Anda di halaman 1dari 25

Memperhatikan Asbabun Nuzul

(Sebab Turunnya Ayat)


Di antara prinsip penting dalam memahami dan menafsirkanAl-Qur'an
adalah memperhatikan asbabun nuzul.

Seperti diakui oleh ulama, Al-Qur'an diturunkan pada dua bagian. Bagian
pertama: bagian yang diturunkan secara spontan (tanpa sebab tertentu), ia adalah
mayoritas isi Al-Qur'an, seperti terlihat Dan bagian kedua. Diturunkan setelah
adanya kejadian tertentu atau adanya per tanyaan. Pada sepanjang masa turunnya
wahyu, yaitu dua puluh tiga tahun.

Bagian terakhir inilah yang dicari sebab turunnya. Karena mengetahui sebab
dan kejadian yang mengiringi dan berkaitan dengan suatu nash, akan membantu
untuk memahaminya dengan baik, dan memahami apa maksudnya.

Imam Ibnul Daqiq al-Aid berkata bahwa penjelasan sababun nuzul adalah
jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur'an. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata bahwa mengetahui sababun nuzul akan membantu untuk
memahami ayat Al-Qur'an, karena ilmu tentangs ababun nuzul akan mewariskan
ilmu tentang musabab (ayat Al-Qur'an yang diturun kan berkaitan dengan sebab
itu). Misalnya firman Allah SWT, ”Hai orang-orangyang beriman, apabila daiang
berhijrah kepadamu perempuan- perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman makajanganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orangkafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka maharyang telah
mereka bayar.... ” (al Mumtahanah: 10)

Dan ayat selanjutnya, ”Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada
orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka maka bayarkanlah kepada
orang-orang yang lari istrinya itu mahar sebanyakyang telah mereka bayar.... ”
(al-Mumtahanah: 11)

Pembaca ayat ini tidak akan dapat memahami maksudnya selama ia tidak
mengetahui sebab diturunkannya dan sejarahnya. Ia adalah diturunkan setelah
ditekannya Peijanjian Hudaibiah. Dan syarat-syarat khusus yang ada di dalamnya,
yaitu untuk mengembalikan orangyang datang kepada Rasulullah saw. dari kaum
laki-laki muslim, dan wajib memulangkannya kepada suku Quraisy. Apakah hal itu
juga beriaku bagi kaum wanita atau tidak? Dua ayat ini diturunkan dalam masalah
itu, dan keduanya menunjukkan pengecualian wanita mukminat dari syarat-syarat
Hudaibiah, setelah ujian yang mereka alami dan terbuktinya ke- imanan mereka.
Dari sini maka ilmu tentang asbabun nuzul amat dibutuhkan.

Inilah yang diperkuat oleh Imam asy-Syathibi dalam Muwafaqat-Nya saat


ia berkata, ’’Mengetahui asbabun nuzul adalah wajib bagi orang yang ingin
mengetahui ilmu Al-Qur'an.”

Dalil tentang hal itu ada dua hal. Pertama, ilmu ma'ani dan bayan yang
dengannya diketahui kemukjizatan redaksional Al-Qur'an-juga mengetahui tujuan-
tujuan kalam Arab-skupnya adalah pada pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan
posisi khitab (substansi redaksional) dan konsekuensinya: posisi khithab dari sisi
khitab itu sendiri, atau mukhathib (pihak pertama) atau mukhatab (pihak kedua),
atau umum. Karena suatu redaksional dapat berbeda pemahamannya sesuai dengan
dua kondisi yang berbeda, dua pihak mukhatab (pihak kedua) yang berbeda, dan
lainnya. seperti pertanyaan, lafalnya adalah satu, namun ia dapat dimasuki makna
lain, seperti persetujuan, pencelaan, dan lainnya. Dan seperti perintah, padanya bisa
masuk pengertian kebolehan, ancaman, melemahkan, dan semacamnya. Dan yang
menunjukkan kepada makna yang dituju adalah perkara-perkara luar, dan pokoknya
adalah pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan posisi khithab (substansi
redaksional) dan konsekuensinya pengertiannya: tidak setiap kondisi diberitakan,
dan tidak setiap indikator (qarinah) mengiringi kalam yang diriwayatkan, dan jika
ter-lewatkan untuk meriwayatkan sebagian qarinah yang menunjukkan
pemahaman, maka luput pula pemahaman terhadap kalam secara utuh atau
sebagiannya. Dan mengetahui sabab nuzul akan menghilangkan semua masalah
semacam ini, oleh karena itu ia unsur yang amat penting dalam memahami kitab
Allah SWT. Makna mengetahui sababun nuzul adalah mengetahui muqtadhul-hal-
ketetapan terhadap kondisi sababun nuzul ayat Dan timbul dari sini.

Kedua, ketidaktahuan terhadap asbabun nuzul akan membawa kepada


kesamaran dan kesulitan, dan sifat nash-nash yang tampak adalah general sehingga
banyak terjadi perselisihan pendapat, dan hal itu membawa kepada terjadinya
pertengkaran.

Hal ini diperjelas oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari Ibrahim
at-Tamimi. Ia berkata, "Umar suatu hari duduk sendiri, dan merenung dalam
dirinya, mengapa umat ini akan berbeda-bedapendapatnya sedangkan Nabinya satu,
dan kiblatnya satu?” Ibnu Abbas berkata, "Wahai Amirul, Al-Qur'an diturunkan
kepada lata, dan lata membacanya, serta mengetahui mengapa ia diturunkan.
Sedangkan orang setelah kita adalah orang-orang yang membaca Al-Qur'an, namun
tidak mengetahui tentang apa ia diturunkan, kemudian mereka mengutarakan
pendapat tentang hal itu. Dan jika mereka mulai mengeluarkan pendapat maka
mereka pun berselisih pendapat, dan jika mereka telah berselisih pendapat mereka
akan berperang.” Lalu Umar kemudian membentak dan menghardiknya. Dan Ibnu
Abbas pun pergi. Setelah itu, Umar kembali memikirkan perkataan Ibnu Abbas tadi,
dan memahaminya, kemudian ia memerintahkan agar memanggil Ibnu Abbas
kembali, dan selanjutnya ia berkata kepadanya, "Ulangilah apa yang engkau
katakan tadi ” Dan ia mengulanginya. Setelah itu Umar memahami perkataannya
itu dan membenarkannya.

Asy-Syathibi berkata, "Apa yang dikatakannya itu benar.” Ibnu Wahb


meriwayatkan dari Bukair bahwa ia bertanya kepada Nafi, "Apa pendapat Ibnu
Umar tentang orang-orang Haruriyyah?” Ia menjawab, Ta melihat mereka sebagai
makhluk-makhluk Allah yang buruk, mereka mempergunakan ayat-ayat yang
diturunkan kepada kaum kafir, dan menjadikannya bagi kaum mukminin.” Ini
adalah makna pendapat (rasio) yang dikatakan oleh Ibnu Abbas tadi. Ia berkata,
’’Katakan kepadanya, jika setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang ia
peroleh dan senang dipuji terhadap sesuatu yang tidak ia kerjakan itu diazab, maka
kita semua akan diazab.” Ibnu Abbas berkata, ”Apa hubungan kalian dengan ayat
ini?” Ini berkenaan dengan kejadian saat Nabi Muhammad saw. memanggil orang-
orang Yahudi, dan menanyakan mereka tentang sesuatu, namun mereka
menyembunyikannya terhadap beliau, dan malah memberitahukan yang lainnya,
dan mereka memperlihatkan ingin dipuji terhadap apa yang mereka beritahukan itu,
dan mereka merasa gembira dengan menyembunyikan hal itu. Kemudian
Rasulullah saw. membaca ayat,

”Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu), ’Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,
dan jangan kamu menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkan janji itu ke
belakang punggung mereka dan mereka menukamya dengan harga yang sedikit.
Amatlah buruk tukaranyangmereka terimajangardah sekali-kali kamu menyangka
bahwa orang-orangyanggt nhira dengan apayang telah mereka kerjakan dan
mereka suka supaya dipuji terhadapperbuatanyang belum mereka kerjakan. "(Ali
Imran: 187-188)

Sababun nuzul ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dari ayat itu berbeda
yang dipahami oleh Marwaan.”

Bagaimana Mengetahui Asbabun Nuzul?


Al-Wahidi berkata, "Tidak boleh berkata tentang sababun nuzul ayat Al-
Qur'an kecuali dengan riwayat atau mendengarkan penuturan orang yang
menyaksikan penuruan ayat itu dan memperhatikan sebab-sebabnya serta meneliti
ilmunya.” Muhammad bin Sirin berkata, ”Aku bertanya kepada Ubaidah tentang
suatu ayat Al-Qur'an, ia menjawab, ’Bertakwalah kepada Allah SWT dan
berkatalah dengan benar, orang-orang yang mengetahui berkenaan dengan apa
(ayat) Al-Qur'an diturunkan telah tidak ada!”’ Yang lain berkata mengetahui
sababun nuzul dapat dimiliki oleh sahabat dengan adanya qarain (indikator-
indikator) yang menyertai masalah dan kejadian-kejadian tertentu. Dan sebagian
mereka ada yang tidak mengatakan dengan pasti tentang sababun nuzul suatu ayat,
sehingga ia berkata, ”Aku kira ayat ini turun berkenaan dengan kejadian ini.” Ini
seperti diriwayatkan oleh imam yang enam dari Abdullah bin Zubair, ia berkata,
”Zubair berselisih dengan seorang Anshar tentang saluran air di daerah Hurrah.
Maka Nabi Muhammad saw. bersabda,

“Airilaah (ladangmu) wahai Zubair, kemudian kirim air itu kepada


tetangga- mu. ’ Orang Anshar itu berkata, Wahai RasuluUah saw., meskipun dia
anak bibi baginda!’Maka wajah RasuluUah saw. langsung berubah.... ”

Zubair menduga ayat-ayat berikut diturunkan berkenaan dengan peristiwa


tadi,

’’Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga


mereka menjad.ikankamuhakimdaiamperkarayangmerekapersdisihkan....”

Al-Hakim berkata dalam ilmu hadits bahwa jika seorang sahabat yang
menyaksikan turunnya wahyu memberitakan tentang suatu ayat Al-Qur'an bahwa
ayat itu diturunkan dalam suatu masalah atau peristiwa, maka ia adalah hadits
musnad. Sikap seperti ini juga dipegang oleh Ibnu Shalah dan yang lainnya. Mereka
memberikan contoh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. Ia berkata
bahwa orang Yahudi berkata, ”Siapa yang menyetubuhi istrinya dari arah
belakangnya, anaknya akan lahir dengan mata juling ” Karena itu maka Allah SWT
menurunkan ayat,

”Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka


datangilah tanah tempo! bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki...." (al-Baqarah: 223)

Ibnu Taimiyah berkata bahwa perkataan mereka, ”Ayat ini diturunkan


dalam peristiwa ini,” kadang-kadang yang dimaksud adalah sababun nuzul.
Kadang-kadang pula yang dimaksud adalah masalah itu masuk dalam ayat itu,
meskipun bukan sebab turunnya. Ini seperti engkau katakan, "Yang dimaksud ayat
ini adalah peristiwa ini.”

Az-Zarkasyi berkata bahwa dalam al-Burhan dapat diketahui dari kebiasaan


sahabat dan tabi’in, jika salah seorang dari merekaberkata, ’’Ayat ini diturunkan
dalam masalah ini,” yang ia maksudkan adalah ayat itu mengandung hukum
masalah tadi, bukan menjadi sebab turunnya ayat itu. Ia termasuk kelompok yang
berdalil terhadap suatu hukum dengan ayat Al-Qur'an, bukan periwayatan terhadap
sesuatu yang teijadi.
Kekhususan Sebab dan Generalitas Lafal
Meskipun telah kami kemukakan tentang keharusan memperhatikan
asbabun nuzul yang khusus, ini tidak berar ti kami bersikap berlebihan dalam
masalah ini, seperti dilakukan oleh sebagian orang pada masa kini. Sehingga ada
sebagian orang hampir membatasi jangkauan lafal-lafal Al-Qur'an yang umum pada
apa yang teijadi pada masa kenabian saja. Ini tidak dapat diterima sama sekali. Dan-
seperti dikatakan oleh Ibnu Taimiyah-insan muslim yang berakal tidak mungkin
mengatakan seperti itu. Karena ia ber tentangan dengan keumumam Al-Qur'an, baik
dari dimensi tempat maupun zaman. Ia adalah kitab zaman seluruhnya, seperti telah
kami jelaskan dalam pasal "Karakteristik-Karakteristik Al-Qur'an”

Ulama-ulama ushul yang terkemuka berkata, ”Yang dilihat adalah


keumuman lafal bukan kekhususan sebab.” Beberapa ayat diturunkan dengan
asbabun nuzulnya, dan mereka sepakat untuk melebarkan jangkauan ayal itu di luar
sebabnya. Seperti turunnya ayat zhihar pada Salmah bin Shakhar, ayat lia 'an pada
kejadian Hilal bin Umayyah, hukum qadzaf pada para penuduh Aisyah, kemudian
melebarkan hukum itu bagi orang lain. Az-Zamakhsyari berkata dalam tafsir surat
al- Humazah bahwa suatu sebab bisa khusus namun ancamannya umum, sehingga
menjangkau seluruh orang yang melakukan dosa dan keburukan yang sejenis. Hal
itu menjadi sindiran bagi mereka.

As-Suyuthi berkata bahwa di antara dalil-dalil atas penilaian keumuman


lafal adalah tindakan para sahabat dan yang lainnya, yang berdalil terhadap kejadian
dan kasus yang mereka temukan dengan keumuman ayat-ayat yang diturunkan
untuk sebab-sebab khusus. Hal itu adalah sesuatu yang biasa mereka lakukan. Ibnu
Jarir berkata bahwa Muhammad bin Abi Ma’syar meriwayatkan hadits kepadaku.
Ia berkata, "Ayahku Abu Ma’syar mengkabarkan kepadaku, ia berkata, ’Aku
mendengar Said al-Muqbiri menyebut Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. Sa’id
berkata bahwa di dalam sebagian kitab Allah disebutkan adalah orang-orang yang
lidahnya lebih manis dari madu, hatinya lebih pahit dari kesabaran, mereka
memakai bulu domba yang halus, namun mereka menarik dunia dengan agama.’”

Muhamamd bin Ka'ab berkata bahwa ini tentang firman Allah SWT, ”Dan
di antara manusia ada orangyang ucapannya tentangkehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (alas kebenaran) isi hatinya,padahal
ia adalah penantangyangpaling Azray.” (al-Baqarah: 204)

Sa’id berkata, ”Apakah engkau mengetahui terhadap siapa ayat ini di-
turunkan?” Ia menjawab, ”Ayat ini pertama diturunkan berkaitan dengan seorang
laki-laki, namun kemudian pengertiannya menjadi umum.”
Jika engkau bertanya bahwa Ibnu Abbas sendiri tidak melihat keumuman
ayat, ’Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatanyangbelum mereka keijakanjanganlah kamu menyangka bahwa mereka
terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yangpedih. ” (Ali Imran: 188); dan
membatasinya hanya pada orang-orang yang dikisahkan itu. Pendapat seperti ini
salah, karena ilmu mempunyai beberapa faedah.

Pertama: mengetahui hikmah sehingga mendorong adanya suatu hukum.


Kedua: mengkhususkan hukum dengan kejadian tertentu bagi orang yang
berpendapat bahwa hukum yang berlaku hanya bagi sebab dan kejadian tertentu (al-
'ibrah bil-khusus as-sabab). Ketiga: suatu lafal kadang-kadang bersifat umum,
kemudian ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya. Maka jika diketahui
sebab penurunnya maka takhsis itu terbatas pada apa yang selain bentuk itu, karena
masuknya bentuk sabab adalah qath’i ’kuat’ dan mengeluarkannya dengan ijtihad
dilarang. Keempat mengetahui suatu makna dan menghilangkan kerancuan.

Al-Wahidi berkata, "Suatu ayat tidak dapat ditafsirkan tanpa memperhati-


kan kisahnya dan penjelasan turunnya.”

Diriwayatkan dari Qudamah bin Mazh’un74 serta Amur bin Ma’di Kariba
bahwa keduanya berkata bahwa khamar (minuman keras) dibolehkan, dan
keduanya berdalil dengan firman Allah SWT, "Tidak ada dosa bagi orang-
orangyang beriman dan mengerjakan amalanyang saleh karena memakan
makananyangtelah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman.,,. ”(al-Maa’idah: 93)
Jika kedua orang tersebut mengetahui sababun nuzulnya, niscaya keduanya
tidak akan berkata seperti itu, yaitu saat orang ada yang bertanya-tanya, saat khamar
diharamkan. Lalu bagaimana nasib mereka yang gugur di jalan Allah SWT, dan
mati, sementara mereka saat itu masih minum khamar, dan khamar itu saat ini
diharamkan? Maka ayat tersebut diturunkan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-
Nasa'i, serta yang lainnya.

Meneliti Validitas Asbabun Nuzul


Namun, yang penting untuk kami tegaskan di sini adalah riwayat yang sahih
tentang sababun nuzul hanya sedikit, bahkan sedikit sekali. Oleh karena hendaknya
hati-hati terhadap sababun nuzul yang diriwayatkan dengan jalan yang lemah atau
malah maudhu, karena ia tidak mengandung nilai apa-apa secara ilmiah.
Hal ini mengharuskan untuk merujuk dan mempelajari kembali sanad-sanad
yang meriwayatkan sababun nuzul, mempergunakan metode jaih wat- ta 'dil
padanya, atau kembali kepada imam-imam hadits yang tepercaya dan kepada
pendapat-pendapat mereka yang kuat dalam hal itu. Dan, tidak ada diagnosis yang
lebih kuat, selain diagnosis orang yang ahli.

Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Rujukan Utama


dalam Mencari Pemahaman
Al-Qur'an adalah Kitab yang Harus Diikuti, Bukan Menjadi Pengikut Orang
yang ingin memahami Al-Qur'an dan menafsirkannya harus mengosongkan dirinya
dari keyakinan dan pemikiran-pemikirannya yang sebelumnya. Tidak memaksakan
kehendak dirinya terhadap Al-Qur'an, dan menafsirkannya dengan memaksakannya
agar sesuai dengan pendapat dan kehendaknya, dan mengarahkannya untuk
memperkuat keyakinan yang ia anut, pemikiran yang ia adopsi atau mazhab yang
ia ikuti.

Namun seharusnya, sikapnya terhadap Al-Qur'an adalah sikap seorang yang


mencari petunjuk darinya, dan melihatnya sebagai rujukan utamanya, tempat
mengadunya, sumber pencariannya, dan hakimnya saat teijadi perselisihan. Al-
Qur'an adalah pihak yang harus diikuti bukan yang mengikuti, yang menghakimi
bukan yang dihakimi, dan pokok bukan cabang.

Tidak layak untuk menghukumkan Al-Qur'an berdasarkan apa yang


tercantum dalam kitab-kitab agama lain, yang disucikan oleh pengikutnya.
Sementara, menurut kita dengan yakin, ia disimpangkan dan dipalsukan. Tidak
boleh memahami firman Allah SWT, ’’Hai sekalian manusia, bertakivalahkepada
Tuhanmuyangtelah menciptakan kamu daridiriyangsatu, dan darinya AUah
menciptakan istrinya.... ”(an-Nisa': 1)

Dan firman Allah SWT, ’’Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa
senangkepadanya...”(al-A’raf: 189)

Ayat itu sebagai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, seperti disebut-
kan dalam Taurat Karena orang yang membaca Al-Qur an dengan pikiranyang
kosong dari pemikiran seperti itu, tidak akan terbetik dalam hatinya keyakinan
seperti itu. Kedua ayat itu sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialahDia menciptakan untukmu istri-istri darijenismu
sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepada- nya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.... ”(ar-Rum: 21)

Dan firman Allah SWT, ”Allah menjadikan bagi kamu istri istri darijenis
kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-
cucu....”(an-Nahl: 72)
Yang dipahami dari ayat-ayat itu adalah kaum hawa diciptakan bagi kita
dari jenis kita, sebagai pasangan kita, tempat kita berlabuh, dan mendapatkan
ketenangan. Dan tidak ada seorang pun yang memahami darinya bahwa Allah SWT
menciptakan setiap wanita dari suaminya, atau dari tulang rusuknya atau dari suatu
bagian tubuh dari bagian-bagian tubuhnya.

Contoh seperti itu adalah apa yang disebut dalam surat Shad, dalam kisah
Daud bersama dua orang yang sedang bersengketa, yaitu firman Allah SWT,

’’Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara


ketika mereka memanjatpagar? Ketika mereka masuk (menemui) Daud lain ia
terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, ’Janganlah kamu merasa
takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami
berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil
dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami kejalanyang
lunis. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor
kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata, ’Serahkanlah
kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan. ’Daud
berkata, ’Sesungguhnya ia telah berbuat zfllim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan
amalyang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini. ’ Dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan
sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat
kembaliyang baik’”(Shad: 21-25)

Siapa yang membaca kisah ini-dengan pikiran yang kosong dari apa yang
tertulis dalam Taurat-akan memahaminya sesuai dengan pengertian yang diberikan
oleh redaksional ayat-ayatitu dengan jelas dan gamblang. Sementara, kesalahan
Daud dalam ayat itu adalah saat ia tergesa-gesa dalam memutuskan hukum bagi dua
orang yang bersengketa itu dengan hanya mendengarkan klaim satu pihak, tanpa
terlebih dahulu mendengarkan penuturan pihak kedua Ada yang mengatakan bahwa
jika engkau didatangi oleh salah satu pihak yang bersengketa dan salah satu
matanya tampak melotot maka jangan langsung engkau berikan keputusan
kepadanya hingga pihak kedua yang bersengketa datang kepadamu, karena
barangkali malah pihak kedua itu yang matanya melotot.

Seorang alim besar mazhab Hanafi di Pakistan mengatakan kepada murid-


murid dan pengikutnya suatu perkataan yang patut dicatat dan diingat, yaitu saat ia
mengajarkan kepada mereka-dan mereka adalah para pengikut mazhab Hanafi-ilmu
hadits. Ia berkata kepada mereka dengan jujur,

’Tidak mengapa kalian berpegang dengan mazhab Hanafi, dan berdalil bagi
mazhab itu, namun jangan kalian sampai menjadikan hadits bermazhab
Hanafi!”

Syekh itu benar. Hadits tidak boleh bermazhab; tidak boleh menjadi mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hadits adalah di atas seluruh mazhab, dan
semua mazhab mengikuti hadits, bukan hadits yang mengikuti mazhab-mazhab.

Apa yang dikatakan terhadap hadits Nabi ini, harus dan wajib-terlebih lagi-
dikatakan bagi Al-Qur'an. Tidak boleh dan tidak pantas serta tidak dapat diterima
jika Al-Qur'an mengikuti suatu mazhab dalam fikih, aliran dalam ilmu kalam,
pendapat dalam filsafat, atau syathahat dalam tasawuf.

Menyeret Al-Qur'an untuk Mendukung Suatu Mazhab Pemikiran Manusia


Al-Qur'an tidak boleh diseret sedemikian rupa untuk mendukung dengan
segala cara-suatu aliran akidah, pemikiran, fikih, atau suluk. Karena ini adalah suatu
tindakan pembalikan kebenaran, pemalsuan, mengakhirkan apa yang seharusnya
dikedepankan, dan mengedepankan apa yang seharusnya diakhirkan, sehingga sang
hakim menjadi yang diperintah. Pokok menjadi cabang dan yang diikuti menjadi
pengikut

Ini adalah salah satu faktor kesesatan, bibit penyelewengan, dan sumber
penyimpangan dari jalan yang lurus, yaitu seseorang berusaha menafsirkan Al-
Qur'an seenaknya. Sementara kepalanya dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran dan
pola pandang tertentu, hatinya mengimani dogma-dogma tertentu, yang
berkembang di negerinya. Dan ia terima dari guru-gurunya semenjak ia kecil,
dipupuk saat ia remaja, dan matang saat ia dewasa, hingga menginjak usia tua. Ia
tidak membaca Al-Qur'an dengan bacaan sudah terprogram, apa yang sesuai dengan
pemikirannya-meskipun dengan dibuat-buat-segera ia ungkapkan dan ia besar-
besarkan, sedangkan apa yang tidak sesuai segera ia jatuhkan dan lupakan. Dan,
apa yang bertentangan dengannya secara jelas dan gamblang, maka tidak segan-
segan ia segera menolaknya serta menakwilkannya.

Bacaan-Bacaan Para Filosof terhadap Al-Qur'an


Seperti inilah kita menemukan bacaan para filosof terhadap Al-Qur'an.
Seperti tecerminkan dalam aliran filsafat peripetik Islam. Saat mereka menjadikan
Aristoteles sebagai guru pertama mereka, bukan Nabi Muhammad saw., Ka'bah
mereka adalah Athena bukan Mekah, dan kitab tuntunan mereka adalah filsafat
Yunani bukan hikmah Al-Qur'an.
Saat itu, mereka menjadikan Al-Qur'an mengikuti apa yang mereka yakini
sebagai seluruh kebenaran dari Aristoteles. Maka dengan segala upaya mereka
menakwilkan ayat-ayat yang muhkamat, dalam masalah pembangkitan manusia,
surga dan neraka, nubuwuat dan wahyu, penciptaan langit dan bumi, seperti tentang
firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia meng- ampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” Ini terulang dua kali dalam surat an-Nisa', yaitu pada dalam ayat
ke-48 dan ayatke-116.

Di situ Allah SWT membedakan antara kemusyrikan dan dosa-dosa lainnya


Namun, dia-az-Zamakhsyari-menyamakan keduanya bahwa keduanya tidak dapat
diampuni dengan tobat Sikapnya yang sama juga ia tampakkan dalam memahami
firman Allah SWT, ”... Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa i&n-
Nya.... ” (al- Baqarah: 255)
Dan firman Allah SWT, ”... dan mereka tiada memberi syafaat melainkan
kepada orangyang diridhai Allah,.. “(Al Anbiya: 28)

Dan, ayat-ayat lain yang menetapkan syafaat dengan syarat-syaratnya.


Yaitu dengan izin Allah SWT, bagi ahli tauhid. Namun, az-Zamakhsyari-seperti
semua orang Muktazilah ,menangkan keadilan diatas rahmat, ancaman di atas janji
baik, dan akal di atas naql. Jika mereka jujur dan merenung dengan benar, niscaya
akan mengetahui bahwa akal yang tidak dibebani oleh hawa nafsu akan
membenarkan adanya syafaat, karena ia lebih layak dengan kesempurnaan Allah
SWT, besarnya anugerah-Nya, luasnya rahmat-Nya, dan ketinggian kebaikan-Nya.
Sikapnya yang sama adalah terhadap firman Allah SWT tentang hari kiamat,
”Wajah~wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat. ” (al-Qiyaamah: 22-23) Hal itu amat jelas di
tempatnya, apalagi jika diperkuat oleh hadits-hadits sahih. Juga sikapnya terhadap
firman Allah SWT, seperti ayat, ”... Barangsiapa yang Allah menghendaki
kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang
datang) dari AUah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak
menyucikan hati mereka.... ” (al- Maa'idah: 41)

Sikap membuat-buatnya yang ia lakukan dalam menafsirkan ayat ini dan


yang lainnya, tidak lebih untuk menyesuaikannya dengan mazhabnya yang
berpendapat bahwa kemaksiatan terjadi bukan dengan kehendak Allah SWT.
Sehingga, Allamah Ibnul Munir mengatakan dalam karyanya Intishofah -nya,
sejauh apa pun yang dilakukan oleh tokoh kita ini, namun kebenaran tetap lebih
jelas. Ia mengomentari perkataan az-Zamakhsyari dalam menafsirkan firman Allah
SWT, ”... mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki....”
(al-An’am: 111)
Artinya kehendak memaksa. Ibnu Munir berkata, "Namun yang dimaksud
adalah kecuali Allah SWT menghendaki mereka untuk memilih keimanan, karena
jika Allah SWT menghendaki mereka untuk memilih keimanan, niscaya mereka
akan memilih keimanan dan mereka beriman dengan pasti. Apa yang Allah SWT
kehendaki pasti terjadi.

Az-Zamakhsyari berpedoman pada kaidah yang salah dalam keyakinannya


bahwa Allah SWT menginginkan keimanan dari mereka secara ikhtiar, namun
mereka tidak beriman. Bahkan, ia dan mazhabnya berkata bahwa mayoritas apa
yang dikehendaki Allah SWT tidak terjadi jika mereka menemukan ayat seperti ini
yang menolak keyakinan mereka, maka mereka segera berupaya untuk
mempertahankan diri dengan mengartikan kehendak yang dinafikan itu sebagai
kehendak paksaan dan terpaksa. Jika seperti yang mereka lakukan, maka Al-Qur'an
menjadi pengikut pemikiran-pemikiran manusia. Padahal, ia adalah tuntunan dan
pedoman yang diikuti, maka apa yang ber- tentangan dengannya saat itu dan
menyimpang darinya akan terjerumus ke dalam neraka. Dan selain kebenaran
adalah kesesatan.”

Orang-Orang Qadiyaniun dan Al-Qur'an


Pada masa kini, kita menemukan contoh yang amat jelas tentang kelompok
yang membawa pemikiran-pemikiran yang mereka yakini kebenarannya. Dan,
mereka mengurung diri mereka di dalamnya, serta mereka mengajak manusia untuk
mengikutinya dengan amat bersemangat, karena meyakininya sebagai agama baru,
atau kenabian baru, setelah kenabian Nabi Muhammad saw., atau ia-seperti
dikatakan oleh Muhammad Iqbal-adalah revolusi terhadap kenabian Muhammad
saw., yaitu aliran Qadiyaniah.

Benar, kami melihat aliran ini yang mempunyai keyakinan yang berbeda
dengan kaum muslimin, membaca Al-Qur'an dan menafsirkannya, dan
memaksakan sejumlah pemikiran, pola pandangan dan keyakinan-keyakinan
mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka menyimpangkannya dari tempatnya,
menakwilkannya dengan tidak benar, dan menyebarkan penyimpangan dan takwil
yang salah itu, dengan meneijemahkannya ke dalam puluhan bahasa di dunia,
kepada kaum muslimin dan nonmuslim, dengan mengatakan- nya sebagai
terjemahan Al-Qur'an, atau terjemahan makna-makna Al-Qur'an.

Artinya, Al-Qur'an di tangan mereka tidak lagi menjadi kitab Allah, namun
kitab ”Ghulam Ahmad”. Tidak lagi menjadi kitab suci Islam, namun kitab suci
Qadiyaniah. Karena, iatelah menjadi perangkat untuk membela keyakinan dan
kepercayaan-kepercayaan Qadiyaniah.
Orang-orang Qadiyaniun mempunyai kepercayaan bahwa kenabian tidak
ditutup dengan Nabi Muhammad saw.. Oleh karena itu, mereka menafeirkan firman
Allah SWT, ”...dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi...” (al-Ahzab: 40)
bahwa kata khaatam ’penutup* adalah hiasan nabi-nabi. Seperti cincin yang dipakai
sebagai penghias dan pemanis jari. Dan, bukan stempel yang dipakai untuk
menstempel buku setelah selesai. Juga bukan ”al-khatim”, seperti dibaca dalam
qiraat yang lain. Dan, sebagaimana dijelaskan oleh Sunnah Nabi saw., yang
menggambarkan kenabian Muhammad saw. bahwa beliau adalah seperti satu
batu terakhir dalam bangunan kenabian. Dan, tidak ada nabi setelah beliau. Umat
Islam telah berijma tentang hal ini, dan selesailah kenabian itu, sehingga hal ini
menjadi bagian dari agama yang sudah diketahui secara umum (al- malum minad-
din bidh-dharurah}.

Orang-orang Qadiyaniun mengimani bahwa nabi-nabi diutus oleh Allah


SWT, dan dibicarakan oleh Al-Qur'an, serta kisah-kisah mereka disampaikan
kepada kita, tidak memiliki mukjizat indrawi, dan tidak juga tanda-tanda
supranatural yang tampil di tangan mereka. Hal itu mereka lakukan untuk
menghindar dari tuntutan orang agar menghadirkan kemukjizatan yang
menegaskan kenabian Ghulam Ahmad. Mereka menebas dengan pedang takwil
ayat-ayat Al-Qur'an yang banyak yang menyebutkan mukjizat-mukjizat nabi-nabi,
seperti tongkat Musa dan berubahnya tongkat itu menjadi ular. Mengeluarkan
tangannya dari kantongnya dengan warna putih bukan karena penyakit, terbelahnya
laut menjadi dua dengan pukulan tongkat, dan ia memukul batu, kemudian dari batu
itu terpancar dua belas mate air, sesuai dengan bilangan suku yang bersamanya, dan
masing-masing mereka mengetahui mata air mereka.

Dan, seperti mukjizat Almasih Isa bin Maryam, yang menciptakan dari
tanah seperti bentuk burung, kemudian ia meniupnya dan terbanglah ia dengan izin
Allah SWT, menyembuh kusta, serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah
SWT.

Dan, seperti penundukan angin dan jin, berbicara dengan burung dan semut
bagi Sulaiman a.s. serta Isra Mikraj bagi Nabi Muhammad saw., dan seterusnya.
Dari mukjizat-mukjizat yang disebutkan oleh Al-Qur'an bagi para nabi dan Rasul
Allah SWT, dan dibaca oleh setiap orang yang memahami bahasa Arab, dan ia tidak
ragu sedikit pun bahwa itu adalah kejadian supranatural, tanda-tanda kenabian yang
indrawi, yang diolah Allah SWT di tangan mereka, dan Allah SWT mendukung
mereka dengan mukjizat itu, sebagai pembenaran atas dakwah mereka, atau nikmat
dari Allah SWT bagi mereka, atau juga sebagai pemuliaan dan penguat hati bagi
para pengikut mereka.
Namun, orang-orang Qadiyaniun mengeluarkannya dari makna-maknanya
yang dipahami dari lafal-lafalnya, dan tidak ditunjukkan oleh konteksnya dan yang
lainnya, untuk kemudian menakwilkannya dengan takwil yang amat jauh dan aneh.

Orang-orang Qadiyaniun mengimani kewajiban untuk tunduk kepada


orang-orang kafir yang menjajah negara-negara Islam saat kepercayaan itu timbul,
yang membuka jalan bagi mereka, memberikan perlindungan bagi mereka,
terutama Inggris. Lalu mengarahkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan pengarahan yang
mendukung pemikiran mereka, dan membela mazhab mereka.

Jika Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan
taatilah Rasul-(Nya), dan util amri di antara kamu.... ”(an-Nisa': 59)

Mereka mengalihkan makna "minkum” yang menunjukkan dengan jelas


bahwa pemimpin atau penguasa yang wajib ditaati har us dari kalangan muslimin,
dari "orang-orang yang beriman” seperti objek redaksional dalam ayat itu. Kata
”min” memberikan pengertian pembagian (sebagian) seperti dikatakan dalam
nahwu. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum mukminin yang dituju oleh ayat
itu. Namun, orang-orang Qadiyaniun mengalihkan makna yang jelas ini kepada
makna lain yang mereka buat-buat sendiri. Dan, mereka berkata bahwa makna
"minkum” artinya "fikum” (di tengah kamu), sehingga mencakup penguasa dari
kaum kafir yang menjajah. Taat kepada mereka adalah wajib seperti ketaatan
kepada Allah SWT dan Rasulullah saw..
Mereka menambah keruh lagi, saat mereka mengatakan telah dihapusnya
(dinasakh) kewajiban beijihad, yang diwajibkan kepada umat pada masa risalah,
masa sahabat, salaf umat, namun kewajiban ini tidak lagi mempunyai tempat, saat
datang kenabian baru yang menghapuskannya. Dengan ini pertahanan umat
menjadi hancur, dan menyerah kepada musuh mereka, dengan lemah, tidak
berperang karena dunia, dan tidak pula karena agama. Ia
mengotori tanah airnya, membuang kehormatannya, merobek harga dirinya,
menindas pada dai mereka, dihancurkan kekuatan mereka, dengan tangan yang
lumpuh, tunduk kepada pihak yang memeranginya, menjilat pihak yang
memusuhinya, menundukkan k jpalanya untuk menghormatinya, dan memberikan
ketaatan kepadanya dengan sepenuh hati.

Dari Mana Datangnya Kesalahan Takwil?


Di sini timbul pertanyaan yang penting, yaitu dari mana datangnya takwil
yang buruk terhadap nash Al-Qur'an?
Siapa yang memperhatikan penakwilan-penakwilan yang buruk yang
dilontarkan oleh mazhab dan aliran-aliran lama yang berbeda, baik kelompok
maupun aliran baru-akan mendapatkan bahwa penyakit yang dialami oleh seluruh
kelompok, kembali kepada dua hal berikut

1. Kurangnya ilmu dan pemikiran.


2. Buruknya niat dan tujuan.

Dua hal ini dapat bertemu dalam satu aliran atau seseorang, yang meng-
akibatkan timbul kerusakan yang besar dan kejahatan yang banyak. Orang yang
kurang ilmunya-jika bukan pengikut hawa nafsu-mungkin dapat kembali semula,
dari pendapatnya yang buruk dan penakwilannya yang rusak, jika ia membenarkan
kebenaran, kesalahannya yang diluruskan dan memahami nash sebagaimana
seharusnya.

Mengikuti Mutasyabibat dan Meninggalkan Muhkamat


Di antara larangan yang paling berbahaya dalam bidangmemahami At
Qur'an secara khusus dan nash-nasecara umum, adalah mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat, dan meninggalkan nash-nash yang muhkamat. Lantas apa yang
dimaksud dengan mutasyabih dan muhkam itu?

Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur'an


Seluruh Al-Qur'an disifati muhkam, seperti ditegaskan dalam firman
Allah SWT, ”Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (AUah) yang Maha
bijaksana lagi Maha tau. "(Hud: 1)
Yang dimaksud dengan al-ihkam adalah kesempurnaan Al-Qur'an dan
tidak adanya kekurangan dan kesimpungsiuran di dalamnya. Ia juga seluruhnya
disifati mutasyabih, seperti ditegaskan dalam firman Allah SWT, ”Allah telah
menurunkan perkataanyangpaling baik (yaitu) Al-Quf anyang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut
kepada Tuhannya...” (az-Zumar: 23)

Makna mutasyabihnya adalah ia mirip satu sama lain dalam kebenaran


berita-beritanya, keadilan hukumnya, ketinggian balaghahnya, keindahan
redaksinya, kejelasan hakikat-hakikatnya, dan satu sama lain saling membenarkan,
tanpa pertentangan dan benturan.

Al-Qur'an juga disifati bahwa sebagiannya muhkam dan sebagiannya lagi


mutasyabih. Yaitu, yang diungkapkan oleh ayat ketujuh dari surat Ali Imran,
’’Dialahyangmenurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)-nya
ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-
ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkanfitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan AUah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami. 'Dan tidak dapat mengambilpelajaran (darinya) melainkan orang-
orang yang berakal” (Ali Imran: 7)

Ayat itu membagi ayat-ayat Al-Qur'an m mjadi dua bagian: yang


muhkamat, yaitu Ummul-Kitab, pokoknya dan mayoritasnya. Dan, yang kedua
adalah mutasyabihat

Makna Muhkam
Yang dimaksud dengan muhkam adalah yang jelas dengan sendirinya, dan
menunjukkan maknanya dengan terang benderang, tanpa adanya ke- samaran dari
segi lafal, juga tidak dari segi makna, seperti dikatakan oleh Raghib al-Asfahani
dalam karyanya al-Mufradat.

Makna Mutasyabih, Bentuk-Bentuk, serta Sebab-Sebabnya


Yang dimaksud dengan mutasyabih adalah yang penafsirannya sulit, karena
kemiripannya dengan yang lainnya. Dari segi lafal atau dari segi makna. Oleh
karena itu, dikatakan al-mutasyabih adalah yang zahirnya tidak langsung
menunjukkan maksudnya. Atau, yang pengertiannya tidak dapat dipahami langsung
darinya, dan perlu dikonfirmasikan dengan yang lainnya.

Raghib al-Asfahani berkata bahwa hakikat hal itu adalah, ayat-ayat dengan
melihat satu bagian dengan bagian lainnya ada tiga macam, sebagai berikut :
1. Muhkam secara mutlak.

”... padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” Dan
menyambungnya dengan firman Allah SWT, ”Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya,” adalah boleh. Masing-masing bacaan itu mempunyai
pengertian, sesuai dengan petunjuk penjelasan sebelumnya.
Kesimpulannya, di dalam Al-Qur'an ada ayat-ayat muhkamat yang jelas
pengertiannya dan terbentang maknanya, dan tidak butuh kepada ayat lain untuk
menjelaskan pengertian dan kandungannya. Ini adalah Ummul Kitab dan asalnya,
yang kepadanya harus dikembalikan dan dikonfirmasikan bagian yang lainnya,
untuk mencari pemahaman dari petunjuknya.

Ada ayat-ayat yang mutasyabih-yang tasyabuh secara keseluruhan dan


hakiki-yang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT, dan hanya orang yang dalam
hatinya bersarang kotoran dan kesesatan berusaha untuk mengetahuinya atau
tasyabuh secara parsial dan komplementer-ini adalah macam muta- syabih yang
paling banyak. Yaitu bagian yang diketahui oleh ulama yang tinggi keilmuannya,
dengan mengkonfirmasikannya kepada yang muhkamat, yang merupakan pokok
dan sumber rujukan.

Allamah Ibnul Hishar, seperti dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Itqan,
berkata, ”Allah SWT membagi ayat-ayat Al-Qur'an menjadi muhkam dan
mutasyabih. Dia memberitahukan tentang muhkamat adalah Ummul Kitab. Karena
kepadanya ayat-ayat mutasyabihat dikonfirmasikan. Ia adalah bagian yang
dijadikan rujukan dalam memahami kehendak Allah SWT, dalam seluruh hal yang
sulit mereka ketahui. Seperti mengetahui-Nya, pembenaran rasul-rasul-Nya,
menjalani perintah-perintah-Nya, dan men- jauhi larangan-larangan-Nya. Oleh
karena itu, ia adalah ’ummahat’. Kemudian memberitakan tentang, ’Orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,’ bahwa mereka adalah, ’mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat’ Makna hal ini adalah orang yang
tidak meyakini yang muhkamat, dan dalam hatinya terdapatkeraguan, makayang
iakeijakan hanyalah mencari-cari masalah-masalah yang mutasyabih. Kehendak
Allah SWT mendahulukan untuk memahami muhkamat, dan mengedepankan
ummahat, sehinggajika telah tercapai keyakinan, dan ilmunya yang sudah mantap,
engkau tidak akan memasalahkan apa yang sulit bagimu.

Dan, yang dimaksud dengan orang yang dalam hatinya terdapat kesesatan
adalah mendahulukan diri memperhatikan yang musykilat dan memahami yang
mutasyabih sebelum memahami ummahat Ini adalah bertentangan dengan akal
sehat, kebiasaan, dan yang disyariatkan.”

Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Allah SWT, juga terdapat dalam
hadits Rasulullah saw.. Karena ia adalah bagian yang biasa terdapat dalam kalam,
dan tuntutan redaksional. Jika hal itu terdapat dalam kalam Allah yang menjadi
mukjizat, maka teriebih lagi ia juga ada dalam kalam Rasulullah saw..

Hikmah Adanya Mutasyabih


Mungkin ada yang bertanyamengapa Allah SWT menjadikan mutasyabih
dalam kitab-Nya, dan mengapa Dia tidak menjadikan seluruhnya muhkam?
Sebenamya, seperti kami katakan sebelumnya, barangsiapa mengetahui sifat
bahasa-terutama bahasa Arab-dan pengertian-pengertian lafal dan redaksi yang
dikandungnya dan keberagaman redaksionalnya sesuai dengan konteksnya, seperti
membuang dan menyebutnya, mendahulukan dan mengakhirkan, simpel dan
panjang lebar, hakikat dan majas, jelas dan kinayah, umum dan khusus, dan
seterusnya.
Dan, mengetahui sifat manusia sebagai makhlukyang mempunyai pilihan
bebas, berakal dan dibebankan tugas, tidak seperti hewan tidak berakal, atau benda
mati yang tidak bergerak, juga tidak seperti malaikat yang didptakan secara fitrah
untuk taat secara otomatis tanpa pilihan dan dirinya dan makhluk seperti manusia
ini seharusnya menggunakan kekuatannya dan potensi akalnya.

Dan mengetahui sifat agama serta sifat beban agama, yaitu memberikan
beban yang mengandung capai dan kesulitan. Karena ia bersifat membersih- kan
dan memoles manusia di dunia ini dan mempersiapkannya untuk hidup kekal di
akhirat, serta menyiapkan balasan dan pahala atas kesulitan dan rasa capai yang
dirasakan manusia.

Mengetahui karakter Islam yang membidik para ulil albab, dan berkehendak
menggerakkan akal mereka untuk mencari dan berusaha, belajar dan
menyimpulkan, dan tidak santai dan bermalas-malasan untuk menggunakan
akalnya.

Mengetahui karakter manusia dan keberagaman macamnya, ada yang


cenderung scripturalis yang hanya memperhatikan zahir nash, ada yang memberi
perhatian khusus pada ruh nash, dan tidak sekadar melihat zahir nash, ada yang
menerima apa adanya, ada yang berusaha menakwilkan, ada yang cenderung
rasionalis dan ada yang cenderung esoteris dan nash Al-Qur'an ditujukkan kepada
manusia seluruhnya, maka hikmah Allah SWT berkehendak untuk menjadikan
redaksi kitab-Nya merangkum dan menyentuh mereka semua, dan menyiapkan
penjelasan dan petunjuk yang dapat menuntun mereka menuju kebenaran, namun
setelah mereka mengkaji dan berusaha keras, sehingga mereka meningkat
kemanusiaannya di dunia, dan mendapatkan balasan dan pahala di akhirat, wallahu
alam.

Peringatan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ulama terhadap Undakan Mengikuti


Mutasyabihat
Di antara prinsip dan aturan yang harus diperhatikan agar mencapai
pemahaman yang baik sesuai dengan kehendak Allah SWT dan tuntunan
Rasulullah saw. adalah keharusan kembali kepada nash-nash penjelas dan
muhkamat, dan menjadikannya sebagai pokok dan dasar rujukan, serta
mengkonfirmasikan yang mutasyabihat kepadanya, sehingga dapat hertemu
dengannya dan berputar bersama dalam orbitnya.

Di antara sebab-sebab pokok yang membawa kepada penyimpangan dan


kesesatan dari pemahaman yang benar atas Al-Qur'an dan Sunnah adalah
meninggalkan pokok-pokok yang jelas dan dalil-dalil yang kuat, untuk kemudian
mengikuti nash-nash yang mutasyabihat yang mengandung banyak penakwilan.
Padahal, seharusnya nash-nash yang mengandung banyak takwil itu diinformasikan
kepada nash-nash yang jelas dan pasti, atau mengkonfirmasikan yang mutasyabihat
itu kepada yang muhkamat.

Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 7 tentang ayat-ayat yang
muhkamat dan mutasyabihat tentang sikap orang-orang yang menyimpang
(gaighuri) dari ayat-ayat Kitab-Nya yang mulia. Rasulullah saw. bersabda,

Jika engkau melihat orang-orang yang mengikiti ayat-aya tyang mutasyabihat


maka orang-orarig itulahyangdisinyalir oleh Allah SWTdalam Al-Quran?1 maka
hati-hatilah terhadap mereka. ”

Az-zaigh seperti dikatakan ar-Raghib adalah ’menyimpang dart jalan lurus


ke salah satu sisi’. Contohnya adalah zaaghatusy-syams an kabadus-sama,
tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit dan zaaghaul-bashara wal-qalb
’pandangan dan had tergelincir.

Sebagian mereka berkata bahwa az-zaigh lebih khusus dari mutlak al-mail
’menyimpang’ Karena zaigh hanya diungkapkan dalam mengungkapkan suatu
lawan kebenaran. Yang memperkuat hal ini adalah yang telah kami sebutkan
sebelumnya,
yaitu firman Allah SWT, ”Dan bahwa (yang Kamiperintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutilah dia; danjanganlah kamu mengikutijalan-jalan (yang
lain), karenajalan- jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.... ”(al-
An’am: 153)
Allah SWT menjadikan jalan kebenaran jelas dan lurus, dan melarang dari
jalan sempit yang tidak jelas. Jalan yang jelas dalam seluruhnya diketahui dengan
kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung. Maka orang yang meninggalkan yang jelas,
dan mengikuti
yang lainnya, ia berarti mengikuti hawa nafsunya, bukan syariat. Contohnya adalah
firman Allah SWT, ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah daiang keterangan yang jelas kepada mereka..,. ” (Ali
Imran: 105)
Ini merupakan dalil bahwa nash-nash datang dengan penjelasan yang jelas
dan memuaskan, dan mengadakan dalil-dali yang tampak. Oleh karena itu, Allah
SWT menamakannya dengan bayyinat ’penjelas’. Sedangkan, perpecahan dan
perselisihan pendapat hanya terjadi dari sisi orang-orang yang berbeda dan
berselisih pendapat, bukan dari segi dalil-dalil dan nash, ia adalah bayyinat, ayat-
ayat penjelas. Ia berarti timbul dari dirinya sendiri, dan itu berarti mengikuti hawa
nafsu itu. di mana pun, akan ada wajah Allah SWT, dan wajah sesuatu adalah
hakikat-Nya.”
Kemudian ia berkata, ’’Jelaslah bagimu dari penjelasan Allah SWT, bahwa
Dia berada dalam setiap arah, dan arah-arah itu adalah kepercayaan-kepercayaan.
Oleh karena itu, semuanya adalah benar, dan setiap yang benar akan mendapatkan
pahalanya, dan setiap yang mendapatkan pahala akan bagian, dan setiap yang
bahagia diridhai!”

Ia mengungkapkan hal itu dalam sebuah syairnya, ’’Manusia menciptakan


banyak sistem kepercayaan tentangTuhan Dan aku mempercayai seluruh
sistem kepercayaan yang mereka buatitu ”

Ke mana hilangnya dari ingatan syekh ini ratusan ayat muhkamat yang jelas
yang berbicara tentang kekafiran orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, dan
orang-orang musyrik, dan mengancam mereka dengan sangat keras. Dan untuk apa
diturunkan kitab-kitab suci, diutusnya para rasul, yang tujuan utamanya adalah
memerangi kemusyrikan, dan mengajak kepada tauhid? Mengapa Allah SWT
menurunkan azab kepada orang-orang musyrik dari kaum Nuh, Ad, Tsamud, dan
orang-orang yang setelah mereka, selama mereka
semuanya benar, dan semuanya mendapatkan pahala, serta semuanya bahagia?

Ke mana baginya firman Allah SWT, "Sesungguhnya agama (yang


diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.... ” (Ali Imran: 19)

Takwil yang Buruk


Menurut kesepakatan ulama, dasar dalam memberlakukan nash adalah
dengan membiarkannya sesuai dengan pengertian zahirnya, yang menunjuk- kan
makna-makna aslinya, seperti dimengerti dan konteks bahasa Arab yang digunakan.

Namun takwil nash-nash, dengan mengalihkannya dari makna hakiki ke


makna majasi, atau kinayah, tidak ada ulama yang mempertentangkannya, yang
mempunyai pengetahuan tentang Al-Qurian dan Sunnah.

Sebagian orang tidak menamakannya dengan majas, dan menyebutnya


dengan nama lain, seperti dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
sebelumnya adalah para ulama bahasa Arab, dan setelahnya adalah murid-
muridnya.

Kami tidak mengambil pusing dengan nama dan slogan, jika substansi dan
topiknya jelas. Dalam hal ini, mereka sepakat dalam mengalihkan suatu lafal dari
pengertian zahirnya kepada makna lainnya yang tidak tampak dalam lafal itu.

Tidak ada Takwil Tanpa Adanya Dalil


Dalam hal ini yang terpenting, ini hanya dilakukan jika ada dalil atau
qarinah yang mewajibkan untuk mengalihkannya dari makna aslinya. Jika tidak,
maka lenyaplah kepercayaan terhadap bahasa dan tugasnya. Sedangkan jika kita
menemukan dalil atau qarinah, maka kita mengalihkan suatu lafal dari maknanya
yang sharih kepada makna kinayah, dan dari hakikat ke majas. lamsu adalah
kinayah terhadap jima. Namun, ia tidak menamakan hal itu sebagai majas, dan tidak
menganggapnya sebagai takwil, sedangkanhasilnya satu. Dengan demikian, takwil
diterima jika ada dalil sahih yang menunjukkannya. Baik dari bahasa, syariat,
maupun akal. Sedangkan, jika tidak maka ia ditolak, siapa pun yang
mengatakannya.

Perhatian Ulama terhadap Aturan-Aturan Takwil


Oleh karena itu, bahaya paling besar yang mengancam nash-nash adalah
takwil yang buruk terhadapnya. Yaitu, dengan menafsirkannya dengan penafsiran
yang mengeluarkannya dari makna dan pengertian yang dikehendaki Allah SWT
dan Rasul-Nya, kepada makna-makna lain yang dikehendaki oleh orang-orang yang
menakwilkannya. Bisa terjadi makna-makna itu sebenarnya sahih, namun nash-
nash yang ada tidak menunjukkan hal itu. Bisa pula makna-maknanya sendiri rusak,
dan nash-nash tidak menunjukkan hal itu, sehingga kerusakan terdapat dalam dalil
dan yang didalilkan sekaligus.

Masalah takwil adalah masalah besar yang ditekuni oleh ulama ushul fikih.
Mereka mengkajinya dengan luas-dengan aliran dan mazhab yang berbeda-beda
dan mereka juga didampingi oleh ulama ilmu kalam dan tafsir.
Yang dimaksud dengan takwil" adalah makna terminologisnya, yaitu
mengalihkan lafal dari makna zahirnya ke makna lain yang lemah yang ia kandung,
karena ada dalil yang membuat makna lemah itu menjadi kuat Ini adalah takwil
sahih yang diterima.

Pengalihan pengertian makna itu harus kepada makna yang dikandung oleh
lafel itu, meskipun ia lemah, karena jika tidak maka ia bukan takwil, namun
kebodohan dan kesesatan, atau main-main dan suatu kebatilan.

Medan Takwil
Oleh karena itu, kita mendapatkan takwil dapat masuk ke dalam kajian fikih
dan fiiru, dan tidak perselisihkan pendapat dalam hal itu, seperti dikatakan oleh asy-
Syaukani.

Ia dapat masuk dalam kajian akidah, ushuluddin, dan sifat-sifat Allah SWT.
Dalam hal itu terdapat beberapa kecenderungan atau tiga mazhab. Yang disebutkan
oleh Imam asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhul ringkasan ketiga mazhab itu.
Ringkasan itu kami nukilkan di sini.
Pertama, takwil tidak masuk ke dalamnya, dan nash-nash itu diambil hanya
pengertian zahimya, tidak ditakwilkan sama sekali. Ini adalah pendapat al-
Musyabbihah.

Kedua, ia mempunyai takwil, namun kita menahan din dari takwil itu,
sambil membersihkan keyakinan kita dari penyerupaan dan pengingkaran, dengan
firman Allah SWT, .".. padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah.... "(Ali
Imran: 7)
Ketiga, ditakwilkan. Ibnu Burhan berkata yang pertama dari mazhab-
mazhab ini adalah batil. Sedangkan yang dua lainnya, keduanya diriwayatkan dari
sahabat, dan mazhab ketiga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan
Ummu Salamah.

Asy-Syaukani menukil dari Imam al-Haramain, al-Ghazali, dan ar-Razi


yang menunjukkan kembalinya mereka ke mazhab salat Kemudian, ia berkata,
"Ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh yang telah meluaskan lingkup takwil dan
memanjangkan ekomya, akhirnya telah kembali kepada mazhab salaf,
sepengetahuanku, segala puji bagi Allah.”

Seluruh Ulama Islam Melakukan Takwil


Tidak ada mazhab dalam Islam-dalam ilmu kalam, fikih, atsar atau tasawuf-
yang tidak melakukan takwil, meskipun mereka berbeda-beda dalam kadar
penggunaannya. Ada yang meluaskan, dan ada yang menyempitkan skupnya. Ada
yang dekat dalam takwilnya, dan ada yang jauh, sehingga keluar dari akal dari
syariat
Yang terpenting, takwil adalah kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan. Ia
dapat diwajibkan oleh akal, syariat, atau bahasa Arab. Orang yang menolak hal itu
berarti telah keluar dari jalur yang benar dan terperosok dalam lubang kesalahan,
seperti dilakukan oleh kelompok Zhahiriah.

Faktor utama yang mendorong ulama melakukan takwil adalah, untuk


menyeragamkan nash-nash satu sama lain, dan tidak saling berbenturan dan
bertentangan. Dari sini, mereka menakwilkan sabda Rasulullah saw., ’’Janganlah
kalian kembali kafir setelahku, sebagian kalian memerangi yang lain.

Dan sabda Rasulullah saw., ’’Mencerca seorang individu muslim adalah


perbuatan fasik, dan memeranginya adalah perbuatan kufur. ”

Bahwa yang dimaksud dengan kufur adalah kufr ashghar (kufur kecil),
kufur terhadap nikmatatau kufur maksiat Bukan kufur besar yang mengeluarkan
seseorang dan agama. Ia dinamakan kufur karena mengandung kemiripan dengan
kekuftiran orang jahiliah yang saling berbunuhan satu sama lain. Sebab takwil ini
adalah Al-Quf an menetapkan keimanan kepada orang-orang yang saling berperang
dari kalangan kaum muslimin, dan menetapkan sifat persaudaraan keimanan bagi
mereka, ser ta mewajibkan untuk mendamaikan mereka. Allah SWT berfirman,
"Danjika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangflah golongan yang berbuat
aniaya itu sehinggagolongan itu kembali kepadaperintahAUah;jikagolongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
add dan berlaku adiUah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
add. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu.... ”(al-Hujurat: 9-10)

Ibnu Hazm Melakukan Takwil


Imam Muhammad Ibnu Hazm adalah orang paling teguh memegang zahir
nash, dan paling jauh dari melakukan takwil, sesuai dengan mazhab yang ia amini.
Dan ia bela dalam hidupnya, yaitu mazhab Zhahiriah. Namun demi- kian, kita
mendapati dia menggunakan takwil dalam beberapakesempatan, saat ia tidak
menemukan jalan keluar lagi.

Mazhab Hambaliah dan Takwil


Mazhab Hambaliah adalah salah satu mazhab yang paling keras-atau
barangkali paling kerasnya-memerangi takwil. Terutama dalam segi akidah,
sehingga Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya mengingkari adanya majas dalam Al-
Qufan, Sunnah, dan bahasa Arab secara umum. Mereka melihat membuka pintu
takwil akan membawa kepada kesesatan dan kerusakan, dan masuknya pemikiran
kaum Zindiq, Bathiniah, dan seluruh musuh ke dalam Islam, melalui pintu takwil
itu.

Namun demikian, mereka akhirnya terpaksa mengetuk pintu takwil dalam


memahami beberapa nash.

Takwil Nash-Nash yang Jelas oleh Mazhab Bathiniah


Sedangkan menakwilkan nash-nash yang jelas dan muhkamat, untuk
kemudian dipahami dengan makna-makna batin yang tidak dipahami dan zahirnya,
adalah tindakan ilhaad terhadap ayat-ayat Allah SWT, yang diancam oleh Allah
SWT dalam firman-Nya, ’’Sesungguhnya orang-orangyangmengingkariayai-
ayatKami, mereka tidak tersembunyi dari Kami.... ’’(Fushshilat: 40)
Yang dimaksud dengan al-ilhaad adalah ’menyimpang dari makna yang
dimaksud darinya’.
Ikkwil-Takwil Sebagian Sekte Syiah
Di antara sekte Syiah, ada yang berbuat beriebihan dalam agama dan
mazhabnya. Dan bertindak seperti orang-orang Bathiniah yang keluar dari agama
dari melakukan penyelewengan dan menakwilkan dengan buruk, sehingga mereka
menafsirkan Al-Qur’an dengan macam-macam penafsiran yang membuat
keterkejutan tak habisnya bagi orang yang alim. Ini seperti perkataan mereka dalam
menafsirkan.

Takwil-Takwil Kaum Sufi yang Ekstrom


Kaum sufi mempunyai takwil-takwil dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi,
yang mencabut maknanya hingga melewati makna zahirnya, untuk sampai kepada
makna-makna batin. Di antara mereka ada yang menilainya sebagai pintu "isyarat”
(perlambang-perlambang) yang menyimbolkan makna-makna itu, dengan majas,
metafor, atau menggabungkan. Di antara mereka, ada yang menganggapnya
sebagai pengertian sebenamya nash itu.

Kecenderungan terakhir, sebenarnya sejenis tafeir kebatinan yang keluar


dari syariat, bahkan mereka tidak masuk ke dalamnya sama sekali, sehingga keluar
darinya. Siapa yang ber tindak seper ti mereka maka ia termasuk dalam kelompok
mereka. Ini seperti firman Allah SWT, ”... Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadipemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.... ”(al-Maa'idah: 51)

Takwil-Takwil Aliran-Aliran Kalam


Apa yang menimpa kaum filosof menimpa pula pada aliran-aliran kalam,
dengan tingkat yang berbeda-beda.

Takwil-Takwil Kalangan Murjiah


Di antaranya penakwilan-penakwilan kelompok yang dikenal dengan nama
”al-Muiji'ah”-dari irja, yaitu pengakhiran-karena mereka mengakhirkan amal dan
suluk dari keyakinan dan keimanan, dan berpendapat semata ke- yakinan saja cukup
bagi keselamatan manusia. akhirat, baik pahala maupun siksa, dan mendorongnya
untuk beramal.

Madrasah Muktazilah dan Takwil


Kaum Muktazilah-dengan beragam alirannya-menakwilkan dalam bidang
Ilahiat (ketuhanan) seluruh nash yang berkaitan dengan penetapan sifat, qadar,
keumuman kehendak Allah SWT bagi segala sesuatu, dan menyeluruhnya
kekuasaan Allah SWT bagi segala sesuatu.
Mereka menakwilkan dalam bidang sam’iaat lebih banyak lagi. Yaitu, nash
yang berhubungan dengan mizan, shirath, syafa’at, melihat Allah SWT di surga,
yang dianggap sulit oleh sebagian akal, dan sebagian lain memustahilkannya,
padahal itu bukan mustahil. Kami telah sebutkan contoh penakwilan mereka
sebelumnya.

Takwil Kelompok Sempalan dan Sesat pada Masa Kini


Pada masa kini, kita mendapati kelompok-kelompok yang menyempal dan
menyimpang-dengan kadar yang berbeda di antara mereka-bersikap berlebihan
dalam takwil, bersandar dan berpegang padanya, sebagai ganti dari sikap penolakan
secara langsung terhadap nash-nash tsabit dan muhkam. Karena kalah mereka akan
ditolak oleh umat, dipisahkan dari tubuhnya yang hidup, sehingga ia menemukan
kematiannya dengan pasti.

Takwil Kalangan Qadianiyah


Kita melihat hal itu dalam kelompok Qadiyaniah yang menolak dengan
sadar apa yang diketahui secara pasti dari agama, yaitu ditutupnya kenabian dengan
Nabi Muhammad saw.. Hal itu telah diungkapkan oleh Al-Qur’an, dijelaskan oleh
Sunnah, dan disepakati oleh seluruh mazhab dalam umat Islam. Sementara mereka
menakwilkan firman Allah SWT, "...dan penutup nabi-nabi...” (al-Ahzab: 40),
artinya: hiasan para nabi. Ini sebagaimana al-khatim ’penutup’ adalah perhiasan
jari.

Tindakan Mengada-ada Sebagian Penafsir pada Masa Kini


Yang kami sesalkan adalah sikap mengada-ada dalam takwil seperti
dilakukan sebagian penafsir kontemporer. Ini seperti penulis Tafsiral-Maraghi. Ia
mengatakan dalam menafsirkan firman Allah SWT, ’’Sesungguhnya Kami telah
menghias tangttyang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah
memeliharanya (sebenar-benamya) dari setiapsetan yang dan bagi mereka siksaan
yang kekal.” Atinya mereka mendapatkan azab yang kekal, karena mereka kurang
berusaha keras untuk mencari rahasia keagungan alam ini. Dengan itu, mereka
kemudian mencapai keagungan Penciptanya, dan besarnya kekuasaan-Nya.

”akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pem-


bicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang” Artinya kecuali orang
yang mendapatkan kilatan dari keindahan itu, tertimpa cahayanya, dan mata hatinya
menangkapnya seperti meteor, sehingga ia mencari-carinya. Lalu mengkaji
fenomena yang sejenis, dan dengan itu ia menjelajahi malakut (alam malaikat) yang
besar, sambil mencari rahasia kebesarannya, mengetahui inti keindahannya, dan
mereka adalah dari mereka yang dipilih oleh Allah SWT dari sekian hamba-hamba-
Nya, dan memberikan kepada mereka hikmah dari sisi-Nya, mendukung mereka
dengan roh dari-Nya. Mereka adalah para nabi dan para wali-Nya yang diberikan
nikmat oleh Allah SWT, dari kaum shiddiqin, syuhada, dan shalihin.

Kesimpulannya: dunia adalah rumah yang lantainya adalah bumi,


gentingnya langit, pelitanya adalah planet dan bintang-bii tang. Rumah-rumah itu
tinggi bangunannya dan besar bentuknya, sebagaimana dihiasi dengan cahaya-
cahaya. Ia juga dihiasi dengan ukiran yang memberikan mutiara dan ke- gembiraan
bagi mata orang yang melihatnya. Namun hanya malaikatyang suci, para nabi, dan
ulama yang ikhlas yang dapat sampai kepada keindahan itu. Sedangkan, orang-
orang bodoh dan setan-setan yang membangkang dari jin dan manusia, mereka
semua lalai dari mengetahui keindahannya. Dari mereka ada yang hidup dan mati,
sementara ia lalai dari mencapai keindahan ini, karena yang mendapatkan ilmu
hanya orang yang menyenanginya. Mereka terkadang melihat kilatan keindahan ini,
maka mata had mereka menyambarnya, seperti mereka mengambil darinya satu
kutipan yang diikuti oleh secercah cahaya yang menerangi itu, dan menerangi kalbu
mereka. Sehingga menjadi orang- orang yang telah ditentukan bahagia oleh Allah
SWT, dan memberikan kepada mereka taufik dan hidayah, dari mereka yang dipilih
oleh Rabb mereka dengan keridhaan-Nya. Dan mendapatkan nikmat-Nya.

Orang-Orang Jahil yang Berpendidikan


Yang lebih jauh lagi tenggelam dalam kesesatan adalah orang-orang jahil
yang berpendidikan dalam kalangan kontemporer. Yang tidak memiliki perbekalan
yang memadai dalam bidang ilmu syariat, juga ilmu bahasa Arab. Mereka tidak
memiliki ilmu yang cukup, dan tidak pula perbekalan rasio yang memadai, serta
tidak berpegang pada agama dengan kuat Mereka menjadikan kitab Allah seperti
tanah liat di tangan mereka, yang dapat mereka bentuk sesuai apa yang mereka mau.
Seperti kami dapati hal itu pada pengarang buku al-Kitab Wai-Qur’an, yang
mengedepankan apa yang ia mau dari ayat-ayat dan kalimat serta kata sesuai
kehendaknya, tanpa adanya ikatan dan Batasan tertentu. Ini seperti perkataannya
tentang Lailatul-Qadr, dalam firman Allah SWT, ’’Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan.” (al-Qadr: 3), bahwa "bulan” yang dimaksud bukan suatu masa
tertentu yang biasa dikenal, namun ia bermakna ketenaran dan popularitas. Sedikit
qadar lebih baik dari seribu popularitas. Dan mathla fajari tidak bermakna terbitnya
fajar yang biasa yang dengannya tirai malam terkuak dari wajah pagi, namun ia
adalah al-Ifijarul-Kauni ledakkan alam’ yang besar, yang dengannya hancur sistem
alam ini, dan terjadi hari kiamat Pemahamanku, pemahaman Anda, dan pemahaman
umat seluruhnya, adalah keliru dan sesat Sedangkan dia adalah seorang penemu
yang besar dan satu-satunya terhadap sesuatu yang tidak diketahui oleh semua
orang.

Anda mungkin juga menyukai