Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya, sehingga
tersusun makalah ini.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu mata
kuliah Fiqih Muamalah di Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
di UIN Imam Bonjol Padang. Penulis menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum
Perkawinan” Pemakalah menyadari akan segala keterbatasan yang dimiliki, oleh
sebab itu, pemakalah meminta maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan
dalam penulisan makalah ini, dan untuk itu dengan segala kritik dan saran yang
membangun dari pembaca, akan penulis terima dengan senang hati.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, terutama untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Padang, 24 September 2019

pemakalah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................... 1

DAFTAR ISI..................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 3

A. Latar Belakang........................................................................ 3
B. Rumusan Masalah.................................................................... 3

BAB II ISI.......................................................................................... 4

A. Pengertian Perkawinan......................................................... 4
B. Syarat Sah Perkawinan...................................................... . 6
C. Tata Cara Perkawinan..................................................... 9
D. Perkawinan Campuran........................................................... 11
E. Perkawinan Luar Negeri............................................................. 13

BAB III PENUTUP......................................................................... 22

A. Kesimpulan............................................................................. 22
B. Saran ....................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 23

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinanmerupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat
sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu
keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan
tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No.1 Tahun 1974 , sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal
ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,
maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan
agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perkawinan?
2. Apa syarat sah perkawinan?
3. Bagaimana tata cara perkawinan?
4. Apa itu perkawinan campuran?
5. Bagaimana perkawinan luar Negeri?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan insititusi yang sangat penting dalam
masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor
1 Tahun 1947). UU No 1 Tahun 1947 dan hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga
dilihat dari aspek agama dan sosial.1
Dalam Agama Islam perkawinan disebut dengan istilah yang berasal
dari kata dasar nikah. Dalam KBBI mengartikan kata nikah sebagai perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri atau sering diartikan pula
sebagai perkawinan. Mulanya kata nikah berasal dari bahasa Arab. Sedangkan
di dalam al-qur’an digunakan kata zawwaja yang berarti pasangan. Hal ini
dikarenakan menyebabkan seseorang memiliki pasangan.
Yang dimaksud dengan perkawinan menurut beberapa pakar di bidang
hukum perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Menuurut Idris Ramulyo, perkawinan aalah suatu perjanjian yang suci,
luas dan kokoh untuk hidup bersana secara sah antara seorang laki laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.
2. Menurut Prof.Ibrahim Hosen nikah menurut arti asli kata dapat juga
berarti akad dengannya menjadi halal hubungan antara pria dan wanita,
sedangkan menurut arti lain bersetubuh

1
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: sinar Grafika), hlm 61

4
3. Menurut Asser, Scothlen, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, perkawinan
adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui
oleh Negara untuk hidup bersama/ bersekutu yang kekal.
Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara
mempelai laki laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain
pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab, yang dilakukan oleh wali calon
istri dan diikuti oleh calon suami, dan disertai sekurang kurangnya dua orang
saksi.2
B. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai
pasal 7 UU No 1 tahun 1974. Disitu ditentukan dua syarat untuk dapat
melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern.
Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan. Syarat syarat intern meliputi:
1. Persetujuan kedua belah pihak
2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai usia 21 tahun
3. Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun pengecualiannya
yaitu ada dispensasi dari pengadilan, camat atau bupati
4. Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin
5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah).
Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya
90 hari dank arena kematian 130 hari
Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas formalitas
dalam melaksanakan perkawinan. Syarat syarat itu meliputi:
1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatatan nikah, talak dan rujuk
2. Pengumuman, yang ditanda tangani oleh pegawai pencatatan yang
memuat:

2
Zaeni Asyhadie, Hukum Keperdataan dalam Perspektif Hukum Nasional, Perdata (BW), Hukum
Islam, dan Hukum Adat, (Depok:PT Rajagrafindo Persada), hlm 135.

5
a. Nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai
dan orang tua calon. Disamping itu, disebutkan juga nama istri dan
suami yang terdahulu.
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan

Dalam KUH perdata syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi


menjadi dua macam yaitu:

A. Syarat materil
Syarat materil adalah syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok
dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materil ini dibagi menjadi dua
yaitu:
a. Syarat materil mutlak yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus ada untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya
 Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal
27 BW)
 Persetujuan antar suami istri (pasal 28 KUH perdata)
 Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki laki minimal 18
tahun dan wanita berumur 15 tahun (pasal 29 KUH perdata)
 Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu
dibubarkan (pasal 34 KUH perdata)
 Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau wali bagi anak
anak yang belum pernah kawin (pasal 34 sampai pasal 49 KUH
perdata)
b. Syarat materil relative , ketentuan yang merupakan larangan bagi
seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi:
 Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam
kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan

6
 Larangan kawin karena zina
 Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian
B. Syarat formil
Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas
formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat syarat yang dipenuhi
sebelum perkawinan berlangsung adalah:
a) Pemberitahuan akan berlansungnya perkawinan oleh calon mempelai
baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai pencatatan di tempat
perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu minimal 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 dan 4 PP No 9
Tahun 1975)
b) Pengumuman oleh pegawai pencatatan dengan menempelkan pada
tempat yang disediakan di kantor pencatatan perkawinan.
C. Tata Cara Perkawinan
Tata cara perkawinan terdapat dalam UU Perkawinan No.1 Tahun
1974 pasal 10 dan 11.

Pasal 10

1) perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman


kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam
pasal 8 peraturan pemerintah ini.
2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu
3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

7
Pasal 11

1) Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-


ketentuan pasal 10 peraturan pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai
pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan
perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah
atau yang mewakilinya.
3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
D. Perkawinan Campuran
Sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1947 tentang perkawinan,
perkawinan campuran ini diatur dalam peraturan perkawinan campuran,
Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) stb, 1898 No 158. Yang
dimaksud perkawinan campuran menurut GHR adalah perkawinan antara
mereka yang tunduk pada hukum yang berlainan.
Setelah berlakunya UU No 1 Tahun 1947 yang dimaksud dengan
perkawinan campuran adalah perkawinan antara 2 orang yang berbeda
kewarganegaraan dan salah satunya adalah WNI (pasal 57). Jika
perkawinan itu dilakukan di Indonesia maka perkawinan harus dilakukan
berdasarkan ketentuan UU no 1 tahun 1947.
Berkaitan dengan hal tersebut pasal 29 UU no.23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak menentukan:
1. Jika terjadi perkawinan campuran antara WNI dan WNA, anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh
kewarganegaraan dari ayah dan atau ibunya sesuai dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku.

8
2. Dalam hal terjadinya perceraian dari perkawinan sebagaimana
dimaksud ayat 1, anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan
pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari orang tuanya.
3. Dalam hal terjadinya perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat 2,
sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya
berkewarga negaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik
anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.
E. Perkawinan Luar Negri
Pasal 56 UU No.1 Tahun 1947 menentukan bahwa perkawinan di luar
negri akan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum Negara dimana
perkawinan dilakukan. Jelasnya pasal 56 tersebut berbunyi sebagai
berikut:
1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang
Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia
dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukumyang berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan
dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan
ketentuan undang uandang ini.
2) Dalam wakti 1 tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan insititusi yang sangat penting dalam
masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor
1 Tahun 1947). UU No 1 Tahun 1947 dan hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga
dilihat dari aspek agama dan sosial.
B. Saran
Makalah yang penulis susun tentu saja jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnan makalah ini dimasa yang akan datang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Asyhadied, Zaeni , Hukum Keperdataan dalam Perspektif Hukum Nasional, Perdata


(BW), Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Depok:PT Rajagrafindo
Persada)
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: sinar Grafika)

11

Anda mungkin juga menyukai