Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah : Arsitektur Kebencanaan

Dosen Pengajar : Dr. Ir. Elysa Wulandari, MT


Nama : M. Luthfi Ghassan
NIM : 1904204010002

Bencana Banjir Bandang Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Provinsi
Sumatera Utara.

Bencana banjir bandang terjadi di sungai bahorok, desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 2 November 2003. Bencana ini terjadi tepat di bulan puasa pada
saat masyarakat muslim sedang melakukan shalat tarawih. Banjir bandang menerjang perkampungan dan
lingkungan wisata Bukit Lawang menyebabkan korban jiwa masyarakat juga turis, menyebabkan kerugian
materil, kerusakan bangunan penduduk dan jalur transportasi, hancurnya hotel dan penginapan di sekitar
sungai bahorok,dan rusaknya sarana dan prasarana. Keadaaan pemukiman rusak total. Pasca banjir
bandang, masyarakat mengalami kegelapan pada malam hari kareana listrik padam akibat rusaknya
fasilitas distribusi listrik. Air bah dengan ketinggian mencapai 5 meter turut membawa lumpur, pasir, batu,
dan kayu menerjang bangunan dan pemukiman. Banjir bandang terjadi dalam waktu yang singkat, hanya
sekitar 15 menit. Pasca banjir surut, material-material yang terbawa itu menumpuk pada pemukiman
rumah bersama puing-puing rumah yang hancur dan tersebar di tepi sungai bahorok. Kehancuran yang
diakibatkan menyebakan perubahan yang signifikan terhadapa daerah Bukit Lawang terutama keindahan
pariwisatanya.
BAHOROK, BUKIT LAWANG

PETA DAERAH BUKIT LAWANG

Peta lokasi bencana banjir bandng Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten
Langkat, Provinsi Sumatera Utara. sumber: google earth
Banjir bandang adalah banjir besar yang datang secara tiba-tiba dengan meluap, menggenangi,
dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar seperti kayu dan sebagainya. (Wikipedia). Banjir
ini terjadi secara tiba-tiba di daerah permukaan rendah akibat hujan yang turun terus-menerus. Akibat
debit air yang banyak, sungai tidak mampu menampung air dan meluap ke permukaan.

Bukit Lawang adalah salah satu tempat wisata terkenal di Kecamatan Bahorok, Kabupaten
Langkat, Provinsi Sumatra Utara yang terletak 68 km sebelah barat laut Kota Binjai dan sekitar 80 km di
sebelah barat laut kota Medan. Bukit Lawang termasuk dalam lingkup Taman Nasional Gunung Leuser
yang merupakan daerah konservasi terhadap mawas orang utan. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis adalah kawasan pelestarian alam Indonesia yang
merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Terkenal
dengan arus sungainya yang deras juga jernih dan keindahan alam alaminya yang indah menjadikan bukit
lawang sebagai destinasi wisata yang menarik baga turis lokal dan mancanegara. Sungai bahorok
merupakan aliran penting daerah aliran sungai ( DAS) Taman Nasional Gunung Leuser.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi alam dan merupakan situs
warisan dunia UNESCO “Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera”. Memiliki fungsi sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Banjir bandang yang terjadi di bukit lawang di perkirakan akibat aliih fungsi lahan, penebangan
hutan secara liar di Taman Nasional Gunung Leuser, dan kurangnya informasi terhadap bahaya bencana
banjir bandang. Banjir bandang terjadi ketika hujan deras yang terjadi terus menerus dalam durasi lama
mambasahi daerah hulu. Karena terjadinya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan,
dan motif ekonomi lainnya yang menyebabkan penebangan pohon secara liar, terjadilah longsor-longsor
dan penumpukan batang-batang kayu pada daerah hulu. Kemiringan lereng yang terjal hingga 40 derajat
lebih juga menyebabkan mudah terjadinya longsor. Penebangan pohon menyebabkan air yang bisanya
diserap oleh pohon sebesar 80 % tidak dapat menyerap air dengan optimal lagi. Air permukaan langsung
mengalir ke tempat yang lebih rendah. Akibat penumpukan longsor dan batang-batang pohon, air
permukaan terbendung dan lama-kelamaan akan terkumpul banyak. Pada saat terjadi penumpukan air,
maka air akan menerobos merusak bendungan alamiah dan mengakibatkan air bah yang banyak
membawa bongkahan-bongkahan bebatuan, batangan kayu, dan lumpur yang mengalir melewati daerah
aliran sungai bahorok. Sungai tidak dapat menampung debit air sehingga meluap meluas ke area
permukiman menghancurkan bangunan-bangunan masyarakat.
Menurut Wisner (2004), ada lima elemen yang terkait suatu peristiwa bencana. Lima elemen itu
adalah Disaster, Hazards, Vurnerabilty, Capacity and Resilience, dan Culture. Dalam bencana banjir Bukit
Lawang tentunya terdapat kelima elemen yang disebutkan. Berikut adalah analisa elemen-elemen terkait
bencana banjir bandang Bukit Lawang berdasarkan pendapat Wisner.

1. Disaster
Disaster atau bencana adalah kerusakan yang muncul akibat fenomena alam yang memberikan
dampak bagi manusia dan lingkungannya. Kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebabkan kerusakan
jangka pendek atau jangka panjang. Dapat menyebabkan korban jiwa dan kerugian materil.

Banjir bandang Bukit Lawang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan sarana dan prasarana, dan
kerugian meteril. Ratusan masyarakat dan beberapa turis meninggal dunia, sebagian hilang terseret arus.
Sebagian masyarakat yang selamat mengalami luka-luka dan mengalami traumatis. Masyarakat korban
banjir terpaksa mengungsi meninggalkan daerah dampak bencana. Orang Utan sebagai fauna yang
dilindungi dan lingkungannya juga turut menjadi korban kerusakan. Banjir merusak bangunan masyarakat,
rumah, warung, hotel, restoran, dan daerah wisata. Rumah sebagian besar terbuat dari kayu hanyut
terbawa banjir. Sebagian besar rumah ambruk tertimpa timbunan bongkahan kayu dan tertutup lumpur.
Struktur bangunan hancur dan bangunan tidak bisa digunakan. Masyarakat mengalami kerugian ekonomi
dan meteril. Jembatan yang menghubungkan penyebarangan antara tepi sungai dengan daratan sungai
lainnya hancur sehingga menghambat trasnportasi. Jalan- jalan di sisi sungai rusak dan listrik padam.
Keindahan alam yang alami di sekitaran daerah pariwisata Bukit Lawang dan sebagian Taman Nasioanal

Jembatan hancur, Kerusakan sungai dan sarana prasarana,


sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk
Gunung Leusur rusak dan memburuk. Sisi sungai tergerus terbawa arus sungai. Pohon-pohon disektar
sungai juga hanyut.

Kerusakan bangunan Kerusakan bangunan


sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk

Kerusakan sungai dan jembatan Korban jiwa


sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk
Paska banjir, terjadi penumpukan lumpur, bongkahan kayu dan batu dari air bah, dan puing-puing
reruntuhan bangunan. Puing-puing dan bongkahan kayu berserakan dan menumpuk di daerah aliran air
bah. Menurut JICA bongkahan kayu yang tertinggal banjir mencapai 70.000 meter kubik dan endapan
pada dasar sungai setelah banjir dari Bukit Lawang ke hulu mencapai 300.000 meter kubik. Alur
sungai berubah dan bertambah lebar. Air sungai sangat keruh disertai lumpur. Aktifitas masyarakat
lumpuh. Lokasi wisata Bukit Lawang kemudian ditutup selama enam bulan dan menyebabkan penurunan
ekonomi masyarakat.

2. Hazards
Hazards adalah ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang luar biasa
berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia. Beberapa contohnya adalah gempa bumi,
longsor, banjir, dan tsunami.

Penyebab utama hancurnya kawasan Bukit Lawang adala banjir bandang. Banjir bandang
merupakan banjir besar yang mengalirkan air bah membawa lumpur, bongkahan besar batu dan kayu,
juga pasir. Banjir bandang terjadi ketika hujan deras yang terjadi terus menerus dalam durasi lama
mambasahi daerah hulu dan menyebabkan longsor. Bendungan air yang terjadi secara alami hancur dan
kemudian air permukaan yang terkumpul mulai mengalir menuju hilir dengan debit air yang banyak. Aliran
sungai tidak dapat menampung air dan menguap ke sisi sungai menghancurkan pemukiman masyarakat.
Banjir berlangsung singkat, kurang lebih selama 15 menit menurut warga.

Skema proses terjadinya banjir bandang.


Sumber: https://geologi.co.id/2010/10/18/banjir-bandang-bagaimana-terjadinya/
3. Vurnerability
Vurnerability adalah kerentanan, keadaan atau kondisi yang mengurangi kemampuan masyarakat
mempersiapkan diri untuk menghadapai bahaya dan ancaman bencana. Dalam bencana banjir bandang
Bukit Lawang ada beberapa kerentanan atau kondisi yang tidak ditanggapi oleh masyarakat.

Letak kawasan perkampungan dan aktifitas ekonomi masyarakat berada langsung dekat dengan
tepi sungai bahorok yang merupakan daerah aliran sungai utama Taman Nasional Gunung Leuser. Jarak
antara bangunan dan sungai sangat dekat. Bahkan beberapa shelter wisata berada langsung di sungai.
Banyak pohon yang berada di sisi sungai yang berfungsi sebagai penghamabat aliran sungai di tebang
untuk membangun bangunan. Hal ini sangat rentan terkenanya banjir juga longsor yang merupakan
bahaya yang sangat serius.

Shelter wisat berada di tengah sungai. Shelter wisat berada di tepi sungai.
Sumber: Foto: Ayat S Karokaro Sumber: https://sumutpos.co
Kerentanan yang disebabkan ketelodaran manusia adalah pengalih fungsian lahan dengan
penebangan hutan secara liar. Pertambahan jumlah penduduk dan motif ekonomi mempengaruhi alih
fungsi lahan. Terjadi penebangan hutan secara liar untuk membuka lahan. Terjadi pembakaran-
pembakaran sebagian hutan lindung. Penebangan hutan menyebabkan penyerapan air hujan permukaan
terganggu. Air permukaan tidak lagi diserap oleh pohon dan air permukaan terus mengalir ke dataran
yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan rentannya terjadi longsor dan tumbangnya pepohonan.
Terjadinya longsor dapat memicu terjadinya bendungan alami berupa lumpur dan gelondongan kayu
bekas penebangan dan tumbangan pohon.

Bukit Lawang merupakan dataran berpotensi banjir yg berada pada daerah lembah. Karakter khas
alam hulu sub daerah aliran Sungai Bohorok memiliki kemiringan lahan 30 sampai 60 derajat (Kepala Pusat
Informasi Kehutanan, Tachrir Fathoni). Dengan kemiringan tersebut tanah memiliki karakter yang tidak
stabil. Kondisi seperti ini berpotensi terjadinya longsor.
Masyarakat disekitar bukit lawang tidak menyadari dan tidak mengetahui informasi terhadap
potensi bencana. Masyarakat tidak tahu resiko dan potensi yang akan terjadi. Masyarakat kurang mawas
diri dalam keselamatan diri dan lingkungan terhadap bahayanya potensi bencana.

Regulasi dan kebijakan pemerintah kurang baik. Terdapat banyak pelanggaran pembangunan di
tepi sungai yang dilakukan masyarakat yang dapat membahayakan orang banyak.

4. Capacity and Resilience


Capacity and Resilience adalah Kemampuan dan antisipi untuk menanggapi potensi bencana
disekitar lingkungan.

Sebelum terjadinya banjir bandang Bukit Lawang masyarakat sekitar tidak mempersiapkan diri
tanggap terhadap bencana. Masyarakat tidak mawas diri dalam keselamatan. Masyarakat tidak tahu
resiko dan potensi yang akan terjadi. Menjelang terjadinya banjir bandang masyarakat tidak
mengetahui tanda-tanda atau isyarat alam bahwa akan terjadi banjir. Masyarakat tidak siap dalam
menanggulangi bencana ini.

Pasca banjir bandang Bukit Lawang masyarakat sadar dan lebih mawas diri. Masyarakat lebih
menjaga hutan lindung dan tidak membiarkan siapapun melakukan penebangan hutan secara liar. Ada
tindakan dan sanksi bagi pelaku yang melakukan penebangan liar. Warga memusuhi siapa saja yang
menebang pohon di hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Dalam pembangunan kembali bangunan-bangunan, masyarakat mulai berhati-hati untuk


mengantisipasi apabila terjadi lagi banjir bandang. Meskipun tetap membangunan di tepi sungai,
masyarakat memundurkan bangunan beberapa meter dari tepi sungai. Mereka memberi jarak lahan
kosong yang ditanami pohon antara bangunan dan sungai. Namun ada beberapa yang nekat
membangun di tepi sunga walaupu sudah diperingatkan.
Masyarakat menanam tanaman keras di tepi sungai untuk penahan air sungai. Tanaman keras
yang digunakan seperti trembesi, waru, mahoni, sengon, dan angsana. Penanaman pohon dilakukan
secara pribadi dan dengan biaya sendiri. Pohon yang berada di tepi sungai dapat berfungsi untuk
penahan air sungai dan mengurangi dampak pabila tejadi banjir bandang lagi.

Vegetasi di tepi sungai bahorok.


Sumber: http://www.wisatamedan.net

5. Culture
Culture merupakan kemampuan memahami alam dan mengatasi persoalan alam tergambar
dalam karya budaya arsitektur dan lingkungan menjadi nilai tradisi. Merupakan kebiasaan masyarakat
terhadap lingkungan disekitarnya.

Bangunan rumah masyarakat umunya terbuat dari kayu dan bata. Shelter-shelter wisata terbuat
dari kayu dan beratap rumbia. Bangunan-bangunan berada persis di tepi sungai. Tipikal perumahan
memiliki kepadatan yang tinggi. Jarak antara rumah dengan rumah berjarak dekat. Jalur sirkulasi juga
sempit dan seperti menghimpit. Apabila terjadi bencana maka akan sulit untuk menyelamatakan diri.

Bangunan di tepi sungai Perumahan warga


Sumber: http://www.wisatamedan.net Sumber: http://www.wisatamedan.net

Anda mungkin juga menyukai