.
Ann Intern Med. 150(9): 604-612.

5. Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P.,
Ruzicka, M., Burns, K., Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L.,
Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R, Jindal, K., Senior, P., Pannu, N.,
Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M., Deved, V.,
Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian
Society of Nephrology. 2008. Guidelines for the management of chronic
kidney disease. CMAJ. 179(11): 1154-1162.

6. Nitta, K. 2011. Review Article: Possible Link betweenMetabolic


Syndrome and Chronic Kidney Disease in the Development of
Cardiovascular Disease. Cardiol Res Pract. 10: 1-7.

7. Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of


end-stage renal disease In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.

8. Stevens, L.A., Viswanathan, G., dan Weiner, D.E. 2011. CKD and
ESRD in the Elderly: Current Prevalence, Future Projections, and Clinical
Significance. Adv Chronic Kidney Dis. 17(4): 293-301.

9. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
10. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension:
Silent Killer, Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada
28 Januari 2017]. Tersedia dari:
http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-results/global-brief-
hypertension-silent-killer-global-public-health-
crisis?source=relatedblock

11. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-


East Asia Region: an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-
14.

12. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline


for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the
Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC
8). JAMA: 2013.

13. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo
JL, et al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. Hypertension. 2003; 42: 1206–52.

Anda mungkin juga menyukai