Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dewi Lestari

NIM : 051711133013
Kelas :A
Mata Kuliah : Manajemen Farmasi

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PRAKTEK


KEFARMASIAN
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian
Pasal 18
1. SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu)
tempat fasilitas kefarmasian.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi
Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling
banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
3. Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin Apotek, maka Apoteker yang
bersangkutan hanya dapat memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan
kefarmasian lain.
4. SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
kefarmasian

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian
“Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.”
Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker dapat:
a. Mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA;
b. Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien; dan
c. Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
Dalam pasal 1 menyatakan bahwa “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.”
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar :
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan i. administrasi.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
4. Pelayanan farmasi klinik berupa dispensing sediaan steril sebagaimana
dimaksud pada ayat 3 huruf j hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang
mempunyai sarana untuk melakukan produksi sediaan steril.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Dalam pasal 1 menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.”
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pengkajian resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas
Dalam pasal 1 menyatakan bahwa “Pusat Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.”
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar :
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi:
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pelayanan farmasi
klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017


Tentang Apotek
Dalam pasal 1 menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.”
Dalam pasal 2 menyatakan bahwa, pengaturan Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek;
b. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kefarmasian di Apotek; dan
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan
pelayanan kefarmasian di Apotek.

PENGGOLONGAN OBAT
Golongan Obat :
1. Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas
3. Obat Keras
 Keras
 Obat Wajib Apotek
 Psikotropika
4. Narkotika

PERATURAN TERKAIT GOLONGAN OBAT


1. Obat Keras
 Keras
 Obat Wajib Apotek (OWA)
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990
Tentang Obat Wajib Apotek
“Obat Wajib Apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di Apotek tanpa resep dokter.”
1. Obat oral kontrasepsi : Linestrenol, Etinodiol diasetatmestranol,
Norgestrel - etinil estradiol, Linestrenoil - etinil estradiol, Etinodiol
diasetat – etinil estradiol Levonorgestreletinil estradiol, Norethindrone –
mestranol, Desogestrel – etinil estradiol.
2. Obat saluran cerna : Antasid+Sedativ/Spasmodik, Anti Spasmodik
Papaverin/Hiosin Butil - bromide/Atropin SO4/ ekstrak beladon, Anti
Spasmodik Analgesik.
3. Obat mulut dan tenggorokan : Hexetidine dan Triamcinolone Acetonide
4. Obat saluran nafas : Aminofilin Supp, Ketotifen, Terbutalin SO4,
Salbutamol, Bromheksin, Karbosistein, Asetilsistein, Oksolan Sinitrat
5. Obat yang mempengaruhi system neuromuscular : Metampiron, Asam
mefenamat, Glafenin, Metampiron+Klordiazepoksida/diazepam,
Mebhidrolin, Pheniramhiind rogen maleat,Dimethindmenaleat,
Astemizol, Oxomemazin, HomochlorcycHli- CzIin,
Dexchlorpheniramine Maleat.
6. Anti parasit : Mebendazol
7. Obat kulit topikal : Antibiotik meliputi Tetrasiklin, kloramfenikol,
framisetina SO4, Neomisin SO4, GentamisSiO4, Eritromisin ;
Kortikosteroid meliputi Hidrokortison, Flupredniliden, Triamsinolon,
Betametason, Flukortolon, Desoksimelason; Antiseptik lokal meliputi
Heksaklorofena; Anti fungi meliputi Mikonaznoilrat, Nistatin, Tolnattat,
Ekonazol; Anestesi loka meliputi Lidokain HCL; Enzim antiradang
topical Kombinasi yaitu Heparinoid/Heparin Na dengan Hialuronidase
ester nikotinat ; Pemecah Kulit meliputi Hidroquinon dan Hidroquino
dengan n.P ABA.
 Psikotropika
UU Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
“Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.”
Pasal 2
1. Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang
ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2. Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi :
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
3. Jenis-jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika
golongan III, psikotropika golongan IV sebagai-mana dimaksud pada ayat 2
untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini,
yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
4. Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur oleh Menteri

Pasal 4
1. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
2. Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan.
3. Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika
golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.
2. Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.”
Pasal 6
1. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam :
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Prekursor
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 Tentang
Prekursor
“Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika.”

PHARMACEUTICAL CARE
Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical care) menurut Remington adalah
tanggungjawab langsung seorang Apoteker untuk menyediakan pengobatan yang
berhubungan dengan asuhan untuk tujuan mencapai hasil yang dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien. Pada praktiknya, Apoteker memiliki tanggung jawab untuk
kebutuhan obat pada pasien.

CONTOH AKTIVITAS YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN SECARA


EFEKTIF DAN EFISIEN
Seorang mahasiswa seharusnya memiliki aktivitas yang bernilai positif dan
dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Namun, hal ini terkadang berbeda dengan
diri saya yang melakukan aktivitas justru tidak efektif sehingga merugikan waktu
dan tenaga. Contoh aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah
1. Membuat list agenda yang akan dilakukan tiap harinya
Hal ini ditujukan untuk mengingatkan agenda yang akan dilakukan tiap
harinya
2. Membuat target membaca buku pengetahuan
Target ini dilakukan untuk menambah pengetahuan dari buku yang dibaca
3. Menggunakan ponsel berdasar jam-jam tertentu
Penggunaan ponsel perlu dibatasi karena penggunaan ponsel yang berlebihan
dapat menyita waktu
4. Mempelajari materi kuliah sebelum dan sesudah dijelaskan oleh dosen
Mempelajari materi kuliah sebelum dijelaskan perlu dilakukan, agar dapat
memahami materi dan apabila terdapat topik yang belum dimengerti dapat
ditanyakan kepada dosen saat pertemuan kuliah
5. Mengikuti organisasi
Mahasiswa juga perlu berorganisasi agar memiliki pengalaman dan
menambah pengetahuan dibidang sosial.
6. Dapat membagi waktu
Hal ini ditujukan agar waktu yang digunakan tidak terbuang sia-sia dan
dimanfaatkan dengan kegiatan yang berguna

Anda mungkin juga menyukai