PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan
petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman
Rasulullah Saw. dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Sejalan
dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Qur’an
serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir Al-Qur’an, maka tafsir Al-Qur’an
terus berkembang, baik pada masa ulama salaf dan khalaf, sampai sekarang.
Al-Quran adalah Kitab Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad melalui
perantaraan malaikat Jibril, berbahasa arab, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhri
dengan surat An-Nas, yang dijadikann pedoman hidup bagi Umat Islam. Menelusuri
sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap
penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk
menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat
dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke
berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri
yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para
mufassir).
Ilmu tafsir al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud-maksud ayat-ayat al-Qur’an telah melahirkan sejumlah karya tafsir.
Dinamika kegiatan penafsiran tersebut berkembang seiring dengan tuntutan zaman.
Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia, turut pula
memperkaya tafsir dan metode pendekatan memahami al-Qur’an. Dalam
perkembangan tafsir al-Qur’an dari waktu ke waktu hingga masa sekarang dikenal
berbagai corak penafsiran, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dan
perkembangan zaman yang melingkupinya.
Perkembangan tafsir al-Qur’an telah terjadi sejak periode Nabi saw. dan
sahabat pada abad I H atau VII M. Dalam periode ini pola dan metode penafsiran al-
Qur’an yang diberikan oleh para sahabat tidak ada perbedaan yang berarti dari
penafsiran yang diberikan oleh Nabi, kecuali dari sudut sumber.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa itu Al-Qur’an ?
2. Apa itu Ilmu Tafsir ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan Tafsir ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui dan memperdalam ilmu Tafsir
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Tafsir dari masa ke-masa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
1. Pengertian Etimologi (Bahasa)
Para Ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi
derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), apakah
ia merupakan kata sifat atau kata kajian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara
melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpecah menjadi 2 pendapat,
antara lain:
a. Sebagian dari mereka, diantaranya Al- Lihyani, berkata bahwa kata “Al-
Qur’an” merupakan kata jadian dari kata dasar “qara’a” (membaca) sebagaimana
kata rujihan dan gufron. Kata jadian ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi
firman Allah yang ditutunkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW. Penamaan ini
masuk kedalam kategori “tasmiyah al-maf’ul bi al mashdar (penamaan isim
maf’ul dengan isim mashdar). Mereka merujuk firman Allah pada surat Al-
Qiyamah ayat 17-18:
)١٨( ُ(فَإِذَا قَ َرأْ َٰنَهُ فَٱت َّ ِب ْع قُ ْر َءانَ ۥه١٧) ُِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َع ۥهُ َوقُ ْر َءانَه
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (didadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya,
maka ikutilah bacaannya itu” (Q.S Al-Qiyamah. 17-18)
b. Sebagian dari mereka, diantaranya al-Zujaj, menjelaskan bahwa kata “Al-
Quran” merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar” yang artinya
menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang di
turunkan kepada Nabi Muhammad, karena kitab itu menghimpun surat, ayat,
kisah, perintah dan larangan. Atau karena kitab ini mengandung instisari dari
kitab kitab sebelumnya.
Para Ulama mengatakan bahwa cara melafalkan kata Al-Qur’an dengan tidak
menggunakan hamzahpun terpecah menjadi 2 kelompok :
a. Sebagian dari mereka, diantaranya adalah Al-Asy’ari, mengatakan bahwa kata
Al-Quran diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena Al-Qur’an
menyertakan surat, ayat, dan huruf huruf.
b. Al-Farra’ menjelaskan bahwa “Al-Qur’an” diambil dari kata dasar “qara’in”
(penguat) karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan
terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnnya. Pendapat lain bahwa
Al-Quran sudah merupakan sebuah nama personal (al-a’lam asy-syakhsyi), bukan
merupakan derivasi, bagi kitab yang telah diturunkan pada nabi Muhammad
SAW. Para Ulama telah menjelaskan bahwa penamaan itu menunjukan bahwa
Al-Qur’an telah menghimpun intisari kitab-kitab Allah yang lain, bahkan seluruh
ilmu yang ada. Hal itu sebagaimana telah di isyaratkan oleh firman Allah pada
surat An-Nahl (16):89 dan surat Al-An’am (6):38:
ش ْىءٍ ۚ ث ُ َّم ِإلَ َٰى َر ِب ِه ْم ِ َ طنَا فِى ْٱل ِك َٰت
َ ب ِمن ْ َل أ ُ َم ٌم أ َ ْمثَالُ ُكم ۚ َّما فَ َّر
ٓ َّ ير ِب َجنَا َح ْي ِه ِإ َٓ َٰ ض َو ََل
ُ طئِ ٍر َي ِط ِ َو َما ِمن دَآبَّ ٍة فِى ْٱْل َ ْر
َيُحْ ش َُرون
Artinya :
“ Dan tidak ada seekor bintang pun yang ada dibumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-
umat(juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan didalm
kitab, kemudian kepada tuhan mereka dikumpulkan.” (Q.S Al-An’am : 38)
َ َ علَيْكَ ْٱل ِك َٰت
َ ب تِ ْب َٰ َينًا ِل ُك ِل
ٍش ْىء ٓ َ ُعلَ َٰى َٰ َٓهؤ
َ َلءِ ۚ َونَ َّز ْلنَا َ َعلَ ْي ِهم ِم ْن أَنفُ ِس ِه ْم ۖ َو ِجئْنَا بِك
َ ش ِهيدًا َ ش ِهيدًا َ ث فِى ُك ِل أ ُ َّم ٍة ُ َويَ ْو َم نَ ْب َع
ل س م ْ
ِل ل ى ر ْ
ش ب و ً
ََو ُهدًى َو َرحْ َ َ ُ َ َٰ ُ ْ ِمِ ين
ة م
Artinya :
“Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab
(Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.s An-nahl : 89)
2. Pengertian Terminologi (Istilah)
a. Menurut Manna’ Al-Qaththan
سلَّ َم ا َ ْل ُمتَعَبَدُ بِت ََِل َوتِ ِه َ ُ صلَّي هللا
َ علَ ْي ِه َو َ علَي ُم َح َّم ٍد
َ ك َََل ُم هللاِ ال ُمن ًَّز ُل
Al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
dan membacanya memperoleh pahala
b. Menurut Al-Jurjani
َ صاحِ فِ ا َ ْل َم ْنقُو ُل
ُ ع ْنهُ نَ ْق ًَل ُمت ََوات ًِرا بِ ََل
ش ْب َه ٍة َ ب فِى ْال َم
ِ الرسُو ِل ال َم ْكتُو َ ه َُو ا َ ْل ُمن ََّز ُل
َّ علَى
Al-Qur’an adalah Yang diturunkan kepada Rasululllah SAW, yang di tulis di
dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan”.
c. Menurut Abu Syahbah
Al-Qur’an adalah Kitab Allah yang di turunkan baik lafadz maupun maknanya
kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawatir,
yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan yang ditulis pada mushaf mulai dari
awal surat al-Fatihah(1) sampai akhir surat An-Nas (114)
d. Menurut Kalangan Pakar Usul ,Fiqih, dan Bahasa Arab
َ ب فِى ا َ ْل َم
ُ صاحِ فِ مِ ْن ا َ َّو ِل
ٍس ْو َرة ِ م ا َ ْل ُم ْع ِج ِز ا َ ْل ُمت َ َعبَّدُ ِبت ََِل َوتِ ِه ا َ ْل َم ْنقُو ُل ِبالتَّ َوات ُ ِر ا َ ْل َم ْكتُو.علَى نَ ِب ِي ِه ُم َح َّم ٍد صَ ك َََل ُم هللاِ ال ُمن ََّز ُل
اس َ ُا َ ْلفَاتِ َح ِة اِلَى س
ِ َّورةٍ الن
Al-Qur’an adalah Kalam allah yang diturunkan pada nabi Nya, Muhammad, yang
lafad-lafadnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah yang
diturunkan secara mutawattir, yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-
fatihah(1) sampai akhir surat an-Nas (14).
B. Pengertian Tafsir
Tafsir Alquran (Arab: ) تفسير القرآنadalah ilmu pengetahuan untuk memahami
dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Alquran dan isinya berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Alquran,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya.
Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Alquran, sehingga makna-maknanya dapat
dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka
melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.
Al-Utsaimin (2001), hlm. 23 menyebutkan, "Tafsir secara bahasa berasal
dari al-fasr (bahasa Arab: )الفسر, yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup." Adapun
secara bahasa, tafsir (Alquran) adalah penjelasan terhadap makna-makna yang
dikandung Alquran. As-Suyuthimenukil dari Al-Imam Az-Zarkasyi, menjelaskan
pengertian tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad , menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah
dan hukum-hukumnya.
Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara –
yufassiru - tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian. Sedangkan Tafsir menurut
terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh
Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz
al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta
hal-hal yang melengkapinya2 Menurut al-Kilbiy dalam kitab at-Taṣliy, sebagaimana
yang telah dikutip oleh Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali. Tafsir ialah
mensyarahkan alQur‟an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya
Menurut Ali Ḥasan al-‟Ariḍ, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara
mengucapkan lafadz al-Qur‟an makna-makna yang ditunjukkan dan hukumhukumnya
baik ketika berdiri sendiri atau pun tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan
ketika dalam keadaan tersusun. Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy tafsir adalah:
الثشريح الطاقح حسة المراد علي داللته حيث مه الكريم القرأن عه فيه يثحث علم
Artinya:
“suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan alQur‟an al-karim
dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat
disanggupi manusia.” Sebatas yang dapat disanggupi manusia memiliki pengertian
bahwa mutasyabihat dan tidak dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui
apa yang dikehendaki oleh Allah.6 Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat yang ada di
dalam al-Qur‟an, salah satu di antaranya adalah di dalam ayat 33 dari surat al-Furqān:
ً ك ب ِ الْ َح قِ َو أ َ ْح سَ َن ت َفْ ِس
ير ا َ َ َو ََل ي َ أ ْت ُو ن
َ ك ب ِ َم ث َ ٍل إ ِ ََّل ِج ئ ْ ن َا
Artinya:
”Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”.
Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf
almugaṭṭa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan
menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan
oleh para ulama tafsir dengan “al-īḍāḥ wa al-tabyīn” (menjelaskan dan menerangkan).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan
tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan yang dimilikinya kepada apa
yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.tidaklah suatu kekurangan
lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang
Jadi, Tafsir Al-Qur’an adalah Ilmu tafsir yang merupakan ilmu yang paling
mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan
Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil.
2. Periode Mutaqaddimin
Periode mutaqaddimin (abad 1-4 H) meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’i al
tabi’in. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw. ( 11 H/632M ). Dari kalangan
sahabat, setidak-tidaknya tercatat sekitar sepuluh orang mufassir yang sangat
terkenal:
a) Abu Bakar al-Shiddiq
b) Umar ibn al-Khathab
c) Usman bin Affan
d) Ali bin Abi Thalib
e) Ibn Mas’ud
f) Said bin Tsabit
g) Ubay ibn Ka’ab
h) Abu Musa al-Asyari
i) Abdullah bin Zubair
j) Abdullah bin Abbas
Dari kalangan al-khulafaur rasyidin, Ali bin Abi Thalib-la yang dikenal paling
banyak menafsirkan al-Qur’an. Faktor yang menyebabkan Ali bin Abi Thalib
melakukan penafsiran Alqur’an dibandingkan tiga khalifah lainnya adalah karena
Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-kanak, jadi berbeda dengan ketiga
sahabat lainnya, terutama Umar dan Abu Bakar yang memeluk Islam setelah usia
dewasa, bahkan usia yang relatif tua.
Dari sekian sahabat yang banyak menafsirkan Alqur’an, Ibn Abbas diberi gelar
Tarjuman Alqur’an ( juru bicara Alqur’an ), sumber ilmu umat, dan guru besar
mufassir, yang pernah mendapat doa khusus dari Rasulullah dalam hal penakwilan.
Sehingga beliau memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk terlibat secara aktif
dalam kegiatan penafsiran Alqur’an. Namun, tidak berarti bahwa sahabat lainnya
diluar Ibn Abbas tidak memiliki andil besar ( saham ) bagi pengembangan tafsir
Alqur’an. Para sahabat lainnya, terutama Ibn Mas’ud, Said bin Tsabit, Ubay ibn
Ka’ab, Abu Musa al-Asyari, Abdullah bin Zubair juga banyak terlibat aktif dengan
aktifitas penafsiran Alqur’an.
Seiring dengan sejalan aktifitas mereka, para sahabat lainnya pun turut serta dan
terlibat aktif dalam upaya pengembangan penafsiran Alqur’an antara lain :
a. Anas bin Malik
b. Abu Hurairah
c. Abdullah bin Umar
d. Abdullah bin al-Ash
e. Aisyah r.a
Sayangnya, di bandingkan sahabat yang sudah disebutkan di awal, para sahabat
yang disebutkan terakhir tidak berkonsentrasi secara penuh kepada penafsiraan
Alqur’an.
Tafsir sahabat di anggap berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh sahabat yang
dahulunya menjadi guru dari para tabi’in dan digantikan dengan tafsir para
tabi’in. Para tabi’in selalu mengikuti jejak guru-gurunya yang masyhur dalam
penafsiran Alqur’an. Para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk
menyempurnakan sebagian keterangan penafsiran dari masa sahabat. Setelah itu
muncul generasi sesudah tabi’in yaitu para tabi’i tabi’in, generasi inipun berusaha
menyempurnakan tafsir Alqur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada
pengetahuan mereka.
Berbeda dengan sahabat yang secara umum bermukim di Madinah, terutama pada
zaman Umar bin Khattab, pada masa generasi tabi’in, tokoh-tokoh Islam termasuk
para mufassir tersebar luas diberbagai kota Islam. Disetiap kota Islam termuka
seperti Madinah, Makkah, dan Irak terdapat sejumlah mufassir ternama.
3. Periode Muta’akhirin.
Disebut periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan zaman para
ulama mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadits.
Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat Islam yaitu sejak jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya kebangkitan Islam pada tahun 1286
H atau abad 7 – 13 H.
Usaha keras yang dilakukan ulama Mutaakhirin dalam menafsirkan ayat Al
Qur’an telah menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap banyak dan besar.
Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang kemudian merasa puas
dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya tidak banyak ulama yang mau berusaha
menafsirkan sendiri di samping karena mereka benar-benar memenuhi syarat
sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode Mutaqadimin. Oleh sebab itu
pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru kitab tafsir lebih sedikit dibandingkan
zaman sebelumnya.
Perluasan wilayah agama dan pergaulan umat Islam dengan dunia luar yang
notabennya non muslim pun turut mempengaruhi permasalahan yang dihadapi
oleh umat Islam. Apalagi, banyak juga diantara mereka yang kemudian
memeluk Islam. Sejak saat itu kaum muslim mulai mempelajari ilmu sains dan
pengetahuan yang dimiliki oleh para penganut kebudayaan, oleh karena itu
kaum muslim berusaha keras mempelajari dan menguasai ilmu logika, filsafat,
hukum, kedokteran, dan sebagainnya.
Seiring dengan semakin luasnya daerah yang dipengaruhi oleh Islam dan
penyebaran Islam pun dilakukan seluruh daerah wilayah diberbagai penjuru
dunia, peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin mengalami kemajuan,
termasuk ilmu tafsir. Dalam upaya menafsirkan Alqur’an, para ahli tafsir tidak
merasa cukup dengan hanya mengutip atau menghafal riwayat dari sahabat,
tabi’in, dan tabi’i al-tabi’in seperti yang diwariskan selama ini, tetapi mereka
mulai berorientasi pada penafsirkan Alqur’an berdasarkan pendekatan ilmu
bahasa dan penalaran ilmiah. Karena itu, tafsir Alqur’an mengalami
perkembangan sedemikian rupa dengan memperhatikan pada pembahasan
aspek-aspek tertentu sesuai dengan tendensi dan kecenderungan kelompok
mufassir itu sendiri.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaakhirin
1. Al-Qur’an
2. Hadits dari Nabi Muhammad saw
3. Tafsir dari Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’inat Tabi’in
4. Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya
5. Ilmu pengetahuan yang berkembang
6. Ijtihad
7. Pendapat para mufasir terdahulu
Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir
ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah mewarnai
tafsir dengan berbagai corak yang hamper-hampir menutupinya akan fungsi dasar
tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir yang mencampurkan kedalamnya
ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu kepada pemahaman pribadi,
terminiologi ilmiah, ideology-ideologi madzhab, dan budaya-budaya falsafi.
Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-
masalah semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu
filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua
menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam
menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah
keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir menafsirkan Al-
Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir mengarahkan
penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang dikuasainya,
sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda.
Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu bahasa Arab seperti nahwu,
balaghoh, dan semisalnya, yang membuat mereka para mufassirnya melakukan
penyimpangan. Demikian pula kitab-kitab tafsir yang mereka bukukan pada saat
itu, di dalamnya bercampur aduk antara yang berguna dengan yang berbahaya dan
yang baik dengan yang buruk.
Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad. Satu hal yang cukup
menonjol dari perkembangan tafsir , dengan berbagai coraknya itu ialah munculnya
fanatisme madzhab, tidak saja di kalangan fuqoha, tetapi juga di kalangan
mufassirin. Tidak mengherankan apabila keadaan ini kemudian menyeret ummat
Islam ke lembah kejumudan, karena sikap jumud itu dimulai oleh para kaum ulama
sendiri.