Anda di halaman 1dari 17

TEORI DAN TIPE KEPEMIMPINAN ISLAM

Tugas Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Kepemimpinan Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing: Laily Syarifah M.S.I

Disusun Oleh :

Wardatul Khumairoh (11.16.0531)

Zulfatus Soraya (11.16.0532)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL HUSAIN

MAGELANG

2019
TEORI DAN TIPE KEPEMIMPINAN ISLAM

A. KOMPETENSI DASAR
1. Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian kepemimpinan
pendidikan islam.
2. Mahasiswa mampu memiliki wawasan tentang kepemimpinan pendidikan
islam.
3. Mahasiswa mampu memahami tentang teori daan tipe kepemimpinan islam.
4. Mahasiswa mampu menyebutkan teori dan tipe kepemimpinan islam.
5. Mahasiswa mampu memecahkan masalah dalam organisasi dengan teori
dan tipe kepemimpinan islam.

B. PETA KONSEP

KEPEMIMPINAN ISLAM

TEORI TIPE
KEPEMIMPINAN KEPEMIMPINAN
ISLAM ISLAM

1. Kepemimpinan Otokrasi
2. Kepemimpinan Demokrasi
1. Teori Sifat 3. Kepemimpinan Bebas
2. Teori Lingkungan 4. Kepemimpinan Partisipatif
3. Teori Perilaku 5. Kepemimpinan Paternalistik
4. Teori Kontingensi 6. Kepemimpinan Berorientasi
5. Teori Karismatik Pada Tujuan
7. Kepemimpinan Militeristik
8. Kepemimpinan Situasional
C. POKOK BAHASAN
1. Kata Pengantar

Seorang Pemimpin dalam pendidikan Islam adalah orang yang di depan


untuk membuat organisasi pendidikan mencapai tujuan mereka. Di lembaga
sekolah, pendidikan Islam seorang pemimpin dipanggil oleh seorang kepala
sekolah. Pemimpin pendidikan adalah elemen penting yang dominan dalam
membangun pendidikan Islam dan menentukan keberhasilan organisasi pendidikan
Islam dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk alasan ini, penting untuk
mengetahui bagaimana kepemimpinan dalam pendidikan Islam seperti yang
dibahas dalam makalah ini, yang tidak hanya pemimpin yang adalah kepala
madrasah tetapi juga pemimpin sebagai pembawa perubahan positif bagi organisasi
pendidikan Islam.

Organisasi adalah tempat di mana orang berinteraksi dan berkolaborasi


sebagai unit terkoordinasi yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi
untuk mencapai tujuan atau berbagai tujuan. Secara sederhana, organisasi adalah
proses penentuan dan proses penugasan, pembagian tugas dan kewajiban,
keutamaan dan tanggung jawab, dan penentuan hubungan antar lapisan organisasi
(Sagala, 2007). Berdasarkan pemahaman ini, organisasi lebih cenderung disebut
sebagai tempat atau tempat yang digunakan oleh orang untuk berinteraksi dan
menjalin hubungan kerja sama dalam menentukan tugas, prinsip, fungsi masing-
masing anggota yang telah diidentifikasi.

Tokoh agama atau yang sering disebut dengan Ustadz / kiyai (Guru) adalah
salah satu faktor yang umumnya memengaruhi munculnya Pendidikan Agama
Islam. Terutama di Pulau Jawa, dalam mengajar pendidikan agama Islam, para wali
dan tokoh agama membangun sekolah-sekolah asrama Islam.

Para pemimpin agama Islam selalu memunculkan ide-ide kreatif sehingga


pendidikan Islam semakin berkembang. Di Indonesia, sangat penting untuk
keberadaan lembaga pendidikan Islam saat ini, di mana lembaga pendidikan Islam
adalah lembaga pendidikan berbasis agama yang dipandang dari segi lembaga
pendidikan di Indonesia dengan baik, sedangkan dalam hal lembaga pendidikan
Islam di mana distribusi agama Islam nilai-nilai.

Lembaga pendidikan Islam yang sudah sangat dibutuhkan oleh Indonesia,


yaitu pesantren dan madrasah, dan pendidikan agama dasar yang dimulai juga
diperlukan, dan masjid sebagai distribusi nilai-nilai agama juga dibutuhkan di suatu
negara pada umumnya atau di kota pada khususnya , jika diibaratkan lembaga
pendidikan Islam ibarat alat cetak uang yang sangat bernilai karena menghasilkan
sesuatu yang sangat menarik juga, karena lembaga pendidikan Islam mengeluarkan
sumber daya manusia yang sangat bernilai atau berkualitas tinggi dalam Islam.

Berbicara tentang lembaga pendidikan Islam tidak hanya membahas makna


dan istilah, tetapi secara luas diskusi tentang lembaga pendidikan Islam membahas
prinsip, tanggung jawab, dan tentang tuntutan lembaga pendidikan Islam juga
menjadi diskusi tentang ruang lingkup lembaga pendidikan Islam. Krisis
pendidikan Islam telah menjadi masalah di kalangan Islam, sehingga menjadi
masalah yang membutuhkan perhatian besar terhadap solusinya, sehingga penting
untuk mewujudkan sistem pendidikan berkualitas tinggi dengan menerapkan
konsep kepemimpinan yang baik.

Meningkatkan manajemen dan kepemimpinan di lembaga pendidikan Islam


adalah salah satu solusi untuk masalah ini. Terlepas dari dunia bisnis, suatu negara
dan organisasi, manajemen dan kepemimpinan memiliki peran penting untuk
mengembangkan atau membangun pendidikan. Jika manajemen dan administrasi
negara mengejar keberhasilan pembangunan, manajemen dan kepemimpinan dalam
pendidikan madrasah (sekolah) mengejar kesuksesan, yaitu pengembangan anak-
anak manusia melalui layanan - layanan pendidikan yang baik. Dalam tulisan ini,
kita akan membahas konsep kepemimpinan efektifitas pendidikan Islam serta hal-
hal yang berkaitan dengan kepemimpinan pendidikan Islam untuk membangun dan
mengembangkan pendidikan Islam yang berkualitas dan mencapai tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.
2. Latar Belakang

Kepemimpinan adalah roda penggerak sebuah lembaga atau organisai.


Kualitas kepemimpinan menentukan arah keberhasilan lembaga atau organisasinya.
Sehingga seorang pemimpin harus mampu mengantisipasi, mengelola, dan
menggerakkan roda organisasi strategis dalam mewujudkan visi kelembagaan
khususnya dalam mengembangkan mutu kelembagaan, peningkatan sumber daya
manusia (SDM) dan daya saing dalam berbagai bidang.

Kepemimpinan memegang peranan kunci terhadap arah, tujuan, serta


tingkat keberhasilan meraih tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk organisasi dimana tingkat keberhasilannya sangat
ditentukan oleh faktor manajemen dan kepemimpinan. Kenyataan ini menunjukkan
betapa besar peran kepemimpinan dalam pendidikan. Karena itu, perbaikan sistem
manajemen dan kepemimpinan dalam pendidikan mutlak diperlukan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi mutu lembaga atau organisasi tidak maju
yakni :

1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan


pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi,
mengapa?. Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production
function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan
pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output
pendidikan.

2. Penyelenggaraan pendidikan sudah terlalu lama menggunakan sistem


secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat
tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian
sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan
memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu
tujuan pendidikan nasional.

3. Peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyeleng garaan
pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama
ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan
(pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan
dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk
mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat,
khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan
dengan pendidikan.1

Pembicaraan mengenai kepemimpinan sudah barang tentu akan dikaitkan


dengan jenis teori atau tipologi kepemimpinan yang dipraktikkan oleh seseorang
dalam organisasi atau institusi. Kepemimpinan itu menurut Wayne K. Roy and
Cecil G. Miskel adalah the initiation of a new structure or procedure for
accomplishing an organization‘s goals and objective or for changing an
organization‘s goals and objectives.2 dari pemaparan di atas maka penulis akan
sedikit banyak membahas tentang teori dan tipe kepemimpinan islam.

3. Teori Kepemimpinan

Berkenaan dengan teori kepemimpinan, Untuk Pendidikan Luar Sekolah


dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, ada beberapa teori kepemimpinan
anatara lain yaitu; Teori Sifat, Teori Lingkungan, Teori Perilaku, Teori Humanistik,
dan Teori Kontingensi. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang
kepemimpinan, maka sudah tentu maka akan berkembang pula teori-teori
kepemimpinan lainnya yang dapat digunakan dalam kepemimpinan pendidikan.6

1
Rahman Afandi, “Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam,” INSANIA : Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan 18, no. 1 (2013): 96–97.
2
Muh. Hizbul Muflihin, “Kepemimpinan Pendidikan: Tinjauan Terhadap Teori Sifat Dan
Tingkah-Laku,” INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan 13, no. 1 (1970): 67–86,
https://doi.org/10.24090/insania.v13i1.286.
Dengan rincian sebagai berikut.

1. Teori Sifat

Teori sifat membahas inti persoalan tentang sifat-sifat, ciri-ciri, atau


perangai yang dimiliki oleh pemimpin. Penelitian tentang sifat-sifat pemimpin telah
dilakukan oleh bebagai pakar kepemimpinan terhadap ”orang-orang besar” yang
pernah dan sedang memimpin. Teori ini didasarkan pada sifat-sifat yang membuat
seseorang itu sebagai pemimpin. Ia memiliki kemampuan alamiah sebagai
pemimpin, yang menjadikannya sebagai pemimpin besar pada setiap situasi. Teori
”The great man” (orang-orang terkemuka) seperti Nabi Muhammad saw, Napoleon
Bonaparte, Bung Karno, dan lain-lain dapat memberikan arti lebih realistis terhadap
pendekatan sifat dari kepemimpinan. Diantara kesimpulan kesimpulan hasil
penelitian itu mengemukakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu dibawa sejak
lahir, atau diwariskan baik oleh orang tua maupun oleh leluhurnya. Kesimpulan ini
melahirkan suatu anggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan dan tidak dibentuk
(leaders are born and not made).

Pemimpin yang efektif memiliki sifat kepribadian yang dijadikan suri


tauladan atau contoh bagi pengikutnya. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
bukan hanya sebagai orang urutan pertama daftar seratus tokoh yang paling
berpengaruh di dunia, namun memiliki sifat-sifat yang diikuti oleh pemimpin-
pemimpin lain. Dalam kepemimpinan beliau dikenal dengan berbagai prilaku,
seperti memberi contoh (suritauladan) perbuatan yang baik, sederhana, pandai,
bijaksana, adil, menekankan pada etos kerja, memperhatikan nasib
bawahannya/fakir miskin, benar dan jujur, memlihara amanah, menyampaikan
sesuatu/kata-kata yang benar (tidak menyakitkan orang lain), cerdas, penuh
tanggung jawab, demokratis, bijaksana, istiqomah, dan mempunyai kepribadian
yang luhur, sehingga kepemimpinan beliau terkenal dengan memperoleh gelar Al-
Amin (dapat dipercaya).Dalam perkembangannya, dalam kenyataan yang ada
berdasarkan pengamatan penulis, bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu tidak
seluruhnya dilahirkan dari sifat pribadi pemimpin secara keseluruhan, tetapi juga
dapat dicapai melalui suatu pendidikan dan pengalaman. Dengan demikian
perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan pada sifat-sifat umum yang dicapai
oleh seorang pemimpin.

Ada empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan


kepemimpinan organisasi, yaitu:

a. Kecerdasan, pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih


tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin;

b. Kedewasaan dan keluwesan hubungan sosial, pemupin mempunyai emosi


yang stabil, lebih matang, dan mempunyai perhatian luas terhadap aktivitas-
aktivitas sosial serta mempunyai keinginan untuk menghargai dan dihargai;

c. Motovasi diri dan dorongan berprestasi. Pemimpin mempunyai dorongan


motivasi yang kuat untuk berprestasi dan berusaha mendapatkan penghargaan yang
intrinsik dibandingkan yang ekstrinsik;

d. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin yang berhasil mau


mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya.8

Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat kepemimpinan organisasi yang


sering ditemui dari sekian banyak sifat yang dikemukakan dalam teori sifat ini. Oleh
karena itu teori sifat ini merupakan pendekatan terhadap kepemimpinan yang
memberikan beberapa pandangan yang deskriptif dan analisis serta mengandung
nilai prediktif.

2. Teori Lingkungan

Teori lingkungan berasumsi bahwa kemunculan pemimpin-pemimpin


merupakan hasil dari waktu, tempat, situasi dan kondisi tertentu. Suatu peristiwa
yang dianggap sangat penting dan luar biasa akan menampilkan seseorang untuk
menjadi pemimpin. Situasi dan kondisi tertentu akan melahirkan permasalahan atau
tantangan tertentu dan pada gilirannya memerlukan pemimpin-pemimpin yang
memiliki cirri-ciri yang cocok dengan situasi dan kondisi tersebut, sehingga mampu
memecahkan masalah atau mengatasi tantangan yang dihadapi. Seorang pemimpin
yang berhasil dalam suatu lingkungan belum tentu kepemimpinannya akan menjadi
jaminan keberhasilan pada lingkungan lain yang berbeda dengan lingkungan yang
disebut pertama. Dengan kata lain, suatu lingkungan tertentu akan memerlukan dan
membentuk pemimpin-pemimpin tertentu pula.

Teori yang mirip dengan teori lingkungan adalah Teori Situasional


(Situational Theory). Dalam teori ini bukan hanya sifat-sifat pribadi dan
karakteristik kelompok saja sebagai seorang pemimpin muncul, namun faktor
situasipun sangat menentukan lahirnya seorang pemimpin. Variabel situasional
seperti kecakapan prilaku pelaksanaan kerja, dan kepuasan para pengikutnya
merupakan factor-faktor yang berpengaruh terhadap seorang pemimpin.

Kepemimpinan situasional didasarkan pada saling berhubungannya


diantara hal-hal sebagai berikut;

a. Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pemimpin;

b. Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pemimpin;

c. Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam


melaksanakan tugas khusus, atau tujuan tertentu.9

Suatu model berdasarkan situasional, efektif untuk kepemimpinan. Begitu


pula penerapan dengan model situasional harus deberikan perhatian yang besar
terhadap variable-variabel yang situasional dan gaya kepemimpinan yang
dikombinasikan dengan situasi, akan mampu menentukan keberhasilan
pelaksanaan kerja. Contohnya; Presiden Sukarno, Presiden Suharto, dan lain
sebagainya, merupakan pemimpin yang dilahirkan oleh situasi yang
memungkinkan adanya perubahan.

3. Teori Prilaku
Perilaku atau perbuatan seorang pemimpin cenderung mengarah kepada
dua hal, yaitu konsiderasi dan struktur inisiasi. Konsiderasi ialah prilaku pemimpin
ntuk memperhatikan kepentingan bawahan. Ciri-ciri perilaku konsiderasi adalah:
ramah tamah, mendukung dan membela bawahan, mau berkonsultasi, mau
mendengarkan bawahan, mau menerima usul bawahan, memikirkan kesejahteraan
bawahan, dan memperlakukan bawahan setingkat dengan dirinya. Sedangkan
struktur inisiasi adalah perilaku pemimpin yang cenderung lebih mementingkan
tujuan organisasi. Ciri-ciri perilaku struktur inisiasi adalah: memberikan kritik
terhadap pelaksanaan tugas yang tidak baik, menekankan pentingnya batas waktu
pelaksanaan tugas-tugas kepada bawahan, senantiasa memberi tahukan tentang
sesuatu yang dilakukan bawahan, selalu memberi petunjuk kepada bawahan tentang
cara melakukan tugas, menetapkan standar tertentu tentang tugas pekerjaan,
meminta bawahan untuk selalu mengikuti standar yang telah ditetapkan, dan selalu
mengawasi optimasi kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas.10

Teori perilaku menekankan kepada analisis perilaku pemimpin,


mengidentifikasi elemen-elemen kepemimpinan yang dapat dikaji, dipelajari, dan
dilaksanakan. Pada umumnya kepemimpinan itu dapat dipandang sebagai suatu
proses, melalui orang lain yang dipengaruhi oleh pimpinan tersebut mencapai
tujuan organisasi.

Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa elemen kepemimpinan itu


adalah: (1) perilaku pemimpin ; (2) perilaku pengikut; (3) situasi lingkungan.
Meskipun ada kemungkinan jarak yang cukup lebar mengenai perilakiu pemimpin,
namun ada dua polarisasi pemikiran pemimpin dapat memutuskan apa yang
dikerjakan dan apa yang dikatakan kepada pengikutnya, bagaimana
melaksanakannya atau pemimpin mengizinkan pengikutnya melaksanakan secara
bebas dalam batas-batas yang ditetapkan. Dari kedua asumsi dasar ini dapat terjadi
beberapa kombinasi perilaku kepemimpinan, yaitu antara perilaku yang
berorientasi kepada tugas dan perilaku yang berorientasi kepada orang, atau dalam
kata lain dalam manajemen bisnis adalah kepemimpinan yang berorientasi kepada
pegawai atau berorientasi kepada produksi.

4. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Dalam teori kontingensi terdapat tiga unsur yang mempengaruhi gaya


kepemimpinan yaitu: (1) hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader member
relations), hubungan pemimpin denhan bawahan berkaitan dengan tingkat mutu
hubungan yang terjadi antara pimpinan dan bawahan dan sikap bawahan terhadap
sikap kepribadian, watak dan keterampilan pimpinan, (2) bentuk tugas (task
structure), berhubungan dengan situasi kerja yang menggambarkan tugas-tugas
yang disusun dalam pola-pola tertentu, dan (3) kewibawaan pemimpin (leader’s
position power), berkaitan dengan kewibawaan yang ditampilkan pemimin
terhadap bawahan.12

5. Teori Karismatik (Charismatic Theory)

Teori ini menekankan pada kewibawaan seseorang pemimpin dalam


mempengaruhi rasa tanggung jawab terhadap stafnya/bawahannya dalam hal
mempergunakan kewibawaan pribadinya (personal power) Wahyosumidjo
mengemukakan, bahwa ada beberapa indikasi sebagai ciri kepemimpinan
karismatik, yaitu :

a. bawahan/pengikut menaruh kepercayaan terhadap kebenaran dan


keyakinan pemimpin;

b. ada kesamaan keyakinan bawahan dengan keyakinan pemimpin;

c. penerimaan tanpa perlu dipersoalkan atau bulat-bulat dari bawahan


terhadap pemimpin;

d. terdapat rasa kasih sayang (affecstion) pengikut kepada pemimpin;


e. kemauan untuk patuh dari bawahan terhadap pemimpin

f. keterlibatan secara emosional dari para bawahan dalam melaksanakan


misi organisasi;

g. mempertinggi penampilan dalam mencapai tugas dari para bawahan; dan

h. ada keyakinan bawahan , bahwa pemimpin karismatik akan mampu


memberikan bantuan demi keberhasilan misi kelompok.13

Berdasarkan historis (sejarah), kepemipinan karismatik ini kebanyakan dari


parsa Nabi/Rasul, seperti Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as,
Nabi Isa as, dan Nabi lainnya. Juga dialami pada masa Wali Songo seperti Sunan
GunungDjati, Sunan Ampel, Sunan Kali Jogo, dan lainnya.3

4. Tipe Kepemimpinan

Tipe kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya


kepemimpinan (leadership style). Menurut Miftah Toha, gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain (Wursanto, 2004 : 49). Oleh karena
itu, usaha men selaraskan persepsi di antara yang akan mempengaruhi dengan orang
yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting. Duncan menyebutkan
ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu: otokrasi, demokrasi, dan gaya bebas (the laisser
faire). Wursanto menambahkan tipe (gaya) paternalistik, militeristik, dan open
leadership. Sementara Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana (2000 : 192)
melengkapinya dengan gaya kepemimpinan partisipatif, berorientasi pada tujuan,
dan situasional. Di bawah ini akan diuraikan tipe-tipe (gaya-gaya) kepemimpinan
tersebut di atas dengan maksud memberikan gambaran yang jelas mengenai
persamaan dan perbedaannya, agar tidak terjadi overlap dalam memahami gaya
kepemimpinan disebabkan pengistilahan yang berbeda, padahal maksud dan
tujuannya sama.

3
Afandi, “Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.”
Pertama, kepemimpinan otokrasi. Kepemimpinan otokrasi disebut juga
kepemimpinan diktator atau direktif. Orang yang menganut pendekatan ini
mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan para karyawan yang harus
melaksanakannya atau karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut (Tjiptono
dan Anastasia Diana, 2000 : 161). Menurut Wursanto (2004 : 201), kepemimpinan
otokrasi adalah kepemimpinan yang mendasarkan pada suatu kekuasaan atau
kekuatan yang melekat pada dirinya. Kepemimpinan otokrasi dapat dilihat dari ciri-
cirinya antara lain : (1) mengandalkan kepada kekuatan atau kekuasaan yang
melekat pada dirinya, (2) menganggap dirinya paling berkuasa, (3) menganggap
dirinya paling mengetahui segala persoalan, orang lain dianggap tidak tahu, (4)
keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tidak mengenal kompromi,
sehingga ia tidak mau menerima saran dari bawahan, bahkan ia tidak memberi
kesempatan kepada bawahan untuk memberikan saran, pendapat atau ide, (5) keras
dalam menghadapi prinsip, (6) jauh dari bawahan, (7) lebih menyukai bawahan
yang bersikap ABS (Asal Bapak Senang), (8) Perintah-perintah diberikan secara
paksa, (9) pengawasan dilakukan secara ketat agar perintah benar-benar
dilaksanakan.

Kedua, kepemimpinan demokrasi. Gaya atau tipe kepemimpinan ini dikenal


pula dengan istilah kepemimpinan konsultatif atau konsensus. Orang yang
menganut pendekatan ini melibatkan para karyawan yang melaksanakan keputusan
dalam proses pembuatannya, walaupun yang membuat keputusan akhir adalah
pemimpin, setelah menerima masukan dan rekomendasi dari anggota tim (Tjiptono
dan Anastasia Diana, 2000 : 161). Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (1993 : 135)
“Gaya kepemimpinan demokratis pada umumnya berasumsi bahwa pendapat orang
banyak lebih baik daripada pendapatnya sendiri dan adanya partisipasi akan
menimbulkan tanggung jawab bagi pelaksananya”. Asumsi lain bahwa partisipasi
memberikan kesempatan kepada para anggota untuk mengembangkan diri mereka.

Ketiga, kepemimpinan laissez faire. Kepemimpinan laissez faire (gaya


kepemimpinan yang bebas) adalah gaya kepemimpinan yang lebih banyak
menekankan pada keputusan kelompok. Dalam gaya ini, seorang pemimpin akan
menyerahkan keputusan kepada keinginan kelompok, apa yang baik menurut
kelompok itulah yang menjadi keputusan. Pelaksanaannya pun tergantung kepada
kemauan kelompok (Indrawijaya, 1993 : 136). Pada umumnya tipe laissez faire
dijalankan oleh pemimpin yang tidak mempunyai keahlian teknis. Tipe laissez faire
mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
bawahan untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan bidang
tugas masing-masing, (2) pimpinan tidak ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan
kelompok, (3) semua pekerjaan dan tanggungjawab dilimpahkan kepada bawahan,
(4) tidak mampu melakukan koordinasi dan pengawasan yang baik, (5) tidak
mempunyai wibawa sehingga ia tidak ditakuti apalagi disegani oleh bawahan, (6)
secara praktis pemimpin tidak menjalankan ke pe mim pinannya, ia hanya
merupakan simbol belaka (Wusanto, 2004 : 200). Menurut hemat penulis, tipe
laissez faire ini bukanlah tipe pe mimpin yang sebenarnya, karena ia tidak bisa
mempengaruhi dan menggerakkan bawahan, sehingga tujuan organisasi tidak akan
tercapai. Keempat, kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan partisipatif juga
dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas atau nondirective. Pemimpin
yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses
pengambilan keputusan. Ia hanya sedikit menyajikan informasi mengenai suatu
permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk
mengembangkan strategi dan pemecahannya, ia hanya mengarahkan tim ke arah
tercapainya konsensus (Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000 ; 162).

Kelima, kepemimpinan paternalistik. Tipe paternalistik adalah gaya


kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin selalu memberikan
perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas kewajaran. Ciri-ciri
pemimpin penganut paternalistik antara lain: (1) pemimpin bertindak sebagai
seorang bapak, (2) memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa, (3)
selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang kadang-kadang
berlebihan, (4) keputusan ada di tangan pemimpin, bukan karena ingin bertindak
secara otoriter, tetapi karena keinginan memberikan kemudahan kepada bawahan.
Oleh karena itu para bawahan jarang bahkan sama sekali tidak memberikan saran
kapada pimpinan, dan pimpinan jarang bahkan tidak pernah meminta saran dari
bawahan, (5) pimpinan menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam
persoalan (Wursanto, 2004 : 202).

Keenam, kepemimpinan berorientasi pada tujuan. Gaya kepemim pinan ini


juga disebut kepemimpinan berdasarkan hasil atau sasaran. Penganut pendekatan
ini meminta bawahan (anggota tim) untuk memusatkan perhatiannya pada tujuan
yang ada. Hanya strategi yang dapat menghasilkan kontribusi nyata dan dapat
diukur dalam mencapai tujuan organisasilah yang dibahas, faktor lainnya yang tidak
berhubungan dengan tujuan organisasi diminimumkan (Tjiptono dan Anastasia
Diana, 2000 : 162).

Ketujuh, kepemimpinan militeristik. Kepemimpinan militeristik tidak hanya


terdapat di kalangan militer saja, tetapi banyak juga terdapat pada instansi sipil
(non-militer). Ciri-ciri kepemimpinan militeristik antara lain: (1) dalam komunikasi
lebih banyak mempergunakan sa luran formal, (2) dalam menggerakkan bawahan
dengan sistem komando/ perintah, baik secara lisan ataupun tulisan, (3) segala
sesuatu bersifat formal, (4) disiplin tinggi, kadang-kadang bersifat kaku, (5)
komunikasi berlangsung satu arah, bawahan tidak diberikan kesem patan untuk
memberikan pendapat, (6) pimpinan menghendaki bawah an patuh terhadap semua
perintah yang diberikannya (Wursanto, 2004 : 203).

Kedelapan, kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan ini dikenal juga


sebagai kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang digunakan
dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat
bagi setiap manajer dalam segala kondisi. Oleh karena itu gaya kepemimpinan
situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas
faktorfaktor seperti pemimpin, pengikut, dan situasi (dalam arti struktur tugas, peta
kekuasaan, dan dinamika kelompok (Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000 : 162-
163).

Jika diperhatikan secara seksama, dari tipe-tipe kepemimpinan yang telah


diuraikan di atas, terdapat kesamaan dalam hal fokus perhatian, di mana yang
menjadi pusat perhatiannya adalah perilaku kepemimpinan itu sendiri. Karena itu,
dalam menentukan teori mana yang paling sesuai untuk diterapkan dalam sebuah
organisasi atau institusi (termasuk institusi pendidikan), menjadi sangat penting
untuk mengetahui parameter yang dijadikan patokan penilaian. Dalam hal ini,
menurut Stogdill, terdapat duabelas faktor (indikator) yang perlu diperhatikan
dalam menilai perilaku kepemimpinan, yaitu:

1) Representation (perwakilan), pemimpin berbicara dan bertindak sebagai


wakil kelompok.
2) Reconciliation (tuntutan perdamaian), pemimpin mendamaikan tuntutan
konflik dan mengurangi ketidakteraturan sistem.
3) Tolerance of uncertainty (toleran terhadap ketidakpastian), pe mimpin
harus mampu memberikan toleransi terhadap ketidak pastian dan
penundaan tanpa kekhawatiran atau gangguan (upset).
4) Persuasiveness (keyakinan), pemimpin mempergunakan persuasi dan
organisasi secara efektif, serta memperlihatkan keyakinan yang kuat
(conviction). e. Initiation of Structure (struktur inisiasi), pemimpin harus
dengan jelas mendefinisikan peranan kepemimpinan dan memberikan
kesem patan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka.
5) Tolerance of freedom (toleransi kebebasan), pemimpin harus
membiarkan bawahan berkesempatan untuk berinisiatif, terlibat dalam
mengambil keputusan dan berbuat.
6) Role assumption (asumsi peranan), pemimpin secara aktif menggunakan
peranan kepemimpinan daripada menyerahkan kepe mimpinan kepada
pihak lain.
7) Consideration (konsiderasi),pemimpin memperhatikan ketenangan,
kesejahteraan dan kontribusi bawahan.
8) Productive emphasis (penekanan pada hal-hal yang produktif),
pemimpin lebih mementingkan atau menekankan kepada hal-hal yang
bersifat produktif.
9) Perdictive accuracy (ketepatanprediksi), pemimpin memperlihatkan
wawasan ke depan dan kecakapan untuk memperkirakan hasil yang akan
datang secara tepat.
10) Integration (integrasi), pemimpin memelihara secara akrab jaringan
(unit) organisassi dan mengatasi konflik antar anggota.
11) Superior orientation (orientasi kepada atasan), pemimpin harus
memelihara hubungan dengan baik terhadap atasan yang memiliki
pengaruh terhadap pemimpin mereka dan berjuang untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi (Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000 : 25-
27).4

D. GLOSARIUM

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Rahman. “Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.” INSANIA : Jurnal


Pemikiran Alternatif Kependidikan 18, no. 1 (2013): 96–97.

Muflihin, Muh. Hizbul. “Kepemimpinan Pendidikan: Tinjauan Terhadap Teori


Sifat Dan Tingkah-Laku.” INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif
Kependidikan 13, no. 1 (1970): 67–86.
https://doi.org/10.24090/insania.v13i1.286.

4
Afandi.

Anda mungkin juga menyukai