Anda di halaman 1dari 5

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan letak astronomis 6o LU – 11o LS dan 95oBT

– 141oBT. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki pulau dengan
jumlah lebih dari 17.000 pulau. Pulaupulau tersebut terbentang dari Sabang sampai Merauke, dan
dari Miangas sampai Pulau Rote. Menjaga kesatuan negeri merupakan tugas seluruh warga negara.
Hal ini mengingat rentannya terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan kesatuan NKRI. Salah
satu masalah yang mungkin muncul adalah diklaimnya pulau yang merupakan wilayah negara
Indonesia oleh negara lain. Hal ini dapat terjadi karena terdapat beberapa pulau di Indonesia yang
terletak dekat dengan negara tetangga, atau sering disebut dengan pulau terluar Indonesia.

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang menjadi objek permasalahan dalam posisinya sebagai
pulau terluar Indonesia. Pulau ini terletak di sebelah selatan garis 4o 10’ LU yang mana berdasarkan
pasal IV Konvensi 1891, wilayah yang berada di sebelah selatan garis tersebut merupakan wilayah
milik Indonesia (Wirajuda, 2003). Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara
Indonesia dengan Malaysia. Pihak Malaysia menggunakan argumentasi alternatif dengan
menggunakan sejumlah fakta sebagai rujukan untuk menunjukkan adanya pengelolaan yang damai
dan berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris dan juga Malaysia terhadap dua
pulau sengketa (effectivities) (Wirajuda, 2003). Pada akhirnya, Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dimiliki sepenuhnya oleh Malaysia.

Sejak tahun 1969, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sudah dipersengketakan kepemilikannya
oleh Indonesia dan Malaysia. Menurut Wirajuda (2003), kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan kasus yang bersifat khusus dan unik. Berbeda dengan kasus di wilayah Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan yang mana memberikan hasil kesepakatan berupa garis batas landas
kontinen, untuk kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia
sama-sama mengklaim kedua 2 pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah negara mereka. Kondisi
ini tentu memengaruhi kesatuan dan keutuhan wilayah NKRI. Terkait hal tersebut, penulis ingin
menggambarkan lebih lanjut mengenai kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Penulisan makalah ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan mencari sumber-sumber
yang relevan sebagai referensi untuk kemudian disarikan menjadi sebuah informasi.

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan


Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang terletak di sekitar perbatasan
wilayah Sabah (Malaysia) dan Kalimantan Timur (Indonesia). Kedua pulau ini dikelilingi oleh air laut
dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terdapat ribuan jenis coral dan sekitar 3000 jenis
ikan di Laut Sipadan. Disamping itu, Laut Sipadan merupakan destinasi wisata selam yang indah.
Apabila menyelam dengan kedalaman tidak kurang dari tiga meter, maka akan disambut oleh ribuan
jack fish dan ribuan baracuda. Beberapa hewan langka yang hidup di sekeliling Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan diantaranya hiu coral jenis black tip and white tip, penyu hijau, dan hawksbill turtle
(Artika, 2012).
Gambar 1. Peta Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Sumber : google

Treaty Based Title (Conventional Title)

Treaty based title merupakan pengklaiman suatu wilayah atas dasar perjanjian. Sebuah
negara akan mengklaim bahwa sebuah wilayah merupakan bagian dari negaranya berdasarkan
perjanjian yang pernah ada. Sebagai contoh, Indonesia mengakui Pulau Sipadan dan Ligitan
berdasarkan treaty 4 based title. Menurut Juwana (2003), Indonesia mengklaim kepemilikan atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan mendasarkan pada perjanjian yang pernah dibuat oleh
Inggris dan Belanda pada tahun 1891 (Perjanjian 1891) yang mana dalam Pasal IV Perjanjian 1891
ditentukan bahwa, “From 4o 10’ north latitude on the east coast the boundary line shall be
continued eastward along that parallel, across the Island of Sebatik: that portion of the island
situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company,
and the portion south of that parallel to the Netherlands.” Berdasarkan ketentuan di atas, Indonesia
meyakini bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Belanda yang pada
akhirnya diwariskan menjadi wilayah negaranya.

Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia sudah terjadi sejak 1969. Kedua pulau tersebut
diklaim oleh kedua negara sebagai bagian dari wilayahnya. Potensi sumber daya alam yang dimiliki
oleh Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi nilai lebih apabila dapat memiliki kedua pulau
tersebut. Pulau yang terletak pada 4o 10’ LU tersebut diklaim baik oleh Indonesia maupun Malaysia
sebagai pulau miliknya. Indonesia menggunakan dalil alternatif bahwa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan wilayah Kesultanan Bulungan yang kemudian diserahkan kepada Belanda
(Wirajuda, 2003). Pengklaiman atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dilakukan baik oleh
Indonesia maupun oleh Malaysia menggunakan dalil uti possidetis. Menurut Wirajuda (2003),
Indonesia mendasarkan klaim atas kepemilikan kedua pulau tersebut pada treaty based title atau
conventional title, dengan mengacu pada penafsiran Pasal IV Konvensi 1891, yakni bahwa garis 4 o
10’ LU yang memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris di sebelah selatan
dan utara garis tersebut adalah garis yang memotong Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di
arah sebelah timur pulau tersebut (allocation line). Sementara itu, Malaysia menggunakan chain of
title theory yang mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua alur, yaitu (1) penyerahan wilayah
dengan jalur Sultan Sulu/Spanyol/AS/Inggris/Malaysia, (2) tindakan privat akibat leasing dengan alur
British North Borneo Company (BNBC) Sultan Sulu/Spanyol/AS Dent-Overbeck
(BNBC)/Inggris/Malaysia. Awal mula kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
adalah ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan perbatasan landas kontinen kedua negara pada
tahun 1969. Pada saat itu, Tim Teknis Indonesia mengacu kepada Perpu No. 4/1960 yang
menetapkan titik-titik dari garis-garis pangkal perairan Nusantara Indonesia dan dari titik-titik
tersebutlah landas kontinen Indonesia diukur ke laut, dan pada saat itu pula Indonesia merasa
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Malaysia (Djalal, 2003). Tetapi, pada saat
itu pula, peta Malaysia menunjukkan bahwa garis 9 batas antara Indonesia dan Malaysia di kawasan
tersebut ditarik lurus dari pantai timur Pulau Sebatik ke timur yang menjadikan kedua pulau tersebut
berada di luar wilayah Malaysia dan masuk menjadi wilayah Indonesia. Menemui kenyataan aneh
ini, Indonesia akhirnya berusaha agar perundingan dilanjutkan dengan menggunakan peta Malaysia,
sedangkan Malaysia berusaha agar perundingan dilanjutkan menggunakan peta Indonesia (Djalal,
2003). Menanggapi kenyataan di atas, Indonesia kemudian memeriksa arsip yang berkaitan dengan
Persetujuan Inggris-Belanda (tahun 1891) dan mendapati peta lampirannya menunjukkan bahwa
garis pemisah antara wilayah Inggris dan Hidia Belanda ditarik sampai jauh ke tengah laut. Hal itulah
yang membuat Indonesia merasa bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Hindia
Belanda. Namun Malaysia menentang interpretasi tersebut dan menyatakan bahwa batas tersebut
hanyalah sampai pantai timur Pulau Sebatik dan tidak terus ke laut. Selain itu, Malaysia menyatakan
bahwa peta yang dibuat oleh Belanda hanyalah peta yang dibuat secara terpisah, bukanlah peta
yang disepakati bersama. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, kedua negara kemudian sepakat
untuk menetapkan status quo atas kedua pulau sengketa untuk menghindari tindakan yang dapat
mengubah posisi hukum baik Indonesia maupun Malaysia. Selanjutnya, pada tahun 1988-1997,
kedua negara mencoba untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomatis, dan pada akhirnya kasus
sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada tahun
1997-2002. Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk membawa masalah sengketa Pulau Sipadan
dan Ligitan ke Mahkamah Internasional mengingat semua proses penyelesaian politis yang pernah
dicoba ternyata menemui jalan buntu. Mahkamah Internasional menetapkan 1969 sebagai critical
date yang memiliki konsekuensi bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh para pihak (Indonesia
maupun Malaysia) terhadap pulau sengketa setelah tahun 1969, akan diabaikan oleh Mahkamah
Internasional. Namun, apabila dilihat dari putusan, Mahkamah Internasional ternyata mendasarkan
“effectivities” pada kegiatan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1907, bukan kegiatan
10 pariwisata bahari yang gencar dilakukan Malaysia pada periode pasca 1969 (Wirajuda, 2003). 3.2.
Langkah Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Penyelesaian sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dilakukan melalui Mahkamah Internasional. Tanggal 17
Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag dengan suara 16:1 memutuskan bahwa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang dipertengkarkan oleh Indonesia dan Malaysia
sejak 1969 dinyatakan sebagai wilayah Malaysia (Djalal, 2003). Keputusan tersebut menunjukkan
bahwa Inggris yang telah mewariskan kedua pulau tersebut sejak sebelum 1969 dianggap lebih
melaksanakan kedaulatan atas pulau tersebut dibandingkan Hindia Belanda yang mewariskan pulau
tersebut kepada Indonesia. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah Internasional mendasarkan
pada doktrin “effectivities” sebagai pertimbangan utama untuk menyatakan bahwa Malaysia
merupakan pemilik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (Wirajuda, 2003). Dalam penggunaan doktrin
“effectivities”, Mahkamah Internasional tidak memertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan
baik oleh Indonesia maupun Malaysia setelah critical date (1969), kecuali apabila tindakan tersebut
merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan bukan untuk memerkuat
posisi hukum para pihak (Wirajuda, 2003). Alasan dari digunakannya doktrin effectivities adalah
karena kedua negara baik Indonesia (yang menggunakan klaim conventional title) maupun Malaysia
(yang menggunakan klaim chain of title theory) sama-sama lemah karena tidak dapat memberikan
bukti hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan kedua pulau tersebut. Selain itu, Mahkamah
Internasional juga berpendapat bahwa tidak ada bukti otentik yang meyakinkan bahwa kedua pulau
sengketa tersebut merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Inggris ataupun Belanda (Wirajuda,
2003). Untuk itu, Mahkamah Internasional menggunakan alternatif lain yaitu doktrin “effectivities”
sebagai suatu fakta hukum yang berdiri sendiri. Menurut Wirajuda (2003), proses penyelesaian
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah diputuskan oleh Mahkamah 11
Internasional, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai klaim dari masingmasing negara. Malaysia
memiliki sejumlah dokumen sebagai bukti adanya administrasi berkesinambungan yang dilakukan
pemerintah kolonial Inggris terhadap kedua pulau sengketa yang terlihat dari beragam manifestasi,
baik bersifat administratif, legislatif, maupun quasi-yudisal. Beberapa hal tersebut terlihat pada (1)
pengutipan pajak terhadap penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917; (2)
penyelesaian kasus-kasus sengketa pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an;
(3) penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung (bird sanctuaries); (4) pembangunan dan
pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di Sipadan dan tahun 1963 di Ligitan. Fakta-fakta yang
disebutkan oleh Malaysia tersebut memang dalam jumlah yang sedikit namun bervariasi dan
menunjukkan bahwa terdapat pengelolaan secara damai dan berlanjut dari Inggris atas kedua pulau
sengketa, atau dengan kata lain bahwa terdapat pengejawantahan yang nyata untuk menegakan
sifat perbuatan yang di dalamnya melekat esensi kedaulatan negara yang diwujudkan melalui itikad
dan kemauan (Wirajuda, 2003). Tidak hanya Malaysia, Indonesia juga menunjukkan beberapa bukti
sebagai dasar untuk mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya.
Beberapa tindakan yang dijadikan bukti antara lain kegiatan survei Kapal Macasser (1903), patroli
Kapal Lynx (1921), patroli TNIAL serta kegiatan penangkapan ikan tradisional oleh nelayan RI di
kawasan pada tahun 1960-an (Wirajuda, 2003). Bukti-bukti yang diajukan oleh Indonesia tersebut
dinilai tidak menunjukkan itikad dan kemauan untuk bertindak sesuai dengan kapasitas negara.
Bahkan, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa baik laporan komandan Kapal Lynx maupun
dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan survei dan patroli laut diajukan
Indonesia tidak menunjukkan adanya bukti bahwa baik Indonesia maupun Belanda menganggap
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serta laut di sekitarnya sebagai wilayah kedaulatannya (Wirajuda,
2003). Sebelum membawa kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Mahkamah
Internasional, Indonesia dan Malaysia pernah menjajagi beberapa langkah penyelesaian. Tahun 1979
Malaysia diketahui menerbitkan peta yang mana kedua pulau sengketa dimasukkan kedalam
wilayahnya, dan pada tahun 1988, kedua negara menggunakan upaya diplomatik untuk
menyelesaikan 12 kasus sengketa ini. Pembicaraan mengenai status kepemilikan pulau sengketa
mulai dilakukan pada Juni 1988 melalui pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Suharto dan
Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Yogyakarta. Perundingan penyelesaian secara politis
dilakukan secara bertahap, baik tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and
Ligitan/JWG), pejabat senior (Senior Official Meeting), hingga pertemuan tingkat Menteri Luar
Negeri (Joint Commission Meeting). Selain melalui berbagai pertemuan, Indonesia dan Malaysia juga
mencoba untuk menggunakan Wakil Khusus (Special Representative) untuk menyelesaikan masalah
ini. Masing-masing Wakil Khusus dari Indonesia dan Malaysia adalah Mensesneg Moerdiono dan
Wakil PM Anwar Ibrahim. Kedua Wakil Khusus tersebut mengadakan pertemuan sebanyak empat
kali, dua kali di Jakarta (17 Juli 1995 dan 26 September 1995), dan dua kali di Kuala Lumpur (22
September 1995 dan 21 Juni 1996). Setelah melakukan berbagai perundingan, tetap saja tidak
menemukan kejelasan penyelesaian politis atas kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Kedua negara tetap bersikeras untuk berargumentasi dan menyampaikan bukti-bukti berupa
dokumen-dokumen untuk memerkuat alasan klaimnya dan mematahkan argumentasi hukum yang
diajukan oleh pihak lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyelesaian politis yang
menguntungkan para pihak (win-win solution) akan sulit untuk dicapai. Upaya penyelesaian lainnya
yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia adalah melalui mekanisme ASEAN. Namun,
Malaysia enggan dengan alasan adanya kekhawatiran akan ketidaknetralan sikap forum tersebut
karena Malaysia memiliki sengketa kewilayahan serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan
Philipina (Sabah) (Wirajuda, 2003). Akhirnya, pada tahun 1996, para Wakil Khusus
merekomendasikan upaya penyelesaian setelah mencermati kesulitan untuk memeroleh solusi
politis yang dapat disepakati oleh kedua pihak, yaitu melalui pihak yang dipandang berwibawa dan
netral, ialah Mahkamah Internasional. Menurut Wirajuda (2003), pertimbangan pemilihan
Mahkamah Internasional adalah mengingat klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan
masalah hukum yang sensitif dalam hubungan kedua negara. 13 BAB IV Penutup Salah satu
konsekuensi menjadi negara kepulauan adalah rentannya terjadi sengketa kepemilikan pulau,
terlebih untuk pulau-pulau yang berada terluar dan dekat dengan negara lain. Pun dengan Indonesia
yang merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Kasus sengketa kepulauan yang
pernah dialami oleh Indonesia adalah kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang mana
Indonesia bersengketa dengan Malaysia. Berbagai upaya politis telah dilakukan oleh kedua pihak
untuk menyelesaikan kasus tersebut namun memberikan hasil buntu. Pada akhirnya, Indonesia dan
Malaysia membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional selaku lembaga yang berwibawa dan
netral untuk membantu menyelesaikan masalah. Keputusan Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari negara Malaysia. Keputusan tersebut
bersifat mengikat bagi kedua pihak yang bersengketa dan diterima serta dipatuhi baik oleh Indonesia
maupun Malaysia. Terkait rentannya kasus sengketa kepemilikan pulau, Indonesia perlu menjaga
dan memertahankan kesatuan wilayah NKRI. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
diharapkan menjadi kasus terakhir dan tidak ada lagi kasus serupa di kemudian hari. Kesadaran
warga negara Indonesia untuk terus menjaga dan memertahankan keutuhan wilayah NKRI
merupakan kunci agar kejadian yang sama tidak terulang. Banyaknya pulau yang dimiliki oleh
Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman,
dan terkait hal tersebut, menumbuhkan rasa cinta tanah air harus dilakukan sebagai salah satu
upaya untuk menjaga kesatuan bangsa, wilayah, dan kedaulatan NKRI

Anda mungkin juga menyukai