Seperti diakui oleh ulama, Al-Qur'an diturunkan pada dua bagian. Bagian
pertama: bagian yang diturunkan secara spontan (tanpa sebab tertentu), ia adalah
mayoritas isi Al-Qur'an, seperti terlihat Dan bagian kedua. Diturunkan setelah
adanya kejadian tertentu atau adanya per tanyaan. Pada sepanjang masa turunnya
wahyu, yaitu dua puluh tiga tahun.
Bagian terakhir inilah yang dicari sebab turunnya. Karena mengetahui sebab
dan kejadian yang mengiringi dan berkaitan dengan suatu nash, akan membantu
untuk memahaminya dengan baik, dan memahami apa maksudnya.
Imam Ibnul Daqiq al-Aid berkata bahwa penjelasan sababun nuzul adalah
jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur'an. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata bahwa mengetahui sababun nuzul akan membantu untuk
memahami ayat Al-Qur'an, karena ilmu tentangs ababun nuzul akan mewariskan
ilmu tentang musabab (ayat Al-Qur'an yang diturun kan berkaitan dengan sebab
itu). Misalnya firman Allah SWT, ”Hai orang-orangyang beriman, apabila daiang
berhijrah kepadamu perempuan- perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman makajanganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orangkafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka maharyang telah
mereka bayar.... ” (al Mumtahanah: 10)
Dan ayat selanjutnya, ”Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada
orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka maka bayarkanlah kepada
orang-orang yang lari istrinya itu mahar sebanyakyang telah mereka bayar.... ”
(al-Mumtahanah: 11)
Pembaca ayat ini tidak akan dapat memahami maksudnya selama ia tidak
mengetahui sebab diturunkannya dan sejarahnya. Ia adalah diturunkan setelah
ditekannya Peijanjian Hudaibiah. Dan syarat-syarat khusus yang ada di dalamnya,
yaitu untuk mengembalikan orangyang datang kepada Rasulullah saw. dari kaum
laki-laki muslim, dan wajib memulangkannya kepada suku Quraisy. Apakah hal itu
juga beriaku bagi kaum wanita atau tidak? Dua ayat ini diturunkan dalam masalah
itu, dan keduanya menunjukkan pengecualian wanita mukminat dari syarat-syarat
Hudaibiah, setelah ujian yang mereka alami dan terbuktinya ke- imanan mereka.
Dari sini maka ilmu tentang asbabun nuzul amat dibutuhkan.
Dalil tentang hal itu ada dua hal. Pertama, ilmu ma'ani dan bayan yang
dengannya diketahui kemukjizatan redaksional Al-Qur'an-juga mengetahui tujuan-
tujuan kalam Arab-skupnya adalah pada pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan
posisi khitab (substansi redaksional) dan konsekuensinya: posisi khithab dari sisi
khitab itu sendiri, atau mukhathib (pihak pertama) atau mukhatab (pihak kedua),
atau umum. Karena suatu redaksional dapat berbeda pemahamannya sesuai dengan
dua kondisi yang berbeda, dua pihak mukhatab (pihak kedua) yang berbeda, dan
lainnya. seperti pertanyaan, lafalnya adalah satu, namun ia dapat dimasuki makna
lain, seperti persetujuan, pencelaan, dan lainnya. Dan seperti perintah, padanya bisa
masuk pengertian kebolehan, ancaman, melemahkan, dan semacamnya. Dan yang
menunjukkan kepada makna yang dituju adalah perkara-perkara luar, dan pokoknya
adalah pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan posisi khithab (substansi
redaksional) dan konsekuensinya pengertiannya: tidak setiap kondisi diberitakan,
dan tidak setiap indikator (qarinah) mengiringi kalam yang diriwayatkan, dan jika
ter-lewatkan untuk meriwayatkan sebagian qarinah yang menunjukkan
pemahaman, maka luput pula pemahaman terhadap kalam secara utuh atau
sebagiannya. Dan mengetahui sabab nuzul akan menghilangkan semua masalah
semacam ini, oleh karena itu ia unsur yang amat penting dalam memahami kitab
Allah SWT. Makna mengetahui sababun nuzul adalah mengetahui muqtadhul-hal-
ketetapan terhadap kondisi sababun nuzul ayat Dan timbul dari sini.
Hal ini diperjelas oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari Ibrahim
at-Tamimi. Ia berkata, "Umar suatu hari duduk sendiri, dan merenung dalam
dirinya, mengapa umat ini akan berbeda-bedapendapatnya sedangkan Nabinya satu,
dan kiblatnya satu?” Ibnu Abbas berkata, "Wahai Amirul, Al-Qur'an diturunkan
kepada lata, dan lata membacanya, serta mengetahui mengapa ia diturunkan.
Sedangkan orang setelah kita adalah orang-orang yang membaca Al-Qur'an, namun
tidak mengetahui tentang apa ia diturunkan, kemudian mereka mengutarakan
pendapat tentang hal itu. Dan jika mereka mulai mengeluarkan pendapat maka
mereka pun berselisih pendapat, dan jika mereka telah berselisih pendapat mereka
akan berperang.” Lalu Umar kemudian membentak dan menghardiknya. Dan Ibnu
Abbas pun pergi. Setelah itu, Umar kembali memikirkan perkataan Ibnu Abbas tadi,
dan memahaminya, kemudian ia memerintahkan agar memanggil Ibnu Abbas
kembali, dan selanjutnya ia berkata kepadanya, "Ulangilah apa yang engkau
katakan tadi ” Dan ia mengulanginya. Setelah itu Umar memahami perkataannya
itu dan membenarkannya.
”Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu), ’Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia,
dan jangan kamu menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkan janji itu ke
belakang punggung mereka dan mereka menukamya dengan harga yang sedikit.
Amatlah buruk tukaranyangmereka terimajangardah sekali-kali kamu menyangka
bahwa orang-orangyanggt nhira dengan apayang telah mereka kerjakan dan
mereka suka supaya dipuji terhadapperbuatanyang belum mereka kerjakan. "(Ali
Imran: 187-188)
Sababun nuzul ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dari ayat itu berbeda
yang dipahami oleh Marwaan.”
Al-Hakim berkata dalam ilmu hadits bahwa jika seorang sahabat yang
menyaksikan turunnya wahyu memberitakan tentang suatu ayat Al-Qur'an bahwa
ayat itu diturunkan dalam suatu masalah atau peristiwa, maka ia adalah hadits
musnad. Sikap seperti ini juga dipegang oleh Ibnu Shalah dan yang lainnya. Mereka
memberikan contoh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. Ia berkata
bahwa orang Yahudi berkata, ”Siapa yang menyetubuhi istrinya dari arah
belakangnya, anaknya akan lahir dengan mata juling ” Karena itu maka Allah SWT
menurunkan ayat,
Muhamamd bin Ka'ab berkata bahwa ini tentang firman Allah SWT, ”Dan
di antara manusia ada orangyang ucapannya tentangkehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (alas kebenaran) isi hatinya,padahal
ia adalah penantangyangpaling Azray.” (al-Baqarah: 204)
Sa’id berkata, ”Apakah engkau mengetahui terhadap siapa ayat ini di-
turunkan?” Ia menjawab, ”Ayat ini pertama diturunkan berkaitan dengan seorang
laki-laki, namun kemudian pengertiannya menjadi umum.”
Jika engkau bertanya bahwa Ibnu Abbas sendiri tidak melihat keumuman
ayat, ’Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatanyangbelum mereka keijakanjanganlah kamu menyangka bahwa mereka
terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yangpedih. ” (Ali Imran: 188); dan
membatasinya hanya pada orang-orang yang dikisahkan itu. Pendapat seperti ini
salah, karena ilmu mempunyai beberapa faedah.
Diriwayatkan dari Qudamah bin Mazh’un74 serta Amur bin Ma’di Kariba
bahwa keduanya berkata bahwa khamar (minuman keras) dibolehkan, dan
keduanya berdalil dengan firman Allah SWT, "Tidak ada dosa bagi orang-
orangyang beriman dan mengerjakan amalanyang saleh karena memakan
makananyangtelah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman.,,. ”(al-Maa’idah: 93)
Jika kedua orang tersebut mengetahui sababun nuzulnya, niscaya keduanya
tidak akan berkata seperti itu, yaitu saat orang ada yang bertanya-tanya, saat khamar
diharamkan. Lalu bagaimana nasib mereka yang gugur di jalan Allah SWT, dan
mati, sementara mereka saat itu masih minum khamar, dan khamar itu saat ini
diharamkan? Maka ayat tersebut diturunkan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-
Nasa'i, serta yang lainnya.
Dan firman Allah SWT, ’’Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa
senangkepadanya...”(al-A’raf: 189)
Ayat itu sebagai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, seperti disebut-
kan dalam Taurat Karena orang yang membaca Al-Qur an dengan pikiranyang
kosong dari pemikiran seperti itu, tidak akan terbetik dalam hatinya keyakinan
seperti itu. Kedua ayat itu sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialahDia menciptakan untukmu istri-istri darijenismu
sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepada- nya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.... ”(ar-Rum: 21)
Dan firman Allah SWT, ”Allah menjadikan bagi kamu istri istri darijenis
kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-
cucu....”(an-Nahl: 72)
Yang dipahami dari ayat-ayat itu adalah kaum hawa diciptakan bagi kita
dari jenis kita, sebagai pasangan kita, tempat kita berlabuh, dan mendapatkan
ketenangan. Dan tidak ada seorang pun yang memahami darinya bahwa Allah SWT
menciptakan setiap wanita dari suaminya, atau dari tulang rusuknya atau dari suatu
bagian tubuh dari bagian-bagian tubuhnya.
Contoh seperti itu adalah apa yang disebut dalam surat Shad, dalam kisah
Daud bersama dua orang yang sedang bersengketa, yaitu firman Allah SWT,
Siapa yang membaca kisah ini-dengan pikiran yang kosong dari apa yang
tertulis dalam Taurat-akan memahaminya sesuai dengan pengertian yang diberikan
oleh redaksional ayat-ayatitu dengan jelas dan gamblang. Sementara, kesalahan
Daud dalam ayat itu adalah saat ia tergesa-gesa dalam memutuskan hukum bagi dua
orang yang bersengketa itu dengan hanya mendengarkan klaim satu pihak, tanpa
terlebih dahulu mendengarkan penuturan pihak kedua Ada yang mengatakan bahwa
jika engkau didatangi oleh salah satu pihak yang bersengketa dan salah satu
matanya tampak melotot maka jangan langsung engkau berikan keputusan
kepadanya hingga pihak kedua yang bersengketa datang kepadamu, karena
barangkali malah pihak kedua itu yang matanya melotot.
’Tidak mengapa kalian berpegang dengan mazhab Hanafi, dan berdalil bagi
mazhab itu, namun jangan kalian sampai menjadikan hadits bermazhab
Hanafi!”
Syekh itu benar. Hadits tidak boleh bermazhab; tidak boleh menjadi mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hadits adalah di atas seluruh mazhab, dan
semua mazhab mengikuti hadits, bukan hadits yang mengikuti mazhab-mazhab.
Apa yang dikatakan terhadap hadits Nabi ini, harus dan wajib-terlebih lagi-
dikatakan bagi Al-Qur'an. Tidak boleh dan tidak pantas serta tidak dapat diterima
jika Al-Qur'an mengikuti suatu mazhab dalam fikih, aliran dalam ilmu kalam,
pendapat dalam filsafat, atau syathahat dalam tasawuf.
Ini adalah salah satu faktor kesesatan, bibit penyelewengan, dan sumber
penyimpangan dari jalan yang lurus, yaitu seseorang berusaha menafsirkan Al-
Qur'an seenaknya. Sementara kepalanya dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran dan
pola pandang tertentu, hatinya mengimani dogma-dogma tertentu, yang
berkembang di negerinya. Dan ia terima dari guru-gurunya semenjak ia kecil,
dipupuk saat ia remaja, dan matang saat ia dewasa, hingga menginjak usia tua. Ia
tidak membaca Al-Qur'an dengan bacaan sudah terprogram, apa yang sesuai dengan
pemikirannya-meskipun dengan dibuat-buat-segera ia ungkapkan dan ia besar-
besarkan, sedangkan apa yang tidak sesuai segera ia jatuhkan dan lupakan. Dan,
apa yang bertentangan dengannya secara jelas dan gamblang, maka tidak segan-
segan ia segera menolaknya serta menakwilkannya.
Benar, kami melihat aliran ini yang mempunyai keyakinan yang berbeda
dengan kaum muslimin, membaca Al-Qur'an dan menafsirkannya, dan
memaksakan sejumlah pemikiran, pola pandangan dan keyakinan-keyakinan
mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka menyimpangkannya dari tempatnya,
menakwilkannya dengan tidak benar, dan menyebarkan penyimpangan dan takwil
yang salah itu, dengan meneijemahkannya ke dalam puluhan bahasa di dunia,
kepada kaum muslimin dan nonmuslim, dengan mengatakan- nya sebagai
terjemahan Al-Qur'an, atau terjemahan makna-makna Al-Qur'an.
Artinya, Al-Qur'an di tangan mereka tidak lagi menjadi kitab Allah, namun
kitab ”Ghulam Ahmad”. Tidak lagi menjadi kitab suci Islam, namun kitab suci
Qadiyaniah. Karena, iatelah menjadi perangkat untuk membela keyakinan dan
kepercayaan-kepercayaan Qadiyaniah.
Orang-orang Qadiyaniun mempunyai kepercayaan bahwa kenabian tidak
ditutup dengan Nabi Muhammad saw.. Oleh karena itu, mereka menafeirkan firman
Allah SWT, ”...dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi...” (al-Ahzab: 40)
bahwa kata khaatam ’penutup* adalah hiasan nabi-nabi. Seperti cincin yang dipakai
sebagai penghias dan pemanis jari. Dan, bukan stempel yang dipakai untuk
menstempel buku setelah selesai. Juga bukan ”al-khatim”, seperti dibaca dalam
qiraat yang lain. Dan, sebagaimana dijelaskan oleh Sunnah Nabi saw., yang
menggambarkan kenabian Muhammad saw. bahwa beliau adalah seperti satu
batu terakhir dalam bangunan kenabian. Dan, tidak ada nabi setelah beliau. Umat
Islam telah berijma tentang hal ini, dan selesailah kenabian itu, sehingga hal ini
menjadi bagian dari agama yang sudah diketahui secara umum (al- malum minad-
din bidh-dharurah}.
Dan, seperti mukjizat Almasih Isa bin Maryam, yang menciptakan dari
tanah seperti bentuk burung, kemudian ia meniupnya dan terbanglah ia dengan izin
Allah SWT, menyembuh kusta, serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah
SWT.
Dan, seperti penundukan angin dan jin, berbicara dengan burung dan semut
bagi Sulaiman a.s. serta Isra Mikraj bagi Nabi Muhammad saw., dan seterusnya.
Dari mukjizat-mukjizat yang disebutkan oleh Al-Qur'an bagi para nabi dan Rasul
Allah SWT, dan dibaca oleh setiap orang yang memahami bahasa Arab, dan ia tidak
ragu sedikit pun bahwa itu adalah kejadian supranatural, tanda-tanda kenabian yang
indrawi, yang diolah Allah SWT di tangan mereka, dan Allah SWT mendukung
mereka dengan mukjizat itu, sebagai pembenaran atas dakwah mereka, atau nikmat
dari Allah SWT bagi mereka, atau juga sebagai pemuliaan dan penguat hati bagi
para pengikut mereka.
Namun, orang-orang Qadiyaniun mengeluarkannya dari makna-maknanya
yang dipahami dari lafal-lafalnya, dan tidak ditunjukkan oleh konteksnya dan yang
lainnya, untuk kemudian menakwilkannya dengan takwil yang amat jauh dan aneh.
Jika Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan
taatilah Rasul-(Nya), dan util amri di antara kamu.... ”(an-Nisa': 59)
Dua hal ini dapat bertemu dalam satu aliran atau seseorang, yang meng-
akibatkan timbul kerusakan yang besar dan kejahatan yang banyak. Orang yang
kurang ilmunya-jika bukan pengikut hawa nafsu-mungkin dapat kembali semula,
dari pendapatnya yang buruk dan penakwilannya yang rusak, jika ia membenarkan
kebenaran, kesalahannya yang diluruskan dan memahami nash sebagaimana
seharusnya.
Makna Muhkam
Yang dimaksud dengan muhkam adalah yang jelas dengan sendirinya, dan
menunjukkan maknanya dengan terang benderang, tanpa adanya ke- samaran dari
segi lafal, juga tidak dari segi makna, seperti dikatakan oleh Raghib al-Asfahani
dalam karyanya al-Mufradat.
Raghib al-Asfahani berkata bahwa hakikat hal itu adalah, ayat-ayat dengan
melihat satu bagian dengan bagian lainnya ada tiga macam, sebagai berikut :
1. Muhkam secara mutlak.
”... padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” Dan
menyambungnya dengan firman Allah SWT, ”Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya,” adalah boleh. Masing-masing bacaan itu mempunyai
pengertian, sesuai dengan petunjuk penjelasan sebelumnya.
Kesimpulannya, di dalam Al-Qur'an ada ayat-ayat muhkamat yang jelas
pengertiannya dan terbentang maknanya, dan tidak butuh kepada ayat lain untuk
menjelaskan pengertian dan kandungannya. Ini adalah Ummul Kitab dan asalnya,
yang kepadanya harus dikembalikan dan dikonfirmasikan bagian yang lainnya,
untuk mencari pemahaman dari petunjuknya.
Allamah Ibnul Hishar, seperti dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Itqan,
berkata, ”Allah SWT membagi ayat-ayat Al-Qur'an menjadi muhkam dan
mutasyabih. Dia memberitahukan tentang muhkamat adalah Ummul Kitab. Karena
kepadanya ayat-ayat mutasyabihat dikonfirmasikan. Ia adalah bagian yang
dijadikan rujukan dalam memahami kehendak Allah SWT, dalam seluruh hal yang
sulit mereka ketahui. Seperti mengetahui-Nya, pembenaran rasul-rasul-Nya,
menjalani perintah-perintah-Nya, dan men- jauhi larangan-larangan-Nya. Oleh
karena itu, ia adalah ’ummahat’. Kemudian memberitakan tentang, ’Orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,’ bahwa mereka adalah, ’mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat’ Makna hal ini adalah orang yang
tidak meyakini yang muhkamat, dan dalam hatinya terdapatkeraguan, makayang
iakeijakan hanyalah mencari-cari masalah-masalah yang mutasyabih. Kehendak
Allah SWT mendahulukan untuk memahami muhkamat, dan mengedepankan
ummahat, sehinggajika telah tercapai keyakinan, dan ilmunya yang sudah mantap,
engkau tidak akan memasalahkan apa yang sulit bagimu.
Dan, yang dimaksud dengan orang yang dalam hatinya terdapat kesesatan
adalah mendahulukan diri memperhatikan yang musykilat dan memahami yang
mutasyabih sebelum memahami ummahat Ini adalah bertentangan dengan akal
sehat, kebiasaan, dan yang disyariatkan.”
Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Allah SWT, juga terdapat dalam
hadits Rasulullah saw.. Karena ia adalah bagian yang biasa terdapat dalam kalam,
dan tuntutan redaksional. Jika hal itu terdapat dalam kalam Allah yang menjadi
mukjizat, maka teriebih lagi ia juga ada dalam kalam Rasulullah saw..
Dan mengetahui sifat agama serta sifat beban agama, yaitu memberikan
beban yang mengandung capai dan kesulitan. Karena ia bersifat membersih- kan
dan memoles manusia di dunia ini dan mempersiapkannya untuk hidup kekal di
akhirat, serta menyiapkan balasan dan pahala atas kesulitan dan rasa capai yang
dirasakan manusia.
Mengetahui karakter Islam yang membidik para ulil albab, dan berkehendak
menggerakkan akal mereka untuk mencari dan berusaha, belajar dan
menyimpulkan, dan tidak santai dan bermalas-malasan untuk menggunakan
akalnya.
Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 7 tentang ayat-ayat yang
muhkamat dan mutasyabihat tentang sikap orang-orang yang menyimpang
(gaighuri) dari ayat-ayat Kitab-Nya yang mulia. Rasulullah saw. bersabda,
Sebagian mereka berkata bahwa az-zaigh lebih khusus dari mutlak al-mail
’menyimpang’ Karena zaigh hanya diungkapkan dalam mengungkapkan suatu
lawan kebenaran. Yang memperkuat hal ini adalah yang telah kami sebutkan
sebelumnya,
yaitu firman Allah SWT, ”Dan bahwa (yang Kamiperintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutilah dia; danjanganlah kamu mengikutijalan-jalan (yang
lain), karenajalan- jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.... ”(al-
An’am: 153)
Allah SWT menjadikan jalan kebenaran jelas dan lurus, dan melarang dari
jalan sempit yang tidak jelas. Jalan yang jelas dalam seluruhnya diketahui dengan
kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung. Maka orang yang meninggalkan yang jelas,
dan mengikuti
yang lainnya, ia berarti mengikuti hawa nafsunya, bukan syariat. Contohnya adalah
firman Allah SWT, ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah daiang keterangan yang jelas kepada mereka..,. ” (Ali
Imran: 105)
Ini merupakan dalil bahwa nash-nash datang dengan penjelasan yang jelas
dan memuaskan, dan mengadakan dalil-dali yang tampak. Oleh karena itu, Allah
SWT menamakannya dengan bayyinat ’penjelas’. Sedangkan, perpecahan dan
perselisihan pendapat hanya terjadi dari sisi orang-orang yang berbeda dan
berselisih pendapat, bukan dari segi dalil-dalil dan nash, ia adalah bayyinat, ayat-
ayat penjelas. Ia berarti timbul dari dirinya sendiri, dan itu berarti mengikuti hawa
nafsu itu. di mana pun, akan ada wajah Allah SWT, dan wajah sesuatu adalah
hakikat-Nya.”
Kemudian ia berkata, ’’Jelaslah bagimu dari penjelasan Allah SWT, bahwa
Dia berada dalam setiap arah, dan arah-arah itu adalah kepercayaan-kepercayaan.
Oleh karena itu, semuanya adalah benar, dan setiap yang benar akan mendapatkan
pahalanya, dan setiap yang mendapatkan pahala akan bagian, dan setiap yang
bahagia diridhai!”
Ke mana hilangnya dari ingatan syekh ini ratusan ayat muhkamat yang jelas
yang berbicara tentang kekafiran orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, dan
orang-orang musyrik, dan mengancam mereka dengan sangat keras. Dan untuk apa
diturunkan kitab-kitab suci, diutusnya para rasul, yang tujuan utamanya adalah
memerangi kemusyrikan, dan mengajak kepada tauhid? Mengapa Allah SWT
menurunkan azab kepada orang-orang musyrik dari kaum Nuh, Ad, Tsamud, dan
orang-orang yang setelah mereka, selama mereka
semuanya benar, dan semuanya mendapatkan pahala, serta semuanya bahagia?
Kami tidak mengambil pusing dengan nama dan slogan, jika substansi dan
topiknya jelas. Dalam hal ini, mereka sepakat dalam mengalihkan suatu lafal dari
pengertian zahirnya kepada makna lainnya yang tidak tampak dalam lafal itu.
Masalah takwil adalah masalah besar yang ditekuni oleh ulama ushul fikih.
Mereka mengkajinya dengan luas-dengan aliran dan mazhab yang berbeda-beda
dan mereka juga didampingi oleh ulama ilmu kalam dan tafsir.
Yang dimaksud dengan takwil" adalah makna terminologisnya, yaitu
mengalihkan lafal dari makna zahirnya ke makna lain yang lemah yang ia kandung,
karena ada dalil yang membuat makna lemah itu menjadi kuat Ini adalah takwil
sahih yang diterima.
Pengalihan pengertian makna itu harus kepada makna yang dikandung oleh
lafel itu, meskipun ia lemah, karena jika tidak maka ia bukan takwil, namun
kebodohan dan kesesatan, atau main-main dan suatu kebatilan.
Medan Takwil
Oleh karena itu, kita mendapatkan takwil dapat masuk ke dalam kajian fikih
dan fiiru, dan tidak perselisihkan pendapat dalam hal itu, seperti dikatakan oleh asy-
Syaukani.
Ia dapat masuk dalam kajian akidah, ushuluddin, dan sifat-sifat Allah SWT.
Dalam hal itu terdapat beberapa kecenderungan atau tiga mazhab. Yang disebutkan
oleh Imam asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhul ringkasan ketiga mazhab itu.
Ringkasan itu kami nukilkan di sini.
Pertama, takwil tidak masuk ke dalamnya, dan nash-nash itu diambil hanya
pengertian zahimya, tidak ditakwilkan sama sekali. Ini adalah pendapat al-
Musyabbihah.
Kedua, ia mempunyai takwil, namun kita menahan din dari takwil itu,
sambil membersihkan keyakinan kita dari penyerupaan dan pengingkaran, dengan
firman Allah SWT, .".. padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah.... "(Ali
Imran: 7)
Ketiga, ditakwilkan. Ibnu Burhan berkata yang pertama dari mazhab-
mazhab ini adalah batil. Sedangkan yang dua lainnya, keduanya diriwayatkan dari
sahabat, dan mazhab ketiga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan
Ummu Salamah.
Bahwa yang dimaksud dengan kufur adalah kufr ashghar (kufur kecil),
kufur terhadap nikmatatau kufur maksiat Bukan kufur besar yang mengeluarkan
seseorang dan agama. Ia dinamakan kufur karena mengandung kemiripan dengan
kekuftiran orang jahiliah yang saling berbunuhan satu sama lain. Sebab takwil ini
adalah Al-Quf an menetapkan keimanan kepada orang-orang yang saling berperang
dari kalangan kaum muslimin, dan menetapkan sifat persaudaraan keimanan bagi
mereka, ser ta mewajibkan untuk mendamaikan mereka. Allah SWT berfirman,
"Danjika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangflah golongan yang berbuat
aniaya itu sehinggagolongan itu kembali kepadaperintahAUah;jikagolongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
add dan berlaku adiUah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
add. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu.... ”(al-Hujurat: 9-10)