FILSAFAT ILMU
Tentang
AGAMA DAN NEGARA MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Dosen Pembimbing:
Supardi Dwimaputra,MAg
Oleh :
Feby Rahmadani
1613030027
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
B. PANDANGAN ULAMA MENGENAI HUBUNGAN AGAMA
DENGAN NEGARA
Pandangan mengenai hubungan antara agama dengan Negara ada
tiga. Pertama, mereka berpendirian bahwa, Islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu. Agama yang sempurna
dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara, para penganut aliran ini pada
umumnya berpendirian bahwa:
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, di dalamnya terdapat
pula antara lain sistem kenegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam
bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem
ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem ketatanegaraan Barat.
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw, dan oleh
empat al-Khulafâ al-Rasyidîn.
Ulama-ulama utama yang memiliki pandangan seperti ini antara
lain, Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid
Ridhâ, dan yang paling vokal adalah Abû al-A’lâ al-Mawdûdi. Abû al-
A’lâ al-Mawdûdi menegaskan, bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan
pemerintahan, dan yang diimplementasikan oleh Nabi saw dengan
membangun Negara Madinah memiliki sembilan ciri khas sebagai berikut:
1. Negara berdasarkan kekuasaan perundang-undangan Ilahi, yakni
kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi berada di tangan
Allah swt, dan bahwa pemerintahan kaum mukminin pada dasarnya
dan pada hakikatnya adalah khilâfah atau perwakilan;
2. Keadilan antar manusia, yakni tumpuan bangunan negara ia bahwa
semua rakyatnya mempunyai persamaan hak di hadapan undang-
undang Allah yang harus dilaksanakan oleh mereka;
4
3. Persamaan antara kaum muslimin, yakni bahwa semua kaum muslimin
memiliki persamaan dalam hak-hak dengan sempurna tanpa
memandang warna, suku, bahasa atau tanah air;
4. Tanggungjawab pemerintah, yakni bahwa pemerintah dan
kekuasaannya serta kekayannya adalah amanat Allah dan kaum
muslimin, yang harus diserahkan penanganannya kepada orang-orang
beriman, bersifat adil dan benar;
5. Permusyawaratan, yakni keharusan bagi para pemimpin negara dan
pejabat-pejabtnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin dan
mencari keridhaan mereka, mengikuti pendapat mereka serta
melaksanaan sistem pemerintahan dengan cara musyawarah;
6. Ketaatan dalam hal kebajikan, yakni kewajiban menaati pemerintah
dalam hal-hal yang baik saja;
7. Berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang, yakni
bahwa orang-orang yang mengejar jabatan-jabatan kepemimpinan di
dalam pe-merintahan, serta berdaya upaya untuk itu, mereka
sesungguhnya adalah orang yang paling sedikit keahlian dan
kelayakan.
8. Tujuan adanya negara, yakni menegakkan kehidupan islami dengan
sempurna tanpa mengurangi atau mengganti.
9. Amar ma’rûf nahyi munkar, yakni bahwa setiap individu dalam
masyarakat Islam memiliki hak, bahkan wajib membela kebaikan dan
mempertahankannya, ber-upaya dengan sungguh-sungguh dalam
mencegah kemunkaran.
Pandangan atau aliran yang kedua mengemukakan, bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan. Menurut pandangan ini, Nabi Muhammad saw,
hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya yang
bertugas tunggal mengajak manusia kembali ke jalan yang mulia dan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur, tidak pernah dimaksudkan
5
mendirikan dan mengepalai suatu negara. Ulama atau tokohnya adalah
‘Âli Abd. al-Râziq dan Thâha Husain.
Jadi, hubungan agama dan Negara adalah :
1) Hubungan antara agama dengan negara sangat erat dan terkait dalam
berbagai aspeknya. Negara dalam perspektif Islam, disebut dengan al-
bilâd dan wilayah kekuasaannya disebut dengan al-dawlah. Dengan
merujuk pada kedua term ini yang bersumber dari Al-Qur’an, unsur
terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri yang dalam
perspektif Islam disebut dengan al-dîn dan atau al-millah, yakni syariat
yang bersumber dari Tuhan dan berfungsi sebagai pembimbing dan
pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, tujuan pokok agama
adalah keselamatan kepada masing-masing penganutnya, termasuk di
dalamnya untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dalam
sebuah negara.
2) Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam masalah hubungan
negara dengan agama. Namun dari pandangan-pandangan mereka itu,
dapat dirumuskan bahwa hubungan antara negara dan agama terlihat
dalam aspek ketatanegaran dan demokrasi. Agama, dalam hal ini
Islam, mewajibkan terbentuknya suatu negara dan member
kelonggaran dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-
politik, bentuk dan susunan negara tidak wajib, yang penting
bagaimana mengamalkan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri dalam
sebuah negara. Dengan kata lain, demokrasi dalam sebuah negara
dipandang sebagai aturan politik yang paling layak, dan agama
diposisikan sebagai wasit moral dalam mengaplikasikan demokrasi itu
sendiri.
3) Pemikiran tentang hubungan Islam dengan demokrasi, terletak pada
adanya prinsipprinsip Islam tentang keadilan (al-‘adâlah), kebebasan
dan persamaan (al-musâwa), serta menjunjung tinggi musyawarah (al-
syûrah). Bagi Islam, demokrasi dalam sebuah Negara dapat terwujud
bila seorang penguasa menegakkan keadilan. Islam juga mengajarkan
6
untuk memperlakukan semua warga negara (rakyat) secara sama,
dengan tidak pandang bulu di muka hukum. Yang terakhir adalah
bahwa Islam menganggap musyawarah sebagai sistem dan mekanisme
yang transparan dalam kontrol kekuasaan pertanggungjawaban
penguasa.
C. RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal sejarahnya
tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan
konsep negara yang dikehendaki. Di sinilah letak timbulnya berbagai
penafsiran dan upaya. Sementara pihak menghendaki tegaknya negara
Islam. Sedangkan sebagian yang lain lebih cenderung menekankan isinya,
yaitu tegaknya "the Islamic order" pada masyarakat. Itu artinya, agama
diharapkan lebih ditonjolkan dalam aspek moralitas manusia dan etika
sosial, ketimbang mementingkan legal formalisme agama. Perbedaan
pandangan itu sebenarnya juga bukan semata-mata berpangkal dari segi
pemahaman terhadap ajaran, namun pengalaman sejarah dan dunia nyata
yang ada di masingmasingnegeri terkadang juga memberikan andilnya.
Seperti keadaan Muslim India berbeda dengan Saudi Arabia, begitu pula
Indonesia tidak sama dengan Iran. Ada suatu anggapan yang berkembang
di kalangan sebagian pemeluk Islam, bahwa al-Qur'an mengandung
segala-galanya termasuk di dalamnya mengenai sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan negara, menurut
kelompok ini, umat Islam hendaknya kembali kepada sistem
ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu mengadobsi sistem lain.
Namun demikian, di kalangan umat Islam memang ada yang
memposisikan pemahaman, yang didasarkan pada asumsi bahwa Islam
lebih dari sekedar doktrin agama yang membimbing kehidupan ruhani
manusia, melainkan juga berusaha membangun suatu sistem dengan suatu
cara hidup yang didasarkan pada agama. Secara konseptual agama tidak
dapat terpisahkan dari politik, dan semua upaya pemikiran seorang
7
Muslim tentang moral dan politik mempunyai dasar-dasar keagamaan.
Menurut paradigm ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Kelompok pertama (aliran formalis) ini, ada kalanya
meneguhkan kembali fundamentalis Islam sebagai suatu cara untuk
menghadapi kegagalan kehidupan Muslim modern, dan mendapatkan
pengungkapkannya yang sangat jelas dalam gerakan yang aktif seperti
yang diperankan al-Ikhwan al-Muslimun, di dunia Arab dan pasangannya
di Pakistan, yaitu Jama 'at al-hlam. Keduanya menggambarkan tekad kuat
untuk menarik Islam dari kondisi tidak aktif dan beku menjadi kekuatan
yang aktif dan bekerja menuju realisasi masyarakat Islam. Kedua gerakan
itu menyodorkan program tentang implementasi aktif cita-cita Islam
menuju pencapaian sebuah negara. Paling tidak kedua gerakan tersebut
memberikan inspirasi kepada umat Islam di negara lain. Sekarang, hampir
tujuh puluh tahun kemudian, kita temukan gagasan itu menyebar dalam
konsepsi Islam para revivalis, fundamentalis dan kaum politikus.
Aliran kedua, cenderung menekankan pemisahan agama dan
Negara yang bersifat sekularistik. Paradigma teori ini menyatakan bahwa
agama tidak menekankan adanya kewajiban mendirikan negara. Kelompok
ini mengetengahkan argumentasinya, bahwa tidak ada ayat yang secara
tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara. Kelompok ini
juga menegaskan, bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk
dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Beliau
hanyalah Rasul yang membawa panggilan agama, yang di dalamnya tidak
termasuk perintah membentuk negara. Bahkan kelompok ini
menandaskan, bahwa gagasan tentang Negara Islam, bukan saja secara
konseptual tidak mungkin, tetapi juga tidak bisa dilaksanakan secara
praktis. Masalahnya ialah; siapakah yang memiliki otoritas untuk
menentukan kualitas ke-Islam-an suatu negara dan menurut kriteria yang
mana. Teori kelompok kedua ini, bisa terlihat antara lain Negara Turki
yang diproklamirkan oleh Musthafa Kemal (Kamal Attaturk)."
Sekularisme yang sebenarnya menghendaki pemisahan antara agama dan
8
negara, tidak tersebar luas di dunia Islam. Di Turki kelompok Kemalis
yang telah terbentuk sejak awal tahun 1920 -an, memperlihatkan carat
struktural di bawah bayang-bayangketegangan politik agama. Sikap itu
merupakan cerminan kontroversi ideologis tentang hubungan agama dan
negara.
Aliran ketiga, adalah kelompok yang menyadari bahwa Islam
mempunyai ajaran etika bernegara dengan prinsip-prinsipnya antara lain
seperti al-huriyyah (freedom) kebebasan dan kemerdekaan. Termasuk di
dalamnya kebebasan memeluk agama, hal itu dinyatakan dalam Piagam
Madinah pasal 25: Kaum Yahudi bani Aufbersama dengan kaum Muslimin
adalah satu umat. Kedua belah pihak kaum Yahudi dan kaum Muslimin
memiliki kebebasan dalam memeluk agama masing-masing. Prinsip al-
musawa (equality) yaitu persamaan diantara sesama warga negara,
tercermin dari hadist yang dikemukakan Nabi: La Fadla li arabiyyin 'ala
'ajamiyyin ilia bi taqwa (tidak ada kelebihan orang arab atas orang non
arab (ajam) kecuali taqwanya). Prinsip al-adalah (justice) keadilan harus
ditegakkan tanpa diskriminasi.
Hubungan antara agama dengan negara sangat erat dan terkait
dalam berbagai aspeknya. Negara dalam perspektif Islam, disebut dengan
al-bilâd dan wilayah kekuasaannya disebut dengan al-dawlah. Dengan
merujuk pada kedua term ini yang bersumber dari Al-Qur’an, unsur
terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri yang dalam
perspektif Islam disebut dengan al-dîn dan atau al-millah, yakni syariat
yang bersumber dari Tuhan dan berfungsi sebagai pembimbing dan
pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, tujuan pokok agama adalah
keselamatan kepada masing-masing penganutnya, termasuk di dalamnya
untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dalam sebuah negara.
Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam masalah hubungan
negara dengan agama. Namun dari pandangan-pandangan mereka itu,
dapat dirumuskan bahwa hubungan antara negara dan agama terlihat
dalam aspek ketatanegaran dan demokrasi. Agama, dalam hal ini Islam,
9
mewajibkan terbentuknya suatu negara dan member kelonggaran dalam
hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik, bentuk dan
susunan negara tidak wajib, yang penting bagaimana mengamalkan nilai-
nilai ajaran agama itu sendiri dalam sebuah negara. Dengan kata lain,
demokrasi dalam sebuah negara dipandang sebagai aturan politik yang
paling layak, dan agama diposisikan sebagai wasit moral dalam
mengaplikasikan demokrasi itu sendiri.
Pemikiran tentang hubungan Islam dengan demokrasi, terletak
pada adanya prinsipprinsip Islam tentang keadilan (al-‘adâlah), kebebasan
dan persamaan (al-musâwa), serta menjunjung tinggi musyawarah (al-
syûrah). Bagi Islam, demokrasi dalam sebuah Negara dapat terwujud bila
seorang penguasa menegakkan keadilan. Islam juga mengajarkan untuk
memperlakukan semua warga negara (rakyat) secara sama, dengan tidak
pandang bulu di muka hukum. Yang terakhir adalah bahwa Islam
menganggap musyawarah sebagai sistem dan mekanisme yang transparan
dalam kontrol kekuasaan pertanggungjawaban penguasa.
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keharusan membentuk negara, dalam perspektif Islam adalah suatu
kewajiban. Akan tetapi tentang bentuk yang simbolistik tidak wajib, yang
terpenting adalah mengamalkan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Hal ini
guna menghindar tejadinya kontradiksi antara esensi ajaran Islam dengan
laku perbuatan penganutnya yang sering ditemukan bertentangan. Dan
akan semakin menanpakkan kelemahan ajaran apabila perlakukan manusia
dari agama yang dipahami berbeda dengan hakekat keagamaan itu,
padahal manusia mengetahui maksud dari esan agama bersifat parsial.
Konsep demokrasi sangat sesuai dengan Islam, karena Islam adalah
agama yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan
menegakkan supremasi hukum dan mengajarkan apa arti kebebasan
diseluruh aspek seperti kebebasan beragama, perpendapat perlakukan yang
sama dan lain-lain. Hak asasi adalah merupakan hak dasar yang dibawa
oleh manusia sejak lahir, pemberian Tuhan . Hal ini menunjukkan bahwa
Islam merespon akan hak asasi karena ia diakui oleh Tuhan. Dalam Islam
secara esensial tentang hak asasi manusia adalah semua orang memiliki
hak yang sama dalam hukum dan keadilan serta kebebasan.
11
DAFTAR PUSTAKA
12