Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGELOLAAN LAHAN KERING


“KONSERVASI LAHAN KERING DENGAN SISTEM
RORAK”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pengelolaan Lahan
Kering

Disusun oleh:
Kelompok 10
Kelas VI B
Kharisma Akbar Pratama (4442160102)
Kayla Ligar Julioswara (4442170034)
Muhammad Rezqy Nurfadillah Karim (4442170052)
Ifa Asyifa Rachmasari (4442170043)

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala
kebesaran dan limpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Pada penulisan ini, berbagai hambatan telah penulis alami. Oleh karena
itu, terselesaikannya laporan ini tentu saja bukan karena kemampuan penulis
semata. Namun karena adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang
terkait.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang terkait yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan
makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari pengetahuan dan
pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar
laporan ini lebih baik dan bermanfaaat

Serang, Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Erosi adalah salah satu permasalahan pada lahan kering yang dapat
menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah karena berpindahnya tanah yang
lebih bersifat subur atau top soil, sehingga tersisa lahan yang bersifat sub soil atau
kurang akan unsur hara. Permasalah erosi ini dapat disebabkan karena tekstur
tanah yang mudah tererosi atau curah hujan yang tinggi menyebabkan erosivitas
yang tinggi. Curah hujan yang tinggi dan peng-olahan lahan tanpa menerapkan
teknik-teknik konservasi tanah dan air (KTA) menyebabkan tingginya aliran
permukaan dan erosi dan menghanyutkan top soil yang kaya akan unsur hara yang
dibutuh-kan oleh tanaman. Hal ini menyebabkan kesuburan tanah mengalami
penurunan dari waktu ke waktu.
Untuk mengurangi tingginya tingkat degradasi lahan tersebut, diperlukan
kegi-atan rehabilitasi dengan menerapkan teknik KTA yang tidak saja melalui
metode vegetatif (silvikultur), namun dapat juga dikombinasikan dengan metode
mekanis/ teknis dengan harapan akan lebih efektif dalam menekan aliran
permukaan, erosi, dan kehilangan unsur hara.
Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu
lahan. Konservasi tanah berarti juga penyesuaian macam penggunaan tanah sesuai
dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat
yang diperlukan agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah secara
luas, yaitu mencakup pengendalian erosi dan memelihara kesuburan tanah. Untuk
mencapai tujuan ini pengendalian erosi sangat penting, di samping pemeliharaan
sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, termasuk status hara dan menghindari
keracunan. Salah satu teknik KTA yang dapat diterapkan adalah dengan sistem
rorak.
Sistem rorak merupakan salah satu teknik KTA sipil teknis, yang berfungsi
sebagai perangkap sedimen dan menam-pung top soil yang hanyut terbawa aliran
permukaan. Agar teknik ini lebih efektif, maka dapat dikombinasikan dengan
teknik KTA yang lain seperti kombinasi dengan cara vegetatif. Untuk mengetahui

1
prinsip kerja dari penggunaan system roral dalam upaya konservasi lahan kering
maka dilakukan pembuatan makalah ini.

1.2 Tujuan
Penyusunan makalah mengenai konservasi lahan kering dengan system
rorak ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prinsip kerja dari system rorak
dalam upaya konservasi lahan kering.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Rorak adalah lubang atau penampung yang ditujukan untuk menampung


dan meresapkan air aliran permukaan ke dalam tanah, memperlambat laju aliran
permukaan, pengumpul sedimen yang memudahkan untuk mengembalikannya ke
bidang olah dan media penampung bahan organik, yang merupakan sumber hara
bagi tanaman. Rorak dibuat setelah benih di tanam di lapangan, dan pada tanaman
yang sudah produktif dibuat setiap tahun (Morgan, 1984).
Pembuatan rorak pada lahan datar dilakukan pada jarak 40 – 60 cm dari
batang tanaman kopi, dengan ukuran panjang 120 cm, lebar 40 cm dan dalam 40
cm. Pada lahan miring rorak dibuat memotong lereng, atau searah dengan terasan
(sejajar garis kontur), dibuat pada bidang olah atau di saluran teras. Serasah
kebun, hasil pangkasan ranting kopi dan penaung, hasil penyiangan gulma,
kompos, serta pupuk kandang dapat dimasukkan ke dalam rorak untuk dijadikan
pupuk organic (Morgan, 1984).

Gambar 1. Penempatan rorak berselang-seling


Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. dimensi
rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter
sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan
diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling seperti pada
gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar
dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% – 8%) dan agak miring (8%
– 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%). Rorak adalah

3
bangunan konservasi tanah dan air yang relatif mudah diuat. Adanya rorak akan
menjebak aliran permukaan dan memberikan kesempatan kepada air hujan untuk
terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian rorak akan menurunkan aliran
permukaan yang keluar dari persil lahan secara signifikan. Hal ini tentu saja akan
ikut berkontribusi terhadap pengendalian banjir (Morgan, 1984).
Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2006), menerbitkan
standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah
dan air, yaitu:
1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan
minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak
sebanyak 30 unit.
2. Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4
meter.
3. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya
dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya
pembangunan teras bangku yang relatif mahal.
4. Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut
dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan.
5. Lahan peka terhadap erosi.
6. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah
mengalami degradasi/menurun.
Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim Peneliti
BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002) merekomendasikan pembuatan
rorak dengan persyaratan teknis: Ukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25-50cm dan
dalam 20 – 30 cm, Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi
dan meningkatkan kesuburan tanah, Pembuatan rorak mengakibatkan
pengurangan luas lahan olah sebesar 3 – 10%, Rorak buntu dapat dibuat pada
bagian lereng atas dari tanaman, Sedimen yang tertampung dalam rorak buntu
(Rusmin, 2002).
Penggunaan rorak dengan ukuran lebar 0,7 – 1 m, panjang 3 meter dan
kedalaman 0,75 m di perkebunan rambutan seluas 1600 m2 di Kecamatan
Ungaran, Kabupaten Semarang. Rorak dibuat sebanyak 6 baris dari atas ke bawah

4
dengan jarak 5 – 10 m dalam barisan dan 10 meter antar barisan dengan posisi zig
zag. Tanah bekas galian diangkat ke atas dan dibuat guludandengan tinggi 20 cm
dan lebar 30 cm pada ujung rorak bagian bawah serta pinggir kiri dan kanan
sehingga rorak dibatasi dengan guludan yang berbentuk huruf U. Guludan
tersebut ditanami rumput lapangan agar stabil dan mempunyai kapasitas tampung
yang lebih besar dan permanen. Penelitian ini menemukan bahwa rorak mampu
menurunkan aliran permukaan sebesar 51% sehingga dapat menurunkan proses
degradasi lahan. Pembuatan rorak secara toposekuen dapat mendistribusikan air
secara lebih merata dalam satu hamparan (Rusmin, 2002).
Kegiatan desain/rancangan teknis pembuatan rorak dalam upaya konservasi
tanah dan air bertujuan untuk merancang suatu kawasan dengan batas-batas
pemilikannya yang akan dipergunakan sebagai acuan teknis dalam pembuatan
rorak dengan spesifikasi ukuran tertentu dan tata letak rorak pada bidang olah
(Rusmin, 2002).
Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu dibangun pada bidang olah
dengan ukuran tertentu, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Rorak/saluran
buntu ini bertujuan untuk menangkap air limpasan permukaan dan juga tanah
yang tererosi. Dengan demikian, maka diharapkan air dapat masuk ke dalam tanah
dan menampung sedimentasi sehingga dapat mengendalikan erosi. Pembuatan
rorak/saluran buntu dapat dikombinasikan dengan bangunan konservasi tanah
lainnya, seperti teras, guludan, saluran pembuangan air (SPA) dan lain-lain sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pelaksanaan pembuatan konstruksi
rorak dilakukan secara kontraktual oleh pihak ke tiga. Namun demikian dalam
pelaksanaannya di lapangan dapat menggunakan para petani pelakana sebagai
tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dari petani
pelaksana, sekaligus memberikan tambahan pendapatan (Rusmin, 2002).
Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan pemeliharaan/perawatan terhadap
bangunan rorak yang telah dikonstruksi. Hal ini dilakukan dengan cara setelah
rorak penuh dengan endapan/sedimentasi tanah yang tererosi, digali kembali dan
tanah galiannya diratakan pada bidang olah atau teras dan guludan. Pelaksanaan
pemeliharaan rorak/saluran buntu dilakukan oleh para petani pelaksana secara
berkala sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan (Rusmin, 2002).

5
Menurut Rusmin (2002), Kriteria lokasi pebuatan rorak/saluran buntuk
dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut :
1. Lokasi merupakan kawasan lahan kering yang masih diusahakan oleh
petani, strategis, mudah dilihat dan mudah dijangkau dengan kendaraan
roda empat atau roda dua bila tidak memungkinkan
2. Status pemilikan tanah jelas dan tidak dalam keadaan sengketa.
3. Pada lahan tersebut terdapat petani diutamakan yang telah tergabung
dalam kelompok tani.
4. Petani bersedia mengikuti kegiatan dan melakukan pemeliharaan
selanjutnya serta tidak menuntut ganti rugi.
5. Terdapat petugas lapangan yang aktif.
Standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi
tanah dan air adalah sebagai berikut Lahan berupa lahan kering/upland dan
terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar
dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit, Panjang rorak/saluran buntu 5 meter,
lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk
menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga
tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal,
Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana
berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan, Lahan peka
terhadap erosi. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah
mengalami degradasi/menurun (Rusmin, 2002).
Prosedur pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah
dan air adalah Persiapan (CLCP), Desain (rancangan teknis) sederhana,
Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu, Pemeliharaan, Monitoring dan
pelaporan

6
Gambar 2. Rorak/Saluran buntu
Ketahanan tanaman terhadap kekeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain sifat dan kemampuan akar tanaman untuk mengekstrak air dari dalam
tanah secara maksimal. Rendahnya potensi air tanah dan terjadinya cekaman
kekeringan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitasnya
rendah. Kekurangan air sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis dan
metabolisme tanaman. Pengaruh awal dari kekurangan air pada tanaman adalah
terhambatnya pembukaan stomata daun serta terjadinya perubahan morfologis
(pertumbuhan tanaman) dan fisiologis daun, pada tanaman jambu mete, cekaman
air berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif serta pembentukan tandan
bunga, jumlah gelondong, dan hasil (Rusmin, 2002).
Pembuatan rorak merupakan suatu upaya untuk menahan air hujan yang
berlangsung singkat (± 3 bulan) agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
pertumbuhan dan peningkatan produktivitas tanaman jambu mete. Tujuan
percobaan adalah untuk mengetahui pengaruh pembuatan rorak terhadap
peningkatan pertumbuhan dan produktivitas tanaman jambu mete (Rusmin, 2002).
Pembuatan rorak pada pertanaman jambu mete di daerah dengan musim
hujan relatif singkat (3-4 bulan) memberikan pengaruh positif terhadap
pertumbuhan pada fase vegetatif maupun generatif. Pembuatan rorak dilakukan
pada akhir muasim kemarau, yaitu pada bulan September. Teknologi pembuatan
rorak pada pertanaman jambu mete di lahan kering dapat menjadi salah satu
alternatif untuk meningkatkan produktivitas tanaman (Rusmin, 2002).

7
BAB III
KESIMPULAN

Rorak adalah lubang atau penampung yang ditujukan untuk menampung


dan meresapkan air aliran permukaan ke dalam tanah, memperlambat laju aliran
permukaan, pengumpul sedimen yang memudahkan untuk mengembalikannya ke
bidang olah dan media penampung bahan organik, yang merupakan sumber hara
bagi tanaman

8
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-


2000: Jambu mente. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Morgan, I.M. 1984. Osmo regulator and water stress in higher plants. Annu. Rep.
Plant Physiol. 35: 299-319.
Rusmin, D., Sukarman, Melati, dan M. Hasanah. 2002. Pengaruh cekaman air
terhadap pertumbuhan bibit empat nomor jambu mente (Anacardium
occidentale L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 8(2): 49-54.

Anda mungkin juga menyukai