Anda di halaman 1dari 24

IMAN, ISLAM, IHSAN

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Tauhid

Dosen Pengampu : Dr. Buhori Muslim, M.Ag

Disusun oleh :

Kelompok 6

Nurul Fatihah Hasan 11870400

Shella Umi Khasanah 11870400

Silmi Rahma Amelia 1187040070

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TELNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga tugas makalah Ilmu Tauhid ini dapat terselesaikan
dengan lancar dan tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih kami berikan kepada bapak dosen
Dr. Buhori Muslim, M.Ag . Selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu tauhid. Ucapan terima kasih
kami berikan kepada teman- teman yang telah mau bekerja sama dan memberikan bantuannya
terhadap tugas ini, tanpa kerja sama yang baik, makalah ini juga tidak akan terselesaikan tepat
pada waktunya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai iman, islam, dan Ihsan, dan hubungan diantara ketiga
hal tersebut.

Adapun makalah ini berisi materi mengenai iman, islam, dan ihsan yang menurpakan pilar
hidup kita sebagai umat muslim. Ruang lingkup iman meliputi aqidah. Dalam iman ini menjadi
latar belakang kita berprilaku. Bila iman kita sudah kuat, segala sesuatu menjadi Allah minded.
Ruang lingkup islam meliputi fiqih. Segala sesuatu dilakukan atas dasar aturan dari Allah.
Melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Sedangkan ruang lingkup ihsan melupitu
akhlaq. Pada bagian ini merupakan bagian koneksi ruh kita kepada Allah. Akhlaq tidak bisa tiba-
tiba menjadi baik, tetapi dengan pembiasaan dan latar belakang melakukan sesuatu karena Allah,
akhlaq kita dapat menjadi baik. Ketiga hal ini, saling berkaitan, saling melengkapi, dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Bukan hanya secara teori, namun dalam penerapannya dalam
kehidupanpun tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan.

Semoga makalah ini dapat dipahami oleh Bapak dan teman-teman yang pembaca.
Sekiranya makalah yang kami buat ini, berguna bagi kami sendiri maupun bagi yang membacanya.
Sebelumnya, mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Oleh karena
itu, kritik dan saran bagi pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan tugas makalah- makalah
selanjutnya.

Wassalamua ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Bandung, 30 September 2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 2

I. PENDAHULUAN .................................................................................................................. 3

i. PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 6

2.1 Agama dan Syariat ......................................................................................................... 6

2.2 Pengertian Iman, Islam dan Ihsan................................................................................ 8

2.2.1 Iman ............................................................................................................................. 10

2.2.2 Pengertian Islam ......................................................................................................... 11

2.2.3 Ihsan ............................................................................................................................. 12

2.3 Golongan Manusia Berdasarkan Keimanan, Tingkat Iman, Tariqatul Iman ....... 12

2.4 Aktualisasi dan Implementasi Iman, Islam, dan Ihsan dalam Kehidupan ............ 15

2.5 Hubungan dan Integrasi Iman, Islam, dan Ihsan .......................................................... 17

iii. PENUTUP ......................................................................................................................... 22

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 22

3.2 Saran ................................................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 23

2
I. PENDAHULUAN
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri
keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik
dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal
anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Kedudukan
Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan
Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika
seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari
segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua
pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak
setiap muslim adalah mukmin. Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah
keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-
nya.” (Al-Anfal: 2-4). Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang
mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka
menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada
sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang
tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja:
mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat
Iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Iman adakalanya bertambah dan adakalanya
berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1) Diyakini dalam hati

2) Diucapkan dengan lisan

3) Diamalkan dengan anggota tubuh.

3
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan)
seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat. Siapa
saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang
siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan
seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.Dalam
pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu
Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari
pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami
Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan
ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172
yang artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”

Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur
pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1) Membaca dua kalimat Syahadat

2) Mendirikan sholat lima waktu

3) Menunaikan zakat

4) Puasa ramadhan

5) Haji ke Baitulloh jika mampu.

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat
baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau

4
dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah
dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah

Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan
panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan
oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

…‫نن َهَرْ َكنَأ َ هّل َ َدبْع ْ َن‬


َ ْ ‫…َهَر ْننَل ْ َهَرْ َ ْن َك َم‬

“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau
tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah
memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum
bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan
muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat
baik.

Jadi, iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan
dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam
sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti
apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan
mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari
Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.

5
i. PEMBAHASAN
2.1 Agama dan Syariat
Dalam istilah Alquran, kata syariah berarti jalan, tetapi kata agama berarti jalan
yang istimewa, yaitu suatu jalan yang telah dipilih dan diadopsi, tetapi tampaknya dalam
tradisi dan istilah Alquran, kata Syariah digunakan dalam sebuah arti yang lebih spesifik
daripada makna agama, seperti ayat-ayat berikut ini:

‫إِ َّن ال ِدِّينَ ِع ْندَ اللَّ ِه اإلسْالم‬

‘’Sesungguhnya agama ( yang diridai ) di sisi Allah hanyalah Islam…’’ (QS Al-Imran:19)

Dan ayat:

‫اآلخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِري َن‬


ِ ‫ْالم دِينًا فَلَ ْن يقْ َب َل ِمنْه َوه َو فِي‬ َ ‫َو َم ْن يَ ْبت َِغ‬
ِ ‫غي َْر اإلس‬

‘’Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’’
(QS Ali-Imran:85)

Dari dua ayat di atas dengan baik dapat diketahui bahwa setiap jalan dan cara dalam
penyembahan Tuhan yang maha Tinggi terdapat suatu agama, namun agama yang diterima
di sisi Tuhan hanyalah Islam. Oleh karena itu, agama dalam pandangan Alquran memiliki
makna yang umum dan luas, namun jika kita melampirkan kedua ayat tersebut, dengan
ayat berikut ini yang mengatakan:

َ ‫ِلك ٍِّّل َجعَ ْلنَا ِم ْنك ْم ِش ْر‬


‫عةً َو ِم ْن َها ًجا‬

‘’…Kami berikan aturan dan jalan yang terang...’’ (QS Al-Maidah: 48)

Dan ayat:

َ ‫ث َّم َج َع ْلن‬
‫َاك َعلَى ش َِريعَ ٍّة ِمنَ األ ْم ِر فَاتَّبِ ْع َها‬

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat ( peraturan ) dari urusan
(agama ) itu, maka ikutilah syariat itu”. (QS Al-Jatsiaah:18)

Akan dapat dipahami bahwa syariat adalah salah satu jalan istimewa yaitu satu jalan
yang telah ditentukan dan dipersiapkan untuk satu umat dari umat-umat yang ada dan atau

6
seorang nabi dari nabi-nabi yang telah diutus oleh Allah swt dengan syariat yang khusus.
Seperti syariat Nabi Nuh, syariat Nabi Ibrahim, syariat Nabi Musa dan syariat Nabi Isa
serta syariat Nabi Muhammad saw.

Dan adapun agama adalah tradisi dan jalan ilahi baik itu dikhususkan bagi setiap
nabi atau setiap kaum yang menginginkannya, maka kata " agama" bermakna lebih umum
daripada kata "syariat", dan karena itulah hukum syariat dapat dinasakh, akan tetapi agama
dengan pengertian umumnya tidak dapat dinasakh.

Tentu saja, masih ada perbedaan lainnya antara syariat dan agama, dan itu adalah
bahwa kata agama dapat dikaitkan dengan individu dan juga kepada komunitas, siapa saja
mereka tidak ada bedanya, tetapi kata syariat tidak bisa dihubungkan dengan individu
personil, misalnya dia mengatakan si fulan memiliki syariat fulan, kecuali jika orang
tersebut adalah pembawa syariat itu atau dia pemilik perkara tersebut, jadi dapat dikatakan
bahwa agama kaum muslimin, atau agama orang Yahudi dan agama orang Kristen dan juga
syariat umat Islam dan syariat Yahudi.

Sebagaimana juga dapat dikatakan, agama dan syariat Allah atau agama dan syariat
Muhammad dan agama Zaid dan Amr tetapi tidak bisa dikatakan syariat Zaid dan Amr,
dan mungkin alasannya adalah bahwa di dalam makna kata syariah, tersimpan arti firman
dan itu adalah persiapan jalan dan penerapannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa syariat adalah sebuah jalan atau cara di
mana Allah telah menyediakan dan mempersiapkan dan atau sebuah jalan dan cara yang
telah ditentukan untuk seorang nabi atau suatu umat, namun tidak dapat dikatakan sebagai
sebuah jalan untuk masa lalu, ditambah dengan sesuatu yang tidak ada sebelumnya dalam
syariat atau sebagai kiasan bahwa seluruh syariat sebelum Islam sebenarnya memiliki
kenyataan yang sama, meskipun berada di berbagai umat dikarenakan skil dan persiapan,
juga kepribadian mereka yang berbeda-beda, sehingga memiliki bentuk dan perintah-
perintah yang berbeda-beda pula.

Sebagaimana ayat yang mulia:

‫أ َ ْن أَقِيموا ال ِدِّينَ َوال تَتَف ََّرقوا فِي ِه‬

7
‘’…Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya..’’ (QS Asy
Syura:13)

Oleh karena itu, jika syariat-syariat khusus kita hubungkan dengan agama dan kita
mengatakan bahwa semua syariat ini adalah agama Tuhan, padahal agama itu satu, akan
tetapi syariat saling menasakh satu sama lain, seperti mengkaitkan hukum-hukum partikal
Islam, dengan prinsip agama, walaupun hukum-hukum ini sebagiannya nasikh dan yang
sebagian lainnya adalah mansukh dengan demikian kita mengatakan bahwa hukum ini dulu
adalah termasuk dari hukum Islam tapi sudah dinasakh atau hukum itu bagian dari hukum
Islam.

Dengan demikian, harus dikatakan bahwa Allah swt tidak mempercayakan hamba-
hambanya kecuali pada agama yang satu, dan agama yang satu itu adalah berserah diri
kepadaNya dengan apa yang ada, untuk sampainya para hamba pada tujuan ini, Dia telah
menciptakan berbagai cara dan jalan dan membuka berbagai tradisi, karena masing-masing
umat, bangsa memiliki bakat tertentu dan tradisi dan syariat tersebut adalah syariat Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw...

Sebagaimana yang kita lihat, ada kemungkinan beberapa hukum syariat yang telah
disusun kembali dinasakh oleh hukum syariat lain, karena kemaslahatannya telah usang
dan waktunya telah berakhir, dan waktunya telah tiba untuk dihapus karena sudah tidak
cocok dan tidak sesuai, seperti dinasakhnya hukuman seumur hidup bagi para wanita yang
melakukan perzinahan, dan hukum cambuk dan pelemparan batu yang datang sebagai
gantinya, dan seperti percontohan lainnya, dalil untuk hal ini adalah ayat Allah swt:

ِ ً‫َو لَ ْو شا َء اللَّه لَ َجعَلَك ْم أ َّمة‬


‫واحدَة ً َو ل ِك ْن ِليَبْل َوك ْم في ما آتاك ْم‬

‘’..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat ( saja ), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu…’’

2.2 Pengertian Iman, Islam dan Ihsan


ْ ِ ‫َ َر َده لوَو ع ََع ُْ َ بّمبث امبي ُع ََع ْ ِ ٌْ ُج َهمَنب َهل ََْ َ َو َو ََا لهَمَ َهمَل َ هلْ ى َهص َ هل‬,
ُ ‫ل َوس َ َنع ٌْهْ َو‬
‫ل ننَ ْك امَنيب‬
ّ ‫َلهَم َهمَل َ هلْ ىهَص َ نَب‬, ‫ِ ََبتمَل ْ ص ل ِْ ََبت َم ْكلَنع‬,
َ ‫ْدع ُ انَب َ َدهْْل ْ ََ َ رَفه ْر ْه َهمَل َْهي‬, ‫َّ ْ ص ٌهل دتَص‬ ْ ‫ََضل‬
ْ ِ ‫ َلهَم َهمَل َ هلْ ىهَص َ هل‬: ‫َْ ْ َن َرَعَ ْ َن َ لَْ ْو‬
‫ْهيََل َهص َفَمَل‬, َ ‫ َبس‬: ‫َ لَْو َك ْ َيب َهن ََّ ْان َيع ْ َب‬, ‫ل َو ْس ْلبس‬
‫ل َو ْس ْان َيعَُ ْ َن َ َ هلْ ََْ ل‬
ْ ِ ‫َ هل‬, ‫ةْص ََْل َم ْم‬ ْ ََ ‫ِاَبن‬, ‫لب َمُْ مَلْ َلَتَ َدْ ْن َ َبمَْ ََ ْن َت‬.
َ َ, ََّ َ‫َ َةَبص ََْت‬, ‫ة َوو‬

8
‫ َبس‬: ََْْ ‫ىع‬. ‫ََْةعَّْلْ َرَلهْلْ لْ ْدببَنب‬. ‫ َبس‬: ََّ ‫َ ََيبن َك ْك َيب َهن‬, ‫ َبس‬: ‫اب هل ْ َن‬, ‫َاْكنتل‬, ‫َ َْتْبل‬, َ‫لهل‬ ْ ِ,ْ ‫ََ َم َوو‬
‫َ يه‬, َ ‫ُ ّهر َ يمَهر اب َلعَِ َْتَ اك‬. ‫ َبس‬: ََْ ‫ىع‬. ‫ َبس‬: َّ َ ‫َ دَ ربن َك ْك َيب َهن‬, ‫ َبس‬: ‫َ ْن َك َم ن َنْ َهَرْ َكنَأ َ هل َ َدبْع ْ َن‬
ْ‫َهَر ْننَل ْ َهَر‬. ‫ َبس‬: ََّ ‫ َبس َ رَبَس َك ْك َيب َهن‬: ‫َ رَبكج اك اكََهم َ َنَب َ َي َر ْت ََ ْس اب‬. ‫ َبس‬: َّ
َ ‫َبْابََِ َ َك ْك َيب َهن‬, ‫ َبس‬:
‫ِاَتَب َ اس ْ َهع ْ َن‬, ‫َ َبْ َنمبن ْ ََّ بَ ْ َونَتَ َ َربع َِبع َ َدب س َ َدْهَص َ َ ْنفبص َهي َْ َن‬, ‫َ َنَهن ر م‬, َْْ‫مّباه ْهبب‬, ‫ َبس ر ْ َم‬: ‫َب‬
‫َي ْه‬ َ َِ‫ َْ َهْْ َ رَبكجا اك َْع‬: ْ‫ل َو ْلْ َ َ هل‬
ْ ,‫ت‬ ْ ِ ‫ََْه ْم‬. ‫ َبس‬: ْ ‫وََن ْن َم َْدهّ ْي ْن َم َْب َْ َم ٌبَه ََ ْج ْننَل‬. ْ‫ْارَه ُم ََِر‬

Artinya : “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan
tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia
berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah
Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan
engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu
berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang
membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-
kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang
buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang
ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan
terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang
bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi
menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat
orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala
kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang
tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya
kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,

9
”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang
mengajarkan kalian tentang agama kalian.” (HR Muslim, no. 8). Adapun pengertian secara
rincinya dapat dilihat dalam sub-bab berikut :

2.2.1 Iman
Dari pengertian lughat, kata iman berarti pembenaran (tashdiiq). Inilah makna yang
dimaksud dengan kata mukmin dalam firman Allah, surat Yusuf:17:

َ‫لو ََه ََنب نرَتب ْن َنبَنب ْنَب َيْابني َب ْو‬ ْ َ‫{ كىبوَم َْنَب َوَ َنب ا ْيتَ ا َك َايْنْ َ يّك‬17}
ْ ‫ذ ْكَهلْ اتبَنب َ َنع َْو‬

Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami
tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu
sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang
benar." (Q.S Yusuf:17)

Pada Al-quran, ditemukan kata iman mengandung dua makna, yaitu pertama adalah aman,
mengamankan, atau memberikan ke-amanan (Q.S.106 : 4) dan kedua adalah mengandung
makna yakin, percaya atau beriman (Q.S. 2 : 285). Yang artinya sebagai berikut :

“Yang telah memberi makanan kepada mereka, untuk menghilangkan lapar, dan
mengamankan mereka dari ketakutan." – (QS.106:4)

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan
mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami
ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" -(Q.S. 2 : 285).

Adapun beberapa definisi yang dapat dikemukakan oleh ulama, yaitu sebagai berikut :

1. Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi :

‫ل هذ ا ب َ ت ةعَ ن ْ َو َََ يبن‬

“ Iman ialah pembenaran dengan hati”.

2. Menurut imam Ab-- Hanifah.

10
‫َ ت ةعَ ن َ َََ هَِ نو َََ يبن‬

“ Iman ialah mengikrarkan (dengan lidah ) dan membenarkan (dengan hati)”.

3. Menurut Hasbi as-Shiddiqy ;

‫ا بَََِ ب ََ ديج ا ب ب نبن َ ن ََ ت ةع ا ب ه ربن َ لوس‬

“ Iman ialah mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengerjakan
dengan anggota tubuh”.

Menurut syara’ iman itu bukanlah suatu angan-angan akan tetapi apa yang telah mantap
dalam hati dan dibuktikan lewat amal perbuatan. Hal ini tercermin dalam salah satu hadis
nabi yang berikut ini: Dengan terjemah berikut:

“Iman itu bukanlah dengan angan-angan tetapi apa yang telah mentap di dalam hatimu
dan dibuktikan kebenarannya dengan amal”.

Dengan melihat definisi dia atas dapat dikatakan bahwa iman itu paling tidak harus ada
pembenaran dan keyakinan adanya Tuhan dengan segala ke-Esaan-Nya dan segala sifat
kesempurnaan serta pembenaran dan keyakinan terhadap Muhammad SAW dan risalah
kerasulannya.

2.2.2 Pengertian Islam


Islam (Arab: al-islām, ‫ل ْو‬ َ, "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang
mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dari segi lughat, kata islam mempunyai arti
menyerah diri, tunduk serta patuh kepada sesuatu, baik yang nyata (hissi) maupun yang
tidak nyata (maknawi). Adapun dalam Al-Qur’an, pengertian Islam (aslama) terdapat
dalam Q.S Ali Imran ayat 83 :

‫َ َْهٌدْون َْ مَل ََ َهنُب َ َو َُب َََ َِي َ رَيبََا َّْ اك ْلَهم َ لْ َ َبيْون َ هل وَك ْْيمَه‬

83. Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-
Nya-lah menyerahkan diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.

Adapun dari segi istilah/syara’, kata islam adalah menyerah diri dan patuh
sepenuhnya kepada Allah dengan hati yang ridha dengan mengerjakan segala perintah-Nya

11
dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam pengertian ini, semua nabi dan rasul adalah
orang-orang Islam (muslim) karena mereka semua patuh dan tunduk serta menyerah diri
kepada Allah, lahir dan batin.

2.2.3 Ihsan
Ihsan ialah bahawa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi jika
kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”. Sedangkan Ihsan
menurut lughat memiliki arti berbuat baik yang artinya kebaikan. Ihsan juga adalah
melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi
apa yang dilakukannya. Ihsan ( ‫ ) َد ربن‬adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti
“kesempurnaan” atau “terbaik.” Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang
yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya
Allah melihat perbuatannya
Hadist riwayat muslim”dari Umar bin Khatab ia berkata bahwa mengabdikan diri kepada
Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anda melihat-Nya, Maka hendaklah anda
merasa bahwa Allah melihat anda.”
2.3 Golongan Manusia Berdasarkan Keimanan, Tingkat Iman, Tariqatul Iman
Iman kepada Allah merupakan rukun iman pertama. Kepercayaan atas keberadaan Allah,
sebagai zat yang melebihi segala makhluk-Nya, mengangkat derajat seseorang yang
membuat hatinya lapang karena batin orang yang beriman adalah samudera tak bertepi dan
cakrawala tak berbatas. Namun, demikian tingkat keimanan seseorang berbeda-beda.
Syekh M Nawawi Banten menyebut lima tingkat keimanan anak Adam. Ia menjelaskan
secara rinci sebagai berikut ini:

1. Iman taklid. Keimanan ini didasarkan pada ucapan orang lain (ulama biasanya) tanpa
memahami dalilnya. Keimanan orang ini sah-sah saja meski ia terbilang bermaksiat
karena meninggalkan upaya pencarian dalil sendiri bila ia termasuk orang yang dalam
kategori mampu melakukan pencarian dalil.

2. Iman ilmu atau ilmul yaqin. Keimanan ini didasarkan pada pemahaman aqidah berikut
dalil-dalilnya.

12
“Orang dengan kategori keimanan pertama dan kedua terhijab dari zat Allah,” (Lihat
Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil
Arabiyyah], halaman 9).

3. Iman ‘iyan atau ainul yaqin. Dengan keimanan ini seseorang mengetahui Allah
(makrifatullah) dengan jalan pengawasan batin. Dengan keimanan ini, Allah tidak
ghaib sekejap pun dari mata batinnya. Bahkan “gerak-gerik” Allah selalu hadir di
dalam batinnya seakan ia memandang-Nya. Ini maqam muraqabah.

4. Iman haq atau haqqul yaqin. Dengan keimanan ini, seseorang memandang Allah
melalui batinnya. Ini yang dibilang oleh para ulama bahwa “arif (orang dengan derajat
makrifat) memandang Tuhannya pada segala sesuatu.” Ini maqam musyahadah.

“Orang dengan kategori keimanan ini terhijab dari makhluk Allah,” (Lihat Syekh M
Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah],
halaman 9). Dengan demikian, yang tampak padanya hanya Allah belaka.

5. Iman hakikat. Dengan keimanan ini, orang menjadi lenyap karena Allah dan dimabuk
oleh cinta kepada-Nya. Ia tidak menyaksikan apapun selain Allah. Bahkan ia sendiri
tidak menyaksikan dirinya. Seperti tenggelam di laut, ia tidak melihat adanya pantai.
Orang ini berada di maqam fana.

Semua keimanan ini mulia di level mana pun itu. Tetapi memang derajat dari semua
keimanan itu berbeda di sisi Allah. Hanya saja, kita sebagai manusia biasa tidak perlu
menilai tingkat keimanan orang lain karena semua mendapatkan petunjuk dari sumber yang
sama, yaitu Allah.

Keimanan dua kategori pertama dapat diupayakan (wilayah ikhtiar manusia). Oleh karena
itu, seseorang wajib mendalami keimanan melalui pencarian dalil dan wajib mempelajari
sedapat mungkin sifat-sifat Allah.

Sementara keimanan pada tingkatan berikutnya merupakan laduni, wahbi, atau anugerah
ilahi yang tidak bisa diikhtiarkan karena didasarkan pada kehendak Allah.

13
Artinya, “Seseorang wajib berada di dua level pertama. Sedangkan tiga level setelah itu
adalah ilmu rabbani [anugerah ilahi] yang Allah berikan secara khusus kepada sejumlah
hamba-Nya yang dikehendaki,”

Dari lima tingkatan ini, kita menjadi teringat pada keimanan pada maqam baqa
sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya. Jadi keimanan
seseorang kepada Allah terdapat enam tingkatan.

6. Iman pada tingkat maqam baqa. Dengan keimanan ini, seseorang memandang Allah
dan makhluk-Nya sekaligus tanpa terkecoh. Dengan keimanan ini, seseorang
memandang dua entitas berbeda, yaitu Allah sebagai ujud hakiki dan makhluk-Nya
sebagai ujud majazi.

Tingkatan keimanan keenam ini yang disebut juga maqam akmal atau maqam lebih
sempurna karena ia tetap menjaga hubungan dengan alam, manusia, hewan, selain menjaga
hubungan dengan Allah.

Artinya, “Sahabat Abu Bakar al-Ṣiddîq RA memerintahkan Aisyah RA ketika turun ayat
pembebasannya dari fitnah melalui lisan Rasulullah, ‘Wahai A‘isyah, sampaikan ucapan
terima kasih kepada Rasulullah!” “Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kecuali
kepada Allah,’ jawab Aisyah RA. Sahabat Abu Bakar al-Ṣiddîq RA lalu menunjukinya
dengan maqam yang lebih sempurna, yaitu maqam baqa yang menuntut ketetapan
eksistensi ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan bersyukurlah
kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembali,” (Surat Luqman ayat 14),
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah kalau tidak berterima
kasih kepada orang lain.” Tentu saja ketika itu Siti Aisyah sedang tercabut dari
penglihatannya dan lenyap dari ciptaan-Nya sehingga ia hanya menyaksikan Allah yang
maha esa dan maha perkasa.”

Kutipan dari Al-Hikam ini menunjukkan tingkatan keimanan keenam, yaitu maqam baqa.
Pada maqam ini, seseorang yang semakin tenggelam dalam fana justru bertambah baqa.
Semakin mabuk cinta kepada Allah, orang ini semakin sadar. Semakin mengakui keesaan
Allah, orang ini bertambah adab kepada makhluk-Nya.

14
2.4 Aktualisasi dan Implementasi Iman, Islam, dan Ihsan dalam Kehidupan
Peran iman dan taqwa di dalam problem dan tantangan kehidupan modern adalah
suatu masalah besar yang harus di hadapi oleh setiap orang (Manusia) karena seperti yang
kita lihat selama ini semakin bertambahnya Zaman pasti akan ada perubahan! baik dalam
segi moral, agama, budaya, maupun dalam segi sosial kehidupan di dalam masyarakat.
Dan yang paling utama dalam segi agama, kepercayaan dan keyakinan sehingga dalam
segi iman dan taqwapun berkurang. Iman memiliki peran penting dan pengaruh terhadap
kehidupan. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada
kehidupan manusia.

1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.

Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah
hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat
mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-
dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada
khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah
surat al-Fatihah ayat 1-7.

2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.

Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak diantara


manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko.
Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan
orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-
Nisa/4:78.

3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.

Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, arena kepentingan penghidupannya.
Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan
dan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan
orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.

15
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.

Acapkali manusia dilanda resah dan dukacita, serta digoncang oleh keraguan dan
kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram
(mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah
surat ar-Ra’d/13:28.

5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).

Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada
kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-
Nya QS. an-Nahl/16:97.

6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.

Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa
pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan
apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia
senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162.

7. Iman memberi keberuntungan

Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbing
dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang
beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5.

8. Iman mencegah penyakit

Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh
manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan
manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri,
melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak
jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian proses
atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan
proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam
hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak di

16
samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen
(pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot dalam rahim
ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak,
tingkah laku, dan akhlak manusia.

Jika karena terpengaruh tanggapan, baik indra maupun akal, terjadi perubahan fisiologis
tubuh (keseimbangan terganggu), seperti takut, marah, putus asa, dan lemah, maka
keadaan ini dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang
dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern, seperti darah tinggi,
diabetes dan kanker.

Sebaliknya, jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak mengacuhkan asas moral
dan akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah
ingat Allah, maka orang yang seperti ini hidupnya akan diikuti oleh kepanikan dan
ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin dan persenyawaan
lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh
serta lapisan otak bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan
mengakibatkan terganggunya kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh manusia.
Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa sedih, dan ketegangan psikologis, serta
hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.

Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan manusia, ia bukan hanya
sekedar kepercayaan yang berada dalam hati, melainkan juga menjadi kekuatan yang
mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup.

2.5 Hubungan dan Integrasi Iman, Islam, dan Ihsan


Dalam hadis riwayat H.R. Muslim terdapat dalil bahwa iman,islam, dan ihsan semuanya
disebut ad-din/agama yang mencakup 3 tingkatan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadis tersebut, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang Islam beliau menjawab,
Islam yaitu hendaklah engkau bersaksi tiada yang patut disembah kecuali Allah SWT dan
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah SWT. Hendaklah engkau mendirikan salat, membayar
zakat, berpuasa pada bulan ramadhan, dan mengerjakan haji jika engkau mampu. Dari sinilah
kemudian di rumuskan bahwa islam itu terdiri dari 5 rukun. Jadi, islam yang dimaksud adalah amalan-

17
amalan lahiriah yang meliputi syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Yang selanjutnya disebut dengan
rukun islam.
2. Tingkatan Iman
Selanjutnya saat Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabada,” Hendaknya engkau beriman
kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir,
dan hendaklah engkau beriman kepada Qada’ dan Qadar”. Jadi iman yang dimaksud adalah mencakup
perkara batiniah yang ada di dalam hati. Dari sini dapat dipahami bahwa Islam diartikan sebagai
amalan-amalan anggota badan, sedangkan iman diartikan sebagai amalan hati yang berupa
kepercayaan dan keyakinan terhadap ajaran Islam yang tercakup dalam rukun iman yang dijelaskan
diatas. Akan tetapi, bila disebutkan secara mutlak salah satunya, Islam atau Iman saja, maka sudah
mencakup yang lainnya, sebagaimana firman Allah SWT “Dan aku telah ridha Islam menjadi agama
kalian”. (Q.S. Al-MAIDAH: 3). Kata Islam disini sudah mencakup Islam dan Iman.
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang Ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada
Allah SWT seolah-olah engkau melihatNya. Namun jika engkau tidak dapat beribadah seolah-olah
melihatNya, sesungguhnya ia melihat engkau”. Ihsan yaitu sikap menyembah/ta’abud kepada Rabb-
Nya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga dia
pum sangat ingin sampai kepadaNya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia
tidak bisa mencapai kondisi ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada
Allah SWT dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas akan siksa-Nya, oleh karena itulah
Nabi bersabda, “jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya dia melihatmu”, artinya jika
kamu tidak mampu menyembahNya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu. Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Oleh karena itulah para ulama muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mukmin pasti muslim,
karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti
akan melaksanakan amal-amal Islam/amalan lahir. Sebaliknya, belum tentu setiap muslim itu mukmin,
karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan
sempurna walaupun dia melakukan amalan
lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mukmin
dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman, “orang-orang arab badui itu
mengatakan ‘kami telah beriman’. Katakanlah ‘kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian
mengatakan: ‘kami telah berislam’.” (Q.S. Al Hujarat: 14). Dengan demikian jelaslah bahwa agama
ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada tingkatan yang
lainnya. Tingkatan pertama yaitu Islam, kemudian tingkat yang lebih tinggi dari itu adalah iman,

18
kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan. Orang yang berada dalam tingkatan iman
disebut muhsin.9
Iman, Islam dan Ihsan merupakan inti pokok ajaran Islam. Ketiganya sangat berhubungan erat dan
saling mengisi, bahkan satu dengan yang lainnya tidak bias dipisahkan. Walaupun memiliki definisi
dan istilah yang berbeda, namun semuanya berada dalam satu napas.
Ketiga istilah tersebut dalam praktiknya menjadi satu. Dalam praktiknya kata-kata iman misalnya
dihubungkan dengan larangan menghina orang lain, saling mencela dan memberi julukan yang
negative. Iman juga dihubungkan dengan larangan berburuk sangka, saling mengintip dan saling
mengumpat. Hal ini dapat kita laihat pada ayat-ayat berikut ini :

َ ‫سى أ َ ْن يَك َّن َخي ًْرا ِم ْنه َّن َوال ت َْل ِمزوا أ َ ْنف‬
‫سك ْم‬ َ ‫ع‬
َ ٍّ‫ساء‬ َ ِ‫سى أ َ ْن يَكونوا َخي ًْرا ِم ْنه ْم َوال ن‬
َ ِ‫سا ٌء ِم ْن ن‬ َ ‫ع‬َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا ال يَ ْسخ َْر قَو ٌم ِم ْن قَ ْو ٍّم‬
)١١( َ‫الظا ِلمون‬ َّ ‫ان َو َم ْن لَ ْم يَتبْ فَأولَئِكَ هم‬ ِ ‫س االسْم ْالفسوق بَ ْعدَ اإلي َم‬ ِ ‫َوال تَنَابَزوا ِباأل ْلقَا‬
َ ‫ب ِب ْئ‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-
buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”(Q.S. Alhujarat ;11)

‫ضا أَي ِحبُّ أ َ َحدك ْم أ َ ْن يَأْك َل لَحْ َم أ َ ِخي ِه‬


ً ‫ظ ِِّن ِإثْ ٌم َوال ت َ َجسَّسوا َوال يَ ْغتَبْ بَ ْعضك ْم بَ ْع‬
َّ ‫ض ال‬ َّ ‫يرا ِمنَ ال‬
َ ‫ظ ِِّن ِإ َّن بَ ْع‬ ً ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا اجْ تَنِبوا َك ِث‬
))١١( ‫َم ْيتًا فَك َِر ْهتموه َواتَّقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ ت ََّوابٌ َر ِحي ٌم‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”
(Q.S. Al-Hujarat ; 12)

)١٨١( َ‫علَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِلك ْم لَعَلَّك ْم تَتَّقون‬ ِّ ِ ‫علَيْكم‬


َ ِ‫الصيَام َك َما كت‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا كت‬
َ ‫ب‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah ; 183)

19
ْ َ ‫َاء َو ْالم ْنك َِر َولَ ِذ ْكر اللَّ ِه أ َ ْكبَر َواللَّه يَ ْعلَم َما ت‬
‫صنَعو َن‬ ِ ‫ع ِن ْالفَحْ ش‬
َ ‫صالة َ ت َ ْن َهى‬
َّ ‫صالة َ إِ َّن ال‬ ِ ‫ي إِلَيْكَ ِمنَ ْال ِكت َا‬
َّ ‫ب َوأَقِ ِم ال‬ ِ ‫اتْل َما أ‬
َ ‫وح‬

Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Ankabut ;45)

‫ج َو َما ت َ ْفعَلوا ِم ْن َخي ٍّْر يَ ْعلَ ْمه اللَّه َوت َزَ َّودوا فَِِ َّن َخي َْر‬ ْ َ َ‫ض فِي ِه َّن ْال َح َّج فَال َرف‬َ ‫ْال َح ُّج أ َ ْشه ٌر َم ْعلو َماتٌ فَ َم ْن فَ َر‬
ِ ِّ ‫ث َوال فسوقَ َوال ِجدَا َل فِي ال َح‬
)١٩١( ‫ب‬ ْ ‫ون يَا أو ِلي‬
ِ ‫األلبَا‬ ِ ‫الزا ِد الت َّ ْق َوى َواتَّق‬
َّ

Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-
bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”(QS. Al-Baqarah; 197)

)١٠١(‫ع ِلي ٌم‬ َ ‫سك ٌَن لَه ْم َواللَّه‬


َ ‫س ِمي ٌع‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم إِ َّن‬
َ َ‫صالتَك‬ َ ‫ط ِ ِّهره ْم َوتزَ ِ ِّكي ِه ْم بِ َها َو‬
َ ‫ص ِِّل‬ َ ‫خ ْذ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬
َ ‫صدَقَة ً ت‬

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-
Taubah; 103)

Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat dipetik suatu kesimpulan bahwa rukun Islam yang
diimplementasikan dalam praktik ibadah selalu dihubungkan dengan akhlaku karimah (Ihsan), atau
perbuatan-perbuatan yang bernilai kebaikan, seperti shalat dikaitkan dengan menghindarkan diri dari
perbuatan keji dan mungkar, puasa dikaitakan dengan ketakwaan, haji dikaitkan dengan tidak boleh
berkata kotor, dusta, dan sebagainya, begitu pun juga dengan zakat dikaitkan dengan penyucian jiwa
atau harta. Iman yang pada awalnya sebuah ikrar, akan mendorong manusia untuk bergerak dengan
kesungguhan hati untuk mempraktikkan atau mengamalkan apa yang dipereintahkan dari apa yang
diyakininya yang melahirkan ketaatan atau kepatuhan dalam menjalani hidup dan kehidupan sehari-
hari. Dengan kata lain, Ihsan lahir dari kesempurnaan keimanan dan keislaman seseorang, atau

20
kesempurnaan keimanan dan keislaman seseorang akan Nampak pada sikap atau tingkah lakunya baik
perkataan, perbuatan, atau pun pikiranya.

21
iii. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangannya, kita sebagai hamba Allah memang lah wajib menaatinya. Karena kita
hanyalah hamba, hanya pemeran kehidupan, dan Allah sutradaranya. Iman, Islam, dan
Ihsan merupakan bagian dari kesatuan.
Pertama Iman dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yg menjelaskan tentang
pokok-pokok keyakinan (aqidah). Kedua, Islam berupa praktek amal lahiriah disusun
dalam ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba
Allah. Sedangkan untuk mempelajari Ihsan sebagai tata cara beribadah adalah bagian
dari ilmu (Tasawuf) melalui thariqah.
Penerapan iman Islam dan Ihsan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu memupuk
keyakinan adanya Allah, malaikat, nabi dan rasul, kitab Allah, dan percaya kiamat
qadha dan qadar. Serta menjalankan apa-apa yang telah disyariatkan dalam Islam,
seperti sholat, puasa, zakat, naik haji bagi yang mampu, dan yang paling penting ialah
bahwa kita tetap berpegang pada pendirian, bahwa kita selalu dalam pengawasan Allah.

3.2 Saran
Penulis sebenarnya menginginkan penyusunan makalah yang sempurna dan rapi.
Namun masih banyak kekurangan dalam makalah ini yang perlu diperbaiki oleh
penulis. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan penulis. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulisan makalah ini sebagai bahan
evaluasi selanjutnya

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai