Anda di halaman 1dari 22

Mata Kuliah : Arsitektur Kebencanaan

Dosen Pengajar : Dr. Ir. Elysa Wulandari, MT

Nama : M. Luthfi Ghassan

NIM : 1904204010002

Bahaya dan Kerentanan Kawasan Bukit Lawang terhadap Bencana Banjir


Bandang

Bukit Lawang adalah salah satu tempat wisata terkenal di Kecamatan Bahorok,
Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara yang terletak 68 km sebelah barat laut Kota Binjai
dan sekitar 80 km di sebelah barat laut kota Medan. Bukit Lawang termasuk dalam lingkup Taman
Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah konservasi terhadap mawas orang utan.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis adalah
kawasan pelestarian alam Indonesia yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan
yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Terkenal dengan arus sungainya yang deras juga
jernih dan keindahan alam alaminya yang indah menjadikan bukit lawang sebagai destinasi
wisata yang menarik bagi turis lokal dan mancanegara. Sungai bahorok dimanfaatkan wisata
arung jeram dan tube rafting karena kondisi sungai yang tidak terlalu dalam. Sungai bahorok
merupakan aliran penting daerah aliran sungai ( DAS) Taman Nasional Gunung Leuser.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi alam dan merupakan
situs warisan dunia UNESCO “Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera”. Memiliki fungsi sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Leuser menyandang dua status yang berskala global
yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai World Heritage pada tahun 2004.
Taman Nasional Gunung Leuser menyediakan suplai air bagi jutaan masyarakat yang tinggal di
Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Hampir 9 kabupaten tergantung pada jasa
lingkungan taman nasional ini, yaitu berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, penjaga
kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa peran dan
fungsi kawasan hutan di ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser sangat besar dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan (life support system) dan keberlanjutan pembangunan
(sustainable development). Taman Nasional Gunung Leuser merupakan laboratorium alam yang
kaya keanekaragaman hayati. Taman nasional ini merupakan habitat sebagian besar fauna,
mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Situs resmi Departemen
Kehutanan (Dephut) menjelaskan, waktu terbaik untuk berkunjung ke Taman Nasional Gunung
Leuser adalah bulan Juni sampai bulan Oktober. Cuaca sedang bersahabat, sehingga
pengunjung tidak terlalu sulit untuk trekking. Biasanya, wisatawan yang datang ke Taman
Nasional Gunung Leuser mengambil rute Binjai-Bukit Lawang. Bukit Lawang ini merupakan
bagian dari taman nasionalnya yang memang disiapkan sebagai destinasi wisata alam.
Lokasinya di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Bahorok Langkat, Sumatera Utara. Perjalanan dari
Medan, naik mobil sekitar 2 jam lamanya.

Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser


Sumber: wikipedia Sumber: triptrus

Sungai bahorok bukit lawang Sungai bahorok bukit lawang


Sumber: wikipedia Sumber: wikipedia
Di daerah bukit lawang terdapat beberapa wisata alam alami yang sering dikunjungi oleh
wisatawan. Terdapat penangkaran orang utan yang merupakan daerah konservasi hewan yang
dilindungi. Selain itu hutan lindung disana menjadi objek wisata alami dan dapat digunakan
sebagai laboratorium alami bagi peneliti dan wisatawan.

Dengan adanya potensi alam Bukit Lawang menyebabkan banyaknya pembangunan di


daerah bukit lawang karena pendatang dan penduduk semakin bertambah. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk di kawasan Bukit Lawang menyebabkan bertambahnya
bangunan di pemukiman warga. Pemukiman warga muncul dan terbangun di sekitaran tepi
sungai Bahorok. Lahan yang awalnya berupa hutan dirubah menjadi banguanan. Terjadi
perubahan fungsi lahan. Pembangunan rumah-rumah di tepi sungai saling berdempetan dan
berorientasi menghadap sungai. Rumah sebagian besar terbuat dari kayu dan batu bata,
umumnya dibuat secara tradisional dan berbentuk tradisional. Perumahan umumnya berbentuk
sederhana dengan luas lantai rumah yang tidak terlalu besar. Koridor antara rumah memiliki
kelebaran yang sempit. Jalan penghubung berupa jalan yang sempit. Sebagian kondisi
permukaan perumahan merupakan dataran lereng da memilik kontur yang tidak rata. Namun

Bangunan di tepi sungai Kerapatan Bangunan


Sumber: Ginting, Nurlisa Sumber: Ginting, Nurlisa

Bangunan di tengahi sungai


Sumber: Ginting, Nurlisa
pada pembangunan daerah perumahan wisata yang berada agak jauh dari tepi sungai memiliki
tata letak yang baik dan memiliki jalan yang cukup lebar. Terdapat jembatan-jembatan gantung
yang menghubungkan permukiman yang terpisahkan oleh sungai.

Pembangunan tidak hanya di sektor perumahan, namun juga sektor pariwisata mengingat
potensi sungai Bahorok yang indah dan berkualitas sebagi objek wisata. Pembangunan sarana
oleh masrayakat sebagai sumber pendapatan berupa shelter yang dibuat secara tradisional
terbuat dari kayu beratapkan rumbia. Umumnya shelter-shelter ini berada langsung di tepi sungai
bahkan ada yang berada dintengah sungai yang memiliki permukaan yang sedikit lebih tinggi dari
permukaan sungai. Shelter-shelter ini biasa digunakan oleh wsatawan sebagai tempat berteduh
menikmati keindahan sungai dan berwisata di sungai (berenang, arung jeram, dan tube raft).
Mengingat letak shelter tersebut, sangat rentan terhadap keselamatan seperti terkena banjir
ataupun longsor yang dapat menimbulkan kerugian. Selain shelter tradisional oleh masrakat
sekitar, juga terjadi pembangunan pariwasata oleh swasta secara modern berupa cottage,
restauran, hotel.

Lingkungan alam sebagai sumber daya alam maupun bahaya yang harus dijaga
kelestarian dan meminimalkan kerusakannya. Kondisi lingkungan mengalami perubahan secara
cepat dan perlahan disadari ataupun tidak. Beragam penyebab dan dampak yang muncul akibat
perubahan alam lingkungan. Pertumbuhan penduduk berpengaruh terhadap lingkungan.
Lingkungan alam yang alami dimanfaatkan menjadi lingkungan buatan oleh masyarakat.

Pesona alam Bukit Lawang dimanfaatkan oleh masyarak sebagai daerah tujuan wisata.
Potensi alam berupa sungai dan hutan hujan tropis yang indah di manfaatka sebagai obyek
wisata. Masyarakat sekitar dan pendatang melakukan pembangunan di daerah Bukit Lawang
untuk mendukung dan memfasilitasi destinasi wisata tersebut. Tentunya dengan pembangunan
daerah wisata ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat. Pembangunan
pemukiman dan bangunan komersial bertumbuh disekitar tepi sungai bahorok. Pembangunan
bangunan umumnya tidak teratur dan jarak anatara rumah berdekatan. Daerah tepi sungai yang
awalnya ditumbuhi pepohonan berubah menjadi daerah pemukiman masyarakat dan menjadi
tempat usaha atau bisnis.

Kawasan wisata Bukit Lawang merupakan salah satu pintu akses masuk menuju wisata
Taman Nasional Gunung Leuser. Sehingga menjadikan Bukit Lawang sebagai jalur yang sering
dilewati oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Tersedia akses jalan dari kota menuju kawasan
Bukit Lawang. Tersedia jalur transportasi darat,namun jarang ada kendaraan umum menuju ke
sana, kecuali menggunakan jasa travel. Salah satu jalur menuju Taman Nasional Gunung Leuser
adalah Jl. Bukit Lawan. Jl. Bukit Lawang

Jl. Bukit Lawang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemukiman perumahan


dan bisnis di Bukit Lawang. Jalan tersebut merupakan jalur utama menuju ke pusat kota. Terjadi
penumpukan bangunan di tepi jalan tersebut. Pembangunan pemukiman dan perumahan
terbanyak berada pada sisi timur sungai karena berhubungan langsung dengan akses Jl. Bukit
Lawang.

Pola Networking dan pembangunan Bukit Lawang


sumber: dokumen pribadi

Pada tanggal 2 November 2003, terjadi bencana besar berupa banjir bandang di sungai
bahorok, desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. .
Bencana ini terjadi tepat di bulan puasa pada saat masyarakat muslim sedang melakukan shalat
tarawih. Banjir bandang menerjang perkampungan dan lingkungan wisata Bukit Lawang
menyebabkan korban jiwa masyarakat juga turis, menyebabkan kerugian materil, kerusakan
bangunan penduduk dan jalur transportasi, hancurnya hotel dan penginapan di sekitar sungai
bahorok,dan rusaknya sarana dan prasarana. Keadaaan pemukiman rusak total. Pasca banjir
bandang, masyarakat mengalami kegelapan pada malam hari kareana listrik padam akibat
rusaknya fasilitas distribusi listrik. Air bah dengan ketinggian mencapai 5 meter turut membawa
lumpur, pasir, batu, dan kayu menerjang bangunan dan pemukiman. Banjir bandang terjadi
dalam waktu yang singkat, hanya sekitar 15 menit. Pasca banjir surut, material-material yang
terbawa itu menumpuk pada pemukiman rumah bersama puing-puing rumah yang hancur dan
tersebar di tepi sungai bahorok. Kehancuran yang diakibatkan menyebakan perubahan yang
signifikan terhadapa daerah Bukit Lawang terutama keinjir bandang yang terjadi di bukit lawang
di perkirakan akibat aliih fungsi lahan, penebangan hutan secara liar di Taman Nasional Gunung
Leuser, dan kurangnya informasi terhadap bahaya bencana banjir bandang. Banjir bandang
terjadi ketika hujan deras yang terjadi terus menerus dalam durasi lama mambasahi daerah hulu.
Karena terjadinya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan motif
ekonomi lainnya yang menyebabkan penebangan pohon secara liar, terjadilah longsor-longsor
dan penumpukan batang-batang kayu pada daerah hulu. Kemiringan lereng yang terjal hingga
40 derajat lebih juga menyebabkan mudah terjadinya longsor. Penebangan pohon menyebabkan
air yang bisanya diserap oleh pohon sebesar 80 % tidak dapat menyerap air dengan optimal lagi.
Air permukaan langsung mengalir ke tempat yang lebih rendah. Akibat penumpukan longsor dan
batang-batang pohon, air permukaan terbendung dan lama-kelamaan akan terkumpul banyak.
Pada saat terjadi penumpukan air, maka air akan menerobos merusak bendungan alamiah dan
mengakibatkan air bah yang banyak membawa bongkahan-bongkahan bebatuan, batangan
kayu, dan lumpur yang mengalir melewati daerah aliran sungai bahorok. Sungai tidak dapat
menampung debit air sehingga meluap meluas ke area permukiman menghancurkan bangunan-
bangunan masyarakat.
BAHOROK, BUKIT LAWANG

PETA DAERAH BUKIT LAWANG

Peta lokasi bencana banjir bandng Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten
Langkat, Provinsi Sumatera Utara. sumber: google earth
Menurut Wisner (2004), ada lima elemen yang terkait suatu peristiwa bencana. Lima
elemen itu adalah Disaster, Hazards, Vurnerabilty, Capacity and Resilience, dan Culture. Dalam
bencana banjir Bukit Lawang tentunya terdapat kelima elemen yang disebutkan. Berikut adalah
analisa elemen-elemen terkait bencana banjir bandang Bukit Lawang berdasarkan pendapat
Wisner.

1. Hazards
Hazards adalah ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang luar biasa
berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia. Beberapa contohnya adalah gempa
bumi, longsor, banjir, dan tsunami.

Kawasan Bukit Lawang berada di area Taman Nasional Gunung Leuser yang memiliki
karakteristik dataran lereng yang curam dengan kemiringan 30 sampai 60 derajat. Daerah lereng
seperti ini biasa akan terjadi longsor-longsor kecil dan erosi. Penyebabnya adalah air hujan yang
membasahi tanah mengalir menuju ke bagian lebih rendah (dari hulu ke hilir). Pohon di hulu hutan
menyerap 80% air dan mengalirkan sisa air permukaan tanah. Aliran air permukaan membawa
material- material seperti tanah, batu, pasir, dan batang tumbuhan. Apabila terjadi hujan deras,
maka terjadilah longsoran-longosoran karena aliran air permukaan mengalir cepat membawa
material yang ada dipermukaan tanah. Tumpukan akibat longsor yang tersisa menyebabkan
terbentuknya bendungan-bendungan alami yang mengahmbat dan menampung air. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya banjir bandang yaitu air bah yang membawa material yang tertumpuk
pada bendungan alami yang jebol akibat debit air yang besar yang disebabkan hujan deras
dengan durasi yang lama. Ini merupakan bahaya yang akan timbul bila sering terjadinya longsor
dan debit air hujan yang banyak.

Penyebab utama hancurnya kawasan Bukit Lawang adala banjir bandang. Banjir bandang
merupakan banjir besar yang mengalirkan air bah membawa lumpur, bongkahan besar batu dan
kayu, juga pasir. Banjir bandang terjadi ketika hujan deras yang terjadi terus menerus dalam
durasi lama mambasahi daerah hulu dan menyebabkan longsor. Bendungan alami yang terjadi
hancur dan kemudian air permukaan yang terkumpul mulai mengalir menuju hilir dengan debit air
yang banyak. Aliran sungai tidak dapat menampung air dan menguap ke sisi sungai
menghancurkan pemukiman masyarakat. Banjir berlangsung singkat, kurang lebih selama 15
menit menurut warga. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir bandang adalah alih fungsi
lahan. Terjadi penebangan hutan secara liar pada bagian hulu gunung Leuser. Penabangan
hutan dilakukan untuk motif ekonomi, yaitu untuk mengambil kayu hutan dan membuka lahan
pertanian. Selain itu penebangan dilakukan untuk membuat jalur-jalur menuju ke dalam hutan.
Perubahan lingkungan menyebabkan kerusakan alam dan pasti lambat laun akan menyebabkan
kerusakan dan bencana.

Skema proses terjadinya banjir bandang.


Sumber: https://geologi.co.id/2010/10/18/banjir-bandang-bagaimana-terjadinya/

Skema proses terjadinya banjir bandang.


Sumber: COMIC mengenal bencana banjir JICA
Tampak udara Hutan Leuser yang rusak akibat Ladang serai di kawasan penyangga Taman
perambahan di Kabupaten Aceh Tenggara, Nasional Gunung Leuser (TNGL),
Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Skema alur terjadinya Banjir Bandang di Bukit Lawang


(pembagian elemen terkait bencana)
Sumber: dokumen pribadi
2. Disaster

Disaster adalah bencana yang timbul setelah bahaya alam (peristiwa alam) memberi
dampak bagi manusia dan lingkungannya. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.

Perkirana area dampak terkena banjir bandang


sumber: dokumen pribadi

Banjir bandang menyebabkan korban jiwa, kerugian materi, kerusakan sarana dan
prasaran. Kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebabkan kerusakan jangka pendek atau
jangka panjang. Ratusan masyarakat dan beberapa turis meninggal dunia, sebagian hilang
terseret arus. Sebagian masyarakat yang selamat mengalami luka-luka dan mengalami
traumatis. Masyarakat korban banjir terpaksa mengungsi meninggalkan daerah dampak
bencana. Orang Utan sebagai fauna yang dilindungi dan lingkungannya juga turut menjadi korban
kerusakan. Banjir merusak bangunan masyarakat, rumah, warung, hotel, restoran, dan daerah
wisata. Rumah sebagian besar terbuat dari kayu hanyut terbawa banjir.

Sebagian besar rumah ambruk tertimpa timbunan bongkahan kayu dan tertutup lumpur.
Struktur bangunan hancur dan bangunan tidak bisa digunakan. Masyarakat mengalami kerugian
ekonomi dan meteril. Jembatan yang menghubungkan penyebarangan antara tepi sungai dengan
daratan sungai lainnya hancur sehingga menghambat trasnportasi. Jalan- jalan di sisi sungai
rusak dan listrik padam. Keindahan alam yang alami di sekitaran daerah pariwisata Bukit Lawang
dan sebagian Taman Nasioanal Gunung Leusur rusak dan memburuk. Sisi sungai tergerus
terbawa arus sungai. Pohon-pohon disektar sungai juga hanyut.

Kerusakan bangunan Kerusakan bangunan


sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk

Kerusakan sungai dan jembatan Korban jiwa


sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk
Jembatan hancur, Kerusakan sungai dan sarana prasarana,
sumber: news.bbc.co.uk sumber: news.bbc.co.uk

Paska banjir, terjadi penumpukan lumpur, bongkahan kayu dan batu dari air bah, dan puing-
puing reruntuhan bangunan. Puing-puing dan bongkahan kayu berserakan dan menumpuk di
daerah aliran air bah. Menurut JICA bongkahan kayu yang tertinggal banjir mencapai 70.000
meter kubik dan endapan pada dasar sungai setelah banjir dari Bukit Lawang ke hulu
mencapai 300.000 meter kubik. Alur sungai berubah dan bertambah lebar. Air sungai
sangat keruh disertai lumpur. Aktifitas masyarakat lumpuh. Lokasi wisata Bukit Lawang
kemudian ditutup selama enam bulan dan menyebabkan penurunan ekonomi masyarakat.

3. Vurnerability
Vurnerability adalah kerentanan, keadaan atau kondisi yang mengurangi kemampuan
masyarakat mempersiapkan diri untuk menghadapai bahaya dan ancaman bencana. Dalam
bencana banjir bandang Bukit Lawang ada beberapa kerentanan atau kondisi yang tidak
ditanggapi oleh masyarakat.

Letak kawasan perkampungan dan aktifitas ekonomi masyarakat berada langsung dekat
dengan tepi sungai bahorok yang merupakan daerah aliran sungai utama Taman Nasional
Gunung Leuser. Jarak antara bangunan dan sungai sangat dekat. Bahkan beberapa shelter
wisata berada langsung di sungai. Banyak pohon yang berada di sisi sungai yang berfungsi
sebagai penghamabat aliran sungai di tebang untuk membangun bangunan. Hal ini sangat rentan
terkenanya banjir juga longsor yang merupakan bahaya yang sangat serius.
Menurut Bintarto (1977) pada distribusi perubahan penggunaan lahan pada
dasarnya dikelompokkan menjadi: pola memanjang mengikuti jalan, pola memanjang mengikuti
sungai, pola radial, pola tersebar, pola memanjang mengikuti garis pantai, dan pola memanjang
mengikuti garis pantai dan rel kereta api. Pola perkembangan perubahan lahan menjadi
pemukiman pada kawasn Bukit Lawang memanjang mengikuti pola sungai dan pola jalan.
Bangunan dibangun dipinggir sungai dengan memanfaatkan keindahan sungan dan di sisi jalan
dengan memanfaatka akses kemudahan jalan. Pembangunan di sisi sungai merupakan
pembangunan yang rentan terhadap bencana banjir mengingat bangunan terbangun berada
pada garis sempadan sungai. Pembangunan juga langsung berada di sisi sungai dengan
mengabaikan jarak aman antara bangunan dan sungai.

Pola Networking dan pembangunan Bukit Lawang


sumber: dokumen pribadi

Kerentanan yang disebabkan ketelodaran manusia adalah pengalih fungsian lahan


dengan penebangan hutan secara liar. Pertambahan jumlah penduduk dan motif ekonomi
mempengaruhi alih fungsi lahan. Terjadi penebangan hutan secara liar untuk membuka lahan.
Terjadi pembakaran-pembakaran sebagian hutan lindung. Penebangan hutan menyebabkan
penyerapan air hujan permukaan terganggu. Air permukaan tidak lagi diserap oleh pohon dan
air permukaan terus mengalir ke dataran yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan rentannya
terjadi longsor dan tumbangnya pepohonan. Terjadinya longsor dapat memicu terjadinya
bendungan alami berupa lumpur dan gelondongan kayu bekas penebangan dan tumbangan
pohon.
Bukit Lawang merupakan dataran berpotensi banjir yg berada pada daerah lembah.
Karakter khas alam hulu sub daerah aliran Sungai Bohorok memiliki kemiringan lahan lebih dari
40 derajat (Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Tachrir Fathoni). Dengan kemiringan tersebut
tanah memiliki karakter yang tidak stabil. Kondisi seperti ini berpotensi terjadinya longsor.

Kemiringan lereng. Gambaran potongan struktur tanah.


Sumber: COMIC mengenal bencana banjir JICA Sumber: COMIC mengenal bencana banjir JICA

Kemungkinan robohnya batang kayu juga akibat longsoran tebing. Dijumpai ratusan spot
longsoran di lereng bukit. Jenis tanah di tebing ini berupa tanah lempung pasiran dengan karakter
struktur tanah labil dan pertumbuhan lambat. Diduga lapisan tanah yang mengandung unsur hara
tipis (+1 meter) akar bergerak ke samping. Pohon dia atas yang tumbang menimpa pohon di
bawahnya. Batang kayu umumnya berasal dari kira dan kanan tebing tumbuh di atas batuan
metamorf yang keras, sehingga akar tunjang tidak berfungsi.
Kondisi kontur kawasan sekitar Bukit Lawang
Sumber: google earth

Daerah permukiman berada pada dataran yang agak rendah. Berdekatan langsung
dengan lereng bukit-bukit. Apabila terjadi longsor area pemukiman sangat rentan terjadi
kehancuran.

Masyarakat disekitar bukit lawang tidak menyadari dan tidak mengetahui informasi
terhadap potensi bencana. Masyarakat tidak tahu resiko dan potensi yang akan terjadi.
Masyarakat kurang mawas diri dalam keselamatan diri dan lingkungan terhadap bahayanya
potensi bencana.

Dalam peraturan pemerintah PERMEN PU Nomor 28 Tahun 2015, garis sempadan


sungai besar yang berada di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 100 meter
dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Garis sempadan sungai adalah
garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Fungsi sepandan sungai adalah mengupayakan agar kehiatan pelindungan, penggunaan, dan
pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai dapat dilaksanakan dengan sesuai
tujuannya. Sepandan sungai juga berfungsi untuk melindungi sungai dari pengembangan,
melindungi sumber daya alam yang ada di sungai, dan melindungi lingkungan pengembangan
dari dampak rusaknya air sungai. Di sempadan sungai tidak boleh dibangun bangunan, kecuali
bangunan prasarana sumber daya air, jembatan dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, jalur
kabel, dan bangunan ketenagalistrikan. Namun, di kawasan Bukit Lawang pembangunan
bangunan dan sarana prasarana tidak memperhatikan garis sempadan sungai yang telah
ditetapkan. Daerah bukit lawang merupakan daerah rawan banjir, sehingga sangat rentan
terhadap bencana. Pembangunan seharusnya tidak dilakukan di garis sempadan sungai.

Garis Sempadan sungai, garis berjarak 100 meter dari kanan dan kiri sungai.
Sumber: data pribadi, permen PU no. 28 2015

Pembangunan di tepi sungai menyebabkan vegetasi yang berada di atasnya rusak dan
hilang melalui penebangan dan alih fungsi lahan. Penebangan vegetasi tepi sungai dapat
mengurangi fungsinya sebagai penahan aliran sungai agar tidak terjadi longsor dan pengikisan
air sungai. Hal ini juga menyebabkan kerentanan bahaya kerusakan area permukiman akibat
pengikisan oleh air sungai sehingga sebaiknya masyarakat tidak membangun bangunan di
sempadan sungai demi keamanan.

Banyak shelter peneduh untuk wisatawan yang dibangun di tengah sungai. Shelter
tersebut di bangun di atas permukaan dataran yang sedikit lebih tinggi dari sungai yang berada
di tengah sungai. Shelter terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Letak bangunan di tengah sungai
ini sangat berbahaya karena menyebabkan terseret oleh arus yang kkuat secara tiba-tiba. Apalagi
apabila terjadi banjir bandang dapat menyebabkan kerusakan besar dan banyaknya korban jiwa.
Shelter wisata berada di tengah sungai. Shelter wisat berada di tepi sungai.
Sumber: Foto: Ayat S Karokaro Sumber: https://sumutpos.co

Penilaian tingkat kerentanan tidak hanya dibedakan berdasarkan objek yang dinilai,
namun juga dapat dibedakan berdasarkan waktu. Wood, Good, dan Goodwin (2002)
mengungkapkan bahwa tipe masyarakat yang terkena dampak bencana pada saat siang dan
malam berbeda, karena ada perbedaan jumlah masyarakat yang berada di rumah. Pada saat
siang, ibu rumah tangga, anak-anak dan lansia yang berada di rumah memiliki tingkat kerentanan
yang lebih tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Ghafur, dkk. (2012) bahwa perempuan
cenderung lebih rentan terhadap bencana dan seringkali diabaikan dalam penanganan bencana
dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut menjadi dasar bahwa penilaian tingkat kerentanan
masyarakat di Kawasan Bukit Lawang dapat dibedakan menjadi penilaian kerentanan siang dan
malam. Hal ini juga membuktikan korban jiwa pada banjir bandang 2003 yang terjadi pada malam
hari didominasi oleh korban wanita yaitu 89 orang dan pria 66 orang dan 87 orang hilang.

4. Capacity and Resilience


Capacity and Resilience adalah Kemampuan dan antisipi untuk menanggapi potensi
bencana disekitar lingkungan.

Sebelum terjadinya banjir bandang Bukit Lawang, masyarakat sekitar tidak mempersiapkan
diri tanggap terhadap bencana. Masyarakat tidak mawas diri dalam keselamatan. Masyarakat
tidak tahu resiko dan potensi yang akan terjadi. Menjelang terjadinya banjir bandang masyarakat
tidak mengetahui tanda-tanda atau isyarat alam bahwa akan terjadi banjir. Masyarakat tidak siap
dalam menanggulangi bencana ini.
Shelter wisata berada di tengah dan tepi sungai.
Sumber: google earth
Pasca banjir bandang Bukit Lawang masyarakat sadar dan lebih mawas diri. Masyarakat
lebih menjaga hutan lindung dan tidak membiarkan siapapun melakukan penebangan hutan
secara liar. Ada tindakan dan sanksi bagi pelaku yang melakukan penebangan liar. Warga
memusuhi siapa saja yang menebang pohon di hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Dalam pembangunan kembali bangunan-bangunan, masyarakat mulai berhati-hati untuk


mengantisipasi apabila terjadi lagi banjir bandang. Meskipun tetap membangunan di tepi sungai,
masyarakat memundurkan bangunan beberapa meter dari tepi sungai. Mereka memberi jarak
lahan kosong yang ditanami pohon antara bangunan dan sungai. Namun ada beberapa yang
nekat membangun di tepi sunga walaupu sudah diperingatkan.

Skema pembangunan pasca bencana


Sumber: dokumen pribadi
Masyarakat menanam tanaman keras di tepi sungai untuk penahan air sungai. Tanaman
keras yang digunakan seperti trembesi, waru, mahoni, sengon, dan angsana. Penanaman pohon
dilakukan secara pribadi dan dengan biaya sendiri. Pohon yang berada di tepi sungai dapat
berfungsi untuk penahan air sungai dan mengurangi dampak pabila tejadi banjir bandang lagi.
Vegetasi di tepi sungai bahorok.
Sumber: http://www.wisatamedan.net

Bendungan Dinding penahan air


Sumber: Ginting, Nurlisa Sumber: Ginting, Nurlisa
Menurut Nurlisa Ginting, Nanda Pratama Putra (2019), Pasca bencana banjir perlu
dilakukan penanggulangan secara structural dan non struktural. DIlakukan pembangunan
struktural berupa pembuatan tanggul, dinding penahan air, dan lain-lain. Langkah mitigasi
struktural dibangunan untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya yang pernah dan akan
terjadi sehingga memberikan rasa aman dan mendorong masyarakat tetap menetap di kawasan
ini.

Mitigasi secara Non Struktural juga perlu dilakukan untuk mengurangi dampak terjadi
bencana dan korban jiwa. Mitigasi non structural dapat dilakukan dengan pengaturan undang-
undang, pengelolaan daerah tangkapan air, perencanaan lahan, administrasi kota, pendidikan,
asuransi, pemprediksian dan peringatan hidrologi. Efektifitas penggunaan tindakan mitigasi non
struktural (sistem peringatan dini, perencanaan penggunaan lahan, peningkatan kesadaran, dan
sebagainya) dinilai cukup rendah, tetapi cenderung efisien secara ekonomi. Disepanjang
sempadan sungai harus dijadikan sebagai zona promenade dan ruang terbuka untuk
memudahkan akses bagi wisatawan dan masyarakat setempat menyelamatkan diri apabila
terjadi banjir bandang. Zona vegetasi juga harus dimunculkan pada sempadan sungai sebagai
penambah kekuatan struktur tanah apabila terjadi erosi yang diakibatkan oleh banjir , Nurlisa
Ginting, Nanda Pratama Putra (2019). Selain itu masyarakat harus diajarkan tanggap terhadapa
bencana, mempersiapkan diri tanggap bencana. Perlu di rencanakan system tanggap bencana
bias berupa peringatan dini dan pnyediaan dan penunjukan jalur evakuasi.

Jalur evakuasi dan Sistem peringatan dini menurut Nurlisa Ginting,


Nanda Pratama Putra (2019)

5. Culture
Culture merupakan kemampuan memahami alam dan mengatasi persoalan alam
tergambar dalam karya budaya arsitektur dan lingkungan menjadi nilai tradisi. Merupakan
kebiasaan masyarakat terhadap lingkungan disekitarnya.

Bangunan rumah masyarakat umunya terbuat dari kayu dan bata. Shelter-shelter wisata
terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Bangunan-bangunan berada persis di tepi sungai. Tipikal
perumahan memiliki kepadatan yang tinggi. Jarak antara rumah dengan rumah berjarak dekat.
Bangunan umumnya berbentuk sederhana dan dibangunan secara tradisional. Sangat banyak
shelter yang dibangun di tengah daerah aliran sungai. Jalur sirkulasi juga sempit dan seperti
menghimpit. Apabila terjadi bencana maka akan sulit untuk menyelamatakan diri.

Bangunan di tepi sungai Perumahan warga


Sumber: http://www.wisatamedan.net Sumber: http://www.wisatamedan.net

Anda mungkin juga menyukai